Selasa, 22 Januari 2008

Kumpulan Risalah 1

Bismilla-hirrahma-nirrahi-m

Assalamu 'ala manittaba'al huda,

Berjabat Tangan Yang Dianjurkan Islam

Bab ini memuat tiga hadits, yaitu:

Pertama, dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, yang mempunyai beberapa sanad, di antaranya: Dari Quza'ah, ia berkata: "Ibnu Umar Radhiyallahu anhu mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu ia berkata: 'Kemarilah, aku akan mengucapkan selamat jalan kepadamu, sebagaimana ucapan selamat tinggal Nabi Shallallahu Alaihi wa Salam kepadaku ketika beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Kemudian ia mengucapkan:
"Aku menitipkan agamamu, amanatmu untuk segala akhir perbuatanmu kepada Allah". Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (n0. 2600) Imam Hakim (2/97), Imam Ahmad (juz 2/25, 38 dan 136), dan Imam Ibnu Asakir (14/290/2 dan 15/469/1) diperoleh dari Abdulaziz bin Umar bin Abdulaziz yang mendengarnya dari Quza'ah. Perawi-perawinya tergologn tsiqoh (konsisten terhadap ajaran Islam, cerdas dan kuat ingatannya) tetapi ada yang diperselisihkan yaitu Abdulaziz.

Sebagian Ulama meriwayatkannya dengan sanad seperti itu, tapi sebagian lain ada pula yang memasukkan satu orang perawi antara Abdulaziz dan Quza'ah. Orang yang dimasukkan tersebut adalah Ismail bin Jari, namun sementara ulama juga ada yang menyebutkannya Yahya bin Ismail bin Jarir. Sedang Al-Hafizh Ibnu Asakir menyebutkan beberapa riwayat yang berbeda-beda. Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya Al-Taqrib mengatakan: Yang benar adalah "Yahya bin Ismail".

Saya (Al-albani) berpendapat: bahwa hadits itu adalah dha'if, tetapi kemudian menjadi kuat oleh karena adanya sanad-sanad lain. Di dalam riwayat Ibnu Asakir terdapat matan sebagai berikut: "Sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam mengucapkan selamat tinggal kepadaku, lalu ia menjabat tangan saja. Setelah itu ia mengucapkan: (Ia menyebutkan kalimat seperti hadits di atas).

Diriwayatkan dari Salim, bahwa Ibnu Umar selalu mengucapkan kepada orang yang hendak bepergian: 'Izinkan aku mengucapkan selamat jalan kepadamu, sebagaimana Nabi Shallallahu Alaihi wa Salam mengucapkannya kepadaku, lalu ia berucap: (seperti kalimat pada hadits yang pertama)." Hadits ini dtahrij oleh Imam Tirmidzi (2/255, cet. bulaq), Imam ahmad (2/7), dan Abdul Ghany Al-Maqdisy di juz 63 (41/1) dari Sa'id bin Khutsaimin dari Handzallah yang dikutip dari Salim. Imam tirmidzi berkomentar: "Hadits ini statusnya hasan shahih gharib (ada diantara ketida status tersebut), yang dimaksud adalah yang diriwayatkan oleh Salim."

Saya (Al-Albani) berpendapat: "hadits ini sesuai dengan syarat Muslim, hanya saja sanad yang dari Sa'id masih dipertentangkan. Oleh karena itu Imam Hakim meriwayatkannya (1/442 dan 2/97) dari Ishak bin Sulaiman dan Walid bin Muslim yang dikutip dari Handzalah bin Abu Sufyan diperoleh dari Al-Qasim bin Muhammad yang mengisahkan: "Saya berada di samping Ibnu Umar. Tiba-tiba datang seorang laki-laki dan berkata: "Saya hendak pergi." Lalu Ibnu Umar berkata:Tunggulah, aku akan mengucapkan selamat jalan kepadar£íu: (Kemudian Al-Qasim bin Muhammad menyebutkan kalimat seperti hadits pertama)."

Imam Hakim berkomentar; "Hadits ini statusnya shahih menurut syarat Bukhari-MusIim." Penilaiannya ini disetujui oieh Adz-Dzahabi.

Kemungkinan Imam Tirmidzi menganggap gharib (Hadits yang periwayatannya terdapat perawi yang menyendiri, baik di dalam keberadaan, sifat maupun keadaannya) hadits yang diriwayatkan melalui jalur Salim ini tsiqah. karena dua orang perawi tsiqah, yaitu lshak bin Sulaiman dan AI-Walid bin Musiim, yang berbeda dengan lbnu Khutsaim, sebab lbnu Khutsaim meriwayatkannya dan Handzalah dan Salim, sedangkan kedua perawi tsiqah tersebut mengatakan dari Handzalah yang diperoieh dari AI-Qasim bin Muhammad, dari Salim. Dan inilah yang nampaknya lebih shahih.

Abu Ya'la mentakhrij hadits ini di dalam musnad-nya(2/270), dari jalur AI-Walid bin Muslim saja.

Dari Mujahid, yang menceritakan: "Saya dan seorang laki-laki pergi ke Irak. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan Abdullah lbnu Umar. Tatkala akan berpisah ia berkata: "Aku tidak mempunyai sesuatu yang akan aku nasihatkan kepada kalian. Tetapi aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Jika ia (musafir) menitipkan sesuatu kepada Allah, maka mudah- mudahan Allah berkenan menjaganya. Dan saya menitipkan agama, amanat dan akibat perbuatan kalian kepada Allah s-wt. "

Hadits dengan riwayat ini disampaikan oieh lbnu Hibban di dalam kitab Shahihnya (2376), dengan sanad yang shahih.

Dari Nafi¡ Radiyallahu 'anhu dikutip dari Mujahid yang menuturkan: "Apabila Rasulullah saw meninggalkan seseorang, maka beliau meraih tangannya. Dan beliau tidak akan melepaskan genggamannya kecuali orang itu sendiri yang melepaskannya, dan beliau berkata: (Kemudian perawi menyebutkan ucapan selamat tinggal seperti hadits yang pertama). "

Hadits ini diriwayatkan oieh Imam Tirmidzi (2/255, cet. Bulaq), yang menilainya gharib.

Saya berpendapat, bahwa yang dimaksudkan oieh penilaian Imam Tirmidzi itu adalah dha 'if dari segi jalur (sanad) ini. Hal itu bisa demikian karena hadits itu diriwayatkan oieh lbrahim bin Abdurrahman bin Zaid bin Umayyah dari Nafi¡Ç. Padahal lbrahim ini tidak dikenal (majhul).

Tetapi lbrahim tidak meriwayatkan hadits ini seorang diri. namun ada perawi lain yang juga meriwavatkannya yaitu Ibnu Majah (2/943 nomor 2826), yang diperoleh dari Ibnu Abi Laila dari Nafi¡Ç. Akan tetapi Ibnu Abi Laila adalah orang yang kurang baik hafalannya. Nama sebenarnya, Muhammad bin Abdurrahman. la tidak menyebutkan cerita tentang berjabat tangan.

Hadits kedua dari Abdullah AI-Khathami yang menceritakan: "Adalah Rasulidlah saw jika hendak meninggalkan tentaranya, bersabda: (kemudian rawi menyebutkan kalimat yang diucapkan oleh Nabi saw seperti pada hadits pertama). "

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Sina di dalam "Amalul-Yaum Wal-Lailah" (nomor: 498) dengan sanad yang shahih menurut Muslim.

Hadits ketiga, dari Abu Hurairah yang memberitakan: "Rasulullah saw jika meninggalkan seseorang beliau bersabda: (sebagaimana kalimat pada hadits pertama). "

Hadits dengan sanad ini diriwayatkan oieh Imam Ahmad (2/358); dari lbnu Luhai'ah yang mengutip dari AI-Hasan bin Tsauban dari Musa Ibnu Wirdan yang diperolehnya dari Abu Hurairah.

Saya berpendapat, bahwa seluruh perawinya adalah tsiqah. Hanya lbnu Luhai'ah agak buruk hafaiannya. Matan yang dipakainya pun berbeda dengan yang dipakai oieh AI-Laits bin Sa'ad dan Sa'id bin Abi Ayyup yang diperolehnya dari Hasan bin Tsauban yang menuturkan: "Aku akan menitipkanmu kepada Allah yang tidak pemah menyia-nyiakan barang titipan-Nya, "

Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ini lebih shahih dan sanadnya jayyid (shahih). Hadits ini juga diriwayatkan oieh Imam Ahmad (403/1)

Saya juga melihat bahwa lbnu Luhai'ah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang sama pada riwayat yang ditakhrij oieh lbnu Sina (nomor: 501) dan lbnu Majah (2/943, nomor: 2825). Sedang saya sendiri merasa yakin kesalahannya ada pada redaksi yang pertama.

Faedah-faedah Hadits

Dari hadits yang shahih ini dapat diambil beberapa faedah:

l. Disyariatkannya ucapan selamat tinggal dengan kalimat yang telah berlaku, yaitu “ASTAU DI’ULLAHA DIINAKA WA AMAANATAKA WAKHAWAATIIMA ’AMALIKA” (artinya: Aku menitipkan agamamu, amanatmu, dan segala akhir perbuatanmu kepada Allah)

atau (yang artinya: "Aku akan menitipkanmu kepada Allah yang tidak pemah menyia-nyiakan barang titipan-Nya. ")

2. Bersalaman dengan satu tangan. Hal ini disebutkan pada banyak hadits. Dan jika ditinjau dari segi etimologi, maka kata al-mushafahah artinya: al-akhdzu bil-yadi memegang tangan atau menggenggamnya. Di dalam Lisanul Arab disebutkan: Kata al-mushafahah berarti menggenggam tangan. Begitu juga dengan kata at-tashajuh, Ar-rajul yushafihur-rajul, artinya seseorang menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan orang lain dan keduanya saling menempelkan telapak tangan mereka serta saling berhadapan. Arti yang sama dipakai pada hadits mushafahah (ketika bertemu). Kata itu merupakan tindakan menempelkan telapak tangan seseorang dengan telapak tangan orang lain dengan berhadap-hadapan.

Menurut saya ada beberapa hadits yang senada dengan arti tersebut, seperti hadits marfu’ yang diriwayatkan oieh Hudzaifah:

"Jika seorang mukmin bertemu dengan orang mukmin lainnya, lalu mengacapkan salam dan berjabatan tangan, maka semua kesalahan kedua orang itu akan rontok, seperti daun-daun yang berguguran, "

Sementara itu AI-Mundziri (3/270) berkomentar: "Imam Thabrani meriwayatkan hadits ini di dalam “ All-Ausath'' dan sepengetahuan saya, perawi-perawinya tidak ada yang terkena jarh (cacat).

Saya berpendapat, hadits ini mempunyai beberapa syahid (hadits penguat) yang dapat meningkatkan statusnya menjadi shahih. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Anas di dalam kitabnya Al-Mukhtarah (nomor: 240/1-2). AI-Mundziri menaikkannya kepada Imam Ahmad dan Imam lainnya.

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa yang disunnahkan di dalam berjabat tangan adalah dengan satu tangan. Apa yang dilakukan oleh beberapa Syaikh, yakni berjabatan tangan dengan dua tangan adalah menyelisihi sunnah. Hal ini perlu kita ketahui secara detail.

3. Berjabatan tangan juga diajarkan ketika akan berpisah. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi saw:

"Merupakan kesempurnaan penghormatan adalah berjabatan tangan. "

Hadits ini dilihat dari segi sanadnya, bagus sekali. Sebenarnya saya bermaksud menampilkan judul tersendiri tentang pernbahasan ini dengan disertai penjelasan mengenai sanad-sanadnya. Akan tetapi setelah saya teliti, temyata sanadnya dha'if dan tidak patut dibuat hujjah. Oleh karena itu, saya hanya menyebutkannya di dalam As-Silsilasul-Ukhra (Rangkaian Hadits yang Lain) (1288).

Adapun mengenai pengambilan dalil pembuktian kebenarannya tentang disyaratkannyasalam ketika berpisah adalah sabda Nabi saw: "Jika salah seorang di antara kalian memasaki masjid, maka ucapkanlah salam. Dan jika ia keluar, maka juga ucapkanlah salam. Salam yang pertama tidaklah lebih utama dari salam yang kedua. "

Hadit ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan lainnya dengan sanad hasan. Melihat hadits ini maka pendapat sebagian ulama' yang mengatakan bahwa berjabatan tangan ketika berpisah adalah bid'ah, sama sekali tidak mempunyai dalil. Memang, orang yang berpendapat tentang adanya hadits-hadits yang mengenai jabat tangan ketika bertemu adalah lebih banyak dan lebih kuat daripada ketika berpisah, tetapi orang yang tajam pemahamannya akan menyimpulkan bahwa intensitas disyari'atkannya berjabatan tangan ketika bertemu dengan ketika berpisah tidak sama. Misalnya berjabatan yang pertama adalah sunnah, sedangkan yang kedua adalah anjuran {mustahabbah}. Sedang bila jabatan tangan yang kedua dikatakan bid'ah, sama sekali tidak mempunyai dasar.

Adapun berjabatan tangan selepas shalat adalah bid'ah. Hal ini tidak diregukan lagi, kecuali antra dua orang yang tidak pernah bertemu sebelumnya, maka dalam kondisi itu berjabatan tangan memang disunnahkan. *)

(Dikutip dari: "Silsilah Hadits Shahih" karya Al-Muhadits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Pustaka Mantiq, Buku I th 1995, hal 38 - 44)

BEBAN SYAR’I UNTUK ORANG YANG KEHILANGAN INGATAN DAN PINGSAN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah masih ada beban-beban syar’i bagi orang yang kehilangan ingatan dan orang yang pingsan ?

Jawaban
Sesungguhnya Allah mewajibkan berbagai bentuk ibadah kepada manusia jika memang ia berhak diberi beban kewajiban, yaitu ia harus berakal yang bisa digunakan untuk mengetahui segala sesuatu. Sedangkan orang yang tidak berakal tidak diberi kewajiban-kewajiban syar’i. Oleh karena itu orang gila, anak kecil dan orang yang belum baligh tidak diberi kewajiban syariat. Dan ini adalah rahmat Allah. Contoh lainnya adalah orang yang akalnya tidak normal meski belum sampai pada tingkat gila, atau orang tua yang sudah kehilangan ingatan maka tidak wajib atasnya shalat dan puasa karena ingatannya telah hilang yang mana ia sama kedudukannya seperti bayi yang tidak bisa membedakan . Maka terlepaslah beban syariat darinya.

Adapun kewajiban yang terkait dengan harta tetap harus ditunaikan meskipun ia telah kehilangan ingatan. Zakat misalnya, ia harus ditunaikan atas hartanya, maka orang yang mengurusnya harus mengeluarkan zakatnya, karena kewajiban zakat itu kaitannya dengan harta, sebagaimana firman Allah :

“Artinya : Ambillah dari harta mereka”

Dan tidak dikatakan “Ambillah dari mereka”.

Nabi juga berkata kepada Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman

“Artinya : Dan beritahukanlah kepda mereka bahwa Allah mewajibkan zakat pada harta mereka yang diambil dari orang kaya dan dikembalikan kepada orang miskin diantara mereka” [1]

Dari dasar ini maka kewajiban harta tidak hilang karena hilangnya ingatan. Adapun ibadah badan seperti shalat, bersuci dan shaum menjadi tidak wajib bagi orang ini karena ia tidak berakal.

Sedangkan orang yang hilang akalnya karena pingsan disebabkan sakit atau semisalnya maka menurut kebanyakan ahli ilmu ia tidak wajib shalat. Jika pingsannya sampai satu hari atau dua hari maka ia tidak wajib mengqadhanya, karena ia tidak berakal. Ia tidak seperti orang tidur yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya.

“Artinya : Barangsiapa yang tertidur dari melakukan shalat atau terlupa maka hendaklah ia shalat saat telah ingat” [2]

Karena orang yang tidur masih memiliki kesadaran, artinya bila dibangunkan ia akan bisa bangun, sedangkan orang yang pingsan meskipun dibangunkan ia tidak bisa bangun. Hal ini jika pingsannya alami tanpa disengaja. Adapun jika pingsannya karena sebab tertentu seperti karena pembiusan dan semisalnya maka ia harus mengqadha shalat yang ditinggalkannya saat pingsan. Wallahu a’lam.


APA YANG HARUS DILAKUKAN TERHADAP SESEORANG YANG TIDAK SADAR SELAMA DUA BULAN?

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada seorang lelaki yang tidak sadar selama 2 bulan dan ia tidak shalat dan tidak puasa ramadhan selama itu. Kiranya apa yang harus ia kerjakan setelahnya ?

Jawaban
Ia tidak mempunyai kewajiban apa-apa karena hilangnya ingatannya, namun jika Allah mentakdirkannya siuman kembali maka ia harus mengqadha puasanya. Bila ia ditakdirkan meninggal maka ia tidak mempunyai kewajiban apa-apa kecuali bila sebelumnya ia termasuk orang yang mempunyai udzur tetap, seperti karena tua dan sebagainya maka walinya wajib menggantinya dengan memberi makan orang miskin setiap hari (sebanyak jumlah puasa yang ditinggalkan).

Adapun untuk shalat, para ulama berbeda menjadi dua pendapat :

[1]. Pendapat jumhur ulama yaitu tidak ada qadha baginya karena ada riwayat bahwa Ibnu Umar radhiyallahu anhuma pernah pingsan sehari semalam dan tidak mengqadha shalat yang ditinggalkannya.[3]

[2]. Dia wajib mengqadhanya, dan ini adalah madzhab ulama sekarang dan madzhab Hambali. Dikatakan dalam “Inshaf” : Hal ini kekayaan perbendaharaan madzhab, dan ini diriwayatkan dari Ammar bin Yasir bahwa ketika beliau pingsan tiga hari beliau mengqadha apa yang ditinggalkannya. [4]


[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka Arafah]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Ahmad 5/231, Tirmidzi, Kitab Iman, Bab : Tentang Kehormatan Shalat (2616), Nasa’i dalam “Al-Kubra”, Kitab Tafsir, Bab FirmanNya “Mereka menjauhkan punggung mereka dari tempat tidur” (11394). Ibnu Majah, Kitab Fitan, Bab Menjaga Lisan saat terjadi fitnah (3973), Tirmidzi berkata hadits hasan shahih.
[2]. Sudah ditakhrij
[3]. Dikeluarkan Bukhari : Kitab Mawaqit Bab Barang siapa lupa dari shalatnya maka hendaklah shalat ketika mengingatnya. Dan Muslim : Kitab masajid Bab : Qadha shalat yang tertinggal.
[4]. Dikeluarkan oleh Malik Bab Ma-ja’a fi jamiil waqti (23)

Sabtu, 24 Maret 2006 - 20:13:34, Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA, LC.

Kategori : Kajian Khusus

Fatwa Ulama Tentang Karikatur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

HUKUM MEMBOIKOT PRODUK DENMARK
Fatwa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
(Anggota Hai`ah Kibarul Ulama Saudi Arabia)


Pertanyaan: Bila kita mengetahui bahwa pemerintah tidak memerintahkan kita untuk memboikot produk Denmark dan tidak melarang, apakah boleh bagi saya pribadi untuk memboikot mereka? Karena saya tahu bahwa mereka akan dirugikan dengan pemboikotan tersebut. Itu dilakukan dalam rangka membela Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Jawab: Masalah ini ada perinciannya:
Pertama, apabila pemerintah memerintahkan untuk memboikot suatu negara, maka wajib bagi seluruh warga negaranya untuk memboikotnya. Karena ini merupakan maslahat untuk mereka sendiri dan merugikan musuh. Juga dalam rangka taat kepada pemerintah.
Kedua, jika pemerintah tidak menyuruh untuk memboikotnya, maka masing-masing warga negara dipersilahkan memilih. Bila dia mau, silahkan memboikot sendiri. Dan bila tidak, dia bebas untuk tidak melakukannya. Dia dipersilahkan untuk memilih dalam masalah ini. (Dari Tanya-Jawab setelah Pelajaran “Prinsip-prinsip Menimba Ilmu dan Kaidah-kaidahnya” pada hari Kamis 11 Muharram 1427 H)

PEMBELAAN TERHADAP RASUL YANG TERPILIH
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali


Media massa, baik surat kabar ataupun yang lainnya, telah menyebarkan berita-berita menyedihkan dan melukai (umat), yang bersumber dari musuh-musuh Islam yang dengki dan terputus dari kebaikan, yang menyudutkan agama dan Nabi Islam.
(Yaitu) perbuatan yang mengandung celaan terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjelek-jelekkan risalahnya, yang muncul dari individu maupun organisasi Nasrani yang menyimpan kedengkian. Juga dari sebagian penulis yang dengki dan orang yang tidak peduli, seperti para karikaturis sebuah surat kabar Denmark, Jylland Posten, di mana para karikaturisnya menghina sebaik-baik manusia dan Rasul paling sempurna, yaitu Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, bumi tidak pernah mengetahui ada seseorang yang lebih cerdas dan lebih mulia daripada beliau dalam hal akhlak, keadilan, dan kasih sayang. Serta tidak pernah diketahui satu risalah pun yang lebih sempurna, lebih menyeluruh, lebih adil, dan lebih kasih sayang daripada risalah beliau. Risalah ini mengandung keimanan terhadap seluruh Nabi dan Rasul, menghormati mereka dan menjaga mereka dari tikaman dan penghinaan serta menjaga/ memelihara hakekat sejarah mereka. Dan di antara para rasul tersebut adalah ‘Isa dan Musa 'alaihimassalam. Maka barangsiapa yang kafir terhadap Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menghinanya berarti ia telah kafir terhadap para rasul dan menghina mereka seluruhnya.
Dan sungguh orang-orang rendahan dan buas itu telah mengolok-olok beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka telah membuat beragam karikatur, berjumlah 12 karikatur yang sangat menghina. Salah satunya, menampilkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan mengenakan sorban yang menyerupai bom di atas kepalanya.
Maka kami katakan kepada orang-orang jahat itu dan yang di belakang mereka dari kalangan pendengki baik di Eropa maupun Amerika, yang “telah melemparkan kotorannya lalu ia lari”1:
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, para khalifahnya yang terbimbing, dan para shahabatnya yang mulia tidak pernah membuat pabrik-pabrik senjata, meskipun itu persenjataan kuno sekalipun, baik pedang maupun tombak. Lebih-lebih bom atom dan rudal antarbenua, serta semua jenis senjata pemusnah massal. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membuat satu pabrik pun, karena beliau diutus sebagai rahmat bagi alam semesta dan pemberi petunjuk bagi seluruh manusia kepada agama yang menggembirakan mereka di dunia dan akhirat. Dan agar mereka dapat memberikan hak Pencipta mereka yang telah menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya. Maka barangsiapa menolak hal itu, berarti dia seorang penjahat yang berhak mendapatkan hukuman di dunia dan di akhirat dari Rabb semesta alam, Pengatur dan Pencipta alam semesta ini.
Adapun kalian wahai orang-orang Barat yang sok mengaku modern, kami nyatakan kepada kalian bahwa sesungguhnya kalian memiliki aturan dan perundang-undangan yang menghancurkan akhlak dan membolehkan berbagai perkara yang haram. Di antaranya zina dan penyimpangan seksual. Di antaranya juga riba, yang menghancurkan ekonomi umat. Juga menghalalkan makan bangkai dan daging babi yang mengakibatkan sifat dayyuts, sehingga seorang lelaki tidak akan merasa cemburu terhadap istrinya, saudara wanitanya, dan anak perempuannya. Kemudian wanita-wanita itu berzina dan mencari pasangan kumpul kebo semaunya. Dan ini adalah sarana-sarana penghancur yang diharamkan oleh semua risalah para rasul.
Adapun bom dan seluruh persenjataan pemusnah serta sarana-sarananya baik berupa pesawat tempur, tank-tank, rudal jelajah, maka sesungguhnya kalianlah para insinyur dan produsennya. Semua itu dengan akal setan kalian, yang tidak berpikir kecuali dalam rangka permusuhan, kedzaliman dan kekerasan, melampaui batas dan menguasai seluruh jenis manusia serta memperbudak mereka, menumpahkan darah dan merampok kekayaan mereka. Dan tidak berpikir kecuali untuk menghancurkan orang yang menentang dan menghalangi kemauan kalian, serta menghalangi sikap permusuhan kalian. Semuanya itu dipoles dengan nama kemajuan, membela hak asasi manusia, kebebasan, dan keadilan.
Dan semua orang yang berakal mengetahui adanya hal itu pada diri kalian. Sejarah hitam kalian juga penuh dengan tindakan-tindakan buas dan teror. Itulah sejarah kalian yang telah ditulis oleh musuh maupun teman kalian sendiri. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui hal itu, silahkan membaca sejarah penjajahan kalian terhadap bangsa-bangsa, dan mempelajari paling tidaknya sejarah dua perang dunia yang kalian lancarkan serta akibat-akibatnya. Yang di antaranya adalah bahwa jumlah korban yang terbunuh pada Perang Dunia I di Eropa mencapai lebih dari 10 juta jiwa, yang mereka itu adalah generasi muda di negeri mereka. Dan berlipat dari jumlah itu, yang terluka dan harus hidup dalam keadaan cacat sampai akhir hayatnya. Lihat buku At-Tarikhul Mu’ashir Urubba minats Tsaurah Al-Faransiyyah ilal Harbil ‘Alamiyyah Ats-Tsaniyah, hal. 505.
Dan pada Perang Dunia II, jumlah korban terbunuh mencapai 17 juta jiwa dari militer dan 18 juta penduduk sipil. Mereka telah terbunuh dalam kurun waktu 5,5 tahun. Para pengamat mengatakan bahwa dana militer saja yang dikeluarkan telah mencapai 1.100 miliar dolar. Adapun kerugian yang diakibatkan oleh perang tersebut mencapai 2.100 miliar dolar. Ditambah lagi kota-kota yang hancur porak-poranda, tanah-tanah yang terbakar, kebun-kebun yang terendam air, pabrik dan sumber daya alam yang terhenti aktivitasnya. Belum lagi adanya potongan tubuh hewan yang berceceran. (Al-Harbul ‘Alamiyyah Ats-Tsaniyah, karya Ramadhan Land, hal. 448-449)

Bom Atom Hiroshima
Penulis kitab Al-Harbul ‘Alamiyyah Ats-Tsaniyah, pada hal. 446-447 mengatakan: Barangkali saat ini tepat bagi kita mengulas bom atom yang pertama ini. Kami akan menyebutkan apa yang telah disampaikan melalui kesaksian seorang Jepang dalam perbincangannya bersama Marcel Junod, yang mewakili Palang Merah, tentang hakekat ledakan yang dahsyat itu. Ia berkata: “Tiba-tiba muncul sinar berwarna merah muda kehitaman yang kuat sekali di langit, diiringi goncangan yang dahsyat. Kemudian langsung disusul dengan gelombang panas yang mematikan, hembusan angin yang keras, dan meluluh-lantakkan semua yang dilewati. Dan hanya dalam hitungan detik, terbakarlah ribuan manusia yang tengah berjalan atau duduk-duduk di jalanan umum di tengah kota itu. Banyak dari mereka tewas karena udara yang amat panas yang menyebar di setiap tempat. Adapun yang lain yang masih tersisa, mereka menjerit kesakitan, sementara tubuh mereka mengalami luka bakar yang mematikan. Semua yang berdiri di atas lokasi ledakan baik tembok, rumah, pabrik-pabrik dan bangunan-bangunan lain telah hancur sama sekali. Dan serpihan-serpihannya terlempar ke angkasa dengan cara yang mengerikan. Trem listrik terlepas dari rel-rel besinya dan terlempar seolah-olah kehilangan bobot dan keseimbangannya. Kereta-kereta api dengan sendirinya terhempas laiknya kumpulan mainan anak-anak. Kuda, anjing, dan hewan-hewan lain juga mengalami seperti yang dialami manusia. Semua yang hidup kehilangan kehidupannya dengan kondisi yang sangat mengenaskan, yang sulit untuk diungkapkan. Pepohonan pun musnah terbakar, hilang dalam jilatan api dan sirna kehijauannya. Rumput-rumput yang hijau pun terbakar sebagaimana terbakarnya rumput yang kering. Adapun daerah di luar tempat kejadian dalam radius 10 km, rumah-rumahnya roboh dan menjadi tumpukan papan-papan kayu, genteng, dan tiang-tiang batu. Telah hancur segala sesuatu, ibarat hancurnya rumah-rumah karton. Sementara orang-orang yang selamat, mereka mendapati diri mereka terkepung api. Sedangkan sedikit orang yang mampu berlindung di tempat tersembunyi, mereka mati setelah 20 atau 30 hari karena sakit yang disebabkan radiasi sinar gamma yang mematikan. Dan di sore harinya, api mulai mereda sehingga mati, karena tidak mendapatkan lagi apa yang akan dilalap. Hiroshima telah tiada.”
Inilah sebagian tanda-tanda ‘kemajuan’ kalian, yang kalian nyanyikan, kalian banggakan, dan dengannya kalian lancang terhadap Islam dan Nabi Islam. Dan terus saja kalian menambah beragam kedzaliman, perusakan dan menciptakan alat-alat pemusnah dan penghancur. Dan itu, demi Allah, adalah puncak kebuasan dan sifat kehewanan. Allah berfirman:

“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqan: 44)
Maka jadikanlah bom-bom kalian, di antaranya bom atom Hiroshima dan yang lainnya, sebagai tameng bagi kalian dan para pemimpin kalian. Dan jadikanlah seluruh senjata pemusnah massal itu sebagai taring dan cakar kalian untuk memangsa binatang-binatang dan manusia.


“Dan niscaya orang-orang yang dzalim akan mengetahui ke mana tempat kembali mereka.” (Asy-Syu’ara`: 227)
Ditulis oleh: Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali (28 Dzulhijjah 1426 H)

1 Dalam pepatah Indonesia: lempar batu sembunyi tangan.

APA HUKUM PERKATAAN FULAN SYAHID ?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Apa hukum perkataan, 'fulan Syahid ?'.

Jawaban.
Jawaban atas hal itu adalah bahwa seseorang dikatakan syahid itu dengan dua sisi yaitu :

Pertama.
Hendaknya terikat dengan suatu sifat, seperti : Dikatakan bahwa setiap orang yang dibunuh fisabillah adalah syahid, orang yang dibunuh karena membela hartanya adalah syahid, orang yang mati karena penyakit thaun adalah syahid dan yang semacamnya. Ini adalah boleh sebagai mana yang terdapat dalam nash, dan karena kamu menyaksikan dengan apa yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang kami maksud boleh adalah tidak dilarang. Jika menyaksikan hal itu, maka wajiblah membenarkan khabar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kedua.
Menentukan syahid bagi seseorang, seperti kamu mengatakan kepada seseorang, dengan menta'yin bahwa dia syahid. Ini tidak boleh kecuali yang disaksikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau umat sepakat atas kesyahidannya. Al-Bukhari dalam menerangkan hal ini ia berkata : Bab. Tidak Boleh Mengatakan Si Fulan Syahid. Ia berkata dalam Al-Fath Juz 6 halaman. 90, yaitu tidak memvonis syahid kecuali ada wahyu. Seakan dia mengisyaratkan hadits Umar, bahwa beliau berkhutbah. "Dalam peperangan, kalian mengatakan bahwa si fulan syahid, dan si fulan telah mati syahid. Mudah-mudahan perjalanannya tenang. Ketahuilah, janganlah kalian berkata demikian, akan tetapi katakanlah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : Barangsiapa mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia syahid". Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Sa'id bin Manshur dan lainnya dari jalur Muhammad bin Sirrin dan Abi Al-A'jafa' dari Umar.

Karena persaksian terhadap suatu hal yang tidak bisa kecuali dengan ilmu, sedang syarat orang menjadi mati syahid adalah karena ia berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang tinggi. Ini adalah niat batin yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda sebagai isyarat akan hal itu.

"Artinya : Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan Allah lebih tahu siapa yang berjihad di jalan-Nya...." [Bukhari : 2787]

Dan sabda beliau.
"Artinya : Demi Dzat diriku berada ditangan-Nya tidaklah seseorang terluka di jalan Allah kecuali datang dihari kiamat sedang lukanya mengalir darah, warnanya warna darah dan baunya bau Misk" [Hadits Riwayat Bukhari : 2803]

Akan tetapi orang yang secara dhahirnya baik, maka kami berharap dia syahid. Kami tidak bersaksi atas syahidnya dia dan juga tidak berburuk sangka kepadanya. Raja' (berharap) itu satu posisi di antara dua posisi (bersaksi dan buruk sangka), akan tetapi kita memperlakukannya di dunia dengan hukum-hukum syahid, jika ia terbunuh dalam jihad fi sabilillah. Ia dikubur dengan darah di bajunya tanpa menshalatinya. Dan untuk syuhada' yang lain, dimandikan, dikafani dan dishalati.

Karena, kalau kita bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid konsekwensinya adalah kita bersaksi bahwa ia masuk surga. Mereka tidak bersaksi atas seseorang dengan surga kecuali dengan sifat atau seseorang yang disaksikan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa boleh kita bersaksi atas syahidnya seseorang yang umat sepakat memujinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah termasuk yang berpendapat seperti ini.

Dengan ini, maka menjadi jelas bahwa kita tidak boleh bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid kecuali dengan nash atau kesepakatan. Akan tetapi bila dhahirnya baik maka kita berharap demikian sebagaimana keterangan diatas, dan cukuplah nasihat tentang ini, sedangkan ilmunya ada di sisi Sang Pencipta.


[Disalin dari buku Majmu' Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Bab Aqidah, hal. 208-210 Pustaka Arafah]

HUKUM KHITAN

Oleh
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah
Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah.

Yang paling rajih hukum khitan adalah wajib, ini yang ditujukkan oleh dalil-dalil dan mayoritas pendapat ulama. Perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah tsabit terhadap seorang laki-laki yang telah ber-Islam untuk berkhitan. Beliau bersabda kepadanya :

"Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah". Ini merupakan dalil yang paling kuat atas wajibnya khitan.

Berkata Syaikh Al-Albani dalam 'Tamamul Minnah hal 69 :

"Adapun hukum khitan maka yang tepat menurut kami adalah wajib dan ini merupakan pendapatnya jumhur seperti Imam Malik, Asy-Syafi'i, Ahmad dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Qayyim. Beliau membawakan 15 sisi pendalilan yang menunjukkan wajibnya khitan. Walaupun satu persatu dari sisi tersebut tidak dapat mengangkat perkara khitan kepada hukum wajib namun tidak diragukan bahwa pengumpulan sisi-sisi tersebut dapat mengangkatnya. Karena tidak cukup tempat untuk menyebutkan semua sisi tersebut maka aku cukupkan dua sisi saja :

[1]. Firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Kemudian Kami wahyukan kepadamu ; 'Ikutilah millahnya Ibrahim yang hanif" [An-Nahl : 123]

Khitan termasuk millah Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi
Hurairah yang telah lalu. Sisi ini merupakan hujjah yang terbaik sebagaimana kata Al-Baihaqi yang dinukil oleh Al-Hafidzh (10/281).

[2]. Khitan termasuk syi'ar Islam yang paling jelas, yang dibedakan dengan seorang muslim dari seorang nashrani. Hampir-hampir tidak dijumpai dari kaum muslimin yang tidak berkhitan" [selesai ucapan Syaikh]"

Kami tambahkan sisi ke tiga yang menunjukkan wajibnya khitan. Al-Hafizh menyebutkan sisi ini dalam 'Fathul Baari (10/417)' dari Imam Abu Bakar Ibnul Arabi ketika ia berbicara tentang hadits : "Fithrah itu ada lima ; khitan, mencukur rambut kemaluan ....". Ia berkata :

"Menurutku kelima perkara yang disebutkan dalam hadits ini semuanya wajib. Karena seseorang jika ia meninggalkan lima perkara tersebut tidak tampak padanya gambaran bentuk anak Adam (manusia), lalu bagaimana ia digolongkan dari kaum muslimin" (Selesai ucapan Al-Imam)"

Hukum khitan ini umum bagi laki-laki dan wanita, hanya saja ada sebagian wanita yang tidak ada pada mereka bagian yang bisa dipotong ketika khitan yaitu apa yang diistilahkan klitoris (kelentit). Kalau demikian keadaannya maka tidak dapat dinalar bila kita memerintah mereka untuk memotongnya padahal tidak ada pada mereka.

Berkata Ibnul Hajj dalam Al-Madkhal (3/396) :

"Khitan diperselisihkan pada wanita, apakah mereka dikhitan secara mutlak atau dibedakan antara penduduk Masyriq (timur) dan Maghrib (barat). Maka penduduk Masyriq diperintah untuk khitan karena pada wanita mereka ada bagian yang bisa dipotong ketika khitan, sedangkan penduduk Maghrib tidak diperintah khitan karena tidak ada bagian tersebut pada wanita mereka. Jadi hal ini kembali pada kandungan ta'lil (sebab/alasan)".



[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud fi Sunnatil Muththarah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak dalam Sunnah yang Suci, hal 110-112 Pustaka Al-Haura]

HUKUM BERJABAT TANGAN DENGAN KERABAT DAN MENCIUM MEREKA

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya sering kali berkunjung kepada keluarga dan kerabat dekat saya, setelah perpisahan selama terkadang enam bulan dan terkadang satu tahun penuh. Sampai di rumah, para wanita baik kecil ataupun dewasa telah menyambut saya. Mereka mencium saya dengan malu-malu dan sebenarnya dapat dikatakan ini adalah adat yang sudah tersebar (mendarah daging) sekali bagi kami, dan tidak ada maksud apa-apa karena hal tersebut menurut mereka bukanlah suatu perbuatan haram. Tetapi saya yang alhamdulillah memperoleh sedikit pendidikan yang Islami, merasa bingung dalam masalah ini. Bagaimana saya bisa menolak ciuman mereka. Perlu diketahui kalau saya tidak menjabat tangan mereka, sungguh mereka akan marah besar kepada saya dan akan berkata : “Dia tidak menghormati kita, tidak memuliakan kita dan tidak mencintai kita (cinta yang mengikat antara anggota keluarga bukan yang mengikat antara pemuda dan pemudi). Apakah saya melakukan maksiat apabila saya mencium mereka, perlu dipahami bahwa saya tidak mempunyai niat buruk dalam hal tersebut ?

Jawaban
Seorang muslim tidak diperbolehkan menjabat tangan atau mencium selain istrinya dan mahramnya, bahkan hal tersebut termasuk sesuatu yang diharamkan dan sebab-sebab terjadinya fitnah serta timbulnya perzinaan dan telah diriwayatkan dalam hadits shahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya saya tidak menjabat tangan wanita”

‘Aisyah berkata :
“Tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan perempuan (bukan mahramnya) sama sekali. Ketika bai’at, mereka hanya maba’iatnya dengan perkataan”

Saya tidak membenarkan perbuatan berjabat tangan dengan wanita selain mahramnya dan menciumnya baik mereka adalah putri-putri paman dari bapak atau putri-putri paman dari ibu atau dari kabilah lainnya, semua itu diharamkan dengan ijma’ kaum muslimin, dan termasuk sarana yang paling besar untuk terjadinya perzinahan yang diharamkan.

Maka wajib atas setiap orang muslim untuk berhati-hati dari perbuatan tersebut dan menjelaskan kepada semua kerabat dan selain mereka yang terbiasa dengan hal tersebut, bahwa hal tersebut adalah perbuatan yang diharamkan meskipun biasa dilakukan oleh manusia.

Setiap laki-laki muslim dan wanita muslimah tidak diperbolehkan untuk mengerjakannya meskipun keluarga dekat atau penduduk negaranya terbiasa melakukannya. Bahkan ia wajib menolak hal tersebut dan mengingatkan masyarakat dari hal tersebut. Dan cukup dengan mengucapakan salam tanpa berjabat tangan dan berciuman.

[Kitab Fatawa Da’wah, Syaikh Bin Baz, hal. 186]


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerbit Darul Haq]

Ahad, 29 Juni 2003 - 14:54:59, Penulis : Al Ustadz Lukman Baabduh

Kategori : Problema Anda

JUAL BELI DENGAN SISTEM KREDIT
[Print View] [kirim ke Teman]

Kepada ustadz, saya mempunyai pertanyaan dan mohon penjelasannya.
Bagaimana hukumnya jual-beli barang dengan sistem kredit? Apakah sama dengan riba? Demikian pertanyaan saya, atas jawaban ustadz, saya ucapkan jazakallahu khairan katsiran.

Halimah
asy-syauqiyyah@plasa.com

Dijawab oleh:
Al Ustadz Luqman Baabduh

Jual beli dengan sistem kredit (cicilan), yang ada di masyarakat digolongkan menjadi dua jenis:
Jenis pertama, kredit dengan bunga. Ini hukumnya haram dan tidak ada keraguan dalam hal keharamannya, karena jelas-jelas mengandung riba.
Jenis kedua, kredit tanpa bunga. Para fuqaha mengistilahkan kredit jenis ini dengan Bai’ At Taqsiith. Sistem jual beli dengan Bai’ At Taqsiith ini telah dikaji sejumlah ulama, di antaranya:

As-Syaikh Nashirudin Al Albani

Dalam kitab As-Shahihah jilid 5, terbitan Maktabah Al Ma’arif Riyadh, hadits no. 2326 tentang “Jual Beli dengan Kredit”, beliau menyebutkan adanya tiga pendapat di kalangan para ulama. Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang tidak memperbolehkan menjual dengan kredit apabila harganya berbeda dengan harga kontan (yaitu lebih mahal, red). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satuTirmidzi, bahwa Rasulullah transaksi jual beli.

As Syaikh Al Albani menjelaskan, maksud larangan dalam hadits tersebut adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: Jika kamu membeli dengan kontan maka harganya sekian, dan apabila kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi).

Hal ini sebagaimana ditafsirkan oleh Simaak bin Harb dalam As Sunnah (karya Muhammad bin Nashr Al Marwazi), Ibnu Sirin dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 hal. 137 no. 14630, Thoowush dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14631, Ats Tsauri dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14632, Al Auza’i sebagaimana disebutkan oleh Al Khaththaabi dalam Ma’alim As Sunan jilid 5 hal. 99, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam Shahih Ibni Hibban jilid 7 hal. 225, dan Ibnul Atsir dalam Ghariibul Hadits.

Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya bersabda:Rasulullah
“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”

Misalnya seseorang menjual dengan harga kontan Rp 100.000,00, dan kredit dengan harga Rp 120.000,00. Maka ia harus menjual dengan harga Rp 100.000,00. Jika tidak, maka ia telah melakukan riba.

Atas dasar inilah, jual beli dengan sistem kredit (yakni ada perbedaan harga kontan dengan cicilan) dilarang, dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba.

As-Syaikh Muqbil bin Hadi Al Waadi’i

Dalam kitabnya Ijaabatus Saailin hal. 632 pertanyaan no. 376, beliau menjelaskan bahwa hukum jual beli seperti tersebut di atas adalah dilarang, karena mengandung unsur riba. Dan beliau menasehatkan kepada setiap muslim untuk menghindari cara jual beli seperti ini.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An melarang transaksi jual beli (2Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah harga) dalam satu transaksi jual beli.

Namun beliau menganggap lemahnya hadits Abu Hurairah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”

Hal ini sebagaimana disebutkan beliau dalam kitabnya Ahaadiitsu Mu’allah Dzoohiruha As Shahihah, hadits no.369.

Dalam perkara jual beli kredit ini, kami nukilkan nasehat As-Syaikh Al Albani:
“Ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa cara jual beli yang seperti ini yang telah banyak tersebar di kalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli At Taqsiith (kredit), dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan harga kontan, adalah cara jual beli yang tidak disyari’atkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, di mana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia, dan kasih sayang terhadap mereka serta meringankan beban mereka, sebagaimana sabda yang diriwayatkan Al Imam Al Bukhari :Rasulullah
“Allah merahmati seorang hamba yang suka memberi kemudahan ketika menjual dan ketika membeli…”

Dan kalau seandainya salah satu dari mereka mau bertakwa kepada Allah, menjual dengan cara kredit dengan harga yang sama sebagaimana harga kontan, maka hal itu lebih menguntungkan baginya, juga dari sisi keuntungan materi. Karena dengan itu menyebabkan sukanya orang membeli darinya, dan diberkahinya oleh Allah pada rejekinya, sebagaimana firman Allah:

… Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath Thalaq: 2-3)

Demikian nasehat dari As-Syaikh Al Albani. Sebagai kesimpulan, kami nasehatkan kepada kaum Muslimin, hendaknya memilih cara kontan jika menghadapi sistem jual beli semacam ini.
Wallahu a’lamu bisshawaab.

BAGAIMANA HUKUM BERKHITAN BAGI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Bagaimana hukum berkhitan bagi laki-laki dan perempuan?"

Jawaban.
Hukum berkhitan masih dalam perselisihan ulama, namun yang paling dekat dengan kebenaran adalah bahwa khitan hukumnya wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan, dan letak perbedaan antara keduanya adalah khitan bagi laki-laki memiliki kemaslahatan yang berhubungan dengan syarat diterimanya shalat yaitu thaharah, karena jika qulfah (ujung kemaluan) itu dibiarkan, maka kencing yang keluar dari qulfah tersebut sisa-sisanya akan tertinggal disitu dan terkumpullah air di qulfah tersebut sehingga bisa menyebabkan rasa sakit waktu kencing. Atau dengan adanya qulfah yang belum dipotong, maka bila ada sesuatu keluar darinya, qulfah itu akan bernajis.

Sedangkan bagi perempuan, berkhitan hanya merupakan tujuan yang di dalamnya terdapat faedah, yaitu untuk mengurangi syahwat, ini adalah tuntunan terkait dengan kesempurnaan, bukan untuk menghilangkan rasa sakit.

Para ulama telah mensyaratkan tentang kewajiban berkhitan selama dia itu tidak takut terhadap dirinya, karena jika ia khawatir atas dirinya berupa kebinasaan atau sakit, maka hukumnya tidak wajib, karena kewajiban itu tidak menjadi wajib dengan adanya sesuatu yang tidak mampu dilaksanakan (udzur syar'i), atau karena takut akan ada kerusakan atau ada bahaya.

Adapun dalil-dalil yang menerangkan tentang wajibnya berkhitan bagi laki-laki sebagai berikut.

Pertama.
Hal itu terdapat dalam banyak hadits yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk berkhitan bagi orang yang masuk Islam. [Musnad Imam Ahmad 3/415] sedang asal sesuatu perintah itu wajib.

Kedua.
Khitan berfungsi untuk membedakan antara kaum muslimin dan nashrani, sehingga kaum muslimin mengetahui mereka untuk dibunuh di medan perang,
mereka berkata : khitan merupakan pembeda, jadi jika khitan itu merupakan pemdeda. maka hukumnya wajib, karena adanya kewajiban perbedaan antara kaum muslimin dan orang kafir, dan dalam hal ini haram menyerupai orang-orang kafir, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum itu".

Ketiga.
Bahwa khitan adalah memotong sesuatu dari badan, sedangkan memotong sesuatu dari badan itu hukumnya haram, padahal haram itu sendiri tidak boleh dilaksanakan kecuali adanya sesuatu yang wajib, maka dengan demikian khitan itu statusnya menjadi wajib.

Keempat.
Bahwa khitan itu harus dilaksanakan oleh walinya anak yatim dan harus melibatkan anak yatim dan hartanya, karena orang yang mengkhitan itu akan diberi upah seadainya khitan ini tidak wajib maka tidak boleh mempergunakan harta dan badan, ini adalah alasan ma'tsur dan logis yang menunjukkan atas wajibnya berkhitan bagi laki-laki.

Sedangkan bagi perempuan tentang wajibnya khitan masih dalam perbedaan pendapat, namun pendapat yang sudah jelas adalah bahwa khitan wajib bagi laki-laki bukan perempuan, di sana ada hadits dhaif yang berbunya : "khitan itu sunnah yang menjadi kewajiban bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan" [Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 5/75] seandainya hadits ini benar, maka hadits ini menjadi pemutus hukum tersebut.


[Majmu Fatawa Arkanil Islam, Edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Bab Ibadah, hal 258-269 Pustaka Arafah]

Jum'at, 24 Februari 2006 - 02:52:27, Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

Kategori : Kajian Utama

Kitab Fadha`il Al-A'mal dalam Timbangan As-Sunnah
[Print View] [kirim ke Teman]

Bagi yang mengenal Jamaah Tabligh, kelompok yang ‘berdakwah’ keliling dari masjid ke masjid, besar kemungkinan akan mengetahui Kitab Fadha`il Al-A’mal, buku wajib yang dipegangi dan dijadikan rujukan kelompok tersebut dalam ‘berdakwah’. Bagi para ‘pendakwah’ mereka ataupun orang-orang yang ‘berlatih dakwah’ bersamanya, kedudukan kitab itu di sisi mereka setara dengan Kitab Shahih (Al-Bukhari Muslim).


Membicarakan Fadha`il Al-A’mal, kitab yang ditulis Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi, tentu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan sebuah kelompok shufiyyah yang para pengikutnya kini semakin menjamur di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kelompok inilah yang dikenal dengan nama Jamaah Tabligh. Adanya hubungan yang erat di antara keduanya karena Jamaah Tabligh menjadikan kitab ini sebagai salah satu sandaran dalam mengamalkan rutinitas harian mereka, baik dibaca di beberapa waktu sehabis shalat fardhu atau menjadikannya sebagai ta’lim akhir malam sebelum tidur, tergantung kesempatan yang diberikan masjid setempat. Atau tergantung waktu yang memungkinkan bagi mereka untuk melakukannya secara rutin. Hal ini menunjukkan demikian pentingnya peranan kitab ini dalam membentuk fikrah dan akidah seorang tablighi (pengikut Jamaah Tabligh –red). Sebab, apa yang mereka dengarkan tentunya akan diupayakan untuk diwujudkan menjadi suatu amalan dalam berislam.
Sehingga kami memandang perlu untuk menjelaskan kepada umat tentang kedudukan kitab ini berdasarkan timbangan As-Sunnah dan memperingatkan mereka dari berbagai kesalahan dan penyimpangan yang terdapat dalam pembahasannya.
Secara umum, kitab ini banyak memuat hadits-hadits Rasulullah n yang lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya, dan banyak penukilan perkataan kaum shufi yang jika seseorang meyakini hal tersebut, dapat menjerumuskannya kepada kesesatan dan penyimpangan. Wal ‘iyadzu billah.
Asy-Syaikh Hamud bin Abdullah At-Tuwaijiri v berkata dalam kitabnya Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir Min Jama’ah At-Tabligh (hal. 11-12):
“Kitab terpenting bagi orang yang menjadi tablighiyyin adalah kitab Tablighi Nishab (Fadha`il Al-A’mal), yang ditulis salah seorang pemimpin mereka bernama Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi. Dan mereka memiliki perhatian demikian besar terhadap kitab ini dan mengagungkannya sebagaimana Ahlus Sunnah mengagungkan kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim), dan kitab-kitab hadits lainnya. Para tablighiyyin telah menjadikan kitab kecil ini sebagai sandaran dan referensi baik bagi orang India, maupun bangsa ‘ajam (non Arab) lainnya yang mengikuti ajaran mereka. Dalam kitab ini termuat berbagai kesyirikan, bid’ah khurafat, serta banyak sekali hadits-hadits palsu dan lemah. Maka hakekatnya, ini merupakan kitab jahat, sesat, dan fitnah. Kaum tablighiyyin telah menjadikannya sebagai referensi untuk menyebarkan bid’ah dan kesesatannya, melariskan serta menghiasinya di hadapan kaum muslimin awam, sehingga mereka lebih sesat jalannya dari hewan ternak.”1
Adapun secara rinci, maka pembahasan kami bagi menjadi beberapa sub bahasan:

Pertama: Al-Kandahlawi dan Takhrij Haditsnya
Sebagaimana yang telah kita sebutkan bahwa kitab ini banyak memuat hadits-hadits lemah, mungkar, palsu, bahkan tidak ada asalnya. Terkadang sebagian riwayat tersebut diketahui penulisnya. Namun sangat disayangkan, takhrij hadits itu tidak diterjemahkan ke dalam bahasanya, di mana kitab ini ditulis dalam bahasa Urdu (salah satu bahasa resmi di Asia Selatan, red.), kemudian dibaca mayoritas kaum muslimin yang tidak mengerti bahasa Arab. Mereka pun menganggap baik kitab ini dan menyangka bahwa semuanya boleh dijadi-kan sebagai hujjah. Selanjutnya mereka membaca lalu menjadikannya sebagai keyakinan. Maka terjerumuslah mereka dalam penyimpangan dan kesesatan. Demikian pula ketika kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Malaysia, tidak diterjemahkan takhrij haditsnya. Ini menyebabkan para tablighi dan simpatisannya membaca kitab tersebut tanpa membedakan antara hadits-hadits yang bisa diterima dan yang tertolak. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa contoh tentang apa yang kami sebutkan:
1. Disebutkan dalam kitab Fadha`il Al-A’mal, bab Fadhilah Adz-Dzikr2 hadits dari ‘Umar bin Al-Khaththab z berkata: Rasulullah n bersabda:


Ketika Adam telah berbuat dosa, ia pun mengangkat kepalanya ke atas langit kemudian berdoa: “Aku meminta kepada-Mu berkat wasilah Muhammad, ampunilah dosaku.” Maka Allah berfirman kepadanya: “Siapakah Muhammad (yang engkau maksud)?” Maka Adam menjawab: “Maha berkah nama-Mu ketika engkau menciptakan aku, akupun mengangkat kepalaku melihat Arsy-Mu, dan ternyata di situ tertulis: Laa ilaaha illallah Muhammadun Rasulullah. Maka akupun mengetahui bahwa tidak seorang pun yang lebih agung kedudukannya di sisi-Mu dari orang yang telah engkau jadikan namanya bersama dengan nama-Mu.” Maka Allah berfirman kepadanya: “Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah Nabi terakhir dari keturunanmu, kalaulah bukan karena dia, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu.”
Hadits ini diterjemahkan begitu saja tanpa menerjemahkan takhrij hadits yang disebutkan Al-Kandahlawi. Dia berkata setelah itu: “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir, Al-Hakim, Abu Nu’aim, Al-Baihaqi yang keduanya dalam kitab Ad-Dala`il, Ibnu ‘Asakir dalam Ad-Durr, dan dalam Majma’ Az-Zawa`id (disebutkan): Diriwayatkan Ath-Thabrani dalam Al-Ausath dan Ash-Shaghir, dan dalam (sanad)-nya ada yang tidak aku kenal. Aku berkata: Dan dikuatkan yang lainnya berupa hadits yang masyhur: “Kalau bukan karena engkau, aku tidak menciptakan jagad raya ini”, Al-Qari berkata dalam Al-Maudhu’at: “Hadits ini palsu.”
Cobalah pembaca perhatikan. Hadits ini pada hakekatnya telah diketahui oleh penulisnya sebagai hadits yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, bahkan tidak dikuatkan dengan adanya jalan (sanad) lain. Namun ucapan ini tidak diterjemahkan, sehingga para pembaca kitab ini menyangka bahwa hadits ini termasuk hadits yang bisa diamalkan. Rincian kedudukan hadits ini bisa dilihat dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (1/25) dan kitab At-Tawassul mulai hal. 105, dst. Kedua kitab tersebut karya Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani v, di mana beliau menghukumi hadits tersebut sebagai hadits palsu.
2. Disebutkan pula dalam kitab tersebut, pada bab yang sama4, hadits dari Anas z bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq z menemui Nabi n dalam keadaan bersedih. Maka Nabi n bertanya kepadanya, “Mengapa aku melihatmu bersedih?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, semalam aku berada di sisi anak pamanku, si fulan yang telah meninggal dunia.” Maka Rasul bertanya, “Apakah engkau mentalqinnya dengan Laa ilaaha illallah?” Ia menjawab, “Telah kulakukan, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya, “Ia mengucapkannya?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Telah wajib baginya surga.” Abu Bakar bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang yang masih hidup mengucapkan kalimat itu?” Beliau bersabda, “Kalimat itu merontokkan dosa-dosa mereka. Kalimat itu merontokkan dosa-dosa mereka.”
Hadits ini pun disebutkan tanpa diterjemahkan takhrijnya, padahal Al-Kandahlawi mengomentari hadits tersebut dengan mengatakan: “Diriwayatkan Abu Ya’la, dalam sanadnya terdapat Za`idah bin Abi Raqqad, ditsiqahkan (dianggap terpercaya, red.) oleh Al-Qawariri, namun dilemahkan Al-Imam Al-Bukhari dan yang lainnya5. Demikian yang terdapat dalam Majma’ Az-Zawa`id6.”
Perkataan ini tertulis dalam bahasa Arab, sehingga tidak pernah dibaca para pembacanya.
3. Disebutkan pula pada bab yang sama7 hadits Abdullah bin Abi Aufa z, dia berkata: Rasulullah n bersabda: “Barangsiapa mengucapkan:



maka Allah akan menuliskan baginya 2.000.000 kebaikan.”
Hadits ini diterjemahkan pula maknanya tanpa menerjemahkan komentarnya yang mengatakan: “Diriwayatkan At-Thabrani, demikian dalam At-Targhib dan Majma’ Az-Zawa`id. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Faid Abul Warqa, ia ditinggalkan haditsnya (matruk).”
Dan hal yang seperti ini sangat banyak kita dapatkan dalam kitab ini.

Kedua: Hadits Lemah, Palsu dan bahkan Tidak Ada Asalnya
Di samping poin pertama yang kami sebutkan, di dalam kitab ini pun banyak sekali termuat hadits-hadits yang lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya dalam kitab-kitab sunnah, tanpa ada komentar sedikit pun. Padahal Rasulullah n telah melarang umatnya untuk meriwayatkan satu ucapan kemudian menisbahkannya kepada beliau tanpa ada penelitian tentang kebenaran riwayat tersebut, atau menukilkan pendapat para ulama yang dijadikan sebagai sandaran dalam menghukumi suatu riwayat. Rasulullah n bersabda:

“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya, diriwayatkan lebih dari seratus shahabat g)

“Cukuplah seseorang dianggap berdusta dengan mengatakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)
Disebutkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i v ketika beliau menyebutkan beberapa hal yang menjadi kritikan atas Jamaah Tabligh: “Membacakan hadits-hadits yang lemah, palsu, dan tidak ada asalnya. Padahal Rasulullah n bersabda: ‘Hindarilah banyak memberitakan hadits dariku. Maka barangsiapa yang menisbahkan kepadaku, maka hendaklah mengucap-kan kebenaran atau kejujuran. Barangsiapa mengada-ada sesuatu atasku yang aku tidak ucapkan, maka hendaklah dia persiapkan tempat duduknya dalam neraka’. (HR. Al-Imam Ahmad, dari hadits Abu Qatadah)8
Dan berikut ini akan kami sebutkan pula beberapa contoh tentang hal ini:
1. Disebutkan dalam bab Fadhilah Shalat, hal. 288, hadits yang berbunyi:
“Shalat akan membuat mulut setan menjadi hitam dan akan mematahkan punggungnya.” (Jami’us Shaghir)
Dalam kitab Al-Jami’ush Shagir berbunyi demikian, yang artinya: “Shalat itu menghitamkan wajah setan, dan sedekah itu akan mematahkan punggungnya.” Hadits ini merupakan hadits yang sangat lemah. Karena dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abdullah bin Muhammad bin Wahb Al-Hafizh. Ad-Daruquthni berkata tentangnya: “Matruk (ditinggalkan haditsnya).” Dan ada perawi lain bernama Zafir bin Sulaiman. Adz-Dzahabi berkata tentang dia: “Lemah sekali.” Dan hadits ini sangat dilemahkan oleh Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 3560.
2. Disebutkan dalam bab Fadhilah Adz-Dzikr hal. 432, ia berkata: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n pernah bersabda: “Berpikir sesaat lebih baik daripada beribadah enam puluh tahun.”
Padahal hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana telah diterangkan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, 1/173. Adapun riwayat yang shahih, dengan lafadz:

“Berdirinya seseorang di jalan Allah sesaat lebih afdhal dari beribadah selama enam puluh tahun.” Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/1901.
3. Demikian pula yang disebutkan dalam bab Fadhilah Al-Qur`an, hal. 644, bahwa barangsiapa mengkhatamkan Al-Qur`an di siang hari, maka malaikat akan mendoakannya hingga malam hari, dan barangsiapa yang menamatkannya di awal malam, maka para malaikat mendoakan-nya hingga pagi hari.
Padahal hadits inipun lemah, sebagaimana telah diterangkan Al-’Allamah Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, 10/4591.

Ketiga: Membawa Pemahaman Kaum Shufiyyah
Kitab ini banyak sekali menukil afkar (pemikiran) kaum Shufiyyah yang dapat menjerumuskan kaum muslimin ke dalam berbagai penyimpangan yakni kerusakan aqidah, sikap ekstrim dalam beribadah, dan semisalnya. Oleh karenanya, sangatlah wajar jika kitab ini menjadi buku pegangan seorang tablighi, dikarenakan Jamaah Tabligh merupakan kelompok yang dibangun di atas empat tarekat shufiyyah: Naqsyabandiyyah, Jusytiyyah, Sahrawardiyyah, dan Qadiriyyah.9
Berikut ini, akan kami nukilkan pula beberapa perkataan yang dinukilkan dari kaum Shufiyyah:
Disebutkan pada bab Fadhilah Shalat, hal. 316-317, Al-Kandahlawi berkata: Asy-Syaikh Abdul Wahid rah. a10, seorang sufi yang masyhur, mengatakan bahwa pada suatu hari beliau didatangi rasa kantuk yang luar biasa, sehingga beliau tertidur sebelum menyelesaikan dzikir malam itu. Di dalam mimpinya beliau melihat seorang gadis berpakaian sutera hijau yang amat cantik sementara seluruh tubuh hingga kakinya sibuk berdzikir. Gadis tersebut bertanya kepada beliau, adakah keinginan beliau untuk memilikinya? Dia mencintai beliau, kemudian dibacanya beberapa bait syair. Setelah bangun dari tidurnya, beliau bersumpah bahwa beliau tidak akan tidur pada malam hari. Diriwayatkan bahwa selama 40 tahun beliau shalat shubuh dengan wudhu shalat ‘Isya.
Dalam kisah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Pertama: Bahwa Allah k telah melarang kita untuk berbuat ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beribadah, dan memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya sesuai dengan kemampuan. Sehingga, agama ini menghendaki agar seorang muslim mengerjakan ibadah tersebut dalam keadaan nasyath (giat), sehingga mampu mengerjakan ibadah tersebut dalam keadaan khusyu’ dan sesempurna mungkin. Dan apabila ia dalam keadaan mengantuk, maka dianjurkan baginya beristirahat hingga rasa kantuk tersebut hilang.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik z, dia berkata: Ketika Nabi n memasuki masjid, ternyata ada sebuah tali yang terbentang di antara dua tiang, lalu beliau bertanya, “Tali apa ini?” Mereka menjawab, “Tali ini milik Zainab11, jika ia lesu (berdiri untuk shalat), diapun bergantung dengannya.” Maka Nabi n bersabda: “Lepaskan (tali) itu. Hendaklah salah seorang kalian shalat di saat giatnya. Jika ia lesu, maka hendaklah ia tidur.”
Demikian pula yang diriwayatkan dari hadits Aisyah x bahwa Rasulullah n bersabda:

“Jika salah seorang kalian dalam keadaan mengantuk, sementara dia shalat. Maka hendaklah ia tidur sampai hilang rasa kantuknya. Karena sesungguhnya jika salah seorang kalian shalat dalam keadaan mengantuk, dia tidak mengetahui. Jangan sampai dia hendak beristighfar lalu tanpa sadar ia mencerca dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Kedua: Bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah n. Dan di antara petunjuk Rasulullah n dalam melaksanakan shalat malam adalah apa yang beliau sebutkan dalam haditsnya, yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash c bahwa Rasulullah n bersabda:


“Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Dawud p. Beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Dawud p, beliau tidur di pertengahan malam, bangun di sepertiga malam, dan tidur seperenam malam.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Disebutkan pula dalam kitab ini, hal. 484 dari Syaikh Waliullah yang berkata dalam kitab Qaulul Jamil: “Ayah saya telah berkata bahwa ketika saya baru belajar suluk, dalam satu nafas dianjurkan supaya membaca Laa ilaaha illallah sebanyak dua ratus kali,” Syaikh Abu Yazid Qurtubhi berkata: “Saya mendengar bahwa barang-siapa membaca kalimat Laa ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali, ia akan terbebas dari api neraka. Setelah mendengar hal itu, saya membaca untuk istri saya sesuai dengan nishab12 tersebut. Tidak lupa, saya juga membaca untuk nishab diri saya sendiri. Di dekat saya, tinggal seorang pemuda yang terkenal sebagai ahli kasyaf13. Dia juga kasyaf tentang surga dan neraka. Namun saya agak meragukan kebenarannya. Pada suatu ketika, pemuda tersebut ikut makan bersama kami. Tiba-tiba ia berkata dan meminta kepada saya sambil berteriak, katanya: “Ibu saya masuk neraka, dan telah saya saksikan keadaannya.” Karena melihat kegelisahan pemuda tersebut, saya berpikir untuk membacakan baginya satu nishab bacaan saya untuk menyelamatkan ibunya, di samping juga untuk mengetahui kebenaran mengenai kasyaf-nya. Maka, saya membacanya sebanyak 70.000 kali sebagai nishab yang saya baca untuk diri saya itu, guna saya hadiahkan kepada ibunya. Saya meyakini dalam hati bahwa ibunya pasti selamat. Tidak ada yang mendengar niat saya ini kecuali Allah k. Setelah beberapa waktu, pemuda tersebut berteriak, “Wahai paman, wahai paman, ibu saya telah bebas dari api neraka.” Dari pengalaman itu, saya memperoleh dua manfaat: Pertama, saya menjadi yakin tentang keutamaan membaca Laa ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali, karena sudah terbukti kebenarannya. Kedua, saya menjadi yakin bahwa pemuda tersebut benar-benar seorang ahli kasyaf.”
Cobalah perhatikan kisah ini. Jika seorang muslim membaca dan meyakini cerita khurafat ini, maka dia akan terjatuh ke dalam berbagai penyimpangan, di antaranya:
Menetapkan wirid tertentu dengan bilangan yang telah ditetapkan, lalu menyebutkan keutamaannya, yang semuanya tidak bersumber dari pembawa syariat: Rasulullah n. Dan ini jelas merupakan bid’ah yang jahat dan menyesatkan. (silahkan baca kembali Majalah Asy-Syari’ah Vol. I/No. 07/1425 H/2004, Bid’ahnya Dzikir Berjamaah)
Apa yang disebut sebagai ahli kasyaf adalah dusta belaka. Karena tidak seorang pun yang dapat mengetahui nasib seseorang di akhirat, apakah dia pasti masuk ke dalam surga ataukah neraka, kecuali yang dikabarkan Allah k kepada hamba yang dikehendaki-Nya dari kalangan para rasul-Nya. Firman-Nya:

“(Dialah) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)
Dan penukilan-penukilan yang seperti ini banyak sekali terdapat dalam kitab Fadha`il Al-A’mal, karya Muhammad Zakaria tersebut. Sehingga, hendaklah kaum muslimin berhati-hati dari kitab ini, dan mencari kitab-kitab yang jauh lebih selamat, yang bisa mengantarkan seseorang untuk mengamalkan Sunnah Rasulullah n, seperti kitab Shahih Al-Bukhari pada kitab Ar-Raqa‘iq, Al-Adab, dan yang semisalnya. Demikian pula Shahih Muslim pada kitab Ad-Dzikr dan Al-Bir Wash-Shilah Wal-Adab, dan kitab-kitab sunnah yang lainnya. Atau seperti Riyadhus Shalihin, karya Al-Imam An-Nawawi, Al-Kalim Ath-Thayyib, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah14, dan masih banyak lagi kitab-kitab sunnah yang jauh lebih baik dan selamat dari berbagai penyimpangan.
Wallahu a’lam.

1 Al-Qaulul Baligh, hal. 11-12
2 Hal. 497, versi Bahasa Indonesia, terbitan Ash-Shaff, Yogyakarta, Sya’ban tahun 1421 H.
3 Dalam cetakan tersebut terdapat kekurangan dalam penukilan lafadz Arabnya, maka disempurnakan oleh penulis dari referensi lainnya.
4 Hadits no. 32, hal. 503
5 Al-Imam Al-Bukhari tidak hanya melemahkannya, bahkan menghukuminya: munkarul hadits. Dan bila Al-Imam Al-Bukhari menghukumi seorang rawi dengan hukum ini, maka maksudnya adalah tidak dihalalkan mengambil riwayat dari perawi tersebut, sebagaimana yang telah diriwayatkan Ibnul Qaththan bahwa Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Semua yang aku tetapkan sebagai munkarul hadits maka tidak halal mengambil riwayat darinya.” (Mizanul I’tidal, 1/119, tarjamah Aban bin Jabalah Al-Kufi)
6 Fadhilah Dzikr, hal 504.
7 Hal. 507, hadits ke-35
8 Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 96
9 Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir min Jama’ah At-Tabligh, Hamud At-Tuwaijiri, hal. 11
10 Demikian tertulis, maksudnya radhiallahu anhu.
11 Terjadi silang pendapat tentang Zaenab yang dimaksud dalam hadits ini. Ada yang mengatakan Zaenab bintu Jahsy, salah seorang Ummul Mukminin. Ada pula yang mengatakan Hamnah bintu Jahsy, yang memiliki nama lain Zaenab. Karena semua anak perempuan Jahsy dipanggil dengan nama Zainab. (Dalil Al-Falihin, 1/287)
12 Nishab artinya bahagian.
13 Ahli kasyaf adalah seseorang yang mampu melihat segala hal ghaib, karena hijab telah diangkat darinya. Begitulah anggapan mereka, namun hakekatnya semua itu adalah bohong belaka.
14 Yang keduanya telah ditakhrij dan ditahqiq hadits-haditsnya oleh Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani v

TIDAK ADA ISTILAH KULIT DALAM AGAMA

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Bagaimana hukum syari’at tentang orang yang mengatakan bahwa mencukur jenggot dan memendekkan pakaian merupakan kulit dan bukan dasar agama, atau tentang orang yang menertawakan orang yang melakukannya ?

Jawaban
Ungkapan ini sangat berbahaya dan merupakan kemungkaran yang besar. Tidak ada istilah kulit dalam agama, tapi semuanya adalah isi, kebaikan dan perbaikan. Agama terbagi menjadi pokok dan cabang. Masalah jenggot dan memendekkan pakaian merupakan masalah cabang, bukan pokok, namun demikian, tidak boleh menyebut sesuatu di antara perkara-perkara agama sebagai kulitnya. Dikhawatirkan orang yang mengatakan ungkapan semacam itu akan terjebak ke dalam pengurangan dan olokan sehingga menyebabkan keluar dari agama. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok ? Tidak usah kamu minta ma’af, karena kamu kafir sesudah beriman” [At-Taubah : 65-66]

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk memelihara jenggot, membiarkannya tumbuh dan menyuburkannya serta memotong kumis dan memendekkannya. Yang seharusnya adalah mentaatinya dan mengagungkan perintah dan larangannya dalam segala perkara. Abu Muhammad Ibnu Hazm menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat bahwa memelihara jenggot dan memotong kumis termasuk perkara yang diperintahkan. Adalah kebinasaan dan kerugian serta akibat yang buruk bagi yang bermaksiat terhadap Allah dan RasulNya. Begitu pula meninggikan pakaian hingga di atas mata kaki, merupakan perkara yang diperintahkan, berdasarkan sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Bagian yang melebihi mata kaki yang tertutup pakaian, maka termpatnya di neraka” [Hadits Riwayat Al-Bukahri dalam Shahihnya, kitab Al-Libas 5787]

Juga berdasarkan sabdanya.

“Artinya : Tiga golongan yang Allah tidak berbicara kepada mereka di hari kiamat, tidak pula memandang kepada mereka serta tidak mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih : Yang mengungkit-ngungkit pemberian dan yang mempromosikan barang dagangannya dengan sumpah palsu” [Hadits Riwayat Muslim dengan Shahihnya, kitab Al-Iman 106]

Beliau juga bersabda.

“Artinya : Allah tidak akan memandang kepada orang yang menyeret pakaiannya karena sombong” [Muttafaq ‘Alaih : Al-Bukhari dalam kitab Al-Libas 5783, Muslim dalam kitab Al-Libas 2085]

Seharusnya seorang muslim bertakwa kepada Allah, meninggikan pakaiannya, baik itu gamis, kain atau celana, dan tidak melebihi mata kakinya. Yang lebih utama adalah antara pertengahan betis dan mata kaki. Jika isbal (melabuhkan ujung pakaian melebihi mata kaki) itu dilakukan dengan rasa sombong, maka dosanya lebih besar lagi. Jika dilakukan karena meremehkan, bukan karena sombong, maka ia seorang yang mungkar dan berdosa, tapi dosanya tidak seperti orang yang sombong. Tidak diragukan lagi, bahwa isbal bisa menjadi sarana menuju kesombongan, walaupun pelakunya mengatakan bahwa ia melakukannya bukan karena sombong. Lain dari itu, karena ancaman yang tersebut dalam sejumlah hadits bersifat umum. Dari itu tidak boleh meremehkannya.

Adapun kisah Abu Bakar As-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu yang berkata kepada kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Sesungguhnya salah satu ujung kainku melorot, kecuali bila aku memeganginya”

Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Engkau tidak termasuk orang yang melakukannya karena rasa sombong” [Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam kitab Al-Libas 5784]

Demikian ini yang terjadi pada Ash-Shiddiq, ia selalu menjaganya dan berusaha menepatinya. Sedangkan orang yang sengaja mengulurkan pakaiannya (hingga melebihi mata kakinya), ia tercakup dalam ancaman tersebut, tidak seperti Ash-Shidiq. Tentang isbal ini, di samping adanya ancaman sebagaimana yang telah disebutkan di atas tadi, ada keburukan lainnya, yaitu berlebihan, mudah terkena kotoran dan najis serta menyerupai wanita. Semua ini wajib dihindari oleh setiap muslim. Hanya Allahlah yang kuasa memberi petunjuk dan hanya Dia-lah petunjuk kepada jalan yang benar.

[Majalah Ad-Da’wah, nomor 1608, Syaikh Ibn Baz]


[Disalin dari bukuAl-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Terbitan Darul Haq]

HUKUM MENYIAPKAN MAKANAN PADA TANGGAL DUA PULUH TUJUH RAJAB

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kami memiliki banyak kebiasaan yang kami warisi (dari orang tua kami) dalam hal perayaan pada waktu-waktu tertentu, seperti : membuat kue-kue dan biscuit ketika hari raya Idul Fithri, menyiapkan makanan dan buah-buahan pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab atau pada malam pertengahan Sya’ban, serta beberapa jenis makanan pada hari raya Asy-Syura. Apa hukumnya menurut syaria’t ?

Jawaban
Menunjukkan kebahagian dan kesenangan pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha tidak apa-apa bila masih dalam batas-batas syari’at. Misalnya kedatangan orang-orang untuk makan-makan dan minum-minum atau yang sejenisnya, berdasarkan dalil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.

“Artinya : Hari-hari Tasyrik adalah hari makan, minum dan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”

Yaitu pada tiga hari setelah hari raya Idul Adha, yang pada saat itu manusia menyembelih binatang dan memakan dagingnya serta menikmati rizki yang diberikan oleh Allah. Demikian pula pada hari raya Idul Fithri, tidak dilarang untuk menunjukkan kegembiraan dan kesenangan selama tidak melewati batas yang ditetapka syari’at.

Adapun merayakan hari kedua puluh tujuh bulan Rajab atau malam pertengahan bulan Sya’ban atau hari Asyura, perbuatan itu tidak ada dasarnya sama sekali, bahkan terlarang. Bagi setiap muslim tidak wajib hukumnya untuk menghadiri perayaan semacam itu apabila diundang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Hendaklah kalian menghindari perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”

Malam kedua puluh tujuh bulan Sya’ban dikira banyak orang sebagai malam di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di mi’rajkan oleh Allah. Ini semua tidak ada dasarnya menurut sejarah. Setiap yang tidak berdasar adalah bathil, dan semua yang didasarkan kepada kebathilan adalah bathil. Meski misalnya peristiwa itu terjadi pada malam dua puluh tujuh, maka tetap saja tidak boleh bagi kita untuk menjadikannya sebagai perayaan atau bentuk ibadah, karena hal itu tidak pernah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya, padahal mereka adalah manusia yang paling gemar mengikuti sunnahnya dan melaksanakan syari’atnya. Bagaimana mungkin diperbolehkan bagi kita untuk menetapkan apa yang tidak pernah ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun pada zaman sahabat ?

Demikian juga malam nisfu Sya’ban, tidak ada ketetapan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk merayakan atau mengagungkannya. Akan tetapi yang ada adalah menghidupkannya dengan dzikir dan shalat, tidak dengan makan-makan, bersuka cita atau merayakannya.

Sedangkan pada hari Asyura, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa pada hari itu, beliau mengatakan bahwa puasa pada hari itu menghapus dosa-dosa setahun yang lalu. Tidak diperbolehkan pada hari tersebut untuk mengadakan semacam perayaan atau menunjukkan kesedihan, karena bersenang-senang maupun menunjukkan kesedihan pada hari ini bertentangan dengan sunnah. Tidak ada riwayat dari Nabi selain untuk mengerjakan puasa pada hari itu, juga diperintahkan untuk berpuasa sehari sebelumnya atau setelahnya untuk menyelisihi apa yang dilaksanakan oleh orang-orang Yahudi yang berpuasa pada hari itu saja.

[Fatawa Mar’ah 1/11]


[Disalin dari kitab Al-fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq]

TARAHUM [MENDO'AKAN RAHMAT KEPADA SEORANG YANG SUDAH MENINGGAL DENGAN UCAPAN RAHIMAHULLAHU] TERHADAP ORANG YANG MENYELISIHI I'TIQAD SALAF

Oleh
Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani ditanya : Apa pendapatmu –wahai syaikh- tentang orang-orang yang tidak memperbolehkan tarahum (Mendoakan rahmat kepada seorang yang telah meninggal dengan ucapan rahimahullahu Pent.) terhadap orang-orang yang menyelisihi ‘i’tiqad salaf seperti an-Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqolani, Ibnu Hazm dan Ibnul Jauzi serta orang-orang yang semisal mereka dari (ulama) salaf. Juga tokoh-tokoh kholaf (kontemporer) seperti al-Banna dan Sayyid Quthb. Mengingat anda telah mengetahui dengan baik apa yang ditulis oleh Hasan al-Banna dalam bukunya Mudzakkirat ad-Da’wah wad-Da’iyah dan Sayyid Quthb dalam bukunya Fi Zhilalil Qur’an??

Jawaban
Kami berkeyakinan bahwa rahmat dan tarahum diperbolehkan bagi seluruh muslim dan diharamkan bagi seluruh orang kafir. Jawaban ini merupakan furu’ (cabang) dari i’tiqad yang dimiliki oleh jiwa seseorang. Jadi, barangsiapa yang meyakini bahwa orang-orang yang disebutkan dalam pertanyaan tadi adalah muslim, maka jawabannya adalah telah diketahui –sebagaimana yang telah saya katakan barusan- yaitu boleh mendoakan ‘semoga Allah merahmati dan mengampuni mereka’. Dan siapapun yang menganggap bahwa mereka yang disebut dalam pertanyaan tadi adalah bukan muslim, maka tarahum tidaklah diperbolehkan. Inilah jawabanku berkenaan dengan apa yang datang dari pertanyaan tadi.

Penanya : Mereka mengatakan bahwa hal ini termasuk manhaj salaf, dimana mereka (salaf sholih, pent.) tidak melakukan tarahum terhadap mubtadi’ (pelaku bid’ah). Konsekuensinya, orang-orang yang disebutkan di dalam pertanyaan pertama tadi dianggap sebagai mubtadi’ dan mereka tidak melakukan tarahum kepada mereka.

Syaikh : Kami telah katakan tadi, bahwa rahmat atau tarahum diperbolehkan bagi setiap muslim dan tidak boleh bagi seluruh orang kafir. Jika ini benar, maka pertanyaan kedua tadi tidak memiliki dasar. Jika ini tidak benar, maka (pertanyaan kedua tadi) memiliki dasar untuk didiskusikan. Bukankah mereka yang telah dihukumi oleh sebagian ulama sebagai mubtadi’, mereka tetap disholati? Dan termasuk I’tiqod salaf yang disepakati oleh kholaf adalah, bahwa kita sholat di belakang muslim yang shalih sebagaimana pula kita shalat di belakang muslim yang fajir, kita juga menshalati orang yang shalih maupun yang fajir. Adapun orang kafir –di sisi lain- tidak boleh disholati. Oleh karena itu, orang yang disebutkan dalam pertanyaan –mau tidak mau- disebut sebagai ahlul bid’ah. Lantas haruskah mereka disholati ataukah tidak?. Saya sebenarnya tidak berkeinginan mendiskusikan hal ini melainkan karena terpaksa. Jika jawabannya adalah mereka harus disholati, maka jawabannya selesai sampai di sini. Pembahasan telah selesai dan tak ada lagi tempat untuk mendiskusikan pertanyaan kedua tadi, sebagaimana yang akan dilakukan oleh nuhat (ahli nahwu). Jika tidak boleh mensholatinya, maka kesempatan untuk diskusi terbuka dan dapat dilanjutkan…

Penanya : Jika dikatakan, kita tidak mensholatinya dikarenakan mereka termasuk mubtadi’! Lantas apakah jawabanmu?

Syaikh : Apa dalilnya?

Penanya : Mereka menggunakan af’alus salaf (amalan para salaf) sebagai dalil, dan mereka membedakan antara ahlul maksiat dengan ahlul bid’ah yang mengada-adakan kebid’ahan di dalam agama. Para salaf terdahulu, mereka tidak mensholati ahlul bid’ah ataupun bermajlis dengan mereka serta bermuamalah dengan mereka. Berdasarkan ini mereka membangun dakwaannya.

Syaikh : Pertanyaannya tadi apa?

Penanya : Kita menshalati mereka ataukah tidak?

Syaikh : Tidak! anda meluaskan jawaban anda dari pertanyaanku tadi dan anda kehilangan maksud dari pertanyaanku. Pertanyaanku tadi adalah, ‘apa dalilnya?’ Dan anda menjawab dengan dalil ‘dakwaan’. Padahal dakwaan tidak sama dengan dalil. Sedangkan anda menyatakan bahwa mereka mendakwakan sholat jenazah tidak dilakukan bagi mubtadi’.
Penanya : Tidak ada dalil –ya syaikh-, mereka beragumentasi dengan amalan para salaf.

Syaikh : Apakah amalan salaf itu dalil?

Penanya : Itu yang mereka dakwakan.

Syaikh : Manakah dalil dari dakwaan ini?

Penanya : Dalilnya biasanya sangat umum pada perkara ini.

Syaikh : Bukankah para ulama melakukan muqotho’ah (pemutusan hubungan) dengan individu-individu tertentu yang melakukan kemaksiatan dan kebid’ahan? Lantas, apakah ini artinya mereka menghukuminya sebagai kafir?

Penanya : Tidak.

Syaikh : Tidak! Sebab mereka masih menganggap mereka sebagai muslim. Kita tidak memiliki pendapat/sikap pertengahan antara muslim dan kafir. Jika mereka ini muslim maka diperlakukan sebagai muslim atau jika mereka kafir diperlakukan sebagaimana kafir. Kita tidak memiliki pendapat pertengahan sebagaimana pendapatnya mu’tazilah, yang menyatakan ada tempat diantara dua tempat (manzilah baina manzilatain) –yaitu diantara muslim dan kafir-. Selanjutnya, semoga Allah memberkahimu, hal ini murni merupakan pendapat belaka –yaitu para salaf tidak mensholati mubtadi’ secara umum-. Ini merupakan pendapat belaka yang diusung oleh para pemuda yang multazim (berpegang dengan sunnah) yang mengambil beberapa perkara dengan semangat yang meluap-luap tanpa disertai ilmu yang benar berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam.

Saya telah menunjukkan pada anda suatu hakikat yang tidak mungkin dua orang berbeda pendapat tentangnya, yaitu tentang apakah orang tersebut muslim atau kafir. Jika ia seorang muslim, menurut dari apa yang dia zhahir (tampak)-kan maka ia disholati, bahkan –sebagai tambahan- hartanya diwarisi oleh ahli warisnya, mayatnya dimandikan dan dikafani, serta ia dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Jika ia kafir, maka ia dihempaskan seperti biji dan dikuburkan di pekuburan kaum kafir. Kita tidak punya pendapat pertengahan tentang hal ini.

Kendati demikian, jika ada seseorang yang tidak turut menshalati seorang muslim –atau para ulama tidak mau menshalatinya-, hal ini tidaklah menunjukkan bahwa mensholati orang ini adalah tidak boleh. Hal Ini menunjukkan bahwa para salaf sedang menunjukkan suatu hikmah dan menunjukkan beberapa hal yang tidak dapat dipenuhi oleh orang selainnya. Sebagamana kisah dalam sebuah hadits –yang harus kau ingat- di saat nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda dalam beberapa riwayat, “Shalatilah sahabatmu ini!”, sedangkan beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak turut menshalatinya. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Apakah nabi, yang tidak turut mensholati seorang muslim ini yang lebih utama (dijadikan dalil, pent.) ataukah ulama salafi yang menolak menshalati muslim yang lebih utama??

Penanya : Penolakan Nabi yang lebih utama!

Jawaban : hasanan! (anda benar). Penolakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam-lah yang lebih utama. Penolakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menshalati muslim tadi tidaklah menunjukkan bahwa menshalati muslim tersebut adalah dilarang. Maka jelaslah, bahwa para ulama salaf yang meninggalkan sholat jenazah tidaklah menunjukkan ketidakbolehan mensholatinya. Selanjutnya, taruhlah seandainya sholat jenazah tadi tidak boleh dilaksanakan. Apakah hal ini berarti seorang tidak boleh memohon rahmat dan maghfirah baginya –berdasarkan pandangan kita bahwa dia masih muslim-.

Singkatnya, penolakan sebagian ulama salaf dalam menshalati sebagian kaum muslimin pelaku bid’ah, tidaklah membatalkan keabsahan menshalatkan mereka. Mereka melakukan hal ini (tidak turut menshalati) dikarenakan termasuk dalam kategori umum tahdzir (peringatan) dari kejahatan –si mayit- agar orang-orang yang sepertinya mendapatkan pelajaran yang benar. Sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam terhadap seorang yang tidak dishalatinya. Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak menshalatinya? Penyebabnya adalah dia menyimpan beberapa bagian dari ghanimah untuk dirinya sendiri. Penolakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mensholatinya adalah lebih utama daripada penolakan para ulama salaf yang melakukan hal ini. Namun hal ini tidaklah meniadakan atau membatalkan keabsahan mensholati muslim pelaku bid’ah. Dari sini, perlu diteliti untuk mengetahui siapakah mubtadi’ itu dan siapakah kafir itu. Ada pertanyaan yang muncul pada pembahasan kali ini, yaitu apakah setiap orang yang jatuh kepada amalan kafir dengan serta merta ia menjadi kafir? Dan apakah setiap orang yang jatuh kepada amalan bid’ah dengan serta merta ia menjadi mubtadi’ ataukah tidak?

Penanya : Tidak!

Syaikh : Jika jawabannya tidak, maka kita dapat lanjut melihat kepada subyeknya. Jika subyeknya tidak jelas maka perlu diklarifikasi. Saya akan mengulang permasalahan yang menyangkut pertanyaan ini dengan beberapa tambahan terperinci. Apakah yang dimaksud dengan bid’ah? Bid’ah ialah perkara baru yang menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan pelakunya melakukan bid’ah ini dengan maksud menambah kedekatannya (taqarub) kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Apakah setiap orang yang melakukan kebid’ahan dengan serta merta menjadi mubtadi'?

Penanya : tidak

Syaikh : Lantas siapakah mubtadi' itu?

Penanya : Seseorang yang telah didatangkan padanya hujjah yang nyata dan meyakinkan dan ia tetap bersikeras melaksanakan kebid’ahannya.
Syaikh : Ahsan. Jadi, orang yang disebutkan –dalam pertanyaan pertama tadi- yang dinyatakan tidak boleh tarahum terhadap mereka, apakah hujjah telah ditegakkan kepada mereka? Allahu a’lam. Lantas apa dasar prinsip tentang mereka? Apakah mereka muslim atau kafir?

Penanya : Muslim.

Syaikh : Prinsip dasarnya adalah mereka muslim. Oleh karena itu, diperbolehkan tarahum terhadap mereka. Prinsip dasarnya sekali lagi adalah diperbolehkan kita memohon maghfirah dan rahmat kepada mereka. Bukankah ini masalahnya? Jadi permasalahan ini telah selesai. Kita tidak boleh mengadopsi madzhab baru ini, yaitu pendapat bahwa tarahum terhadap fulan dan fulan, atau ulama ini dan itu dari kaum muslimin, tidak boleh baik secara umum maupun mu’ayan (spesifik). Mengapa? Karena dua alasan yang tersimpulkan dari ucapanku tadi. Alasan pertama adalah mereka muslim. Alasan kedua adalah kalaupun seandainya kita tahu mereka adalah pelaku bid’ah, kita tidak tahu apakah hujjah telah ditegakkan ataukah belum, dan apakah mereka bersikeras melakukan kebid’ahannya dan melanjutkan kesesatannya ataukah tidak. Karena itu, saya katakan : diantara kesalahan fatal pada hari ini adalah, para pemuda muslim yang multazim dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, dikarenakan mengadopsi madzhab baru ini, mereka telah menyelisihi al-Qur'an dan as-Sunnah tanpa mereka sadari.

Konsekuensinya, berdasarkan madzhab mereka ini pula, saya berhak pula menghukumi mereka sebagai mubtadi’, dikarenakan mereka menyelisihi al-Qur'an dan as-Sunnah (dengan madzhab baru yang mereka adopsi ini, pent..)
Kendati demikian, saya takkan menyelisihi madzhabku sendiri (madzhab ahlus sunnah, pent.). Prinsip dasar yang berkenaan dengan pernyataan mereka (para pemuda yang semangat tadi, pent.) adalah, bahwa mereka adalah muslim dan mereka tidak bermaksud untuk mengada-adakan suatu bid’ah, serta mereka tidak menolak hujjah yang ditegakkan kepada mereka. Sesungguhnya kami berpendapat bahwa mereka melakukan kesalahan di saat mereka mencari kebenaran. Jika kita sadar akan hal ini, kita akan terhindar dari masalah yang merebak dewasa ini…


[Sumber : Transkrip kaset Haqiqotul Bid’ah wal Kufri, Silsilah Huda wa Nur, rekaman : Abu Laila al-Atsari, alih bahasa ke Indonesia : Abu Hudzaifah, dikoreksi dan dimuroja’ahkan dengan kaset aslinya oleh : Abu Salma, Risalah ini sedang diterjemahkan dan Insya Allah bulan depan akan disebarkan oleh FSMS Surabaya]

Jum'at, 24 Februari 2006 - 03:06:47, Penulis : Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari

Kategori : SHI

Janabah
[Print View] [kirim ke Teman]

Edisi lalu telah membahas sebagian hal yang berkaitan dengan orang junub. Berikut ini beberapa permasalahan yang masih tersisa tentang janabah.

4. Membaca Al-Qur`an
Ahlul ilmi berselisih pendapat tentang boleh tidaknya seorang yang junub membaca Al-Qur`an. Mayoritas ulama dari empat madzhab (jumhur ulama) berpendapat tidak boleh. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Umar ibnul Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib dan selain keduanya. Diriwayatkan pula pendapat ini dari Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, An-Nakha’i dan selain mereka. Al-Imam Malik berpendapat, wanita haid boleh membaca Al-Qur`an sesuai keinginannya, dan orang yang junub dibolehkan membaca dua ayat dan semisalnya. Sementara Abu Hanifah berpandangan hanya dibolehkan bila membacanya tidak sempurna satu ayat.1 (Al-Muhalla, 1/95, Al-Majmu’ 2/182, Al-Mughni kitab Ath-Thaharah Fashl Yuhramu ‘alal Junub Qira‘ah Ayah, Nailul Authar 1/317, Fatwa Lajnah Ad-Da‘imah 4/106-108, Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz 10/208-211)
Adapun mereka yang melarang sama sekali bagi orang junub untuk membaca Al-Qur`an berdalil dengan hadits ‘Ali z, ia berkata:

“Rasulullah n keluar dari WC, lalu beliau membaca Al-Qur`an dan makan bersama kami. Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi beliau dari Al-Qur`an kecuali janabah.”2
Namun hadits ini dhaif (lemah). Al-Imam Asy-Syaukani menyatakan hadits ini diperbincangkan keshahihannya (mutakallam fihi), dan juga dari sisi marfu’ atau mauqufnya (Nailul Authar 1/317). Asy-Syaikh Al-Albani v mendhaifkannya dalam Dha’if Kutubus Sunan dan Irwa`ul Ghalil no. 485.
Mereka yang melarang juga berdalil dengan hadits:



“Orang yang haid dan junub tidak boleh membaca sedikit pun dari Al-Qur`an.”3
Namun hadits ini juga lemah. Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil no. 192 dan Al-Misykat no. 461 melemahkan hadits ini dan beliau katakan hadits ini mungkar dalam Dha’if Sunan At-Tirmidzi dan Dha’if Sunan Ibnu Majah.
Dengan demikian, tidak ada dalil shahih lagi jelas dari Rasulullah n yang melarang orang junub membaca Al-Qur`an. Al-Imam Ibnu Hazm berkata: “Membaca Al-Qur`an, sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir kepada Allah n semuanya boleh dilakukan dengan berwudhu dan tanpa berwudhu terlebih dahulu, dan boleh dilakukan oleh orang yang junub dan haid. Dalil tentang hal ini adalah bahwa membaca Al-Qur`an, sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir kepada Allah k merupakan amalan-amalan kebaikan yang disenangi (mandub) lagi diberi pahala bagi pelakunya. Dengan demikian, siapa saja yang mengklaim perbuatan tersebut dilarang pada keadaan tertentu, maka ia punya tanggung jawab untuk mendatangkan dalil/ keterangan.”
Beliau juga menyatakan: “Telah datang atsar yang berisi larangan membaca Al-Qur`an bagi orang junub dan orang yang tidak berwudhu. Namun tidak ada satupun yang shahih. Kami telah menerangkan kelemahan sanad-sanadnya lebih dari satu tempat.” (Al Muhalla, 1/94-95)
Di antara ahlul ilmi yang berpendapat bolehnya orang junub membaca Al-Qur`an adalah Ibnu Abbas c dari kalangan shahabat Rasulullah n. Beliau pernah membaca surat Al-Baqarah dalam keadaan junub. Demikian pula Sa’id ibnul Musayyab, Sa’id bin Jubair, dan ini merupakan pendapat Dawud Azh-Dhahiri beserta seluruh pengikutnya (Syarhus Sunnah 2/43, Al Muhalla 1/96). Dan pendapat inilah yang penulis pegangi. Wallahu ta’ala ‘alam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah.

Faedah
Lebih utama seorang yang junub berwudhu terlebih dulu. Dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (2/489) ketika menerangkan hadits:

“Sungguh aku tidak suka berdzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci/berwudhu.”4
Asy-Syaikh Al-Albani v berkata: “Nabi n memakruhkan (tidak suka) berdzikir pada Allah k kecuali dalam keadaan beliau telah ber-thaharah. Hal ini menunjukkan bahwa membaca Al-Qur`an tanpa thaharah lebih utama lagi kemakruhannya. Maka tidak sepantasnya pendapat yang membolehkan orang yang berhadats membaca Al-Qur`an itu dimutlakkan (dibiarkan tanpa batasan tertentu) begitu saja, sebagaimana diperbuat oleh sebagian saudara-saudara kita dari kalangan ahlul hadits.”

5. Menyentuh mushaf
Jumhur ulama termasuk madzhab imam yang empat melarang orang yang junub menyentuh Al-Qur`an. Sementara kalangan ahlul ilmi yang lain berpendapat bolehnya orang yang junub menyentuh mushaf Al-Qur`an. (Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid hal. 45, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiyyah 1/23)
Sebab perselisihan pendapat ini adalah perbedaan dalam menafsirkan ayat ke-79 dari surat Al-Waqi’ah:



“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali al-muthahharun.”
Al-Muthahharun dalam ayat ini, menurut ulama yang melarang orang junub menyentuh Al-Qur`an dimaknakan dengan orang-orang yang suci dari hadats. Sementara orang yang junub tengah menanggung hadats besar sehingga tidak diperkenankan menyentuh mushaf Al-Qur`an.
Namun mayoritas mufassirin, ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dhamir (kata ganti hu bentuk nashab dari huwa) yang terdapat dalam firman Allah

adalah kitab yang terjaga/ terpelihara (kitabun maknun di Lauh Mahfuzh) yang berada di langit, sedangkan
الْمُطَهَّرُوْنَ
adalah para malaikat. (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an 11/ 659-660, Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 17/146, Ma’alimut Tanzil 4/262, Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir hal 1358-1359 dan yang lainnya)
Hal ini dipahami dari ayat sebelumnya:


“Sesungguhnya dia adalah qur`an/bacaan yang mulia dalam kitab yang terjaga/terpelihara, tidak ada yang menyentuhnya kecuali al-muthahharun.” (Al-Waqi’ah: 77-79)
Dikuatkan lagi dengan ayat Allah k:


“Di dalam kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para malaikat yang mulia lagi berbakti.” (‘Abasa: 13-16)
Adapula yang memaknakan al-muthahharun dengan kaum mukminin, dengan dalil firman Allah k:

“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis.”
Bila musyrikin dan kafirin itu najis berarti kaum mukminin suci, dan tidak ada yang boleh menyentuh Al-Qur`an kecuali mukminin, yaitu orang-orang yang beriman. Kesucian mukminin ini juga ditunjukkan dari sabda Nabi n kepada Abu Hurairah z yang menghindar dari Nabi n karena sedang ditimpa janabah:

“Sesungguhnya mukmin itu tidaklah najis.”5
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah v dalam tafsirnya terhadap ayat dalam surat Al-Waqi’ah tersebut, menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaukan adalah shuhuf (lembaran) yang ada di tangan para malaikat. Beliau menolak pendapat yang memaknakan al-muthahharun dengan kaum mukminin. Dengan alasan, bila yang dimaksud dalam ayat adalah kaum mukminin yang telah berwudhu (bersuci/ berthaharah), niscaya Allah k akan menyatakan dengan lafadz:


, sebagaimana Allah k berfirman:



“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri/ berthaharah.” (Al-Baqarah: 251) [At-Tafsirul Qayyim, hal. 482-483]
Mereka yang melarang seorang yang junub untuk menyentuh mushaf juga berdalil dengan hadits:

“Tidak boleh menyentuh Al-Qur`an kecuali thahir.”6
Akan tetapi kata thahir pada hadits ini merupakan lafadz musytarak (berserikat). Selain bisa dimaknakan sebagai orang yang thahir/ suci dari hadats besar, bisa pula suci dari hadats kecil, juga bisa dimaknakan seorang mukmin dan orang yang tidak ada najis pada tubuhnya. (Nailul Authar 1/292)
Asy-Syaikh Al-Albani v berkata: “Yang lebih dekat maknanya –wallahu a’lam– bahwasanya yang dimaksud dengan thahir dalam hadits ini adalah seorang mukmin, baik ia berhadats besar, kecil atau ia haid atau pada tubuhnya ada najis. Dengan dalil sabda Nabi n:

yang disepakati keshahihannya, dan yang dimaukan (dengan hadits

) adalah tidak diperkenankannya seorang musyrik untuk menyentuh mushaf. Sama halnya dengan hadits yang juga disepakati keshahihahnya:


“Rasulullah n melarang safar/ bepergian ke negeri musuh dengan membawa Al-Qur`an.”7 (Tamamul Minnah, hal. 107)
Dan lebih utama bagi seseorang yang ingin menyentuh mushaf –apabila memudahkan baginya– untuk berwudhu terlebih dahulu, wallahu a’lam. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah, 1/117)
Al-Imam Ishaq Al-Marwazi berkata dalam Masa`il Al-Imam Ahmad: “Aku pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad: Apakah boleh seseorang membaca Al-Qur`an dalam keadaan tidak berwudhu? Beliau menjawab: ‘Boleh, akan tetapi jangan ia membaca dari mushaf selama ia tidak berwudhu.’ Al-Imam Ishaq bin Rahawaih pun berkata sebagaimana yang dikatakan Al-Imam Ahmad. Dan demikian pula perbuatan shahabat Nabi dan tabi’in, sebagaimana riwayat yang shahih dari Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash, ia berkata: ‘Aku memegang mushaf di sisi Sa’d, lalu aku menggaruk tubuhku. Melihat hal itu berkatalah Sa’d: ‘Mungkin engkau menyentuh kemaluanmu?’ Aku jawab: ‘Iya.’ Sa’d berkata: ‘Bangkit dan berwudhulah.’ Aku pun bangkit dan berwudhu, lalu aku kembali. (Asy-Syaikh Al-Albani v mengatakan: “Diriwayatkan oleh Malik dan Al-Baihaqi dengan sanad shahih.”) [dinukil dari Al-Irwa`, 1/161]
Faedah
Ibnu Hazm v berkata: “Adapun menyentuh mushaf maka atsar/ hadits yang dijadikan hujjah oleh mereka yang tidak membolehkan orang yang junub menyentuhnya, atsar/ haditsnya tidak ada satupun yang shahih. Karena haditsnya ada yang mursal, ataupun karena shahifah (lembaran yang berisi hadits-hadits) yang tidak bisa dijadikan sandaran, ataupun diriwayatkan dari rawi yang majhul, ataupun dha’if.” (Al-Muhalla 1/97)

Perkara yang Disenangi untuk Dilakukan Seorang yang Junub
1. Wudhu sebelum tidur dan sebelum makan. Bila seseorang yang junub belum sempat mandi atau ingin menunda mandinya sementara ia hendak tidur, maka disenangi baginya untuk berwudhu terlebih dahulu. Hal ini dipahami dari riwayat Ibnu ‘Umar z ketika ia mengisahkan tentang ayahnya ‘Umar ibnul Khaththab z yang junub pada suatu malam, lalu ‘Umar menyebutkan hal tersebut kepada Rasulullah n. Beliau pun bersabda:



“Berwudhulah dan (sebelumnya) cucilah kemaluanmu, kemudian baru engkau tidur.”8
Demikian pula ketika orang yang junub tersebut hendak makan dan minum, disenangi baginya untuk berwudhu, demikian kesepakatan ulama (Al-Majmu’ 2/178, Ar-Raudhul Murbi’ 1/63, Subulus Salam 1/138, Nailul Authar 1/304, Asy-Syarhul Mumti’ 1/238), sebagaimana ditunjukkan dari perbuatan Rasulullah n yang disebutkan Aisyah x:


“Adalah Nabi n bila beliau junubkemudian hendak makan atau tidur, beliau berwudhu seperti wudhunya untuk mengerjakan shalat.”9
Wudhu dalam keadaan ini hukumnya sunnah/mustahab, menurut pendapat jumhur ulama. Dan inilah pendapat yang rajih insya Allah k, menyelisihi pendapat ahlu zhahir yang mewajibkan wudhu ketika seorang yang junub hendak tidur. (Fathul Bari 1/511, Al-Minhaj 3/208-209, Subulus Salam 1/138, Nailul Authar 1/303, Asy-Syarhul Mumti’ 1/239, Taudhihul Ahkam 1/393)
2. Wudhu ketika hendak mengulangi jima’. Seseorang yang sudah ditimpa janabah karena usai “berhubungan intim” dengan istrinya, kemudian ia hendak mengulangi “hubungan” tersebut untuk kedua kalinya ataupun kesekian kalinya, maka disenangi baginya untuk berwudhu terlebih dahulu seperti wudhu untuk shalat dan mencuci kemaluannya. (Al-Majmu’ 2/178, Nailul Authar 1/305, Asy-Syarhul Mumti’ 1/240, Taudhihul Ahkam 1/392)
Abu Sa’id Al-Khudri z menyampaikan sabda Rasulullah n berikut ini:

“Apabila salah seorang dari kalian mendatangi istrinya (jima’), kemudian ia hendak mengulang hubungan tersebut, maka hendaklah ia berwudhu dengan satu kali wudhu di antara keduanya (antara jima’ yang pertama dengan jima’ yang kedua, –pent.).”10
Hadits di atas disampaikan Rasulullah n dalam bentuk perintah, dan hukum asal perintah itu wajib. Namun hukum wajib ini dipalingkan, karena adanya tambahan lafadz yang diriwayatkan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/152):

“Karena dengan berwudhu akan menyemangatkan pengulangan tersebut.”11
Dengan adanya lafadz ini, maka wudhu ketika hendak mengulangi jima’ tidaklah wajib. Namun ini hanyalah anjuran dan bimbingan agar menyemangatkan pengulangan tersebut. (Fathul Bari 1/486, Asy-Syarhul Mumti’ 1/240)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah.

1 Al-Imam Ibnu Hazm menyatakan bahwa semua pendapat ini salah, karena tidak didukung oleh dalil dari Al-Qur`an, tidak pula dari As-Sunnah baik yang shahih ataupun dhaif, tidak ada pula ijma’, ataupun ucapan shahabat ataupun dari qiyas. Karena sebagian ataupun satu ayat adalah bagian dari Al-Qur`an juga tanpa diragukan, lalu mengapa ada pembedaan satu ayat boleh sedangkan lebih dari satu ayat tidak boleh? Demikian pula pembedaan yang mereka lakukan antara wanita haid dengan orang junub. Wanita haid boleh membaca Al-Qur`an dengan alasan masa haid itu panjang. Perkara ini mustahil karena bila baca Al-Qur`an itu haram bagi wanita haid maka tidak dibolehkan baginya membacanya sepanjang masa haidnya. Sedangkan bila baca Al-Qur`an halal baginya maka tidak ada maknanya berhujjah dengan panjangnya masa haid. (Al-Muhalla 1/95)
2 HR. An-Nasa`i no. 260, Abu Dawud no. 229 dan yang lainnya.
3 HR. At-Tirmidzi no. 131 dan Ibnu Majah no. 595, 596.
4 HR. Abu Dawud no. 17. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani, Ash-Shahihah no. 834
5 Telah disebutkan haditsnya secara lengkap.
6 HR. Al-Atsram dan Ad-Daraquthni secara muttashil, dan Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa` secara mursal. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 122.
7 HR. Al-Bukhari no. 2990 dan Muslim no. 4816.
8 HR. Al-Bukhari no. 290 dan Muslim no. 702.
9 HR. Muslim no. 689.
10 HR. Muslim no. 705.
11 Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 263

Meraih Kepemimpinan Dalam Agama
[Print View] [kirim ke Teman]

=============================================================

“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (As-Sajdah: 24)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat

أَئِمَّةً

A`immah (para pemimpin), adalah jamak dari imam.
Maknanya adalah panutan atau contoh yang diikuti baik dalam kebaikan maupun keburukan. Namun yang dimaksud di dalam ayat ini adalah panutan dan penuntun dalam hal kebaikan. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: Mereka adalah ulama yang mengerti syariat.

يَهْدُوْنَ

Mereka mengajak, memberi hidayah kepada dirinya dan kepada orang lain.

بِأَمْرِنَا

Berdasarkan perintah Kami, kepada mereka.
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata: “Berdasarkan izin Kami dan Kami kuatkan mereka.”

لَمَّا صَبَرُوا

Ketika mereka bersabar. Terjadi perbedaan di kalangan ahli qira`ah dalam membaca lafadz ini. Ada yang membacanya (لَمَّا) dengan lam yang difathah dan mim yang difathah dengan tasydid. Bacaan ini merupakan bacaan ahli qira`ah dari Madinah, Bashrah, dan sebagian ulama Kufah. Maknanya adalah: Ketika mereka bersabar.
Ada pula yang membaca (لِمَا) dengan lam yang dikasrah dan mim tanpa tasydid. Ini adalah bacaan Yahya, Hamzah, Al-Kisa`i, Khalaf, dan yang lainnya. Maka lafadz ini bermakna: Disebabkan karena kesabaran mereka. Dan disebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud membaca dengan (بِمَا صَبَرُوا). (lihat Tafsir Ath-Thabari, 21/113)

Kandungan Ayat
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Ketika mereka (ahli kitab) bersabar terhadap perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, membenarkan para rasul-Nya, serta mengikuti apa-apa yang mereka bawa, sehingga di antara mereka ada yang menjadi pemimpin yang senantiasa membimbing kepada kebenaran berdasarkan aturan Allah, mengajak kepada kebaikan, beramar ma’ruf dan nahi mungkar.
Namun ketika mereka mengubah agamanya dan menakwilkan maknanya, kedudukan inipun dihilangkan dari mereka. Hati mereka kemudian berubah menjadi keras, mereka ubah firman-firman-Nya dari tempat yang semestinya. Maka lenyaplah amalan shalih dan aqidah yang benar.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/464)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Kami menjadikan mereka, yakni kalangan Bani Israil, sebagai pemimpin yang membimbing berdasarkan aturan Kami. Mereka adalah para ulama yang memahami syariat dan jalan-jalan hidayah. Mereka mendapat petunjuk dan membimbing orang lain dengan petunjuk itu. Maka kitab yang diturunkan kepada mereka adalah hidayah. Dan kaum mukminin dari mereka terbagi menjadi dua: para pemimpin yang membimbing berdasarkan aturan Allah, dan para pengikutnya yang terbimbing oleh mereka.
Adapun yang pertama: derajatnya lebih tinggi -setelah derajat kenabian dan kerasulan- yaitu derajat para shiddiqin. Mereka mencapai derajat mulia ini di saat mereka bersabar untuk senantiasa belajar dan mengajar, berdakwah menuju jalan Allah, dan bersabar dalam menghadapi berbagai gangguan di jalan-Nya. Serta mereka mencegah diri-diri mereka dari berbagai kemaksiatan dan terlena dalam buaian syahwat.

Dan mereka senantiasa yakin dengan ayat-ayat Kami,”
Yaitu mereka mencapai derajat iman terhadap ayat-ayat Allah menuju derajat yakin, yaitu ilmu yang sempurna yang membuahkan amalan. Mereka mencapai derajat yakin, disebabkan karena mereka belajar dengan benar dan mengambil berbagai permasalahan dari dalil-dalilnya. Maka mereka senantiasa mempelajari berbagai permasalahan dan berdalil dengannya, dengan berbagai macam bukti, sehingga mencapai keyakinan. Maka dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan agama akan diperoleh.”
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Dengan kesabaran dan keyakinan maka diperoleh kepemimpinan dalam agama.” Ada yang mengatakan: Bersabar dari dunia. Ada pula yang berkata: Bersabar di atas segala cobaan. Ada lagi yang mengatakan: Bersabar dari segala larangan-Nya.
Yang benar, yang dimaksud dengan kesabaran adalah bersabar dari semuanya, bersabar dalam menjalankan kewajiban dari Allah, bersabar dari perbuatan haram, dan bersabar menghadapi ketentuan taqdir-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menggabungkan antara sabar dan yakin, sebab keduanya merupakan kebahagiaan seorang hamba, dan hilangnya dua hal itu akan meyebabkan hilangnya kebahagiaan.
Karena sesungguhnya hati selalu diketuk dengan berbagai syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan dengan berbagai syubhat yang menyelisihi berita-berita-Nya. Maka dengan kesabaran, syahwat tertolak; dan dengan keyakinan, syubhat tersingkirkan. Karena syahwat dan syubhat merupakan lawan agama dari berbagai sisi.
Sehingga tidak ada yang terselamatkan dari siksa Allah kecuali orang yang mampu menolak syahwatnya dengan kesabaran dan menolak syubhat dengan keyakinan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang terhapusnya amalan para pengikut syahwat dan ahli (pengikut) syubhat, dalam firman-Nya:

“(Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin adalah) seperti keadaan orang-orang yang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu, amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi.” (At-Taubah:69)
Yang dimaksud menikmati bagian mereka adalah menikmati bagiannya dari syahwat, lalu Allah menyatakan: Dan kamu memperbincangkan hal yang batil seperti yang mereka perbincangkan. Ini adalah pembicaraan dengan cara yang batil dalam agama Allah, pembicaraan ahli syubhat. Kemudian Allah menyatakan: Mereka itulah yang dihapuskan amalan mereka di dunia dan di akhirat. Mereka itulah orang-orang yang merugi. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menyandarkan terhapusnya amalan dan mendapatkan kerugian dengan mengikuti syahwat dan syubhat. (Risalah Ibnul Qayyim, hal. 16-17)

Berjihad Melawan Setan
Sesungguhnya Allah telah menjadikan setan sebagai musuh bagi para Nabi dan kaum mukminin. Allah berfirman:

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”(Al-An’am: 112)

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Maka ayat yang mulia ini menyebutkan adanya dua senjata ampuh untuk menghadapinya, yaitu sabar dan yakin.
Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan dalam kitabnya Zadul Ma’ad bahwa berjihad melawan setan terdiri dari dua bagian:
Pertama: Berjihad melawannya dengan cara menolak syubhat dan berbagai keraguan yang dapat merusak keimanan yang dilemparkan kepada seorang hamba.
Kedua: Berjihad melawannya dengan cara menolak berbagai kehendak yang rusak dan syahwat yang dilemparkan kepada seorang hamba.
Jihad yang pertama akan menghasilkan keyakinan dan jihad yang kedua menghasilkan kesabaran. (Zadul Ma’ad, 3/10)
Maka seorang muslim hendaknya berusaha sekuat mungkin untuk melawan dua senjata setan yang telah menyebabkan banyak dari kalangan manusia menyimpang dari jalan Allah. Jika tidak, maka setan akan menghunjamkan salah satu senjata yang dimilikinya itu atau bahkan kedua-duanya. Sehingga dengan berbagai macam fitnah syubhat dan syahwat, hatinya tertutupi dari menerima hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Dilekatkan berbagai fitnah kepada hati-hati (manusia), seperti anyaman tikar sehelai demi sehelai. Maka hati mana saja menyukainya, maka diberi titik berupa satu titik hitam. Dan hati mana saja yang mengingkarinya, maka diberi titik dengan satu titik putih. Sehingga ada yang hatinya berwarna putih seperti batu licin berwarna putih, tidak dimudharatkan oleh fitnah selama bumi dan langit masih ada. Dan hati yang lain berwarna hitam keruh, seperti gelas terbalik. Dia tidak mengenal yang ma’ruf, dan tidak mengingkari kemungkaran kecuali yang dimasuki oleh hawa nafsunya.” (HR. Muslim dari Hudzaifah radhiallahu 'anhu)

Menangkal Syubhat dan Syahwat
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa senjata setan dalam menyebarkan fitnah terdiri dari dua macam: fitnah syubhat dan fitnah syahwat, di mana fitnah syubhat adalah yang terbesar. Terkadang kedua fitnah ini dapat bercokol pada diri seorang hamba dan terkadang pula salah satunya.
Adapun fitnah syubhat disebabkan karena lemahnya wawasan dan dangkalnya ilmu dien (agama). Terlebih lagi jika dibarengi adanya maksud jelek, munculnya hawa nafsu, sehingga yang menjadi hakim adalah hawa nafsu, dan bukan petunjuk, sebagaimana yang difirmankan Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (At-Taubah: 23)
Sungguh Allah telah mengabarkan bahwa mengikuti hawa nafsu menjadi sebab tersesatnya seseorang dari jalan Allah. Firman-Nya:

“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shad: 26)
Setelah menyebut ayat ini, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Akibat fitnah ini adalah kekufuran dan kemunafikan. Ini adalah fitnah yang dialami kaum munafik dan ahli bid’ah sesuai tingkat kebid’ahannya. Secara keseluruhan, tidaklah mereka berbuat bid’ah melainkan dikarenakan terkena berbagai fitnah syubhat yang menyebabkan tersamarnya kebenaran dan kebatilan, dan antara petunjuk dan kesesatan.
Tidak ada yang dapat menyelamatkan dari fitnah ini melainkan dengan cara memurnikan sikap ittiba’ (senantiasa mengikuti) kepada Rasul. Menjadikannya sebagai hakim dalam seluruh perkara agama, yang jelas maupun yang pelik, yang nampak maupun yang tersembunyi, baik yang mencakup masalah aqidah, amalan, prinsip, dan syariatnya. Maka diambil ilmu dari Rasul dalam perkara hakekat keimanan, syariat Islam, dan apa-apa yang ditetapkan Allah dari sifat, perbuatan, nama-nama-Nya, dan apa-apa yang dinafikan darinya.
Sebagaimana diambilnya ilmu darinya dalam perkara kewajiban shalat, waktu-waktunya, dan jumlah rakaatnya. Demikian pula ketentuan dalam membayar zakat, orang-orang yang berhak menerimanya. Juga tentang wajibnya wudhu dan mandi dari junub, berpuasa di bulan Ramadhan. Maka jangan dia menjadikannya sebagai Rasul dalam sebagian perkara, namun tidak pada sebagian perkara agama yang lain. Tetapi beliau adalah seorang rasul dalam setiap perkara, di mana umat sangat membutuhkannya dalam berilmu dan beramal.
Tidak boleh diambil agama kecuali darinya, karena petunjuk seluruhnya bersumber di antara ucapan dan perbuatannya. Dan setiap apa yang menyimpang darinya maka itu adalah kesesatan. Hatinya terikat di atas hal tersebut dan berpaling dari yang lainnya dan menimbangnya berdasarkan apa yang dibawa Rasul. Jika sesuai dengan apa yang dibawa Rasul, maka diapun menerimanya. Dan dia menerimanya bukan karena ucapan orang tersebut, melainkan karena mencocoki Rasul. Dan jika bertentangan dengan apa yang dibawa Rasul, maka diapun menolaknya, siapapun yang mengatakannya. Maka inilah yang dapat menyelamatkannya dari fitnah syubhat.
Jika ia tidak memperoleh hal itu, maka dia akan terjerumus ke dalam fitnah sesuai kadar dia meninggalkan (As-Sunnah). Fitnah ini terkadang muncul dari pemahaman yang rusak, terkadang dari nukilan seorang pendusta, dan terkadang dari kebenaran yang tersamarkan atasnya dan belum menemukannya. Terkadang pula dari adanya tendensi yang rusak, hawa nafsu yang diikuti, sehingga dia menjadi buta dalam berilmu dan rusak dalam kehendaknya.
Adapun yang kedua adalah fitnah syahwat. Di mana Allah telah mengumpulkan kedua fitnah tersebut dalam firman-Nya yang telah lalu yaitu:

“(Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin adalah) seperti keadaan orang-orang yang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu, amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi.”(At-Taubah:69).
Maka ayat ini mengisyaratkan kepada apa yang terjadi dari rusaknya hati dan keyakinan dengan sebab menikmati bagian (syahwatnya) dan tenggelam dalam kebatilan yaitu syubhat.
Sebab rusaknya agama terkadang disebabkan karena keyakinan batil yang bercokol atau beramal menyelisihi ilmu yang benar. Maka yang pertama adalah bid’ah dan segala yang berhubungan dengannya, dan yang kedua adalah kefasikan dalam beramal. Yang pertama datangnya dari arah syubhat sedangkan yang kedua datangnya dari arah syahwat. Oleh karena itu para ulama Salaf mengatakan:

“Hati-hatilah dari dua jenis manusia: pengikut hawa nafsu yang telah terfitnah oleh hawa nafsunya dan hamba dunia yang telah dibutakan oleh dunianya.”
Mereka juga mengatakan: “Hati-hatilah dari terfitnahnya seorang alim yang fajir dan ahli ibadah yang jahil. Karena sesungguhnya fitnah keduanya merupakan fitnah bagi setiap orang yang terfitnah.”
Sumber dari setiap fitnah adalah mendahulukan ra`yu (akal) daripada syariat dan mendahulukan hawa nafsu daripada akal. Maka yang pertama merupakan sumber fitnah syubhat, sedangkan yang kedua merupakan sumber fitnah syahwat. Maka fitnah syubhat ditolak dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat ditolak dengan kesabaran. Maka dari itulah Allah menjadikan kepemimpinan dalam agama disandarkan kepada dua perkara ini.” (Lihat Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qayyim, 2/165-167).
Wallahul muwaffiq.

HUKUM UCAPAN MERRY CHRISTMAS [SELAMAT NATAL]

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –rahimahullah- ditanya : Bagaimana hukum mengucapkan “Merry Christmas” (Selamat Natal) kepada orang-orang Kafir? Bagaimana pula memberikan jawaban kepada mereka bila mereka mengucapkannya kepada kita? Apakah boleh pergi ke tempat-tempat pesta yang mengadakan acara seperti ini? Apakah seseorang berdosa, bila melakukan sesuatu dari yang disebutkan tadi tanpa sengaja (maksud yang sebenarnya) namun dia melakukannya hanya untuk berbasa-basi, malu, nggak enak perasaan atau sebab-sebab lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka di dalam hal itu?

Jawaban.
Mengucapkan “Merry Christmas” (Selamat Natal) atau perayaan keagamaan mereka lainnya kepada orang-orang Kafir adalah haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama (Ijma’). Hal ini sebagaimana dinukil dari Ibn al-Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya “Ahkâm Ahl adz-Dzimmah”, beliau berkata,

“Adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap Hari-Hari besar mereka dan puasa mereka, sembari mengucapkan, ‘Semoga Hari raya anda diberkahi’ atau anda yang diberikan ucapan selamat berkenaan dengan perayaan hari besarnya itu dan semisalnya. Perbuatan ini, kalaupun orang yang mengucapkannya dapat lolos dari kekufuran, maka dia tidak akan lolos dari melakukan hal-hal yang diharamkan. Ucapan semacam ini setara dengan ucapannya terhadap perbuatan sujud terhadap Salib bahkan lebih besar dari itu dosanya di sisi Allah. Dan amat dimurka lagi bila memberikan selamat atas minum-minum khamar, membunuh jiwa, melakukan perzinaan dan sebagainya. Banyak sekali orang yang tidak sedikitpun tersisa kadar keimanannya, yang terjatuh ke dalam hal itu sementara dia tidak sadar betapa buruk perbuatannya tersebut. Jadi, barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena melakukan suatu maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka berarti dia telah menghadapi Kemurkaan Allah dan Kemarahan-Nya.”

Mengenai kenapa Ibn al-Qayyim sampai menyatakan bahwa mengucapkan selamat kepada orang-orang Kafir berkenaan dengan perayaan hari-hari besar keagamaan mereka haram dan posisinya demikian, karena hal itu mengandung persetujuan terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran yang mereka lakukan dan meridlai hal itu dilakukan mereka sekalipun dirinya sendiri tidak rela terhadap kekufuran itu, akan tetapi adalah HARAM bagi seorang Muslim meridlai syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat kepada orang lain berkenaan dengannya karena Allah Ta’ala tidak meridlai hal itu, sebagaimana dalam firman-Nya.

“Artinya : Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” [Az-Zumar:7]

“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.” [Al-Ma`idah :3]

Jadi, mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengan hal itu adalah haram, baik mereka itu rekan-rekan satu pekerjaan dengan seseorang (Muslim) ataupun tidak.

Bila mereka mengucapkan selamat berkenaan dengan hari-hari besar mereka kepada kita, maka kita tidak boleh menjawabnya karena hari-hari besar itu bukanlah hari-hari besar kita. Juga karena ia adalah hari besar yang tidak diridlai Allah Ta’ala; baik disebabkan perbuatan mengada-ada ataupun disyari’atkan di dalam agama mereka akan tetapi hal itu semua telah dihapus oleh Dienul Islam yang dengannya Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam diutus Allah kepada seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran :85]

Karena itu, hukum bagi seorang Muslim yang memenuhi undangan mereka berkenaan dengan hal itu adalah HARAM karena lebih besar dosanya ketimbang mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengannya. Memenuhi undangan tersebut mengandung makna ikut berpartisipasi bersama mereka di dalamnya.

Demikian pula, haram hukumnya bagi kaum Muslimin menyerupai orang-orang Kafir, seperti mengadakan pesta-pesta berkenaan dengan hari besar mereka tersebut, saling berbagi hadiah, membagi-bagikan manisan, hidangan makanan, meliburkan pekerjaan dan semisalnya.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam,

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [Hadits Riwayat Abu Daud]

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah berkata di dalam kitabnya Iqtidlâ` ash-Shirâth al-Mustaqîm, Mukhâlafah Ashhâb al-Jahîm.

“Menyerupai mereka di dalam sebagian hari-hari besar mereka mengandung konsekuensi timbulnya rasa senang di hati mereka atas kebatilan yang mereka lakukan, dan barangkali hal itu membuat mereka antusias untuk mencari-cari kesempatan (dalam kesempitan) dan mengihinakan kaum lemah (iman).”

Dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari hal itu, maka dia telah berdosa, baik melakukannya karena berbasa-basi, ingin mendapatkan simpati, rasa malu atau sebab-sebab lainnya karena ia termasuk bentuk peremehan terhadap Dienullah dan merupakan sebab hati orang-orang kafir menjadi kuat dan bangga terhadap agama mereka.

Kepada Allah kita memohon agar memuliakan kaum Muslimin dengan dien mereka, menganugerahkan kemantapan hati dan memberikan pertolongan kepada mereka terhadap musuh-musuh mereka, sesungguh Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa.


[Disalin dari Majmû’ Fatâwa Fadlîlah asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, Jilid.III, h.44-46, No.403]

Sabtu, 24 Maret 2006 - 20:20:30, Penulis : Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc

Kategori : Manhaji

Siapakah Wahhabi?
[Print View] [kirim ke Teman]

Selubung Makar di Balik Julukan Wahhabi
Di negeri kita bahkan hampir di seluruh dunia Islam, ada sebuah fenomena ‘timpang’ dan penilaian ‘miring’ terhadap dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullahu1. Julukan Wahhabi pun dimunculkan, tak lain tujuannya adalah untuk menjauhkan umat darinya. Dari manakah julukan itu? Siapa pelopornya? Dan apa rahasia di balik itu semua …?
Para pembaca, dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah pembaharuan terhadap agama umat manusia. Pembaharuan, dari syirik menuju tauhid dan dari bid’ah menuju As-Sunnah. Demikianlah misi para pembaharu sejati dari masa ke masa, yang menapak titian jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Fenomena ini membuat gelisah musuh-musuh Islam, sehingga berbagai macam cara pun ditempuh demi hancurnya dakwah tauhid yang diemban Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Musuh-musuh tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Di Para ulama suu` yang memandang al-haq sebagai kebatilanNajd dan sekitarnya: Orang-orang yang dikenal sebagai ulama namundan kebatilan sebagai al-haq. tidak mengerti tentang hakekat Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Orang-orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya. (Lihatdakwahnya. Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir hal.90-91, ringkasan keterangan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz) 2. Di dunia secara umum: Mereka adalah kaum kafir Eropa; Inggris, Prancis dan lain-lain, Daulah Utsmaniyyah, kaum Shufi, Syi’ah Rafidhah, Hizbiyyun dan pergerakan Islam; Al-Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, dan para kaki tangannya. (Untuk lebih rincinya lihat kajian utama edisi ini/ Musuh-Musuh Dakwah Tauhid) Bentuk permusuhan mereka beragam. Terkadang dengan fisik (senjata) dan terkadang dengan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya. Adapun fisik (senjata), maka banyak diperankan oleh Dinasti Utsmani yang bersekongkol dengan barat (baca: kafir Eropa) –sebelum keruntuhannya–. Demikian pula Syi’ah Rafidhah dan para hizbiyyun. Sedangkan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya, banyak dimainkan oleh kafir Eropa melalui para missionarisnya, kaum shufi, dan tak ketinggalan pula Syi’ah Rafidhah dan hizbiyyun.2 Dan ternyata, memunculkan istilah ‘Wahhabi’ sebagai julukan bagi pengikut dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, merupakan trik sukses mereka untuk menghempaskan kepercayaan umat kepada dakwah tauhid tersebut. Padahal, istilah ‘Wahhabi’ itu sendiri merupakan penisbatan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Penisbatan (Wahhabi -pen) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.” (Lihat Imam wa Amir wa Da’watun Likullil ‘Ushur, hal. 162) Tak cukup sampai di situ. Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya menjadi sejoli bagi julukan keji tersebut. Tak ayal, yang lahir adalah ‘potret’ buruk dan keji tentang dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang tak sesuai dengan realitanya. Sehingga istilah Wahhabi nyaris menjadi momok dan monster yang mengerikan bagi umat. Fenomena timpang ini, menuntut kita untuk jeli dalam menerima informasi. Terlebih ketika narasumbernya adalah orang kafir, munafik, atau ahlul bid’ah. Agar kita tidak dijadikan bulan-bulanan oleh kejamnya informasi orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu. Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahhabi 1. Tuduhan: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang mengaku sebagai Nabi3, ingkar terhadap Hadits nabi4, merendahkan Asy-Syaikhposisi Nabi, dan tidak mempercayai syafaat beliau. Bantahan: Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang sangat mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan adanya karya tulis beliau tentang sirah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik Mukhtashar Siratir Rasul, Mukhtashar Zadil Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad atau pun yang terkandung dalam kitab beliau Al-Ushul Ats-Tsalatsah.
Beliau berkata: “Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat –semoga shalawat dan salam-Nya selalu tercurahkan kepada beliau–, namun agamanya tetap kekal. Dan inilah agamanya; yang tidaklah ada kebaikan kecuali pasti beliau tunjukkan kepada umatnya, dan tidak ada kejelekan kecuali pasti beliau peringatkan. Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu adalah tauhid dan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedangkan kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan segala sesuatu yang dibenci dan dimurkai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus beliau kepada seluruh umat manusia, dan mewajibkan atas tsaqalain; jin dan manusia untuk menaatinya.” (Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat terdahulu dan yang akan datang karena mengikuti para Rasul, maka dapatlah diketahui bahwa orang yang paling berbahagia adalah yang paling berilmu tentang ajaran para Rasul dan paling mengikutinya. Maka dari itu, orang yang paling mengerti tentang sabda para Rasul dan amalan-amalan mereka serta benar-benar mengikutinya, mereka itulah sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan tempat. Dan merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama. Dan dari umat ini adalah Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 2/21)
Adapun tentang syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku beriman dengan syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliaulah orang pertama yang bisa memberi syafaat dan juga orang pertama yang diberi syafaat. Tidaklah mengingkari syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini kecuali ahlul bid’ah lagi sesat.” (Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 118)
2. Tuduhan: Melecehkan Ahlul Bait
Bantahan:
Beliau berkata dalam Mukhtashar Minhajis Sunnah: “Ahlul Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempunyai hak atas umat ini yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Mereka berhak mendapatkan kecintaan dan loyalitas yang lebih besar dari seluruh kaum Quraisy…” (Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/446)
Di antara bukti kecintaan beliau kepada Ahlul Bait adalah dinamainya putra-putra beliau dengan nama-nama Ahlul Bait: ‘Ali, Hasan, Husain, Ibrahim dan Abdullah.
3. Tuduhan: Bahwa beliau sebagai Khawarij, karena telah memberontak terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Al-Imam Al-Lakhmi telah berfatwa bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij ‘Ibadhiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11.
Bantahan:
Adapun pernyataan bahwa Asy-Syaikh telah memberontak terhadap Daulah Utsmaniyyah, maka ini sangat keliru. Karena Najd kala itu tidak termasuk wilayah teritorial kekuasaan Daulah Utsmaniyyah5. Demikian pula sejarah mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah belum pernah melakukan upaya pemberontakan terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Justru merekalah yang berulang kali diserang oleh pasukan Dinasti Utsmani.
Lebih dari itu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan –dalam kitabnya Al-Ushulus Sittah–: “Prinsip ketiga: Sesungguhnya di antara (faktor penyebab) sempurnanya persatuan umat adalah mendengar lagi taat kepada pemimpin (pemerintah), walaupun pemimpin tersebut seorang budak dari negeri Habasyah.”
Dari sini nampak jelas, bahwa sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap waliyyul amri (penguasa) sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan bukan ajaran Khawarij.
Mengenai fatwa Al-Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafatnya Al-Lakhmi adalah 478 H, sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H /Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah wafat, namun berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad-abad setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum, maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikutnya, Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa Al-Lakhmi, hubungan antara Najd dengan Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang diperingatkan Al-Lakhmi adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya6.
Lebih dari itu, sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kelompok Khawarij sangatlah tegas. Beliau berkata –dalam suratnya untuk penduduk Qashim–: “Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan antara Qadariyyah dan Jabriyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji`ah dan Wa’idiyyah (Khawarij) dalam perkara ancaman Allah Subhanahu wa Ta'ala, pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta antara Murji`ah dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama, dan pertengahan antara Syi’ah Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal 117). Dan masih banyak lagi pernyataan tegas beliau tentang kelompok sesat Khawarij ini.
4. Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka.7
Bantahan:
Ini merupakan tuduhan dusta terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, karena beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak (berani) mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang ada di kubah (kuburan/ makam) Abdul Qadir Jaelani dan yang ada di kuburan Ahmad Al-Badawi dan sejenisnya, dikarenakan kejahilan mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkannya. Bagaimana mungkin kami berani mengkafirkan orang yang tidak melakukan kesyirikan atau seorang muslim yang tidak berhijrah ke tempat kami...?! Maha suci Engkau ya Allah, sungguh ini merupakan kedustaan yang besar.” (Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, hal. 203)
5. Tuduhan: Wahhabiyyah adalah madzhab baru dan tidak mau menggunakan kitab-kitab empat madzhab besar dalam Islam.8
Bantahan:
Hal ini sangat tidak realistis. Karena beliau mengatakan –dalam suratnya kepada Abdurrahman As-Suwaidi–: “Aku kabarkan kepadamu bahwa aku –alhamdulillah– adalah seorang yang berupaya mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan pembawa aqidah baru. Dan agama yang aku peluk adalah madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianut para ulama kaum muslimin semacam imam yang empat dan para pengikutnya.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 75)
Beliau juga berkata –dalam suratnya kepada Al-Imam Ash-Shan’ani–: “Perhatikanlah –semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatimu– apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para shahabat sepeninggal beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Serta apa yang diyakini para imam panutan dari kalangan ahli hadits dan fiqh, seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal –semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhai mereka–, supaya engkau bisa mengikuti jalan/ ajaran mereka.” (Ad-Durar As-Saniyyah 1/136)
Beliau juga berkata: “Menghormati ulama dan memuliakan mereka meskipun terkadang (ulama tersebut) mengalami kekeliruan, dengan tidak menjadikan mereka sekutu bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala, merupakan jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adapun mencemooh perkataan mereka dan tidak memuliakannya, maka ini merupakan jalan orang-orang yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta'ala (Yahudi).” (Majmu’ah Ar-Rasa`il An-Najdiyyah, 1/11-12. Dinukil dari Al-Iqna’, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, hal.132-133)
6. Tuduhan: Keras dalam berdakwah (inkarul munkar)
Bantahan:
Tuduhan ini sangat tidak beralasan. Karena justru beliaulah orang yang sangat perhatian dalam masalah ini. Sebagaimana nasehat beliau kepada para pengikutnya dari penduduk daerah Sudair yang melakukan dakwah (inkarul munkar) dengan cara keras. Beliau berkata: “Sesungguhnya sebagian orang yang mengerti agama terkadang jatuh dalam kesalahan (teknis) dalam mengingkari kemungkaran, padahal posisinya di atas kebenaran. Yaitu mengingkari kemungkaran dengan sikap keras, sehingga menimbulkan perpecahan di antara ikhwan… Ahlul ilmi berkata: ‘Seorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan tiga hal: berilmu tentang apa yang akan dia sampaikan, bersifat belas kasihan ketika beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta bersabar terhadap segala gangguan yang menimpanya.’ Maka kalian harus memahami hal ini dan merealisasikannya. Sesungguhnya kelemahan akan selalu ada pada orang yang mengerti agama, ketika tidak merealisasikannya atau tidak memahaminya. Para ulama juga menyebutkan bahwasanya jika inkarul munkar akan menyebabkan perpecahan, maka tidak boleh dilakukan. Aku mewanti-wanti kalian agar melaksanakan apa yang telah kusebutkan dan memahaminya dengan sebaik-baiknya. Karena, jika kalian tidak melaksanakannya niscaya perbuatan inkarul munkar kalian akan merusak citra agama. Dan seorang muslim tidaklah berbuat kecuali apa yang membuat baik agama dan dunianya.”(Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 176)
7. Tuduhan: Muhammad bin Abdul Wahhab itu bukanlah seorang yang berilmu. Dia belum pernah belajar dari para syaikh, dan mungkin saja ilmunya dari setan!9
Jawaban:
Pernyataan ini menunjukkan butanya tentang biografi Asy-Syaikh, atau pura-pura buta dalam rangka penipuan intelektual terhadap umat.
Bila ditengok sejarahnya, ternyata beliau sudah hafal Al-Qur`an sebelum berusia 10 tahun. Belum genap 12 tahun dari usianya, sudah ditunjuk sebagai imam shalat berjamaah. Dan pada usia 20 tahun sudah dikenal mempunyai banyak ilmu. Setelah itu rihlah (pergi) menuntut ilmu ke Makkah, Madinah, Bashrah, Ahsa`, Bashrah (yang kedua kalinya), Zubair, kemudian kembali ke Makkah dan Madinah. Gurunya pun banyak,10 di antaranya adalah:
Di Najd: Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman11 dan Asy-Syaikh Ibrahim bin Sulaiman.12
Di Makkah: Asy-Syaikh Abdullah bin Salim bin Muhammad Al-Bashri Al-Makki Asy-Syafi’i.13
Di Madinah: Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.14 Asy-Syaikh Muhammad Hayat bin Ibrahim As-Sindi Al-Madani,15 Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Ajluni Asy-Syafi’i,16 Asy-Syaikh ‘Ali Afandi bin Shadiq Al-Hanafi Ad-Daghistani,17 Asy-Syaikh Abdul Karim Afandi, Asy-Syaikh Muhammad Al Burhani, dan Asy-Syaikh ‘Utsman Ad-Diyarbakri.
Di Bashrah: Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i.18
Di Ahsa`: Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Asy-Syafi’i.
8. Tuduhan: Tidak menghormati para wali Allah, dan hobinya menghancurkan kubah/ bangunan yang dibangun di atas makam mereka.
Jawaban:
Pernyataan bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak menghormati para wali Allah Subhanahu wa Ta'ala, merupakan tuduhan dusta. Beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku menetapkan (meyakini) adanya karamah dan keluarbiasaan yang ada pada para wali Allah Subhanahu wa Ta'ala, hanya saja mereka tidak berhak diibadahi dan tidak berhak pula untuk diminta dari mereka sesuatu yang tidak dimampu kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.”19
Adapun penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas makam mereka, maka beliau mengakuinya –sebagaimana dalam suratnya kepada para ulama Makkah–.20 Namun hal itu sangat beralasan sekali, karena kubah/ bangunan tersebut telah dijadikan sebagai tempat berdoa, berkurban dan bernadzar kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sementara Asy-Syaikh sudah mendakwahi mereka dengan segala cara, dan beliau punya kekuatan (bersama waliyyul amri) untuk melakukannya, baik ketika masih di ‘Uyainah ataupun di Dir’iyyah.
Hal ini pun telah difatwakan oleh para ulama dari empat madzhab. Sebagaimana telah difatwakan oleh sekelompok ulama madzhab Syafi’i seperti Ibnul Jummaizi, Azh-Zhahir At-Tazmanti dll, seputar penghancuran bangunan yang ada di pekuburan Al-Qarrafah Mesir. Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri berkata: “Aku tidak menyukai (yakni mengharamkan) pengagungan terhadap makhluk, sampai pada tingkatan makamnya dijadikan sebagai masjid.” Al-Imam An-Nawawi dalam Syarhul Muhadzdzab dan Syarh Muslim mengharamkam secara mutlak segala bentuk bangunan di atas makam. Adapun Al-Imam Malik, maka beliau juga mengharamkannya, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Rusyd. Sedangkan Al-Imam Az-Zaila’i (madzhab Hanafi) dalam Syarh Al-Kanz mengatakan: “Diharamkan mendirikan bangunan di atas makam.” Dan juga Al-Imam Ibnul Qayyim (madzhab Hanbali) mengatakan: “Penghancuran kubah/ bangunan yang dibangun di atas kubur hukumnya wajib, karena ia dibangun di atas kemaksiatan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Lihat Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh, hal.284-286)
Para pembaca, demikianlah bantahan ringkas terhadap beberapa tuduhan miring yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Untuk mengetahui bantahan atas tuduhan-tuduhan miring lainnya, silahkan baca karya-karya tulis Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kemudian buku-buku para ulama lainnya seperti:
Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah, disusun oleh Abdurrahman bin Qasim An-Najdi
Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, karya Al-‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani Al-Hindi.
Raddu Auham Abi Zahrah, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, demikian pula buku bantahan beliau terhadap Abdul Karim Al-Khathib.
Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi.
‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As Salafiyyah, karya Dr. Shalih bin Abdullah Al-’Ubud.
Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, dsb.

Barakah Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah yang penuh barakah. Buahnya pun bisa dirasakan hampir di setiap penjuru dunia Islam, bahkan di dunia secara keseluruhan.

Di Jazirah Arabia21
Di Jazirah Arabia sendiri, pengaruhnya luar biasa. Berkat dakwah tauhid ini mereka bersatu yang sebelumnya berpecah belah. Mereka mengenal tauhid, ilmu dan ibadah yang sebelumnya tenggelam dalam penyimpangan, kebodohan dan kemaksiatan. Dakwah tauhid juga mempunyai peran besar dalam perbaikan akhlak dan muamalah yang membawa dampak positif bagi Islam itu sendiri dan bagi kaum muslimin, baik dalam urusan agama ataupun urusan dunia mereka. Berkat dakwah tauhid pula tegaklah Daulah Islamiyyah (di Jazirah Arabia) yang cukup kuat dan disegani musuh, serta mampu menyatukan negeri-negeri yang selama ini berseteru di bawah satu bendera. Kekuasaan Daulah ini membentang dari Laut Merah (barat) hingga Teluk Arab (timur), dan dari Syam (utara) hingga Yaman (selatan), daulah ini dikenal dalam sejarah dengan sebutan Daulah Su’udiyyah I. Pada tahun 1233 H/1818 M daulah ini diporak-porandakan oleh pasukan Dinasti Utsmani yang dipimpin Muhammad ‘Ali Basya. Pada tahun 1238 H/1823 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah II yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Turki bin Abdullah bin Muhammad bin Su’ud, dan runtuh pada tahun 1309 H/1891 M. Kemudian pada tahun 1319 H/1901 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah III yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Abdul ‘Aziz bin Abdurrahman bin Faishal bin Turki Alu Su’ud. Daulah Su’udiyyah III ini kemudian dikenal dengan nama Al-Mamlakah Al-’Arabiyyah As-Su’udiyyah, yang dalam bahasa kita biasa disebut Kerajaan Saudi Arabia. Ketiga daulah ini merupakan daulah percontohan di masa ini dalam hal tauhid, penerapan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan syariat Islam, keamanan, kesejahteraan dan perhatian terhadap urusan kaum muslimin dunia (terkhusus Daulah Su’udiyyah III). Untuk mengetahui lebih jauh tentang perannya, lihatlah kajian utama edisi ini/Barakah Dakwah Tauhid.

Di Dunia Islam22
Dakwah tauhid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merambah dunia Islam, yang terwakili pada Benua Asia dan Afrika, barakah Allah Subhanahu wa Ta'ala pun menyelimutinya. Di Benua Asia dakwah tersebar di Yaman, Qatar, Bahrain, beberapa wilayah Oman, India, Pakistan dan sekitarnya, Indonesia, Turkistan, dan Cina. Adapun di Benua Afrika, dakwah Tauhid tersebar di Mesir, Libya, Al-Jazair, Sudan, dan Afrika Barat. Dan hingga saat ini dakwah terus berkembang ke penjuru dunia, bahkan merambah pusat kekafiran Amerika dan Eropa.

Pujian Ulama Dunia terhadap
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Dakwah Beliau
Pujian ulama dunia terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya amatlah banyak. Namun karena terbatasnya ruang rubrik, cukuplah disebutkan sebagiannya saja.23
1. Al-Imam Ash-Shan’ani (Yaman).
Beliau kirimkan dari Shan’a bait-bait pujian untuk Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya. Bait syair yang diawali dengan:
Salamku untuk Najd dan siapa saja yang tinggal sana
Walaupun salamku dari kejauhan belum mencukupinya
2. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu (Yaman). Ketika mendengar wafatnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau layangkan bait-bait pujian terhadap Asy-Syaikh dan dakwahnya. Di antaranya:
Telah wafat tonggak ilmu dan pusat kemuliaan
Referensi utama para pahlawan dan orang-orang mulia
Dengan wafatnya, nyaris wafat pula ilmu-ilmu agama
Wajah kebenaran pun nyaris lenyap ditelan derasnya arus sungai
3. Muhammad Hamid Al-Fiqi (Mesir). Beliau berkata: “Sesungguhnya amalan dan usaha yang beliau lakukan adalah untuk menghidupkan kembali semangat beramal dengan agama yang benar dan mengembalikan umat manusia kepada apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur`an…. dan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta apa yang diyakini para shahabat, para tabi’in dan para imam yang terbimbing.”
4. Dr. Taqiyuddin Al-Hilali (Irak). Beliau berkata: “Tidak asing lagi bahwa Al-Imam Ar-Rabbani Al-Awwab Muhammad bin Abdul Wahhab, benar-benar telah menegakkan dakwah tauhid yang lurus. Memperbaharui (kehidupan umat manusia) seperti di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Dan mendirikan daulah yang mengingatkan umat manusia kepada daulah di masa Al-Khulafa` Ar-Rasyidin.”
5. Asy-Syaikh Mulla ‘Umran bin ‘Ali Ridhwan (Linjah, Iran). Beliau –ketika dicap sebagai Wahhabi– berkata:
Jikalau mengikuti Ahmad dicap sebagai Wahhabi
Maka kutegaskan bahwa aku adalah Wahhabi
Kubasmi segala kesyirikan dan tiadalah ada bagiku
Rabb selain Allah Dzat Yang Maha Tunggal lagi Maha Pemberi
6. Asy-Syaikh Ahmad bin Hajar Al-Buthami (Qatar). Beliau berkata: “Sesungguhnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi adalah seorang da’i tauhid, yang tergolong sebagai pembaharu yang adil dan pembenah yang ikhlas bagi agama umat.”
7. Al ‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani (India). Kitab beliau Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, sarat akan pujian dan pembelaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.
8. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (Syam). Beliau berkata: “Dari apa yang telah lalu, nampaklah kedengkian yang sangat, kebencian durjana, dan tuduhan keji dari para penjahat (intelektual) terhadap Al-Imam Al Mujaddid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya dan mengaruniainya pahala–, yang telah mengeluarkan manusia dari gelapnya kesyirikan menuju cahaya tauhid yang murni…”
9. Ulama Saudi Arabia. Tak terhitung banyaknya pujian mereka terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya, turun-temurun sejak Asy-Syaikh masih hidup hingga hari ini.

Penutup
Akhir kata, demikianlah sajian kami seputar Wahhabi yang menjadi momok di Indonesia pada khususnya dan di dunia Islam pada umumnya. Semoga sajian ini dapat menjadi penerang di tengah gelapnya permasalahan, dan pembuka cakrawala berfikir untuk tidak berbicara dan menilai kecuali di atas pijakan ilmu.
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Biografi beliau bisa dilihat pada Majalah Asy Syari’ah, edisi 21, hal. 71.
2 Untuk lebih rincinya lihat kajian utama edisi ini/Musuh-musuh Dakwah Tauhid.
3 Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Abdullah Al-Haddad Baa ‘Alwi dalam kitabnya Mishbahul Anam, hal. 5-6 dan Ahmad Zaini Dahlan dalam dua kitabnya Ad-Durar As-Saniyyah Firraddi ‘alal Wahhabiyyah, hal. 46 dan Khulashatul Kalam, hal. 228-261.
4 Sebagaimana dalam Mishbahul Anam.
5 Sebagaimana yang diterangkan pada kajian utama edisi ini/Hubungan Najd dengan Daulah Utsmaniyyah.
6 Untuk lebih rincinya bacalah kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir.
7 Sebagaimana yang dinyatakan Ibnu ‘Abidin Asy-Syami dalam kitabnya Raddul Muhtar, 3/3009.
8 Termaktub dalam risalah Sulaiman bin Suhaim.
9 Tuduhan Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim, Qadhi Manfuhah.
10 Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/143-171.
11 Ayah beliau, dan seorang ulama Najd yang terpandang di masanya dan hakim di ‘Uyainah.
12 Paman beliau, dan sebagai hakim negeri Usyaiqir.
13 Hafizh negeri Hijaz di masanya.
14 Seorang faqih terpandang, murid para ulama Madinah sekaligus murid Abul Mawahib (ulama besar negeri Syam). Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendapatkan ijazah dari guru beliau ini untuk meriwayatkan, mempelajari dan mengajarkan Shahih Al-Bukhari dengan sanadnya sampai kepada Al-Imam Al-Bukhari serta syarah-syarahnya, Shahih Muslim serta syarah-syarahnya, Sunan At-Tirmidzi dengan sanadnya, Sunan Abi Dawud dengan sanadnya, Sunan Ibnu Majah dengan sanadnya, Sunan An-Nasa‘i Al-Kubra dengan sanadnya, Sunan Ad-Darimi dan semua karya tulis Al-Imam Ad-Darimi dengan sanadnya, Silsilah Al-‘Arabiyyah dengan sanadnya dari Abul Aswad dari ‘Ali bin Abi Thalib, semua buku Al-Imam An-Nawawi, Alfiyah Al-’Iraqi, At-Targhib Wat Tarhib, Al-Khulashah karya Ibnu Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan seluruh karya tulis Ibnu Hisyam, semua karya tulis Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani, buku-buku Al-Qadhi ‘Iyadh, buku-buku qira’at, kitab Al-Qamus dengan sanadnya, Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i, Muwaththa’ Al-Imam Malik, Musnad Al-Imam Ahmad, Mu’jam Ath-Thabrani, buku-buku As-Suyuthi dsb.
15 Ulama besar Madinah di masanya.
16 Penulis kitab Kasyful Khafa‘ Wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytahara ‘Ala Alsinatin Nas.
17 Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bertemu dengannya di kota Madinah dan mendapatkan ijazah darinya seperti yang didapat dari Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.
18 Ulama terkemuka daerah Majmu’ah, Bashrah.
19 Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, hal. 119
20 Ibid, hal. 76.
21 Diringkas dari Haqiqatu Da’wah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya Dr. Muhammad bin Abdullah As-Salman, yang dimuat dalam Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyyah edisi. 21, hal. 140-145.
22 Diringkas dari Haqiqatu Da’wah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya Dr. Muhammad bin Abdullah As Salman, yang dimuat dalam Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyyah edisi. 21, hal.146-149.
23 Untuk mengetahui lebih luas, lihatlah kitab Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin, hal. 82-90, dan ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 2/371-474.

Sabtu, 24 Maret 2006 - 20:26:38, Penulis : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

Kategori : Hadits

Sosok Pembaharu Bukanlah Pengacau Agama, Politikus atau Pemberontak
[Print View] [kirim ke Teman]

Sulaiman ibnul Asy’ats As-Sijistani yang lebih dikenal dengan kunyahnya Abu Dawud rahimahullahu berkata: Sulaiman bin Dawud Al-Mahri telah menyampaikan kepadaku, ia berkata: Ibnu Wahb telah menyampaikan kepadaku, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Sa’id bin Abi Ayyub, dari Syarahil bin Yazid Al-Ma’afiri, dari Abu ‘Alqamah, dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau pernah bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِئَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus bagi umat ini di penghujung setiap seratus tahun (seabad) seseorang yang mentajdid (memperbaharui) agama umat ini.”
Hadits ini Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani rahimahullahu dalam Sunan-nya no. 4291. Dikeluarkan pula oleh Al-Imam Abu ‘Amr Ad-Dani dalam As-Sunan Al-Waridah fil Fitan no. 364, Al-Imam Al-Hakim dalam Mustadrak-nya, 4/522, dan selain mereka seperti Al-Imam Al-Baihaqi, Al-Khathib, dan Al-Harawi.
Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menshahihkan hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, Ash-Shahihah no. 599, dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 1874. Beliau berkata: “Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqah (terpercaya), merupakan perawi yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu (dalam Shahih-nya).” (Ash-Shahihah, 2/148)
Beliau juga mengatakan: “(Faidah): Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengisyaratkan shahihnya hadits ini. Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam Siyar A’lam An-Nubala` (10/46): “Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu dari beberapa jalan periwayatan dari beliau: Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mendatangkan bagi manusia di penghujung setiap seratus tahun seseorang yang mengajari mereka sunnah-sunnah dan meniadakan/ menolak kedustaan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam” Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata lagi: “Maka kami pun melihat orang yang demikian sifatnya, ternyata pada akhir seratus tahun orang itu adalah Amirul Mukminin ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu dan pada akhir seratus tahun berikutnya (seratus tahun kemudian setelah seratus tahun yang pertama -pent.) orang itu adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu.” (Ash-Shahihah, 2/148-149)

Makna Hadits
Yang dimaksud dengan umat dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ

“Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla mengutus bagi umat ini…”
kata Al-Qari adalah ummat ijabah (umat Islam yang telah menerima dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), namun memungkinkan juga dimasukkannya ummat dakwah (mencakup non muslim yang didakwahi untuk masuk ke dalam Islam). Kata Al-Munawi rahimahullahu, yang dimaukan dalam hadits ini adalah ummat ijabah dengan dalil disandarkannya (di-idhafah-kan) kata ad-din (agama) kepada mereka dalam ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (agama umat ini). (Mukaddimah Faidhul Qadir, 1/10)
Adapun maksud dari ucapan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِئَةِ سَنَةٍ

“di penghujung setiap seratus tahun”, adalah akhir dari seratus tahun atau awalnya, ketika sedikit ilmu dan sunnah di tengah umat, sebaliknya kejahilan menyebar dan banyak kebid’ahan. Namun yang tepat, yang dimaukan dalam hadits ini adalah akhir dari seratus tahun, bukan awalnya. Dengan bukti dari Al-Imam Az-Zuhri dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal serta selain keduanya dari kalangan para imam yang terdahulu maupun yang belakangan rahimahumullah. Mereka sepakat bahwa mujaddid yang muncul pada akhir seratus tahun yang pe rtama1 adalah Amirul Mukminin ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu. Dan seratus tahun yang kedua2 adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Sementara ‘Umar bin Abdil ‘Aziz wafat pada tahun 101 H dalam usia 40 tahun dan masa kekhilafahan beliau 2,5 tahun. Sedang Al-Imam Asy-Syafi’i wafat pada tahun 204 H dalam usia 54 tahun. (‘Aunul Ma’bud, kitab Al-Malahim, bab Ma Yudzkaru fi Qarnil Mi`ah)
Al-’Allamah Al-Muhaddits Al-Munawi rahimahullahu berkata: “Dimungkinkan perhitungan seratus tahun itu dari kelahiran Nabi, bi’tsah (diutusnya beliau sebagai Nabi), hijrah beliau ke Madinah, atau wafat beliau. Bila ada yang mengatakan bahwa yang kedua lebih dekat/tepat maka pendapat itu tidak jauh dari kebenaran. Akan tetapi As-Subki dan lainnya secara jelas menyatakan bahwa yang dimaukan adalah yang ketiga (perhitungan sejak hijrah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah). (Mukaddimah Faidhul Qadir, 1/10)
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

“Seseorang yang mentajdid (memperbaharui) agama umat ini”, yakni orang itu menerangkan tentang As-Sunnah sehingga jelas mana yang bid’ah. Ia menyebarkan ilmu, menolong ahlul ilmi, mematahkan dan merendahkan ahlul bid’ah. (‘Aunul Ma’bud, kitab Al-Malahim, bab Ma Yudzkaru fi Qarnil Mi`ah)
Jumlah mujaddid yang Allah Subhanahu wa Ta'ala tampilkan dalam setiap kurun bisa jadi hanya satu, namun bisa pula berbilang. Mujaddid tersebut harus merupakan seorang alim yang mengetahui ilmu agama secara dzahir maupun batin. Demikian faidah yang diambil dari ucapan Al-Munawi. (Mukaddi-mah Faidhul Qadir, 1/10)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu berkata: “Pemahaman yang menyatakan bahwa jumlah mujaddid di setiap kurun itu bisa berbilang, lebih dari satu, memiliki sisi kebenaran. Karena terkumpulnya sifat-sifat yang dibutuhkan untuk men-tajdid perkara agama ini tidak dapat dibatasi pada satu jenis kebaikan saja. Dan tidak mesti seluruh perangai kebaikan dapat terkumpul pada satu orang, kecuali bila orang itu semacam ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu, karena beliau bangkit menegakkan perkara agama ini pada akhir seratus tahun yang pertama dalam keadaan beliau mempunyai seluruh sifat-sifat kebaikan dan terdepan dalam sifat-sifat tersebut. Karena itu, Al-Imam Ahmad rahimahullahu memutlakkan bahwa ahlul ilmi membawa hadits tersebut atas ‘Umar bin Abdil ‘Aziz (yakni ‘Umar bin Abdil ‘Aziz merupakan mujaddid yang dimaksud hadits tersebut, -pen.). Adapun setelahnya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Walaupun Al-Imam Asy-Syafi’i memiliki sifat-sifat yang bagus, namun beliau bukan orang yang menegakkan perkara jihad, dan bukan orang yang memegang kekuasaan yang dapat memerintah/menghukumi dengan adil.3 Berdasarkan hal ini, maka setiap alim yang memiliki salah satu sifat-sifat yang demikian di penghujung seratus tahun, maka dialah mujaddid yang diinginkan, baik jumlahnya berbilang atau hanya satu.” (Fathul Bari, 13/361)
Makna tajdid sendiri adalah menghidupkan apa yang telah terkubur ataupun runtuh berupa pengamalan terhadap Al-Qur`an dan As-Sunnah. Ataupun menghidupkan hukum-hukum syariat yang telah runtuh dan bendera-bendera As-Sunnah yang telah hilang dan ilmu-ilmu agama yang dzahir maupun batin yang telah tersembunyi.4
Seorang mujaddid bukanlah seorang pengacau agama. Makna inilah yang dipahami kebanyakan orang, bahwa mujaddid adalah seseorang yang mengajarkan jalan baru dalam agama, yang sebenarnya lebih pantas dikatakan pengacau agama. Seperti kesalahpahaman orang Indonesia yang menyatakan Nurcholish Madjid sebagai mujaddid, ataupun Muhammad ‘Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani yang dianggap sebagai mujaddid. Bukan pula mujaddid adalah seorang politikus, sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa mujaddid adalah seorang politikus ulung, seperti yang dikatakan orang terhadap Abul A’la Al-Maududi ataupun Dr. Taqiyuddin An-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir. Demikian pula, mujaddid bukanlah seorang pemberontak yang memberontak terhadap pemerintah dan negara, seperti yang dikatakan orang terhadap Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, atau Sa’id Hawa. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa seorang mujaddid tidaklah membawa agama baru, pemikiran baru atau jalan baru. Tetapi ia mengajak manusia untuk kembali kepada agama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang murni setelah mereka melupakan agama Nabi mereka dan tenggelam dalam kebodohan, kebid’ahan, dan kesesatan.

Penjagaan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap Agama ini, di antaranya dengan Menampilkan para Mujaddid
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah lama wafat, namun agama beliau tetap terjaga sampai hari ini dan sampai nanti ketika datang hari kiamat. Al-Qur`an yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada beliau tetap murni sebagaimana saat diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kali yang pertama. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala menjanjikan pemeliharaannya sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikra dan Kami juga yang akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)
Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Tidaklah dipalingkan satu makna dari makna-makna Al-Qur`an kecuali Allah akan mendatangkan orang yang akan menerangkan al-haq yang nyata pada Al-Qur`an tersebut.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 429)
Tidak hanya Al-Qur`an yang terjaga kemurniannya, namun juga Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan tafsir atau penjelasan dari Al-Qur`anul Karim. Para ulamalah yang dipilih Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk meneruskan dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seluruh alam, karena mereka adalah pewaris ilmu para Nabi. Dengan keberadaan mereka, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga agama-Nya.
Demikianlah setelah diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membiarkan umat ini terus tenggelam dalam kebodohan, lupa akan petunjuk dan bimbingan agamanya. Di tengah umat ini selalu ada orang-orang yang Allah munculkan untuk mengadakan perbaikan ketika manusia membuat kerusakan. Di tengah mereka mesti ada Ath-Tha`ifah Al-Manshurah Al-Firqatun Najiyah. Dan di setiap penghujung seratus tahun atau satu abad dari perjalanan waktu, di tengah mereka mesti akan tampil seorang atau lebih ulama mujaddid yang akan mengajak mereka untuk kembali kepada ajaran agama Islam yang murni seperti yang dibawa Nabi umat ini Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana kemunculannya dipastikan dalam hadits yang telah kita bawakan di atas.

Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullahu Sosok Pembaharu
Salah seorang sosok mujaddid yang Allah Subhanahu wa Ta'ala munculkan di abad ke-12 Hijriyyah atau bertepatan dengan abad ke-19 Masehi adalah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali At-Tamimi Al-Hanbali rahimahullahu yang bertempat di negeri Najd, Saudi Arabia. Beliau lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H. Banyak karya tulis yang berbicara tentang beliau yang disifati sebagai seorang peng-ishlah (orang yang mengadakan perbaikan) yang agung, seorang mujaddid Islam, seorang yang berada di atas petunjuk dan cahaya dari Rabbnya dan banyak lagi kebaikan-kebaikannya yang sulit untuk dihitung. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah Asy-Syaikh Ibnu Baz, dalam pembahasan tentang Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Da’watuhu wa Siratuhu, 1/355)
Syaikh Mujaddid ini disifati demikian tidak lain karena beliau seorang alim salafi dari sisi aqidah dan manhaj, hingga pantas disifati dengan sifat-sifat kesempurnaan dan disebut dengan sebutan yang merupakan perangai kebaikan dan amal kebajikan. (Qathul Janiyil Mustathab Syarhu ‘Aqidah Al-Mujaddid Muhammad bin Abdil Wahhab, hal. 7, karya Asy-Syaikh Al-Allamah Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali). Barakah dakwah beliau terus dirasakan oleh umat Islam sampai hari ini walaupun beliau telah wafat 221 tahun yang lalu (dua abad lebih). Tidak sebatas di negerinya, tetapi juga sampai ke seluruh negeri yang ada di berbagai belahan bumi ini, termasuk pula negeri kita Indonesia. Kitab-kitab karya beliau tersebar ke segala penjuru negeri, dibaca, dipelajari dan dijadikan rujukan oleh para penuntut ilmu, seperti kitab Al-Ushuluts Tsalatsah, Kasyfusy Syubuhat, Kitabut Tauhid, Masa`ilul Jahiliyyah dan masih banyak lagi.
Para ulama setelah beliau banyak yang mensyarah karya-karya beliau menjadi satu atau beberapa kitab yang tebal. Satu hasil nyata dari dakwah beliau adalah berdirinya kerajaan tauhid Saudi Arabia dan tetap tegak sampai hari ini sebagai satu-satunya negara yang mengibarkan bendera tauhid dan menyatakan perang terhadap kesyirikan. Walillahil hamdu (Segala pujian yang sempurna hanyalah milik Allah).
Pada awal dakwahnya, Syaikh yang mulia ini melihat kebodohan tersebar di seluruh negerinya. Beliau melihat manusia berbolak-balik menuju ke pelepah kurma dan kuburan untuk memohon kepada penghuni kubur dan benda-benda mati dengan permintaan yang semestinya tidak diminta kecuali kepada Pencipta langit dan bumi. Beliau melihat manusia meminta ampunan dan kesembuhan kepada penghuni kubur, sebagaimana mereka juga dikuasai oleh ketakutan yang sangat terhadap para setan di mana hal itu membawa mereka untuk berlindung kepada setan.
Saat berkeliling negeri untuk menuntut ilmu, beliau juga melihat umat Islam hidup dalam kejahiliyahan yang sama dengan umat di negerinya. Di samping itu, beliau melihat Kitabullah tidak lagi menjadi rujukan dalam pengambilan hukum, namun justru manusia berhukum dengan selain hukum Allah. Inilah fenomena yang mendorong Syaikh untuk mengadakan perbaikan aqidah dan hukum sehingga hukum hanya milik Allah dan ibadah hanya ditujukan pada-Nya, demikian pula mutaba’ah (mengikuti) hanyalah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau menyerang kejahiliyahan dan berseru dengan lantang kepada manusia bahwa mereka tidak di atas agama Islam sedikitpun.
Beliau pun mengajak mereka untuk kembali kepada Islam yang hakiki, beribadah kepada Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan agar ketaatan hanya ditujukan kepada Rasul-Nya. Beliau mengajak mereka agar beribadah kepada Allah dengan ajaran yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa mengadakan-adakan perkara baru dalam agama, dan agar hukum yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul dijadikan sebagai pokok, bukan sekedar pembungkus dalam pendapat-pendapat, undangundang atau adat. Beliau membawa mushaf (lembaran Al-Qur`an) guna mengajak manusia agar kembali kepadanya, merasa cukup dengannya dan dengan As-Sunnah sebagai penjelas dan perinci apa yang global dalam Al-Qur`an.
Berawal dari sini, bangkitlah orang-orang yang mendukung kehidupan jahiliyyah. Mereka pun bereaksi dan berteriak bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab datang membawa agama baru dan menganut madzhab yang kelima. Namun Syaikh tetap berlalu dengan dakwah beliau tanpa mengindahkan apa yang mereka ucapkan dan sebarkan. (Masyakilud Da’wah wad Du’ah fil ‘Ashril Hadits, sub judul Da’watu Muhammad bin Abdil Wahhab wa Shumuduha lil Musykil, hal. 45-46, karya Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami)
Banyak sumbangsih yang diberikan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullahu kepada kaum muslimin yang semestinya disyukuri. Namun ada saja orang yang hasad kepada beliau atau orang yang dakwahnya berseberangan dengan dakwah yang beliau tegakkan. Mereka menyimpan kebencian kepada beliau bahkan menyebarkan ucapan-ucapan jelek dan tuduhan palsu tentang beliau dan dakwahnya. Sehingga tidak sedikit orang awam yang termakan ucapan mereka. Akibatnya beliau dibenci dan dicaci oleh mereka, dan dakwah seperti yang beliau ajarkan dijauhi.
Ditempelkanlah gelar Wahabi kepada pengikut dakwah beliau, seakan beliau dan pengikut dakwah beliau berjalan di atas selain jalan yang haq dan membentuk madzhab yang kelima dalam Islam. Padahal dakwah beliau adalah dakwah kepada tauhid yang murni, memperingatkan dari kesyirikan dengan seluruh jenisnya, seperti bergantung kepada orang-orang mati dan yang lainnya, baik berupa pepohonan, bebatuan dan semisalnya.
Dalam masalah aqidah, beliau rahimahullahu berada di atas madzhab As-Salafus Shalih, dalam fiqih beliau berpegang dengan madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullahu sebagaimana ditunjukkan dalam kitab-kitab karya beliau, fatwa-fatwa beliau dan kitab-kitab karya pengikut beliau dari kalangan anak dan cucu-cucunya serta selain mereka.
Dengan demikian Wahabiyyah bukanlah madzhab kelima seperti anggapan orang-orang bodoh dan orang-orang yang benci. Dia hanyalah dakwah kepada aqidah salafiyyah dan memperbaharui apa yang telah roboh dari bendera-bendera Islam dan tauhid di jazirah Arab. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Asy-Syaikh Ibnu Baz, 1/374)

Aqidah dan Keyakinan Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullahu
Tuduhan orang-orang yang benci ataupun orang-orang bodoh bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullahu membawa agama baru dan menyimpang dari ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sama sekali tidak terbukti. Bahkan bukti yang ada menunjukkan bahwa beliau di atas al-haq, dan dakwah yang beliau sampaikan adalah dakwah yang haq, mencocoki ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berikut ini kita bawakan aqidah yang beliau yakini, guna menepis tuduhan dan membuang keraguan dari orang-orang yang ragu.
Ketika penduduk Qashim menanyakan tentang aqidah beliau, beliau menyatakan bahwa aqidah yang beliau yakini adalah aqidah Al-Firqatun Najiyah, Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan hal ini beliau amalkan dan jalankan selama hidup beliau. Aqidah tersebut berupa:
1. Iman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kebangkitan setelah mati dan iman terhadap takdir yang baik maupun yang buruk.
2. Termasuk iman kepada Allah adalah mengimani sifat-Nya yang yang disebutkan-Nya dalam kitab-Nya dan lewat lisan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa tahrif (mengubah) dan tanpa ta’thil (menolak), tanpa takyif (menanyakan hakikat) dan tamtsil (menyamakan dengan makhluk).
3. Al-Qur`an adalah Kalamullah, yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan makhluk. Al-Qur`an berasal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan akan kembali kepada-Nya.
4. Mengimani seluruh yang dikabarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa hal-hal yang terjadi setelah kematian, fitnah dan nikmat kubur, dikembalikannya ruh kepada jasad pada hari kiamat, adanya mizan, dibagikannya catatan amal para hamba, adanya telaga Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang airnya lebih putih dari susu, rasanya lebih manis daripada madu dan bejananya sejumlah bintang-bintang di langit, siapa yang meminumnya ia tidak akan haus selama-lamanya. Termasuk pula mengimani adanya shirath (jalan/jembatan) yang dibentangkan di atas dua tepi Jahannam yang akan dilewati manusia sesuai kadar amal mereka. Mengimani adanya syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, adanya surga dan neraka yang telah diciptakan dan sekarang telah ada. Dan mengimani bahwa kaum mukminin akan melihat Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mata kepala mereka pada hari kiamat.
5. Mengimani bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para nabi dan rasul.
6. Meyakini bahwa shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling afdhal adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar, dan ‘Utsman yang berikutnya, kemudian ‘Ali. Setelahnya adalah enam shahabat yang tersisa dari 10 shahabat yang dijanjikan masuk surga (Al-’Asyrah Al-Mubasysyaruna bil jannah),5 lalu para shahabat yang mengikuti perang Badar, berikutnya para shahabat yang berbai’at di bawah pohon (Bai’atur Ridhwan).
7. Beliau berloyalitas kepada para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyebut mereka dengan kebaikan, ridha kepada mereka, memohonkan ampunan untuk mereka, menahan diri dari menyebut kesalahan mereka, dan diam dari perselisihan yang pernah terjadi di antara mereka.
8. Sebagaimana beliau pun ridha kepada Ummahatul Mukminin (istri-istri Nabi) radhiyallahu ‘anhunna.
9. Menetapkan adanya karamah wali-wali Allah Subhanahu wa Ta'ala.
10. Tidak mempersaksikan seseorang dari kaum muslimin dengan pernyataan ‘Fulan penduduk surga’ atau ‘Fulan ahlun nar (penduduk neraka)’, kecuali yang telah dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penduduk surga atau penduduk neraka.
11. Tidak mengkafirkan seseorang dari kaum muslimin karena dosa yang diperbuat dan tidak pula mengeluarkannya dari lingkaran Islam.
12. Beliau memandang jihad tetap berlangsung bersama setiap imam/pemimpin yang baik ataupun yang fajir/jahat.
13. Bolehnya shalat berjamaah di belakang pemimpin yang jahat.
14. Wajib mendengar dan taat kepada pemimpin kaum muslimin yang baik ataupun yang fajir, selama mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
15. Siapa yang memegang khilafah, manusia berkumpul dan ridha padanya, atau ia menguasai mereka dengan pedang hingga menjadi khalifah, maka ia wajib ditaati dan haram memberontak padanya.
16. Beliau berpandangan harusnya memboikot ahlul bid’ah dan memisahkan diri dari mereka sampai mau bertaubat. Kita menghukumi mereka secara dzahir, adapun batin mereka diserahkan urusannya kepada Allah.
17. Meyakini bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam agama ini merupakan bid’ah.
18. Iman adalah ucapan dengan lisan, amalan dengan anggota badan dan pembenaran dengan hati, bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.
19. Beliau memandang wajibnya amar ma’ruf nahi mungkar sesuai bimbingan syariat. [Lihat Qathul Janiyil Mustathab Syarhu ‘Aqidah Al-Mujaddid Muhammad bin Abdil Wahhab]
Demikianlah aqidah yang dianut oleh Syaikh Mujaddid tersebut, yang secara jelas menggambarkan beliau adalah seorang sunni salafi, yang berjalan di atas jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para shahabat, tabi’in, atba’ut tabi’in, yakni jalan As-Salafush Shalih. Semestinya tidak ada lagi keraguan akan kebenaran dakwah beliau setelah adanya penjelasan ini. Dan silahkan gigit jari orang-orang yang benci dan hasad kepada beliau dan kepada dakwah tauhid yang haq ini.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Abad pertama Hijriyyah
2 Abad kedua Hijriyyah
3 Sebagaimana semua itu ada pada diri Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu
4 ‘Aunul Ma`bud, pada kitab Al-Malahim, bab Ma Yudzkaru fi Qarnil Mi`ah dan mukaddimah Faidhul Qadir, 1/10.
3 Sebagaimana semua itu ada pada diri Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu
4 ‘Aunul Ma`bud, pada kitab Al-Malahim, bab Ma Yudzkaru fi Qarnil Mi`ah dan mukaddimah Faidhul Qadir, 1/10.

DISYARIATKANNYA KHITAN BAGI WANITA

Oleh
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah
Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Abu Ar-Rabah Abu Abdirrahman

KHITAN

Telah tsabit masalah khitan dalam sunnah yang suci dalam beberapa hadits di antaranya :

[1]. Abu Haurairah Radhiyallahu 'anhu berkata : 'Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Fithrah itu ada lima : Khitan, Mencukur bulu kemaluan, Memotong kumis, Menggunting kuku dan Mencabut bulu ketiak" [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (6297 - Fathul Bari), Muslim (3/257 - Nawawi), Malik dalam Al-Muwatha (1927), Abu Daud (4198), At-Tirmidzi (2756), An-Nasa'i (1/14-15), Ibnu Majah (292), Ahmad dalam Al-Musnad (2/229) dan Al-Baihaqi (8/323)]

[2]. Dari Utsaim bin Kulaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya kakeknya datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata. "Aku telah masuk Islam". Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya.

"Artinya : Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah" [Hasan, Dikeluarkan Abu Daud (356), Ahmad (3/415) dan Al-Baihaqi (1/172). Berkata Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa' (79) : Hadits ini hasan karena memiliki dua syahid, salah satunya dari Qatadah Abu Hisyam dan yang lainnya dari Watsilah bin Asqa'. Aku telah berbicara tentang kedua hadits ini dan aku terangkan pendalilan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengannya dalam Shahih Sunan Abi Daud nomor (1383)]

[3]. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahawasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Nabi Ibrahim berkhitan setelah beliau berusia 80 tahun" [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (6298 - Fathul Bari), Muslim (2370), Al-Baihaqi (8/325), Ahmad (2/322-418) dan ini lafadz beliau]

Dalam hadits-hadits di atas ada keterangan masyru'nya khitan dan orang
dewasa jika beluam dikhitan juga diperintahkan melakukannya.


DISYARI'ATKANNYA KHITAN BAGI WANITA

Dalam hal ini ada beberapa hadits, di antaranya.

[a]. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ummu Athiyah (wanita tukang khitan):

"Artinya : Khitanlah dan jangan dihabiskan (jangan berlebih-lebihan dalam memotong bagian yang dikhitan) karena yang demikian lebih cemerlang bagi wajah dan lebih menyenangkan (memberi semangat) bagi suami" [Shahih, Dikeluarkan oleh Abu Daud (5271), Al-Hakim (3/525), Ibnu Ady dalam Al-Kamil (3/1083) dan Al-Khatib dalam Tarikhnya 12/291)]

[b]. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Bila telah bertemu dua khitan (khitan laki-laki dan wanita dalam jima'-pent) maka sungguh telah wajib mandi (junub)" [Shahih, Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (108-109), Asy-Syafi'i (1/38), Ibnu Majah (608), Ahmad (6/161), Abdurrazaq (1/245-246) dan Ibnu Hibban (1173-1174 - Al Ihsan)]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menisbatkan khitan pada wanita, maka ini merupakan dalil disyariatkan juga khitan bagi wanita.

[c]. Riwayat Aisyah Radhiyallahu 'anha secara marfu'.

"Artinya : Jika seorang lelaki telah duduk di antara cabang wanita yang empat (kinayah dari jima, -pent) dan khitan yang satu telah menyentuh khitan yang lain maka telah wajib mandi (junub)" [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (1/291 - Fathul Bari), Muslim (249 - Nawawi), Abu Awanah (1/269), Abdurrazaq (939-940), Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Al-Baihaqi (1/164)]

Hadits ini juga mengisyaratkan dua tempat khitan yang ada pada lelaki dan wanita, maka ini menunjukkan bahwa wanita juga dikhitan.

Berkata Imam Ahmad : "Dalam hadits ini ada dalil bahwa para wanita dikhitan" [Tuhfatul Wadud].

Hendaklah diketahui bahwa pengkhitanan wanita adalah perkara yang ma'ruf (dikenal) di kalangan salaf. Siapa yang ingin mendapat tambahan kejelasan maka silahkan melihat 'Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah (2/353) karena di sana Syaikh Al-Albani -semoga Allah memberi pahala pada beliau- telah menyebutkan hadits-hadits yang banyak dan atsar-atsar yang ada dalam permasalahan ini.


[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak dalam Sunnah yang Suci, hal 107-110 Pustaka
Al-Haura]

HUKUM PERAYAAN MENYAMBUT TAHUN 2000 MASEHI [MILENIUM KETIGA]

Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta

Bagian Pertama dari Tiga Tulisan 1/3
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta ditanya :

[1]. Pada beberapa hari belakangan ini, kami menyaksikan betapa gencarnya liputan mass-media mass-media (cetak maupun elektronik) dalam rangka menyambut datangnya tahun 2000M dan permulaan Milenium Ketiga seputar kejadian-kejadian dan prosesi-prosesinya. Terlihat bahwa orang-orang kafir dari kalangan yahudi dan nashrani serta selain mereka begitu suka cita menggantungkan harapan-harapan dengan adanya hal itu.

Pertanyaannya, wahai Syaikh yang mulia. Sesungguhnya sebagian mereka yang menisbatkan diri sebagai orang Islam telah juga menunjukkan perhatiannya terhadap hal ini dan menganggapnya sebagai momentum bahagia sehingga mengaitkan hal itu dengan pernikahan, pekerjaan mereka atau memajang/menempelkan pengumuman tentang hal itu di altar-altar perdagangan atau perusahaan mereka dan lain sebagainya yang menimbulkan dampak negatif bagi seorang Muslim.

Dalam hal ini, apakah hukum mengangungkan momentum seperti itu dan menyambutnya serta saling mengucapkan selamat karenanya, baik secara lisan, melalui kartu khusus yang dicetak dan lain sebagainya, menurut syari'at Islam ? Semoga Allah memberikan ganjaran pahala kepada anda atas amal shalih terhadap Islam dan kaum Muslimin dengan sebaik-baik ganjaran.

[2]. Dalam versi pertanyaan yang lain : Orang-orang yahudi dan nashrani bersiap-siap untuk menyambut datang tahun baru 2000 Masehi berdasarkan sejarah mereka dalam bentuk yang tidak lazim demi mempromosikan program-program serta keyakinan-keyakinan mereka di seluruh dunia, khususnya di negeri-negeri Islam.

Sebagian kaum Muslimin telah terpengaruh dengan promosi ini sehingga mereka nampak mempersiapkan segala sesuatunya untuk hal itu, dan di antara mereka ada yang mengumumkan potongan harga (diskon) atas barang dagangannnya spesial buat momentum ini. Kiranya, dikhawatirkan kelak hal ini berkembang menjadi aqidah kaum Muslimin di dalam ber-wala' (loyal) terhadap orang-orang non Muslim.

Kami berharap mendapatkan penjelasan anda seputar hukum keikutsertaan kaum Muslimin dalam momentum-momentum kaum kafir, mempromosikan hal itu dan menyambutnya. Demikian juga hukum menon-aktifkan kegiatan kerja oleh sebagian lembaga dari perusahaan berkenaan dengan hal itu.

Apakah melakukan sesuatu dari hal-hal tersebut dan semisalnya atau rela terhadapnya mempengaruhi aqidah seorang Muslim ?

Jawaban.
Sesungguhnya nikmat yang paling besar yang dianugrahkan oleh Allah kepada para hambaNya adalah nikmat Islam dan hidayah kepada jalanNya yang lurus. Di antara rahmatNya pula, Allah Ta'ala mewajibkan kepada para hambaNya, kaum Mukminin, agar memohon hidayahNya di dalam shalat-shalat mereka. Mereka memohon kepadaNya agar mendapatkan hidayah ke jalan yang lurus dan mantap di atasnya. Dalam hal ini, Allah Ta'ala telah memberikan spesifikasi jalan (shirath) ini sebagai jalan para Nabi, Ash-Shiddiqin, Syuhada dan orang-orang shalih yang Dia anugrahkan nikmatNya kepada mereka. Jadi, bukan jalan orang-orang yahudi, nashrani dan seluruh orang-orang kafir dan musyrik yang menyimpang darinya.

Bila hal ini sudah diketahui, maka adalah wajib bagi seorang Muslim untuk mengenal kadar nikmat Allah kepadanya sehingga dengan itu, dia mau bersyukur kepadaNya melalui ucapan, perbuatan dan keyakinan. Dalam pada itu, dia juga akan menjaga nikmat ini dan membentenginya serta melakukan sebab-sebab yang dapat menjaga hilangnnya nikmat tersebut.

Bagi orang yang diberikan bashiroh (pemahaman mendalam) terhadap Dienullah di saat kondisi dunia dewasa ini yang diselimuti oleh pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan pada kebanyakan orang, dia akan mengetahui dengan jelas upaya keras yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menghapus kebenarannya dan memadamkan cahayanya, upaya menjauhkan kaum Muslimin darinya serta memutuskan kontak mereka dengannya melalui berbagai sarana yang memungkinkan. Belum lagi, upaya memperburuk citra Islam dan melabelkan tuhudan dan kebohongan-kebohongan terhadanya guna menghadang seluruh manusia dari jalan Allah dan dari beriman kepada wahyu yang diturunkan kepada RasulNya, Muhammad bin Abdullah. Pembenaran statement ini dibuktikan oleh firman-firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kami beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran" [Al-Baqarah : 109]

"Artinya : Segolongan dari ahli kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya" [Ali-Imran : 69]

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi" [Ali-Imran : 149]

"Artinya : Katakanlah, Hai ahli kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan, "Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan" [Ali Imran : 99]

Dan ayat-ayat lainnya. Akan tetapi meskipun demikian, Allah Ta'ala telah berjanji untuk mejaga dienNya dan kitabNya, dalam firmanNya.

"Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" [Al-Hijr : 9]

Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa akan selalu muncul suatu golongan dari umatnya yang berjalan di atas al-haq, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka ataupun menentang mereka hingga terjadi hari Kiamat. Segala puji bagi Allah pujian yang banyak dan kita memohon kepadaNya Yang Maha Dekat dan Mengabulkan Permohonan agar menjadikan kita dan saudara-saudara kita kaum Muslimin termasuk dari golongan tersebut, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

Dengan ini, Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Ilmiah wal Ifta setelah mendengar dan melihat adanya penyambutan yang demikian meriah dan perhatian yang serius dan beberapa golongan orang-orang yahudi dan nashrani serta orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam yang terpengaruh oleh mereka berkenaan dengan telah berakhirnya momentum tahun 2000 dan menyongsong Milenium Ketiga menurut Kalender Masehi, maka suka tidak suka, Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiah wal Ifta wajib memberikan nasehat dan penjelasan kepada seluruh kaum Muslimin tentang hakikat momentum ini serta hukum syariat yang suci ini terhadapnya sehingga kaum Muslimin memahami dengan baik dien mereka dan berhati-hati. Dengan demikian, tidak terjerumus ke dalam kesesatan-kesesatan orang-orang yahudi yang dimurkai dan orang-orang nashrani yang sesat.


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]

Kategori : Ahkam
function disabled
HUKUM PERAYAAN MENYAMBUT TAHUN 2000 MASEHI [MILENIUM KETIGA]

Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta
Bagian Terkahir dari Tiga Tulisan 3/3

Kelima.
Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan di atas, maka tidak boleh hukumnya seorang Muslim yang beriman kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai agama serta Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, mengadakan perayaan-perayaan hari-hari besar yang tidak ada landasannya dalam dien Islam, termasuk diantaranya pesta 'Milenium' rekaan tersebut. Juga, tidak boleh hadir pada acaranya, berpartisipasi dan membantu dalam pelaksanaannya dalam bentuk apapun karena hal itu termasuk dosa dan melampaui aturan-aturan Allah sedangkan Allah sendiri terlah berfirman, "Dan janganlah bertolong-tolongan di atas berbuat dosa dan melampaui batas, bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat pedih siksaanNya" [Al-Maidah : 2]

Keenam.
Seorang Muslim tidak boleh saling tolong menolong dengan orang-orang kafir dalam bentuk apapun dalam hari-hari besar mereka. Di antara hal itu adalah mempromosikan dan mengumumkan hari-hari besar mereka, termasuk pesta 'milenium' rekaan tersebut. Demikian pula, mengajak pada hal itu dengan sarana apapun baik melalui mass media, memasang jam-jam dan pamflet-pamflet bertuliskan angka, membuat pakaian-pakaian dan plakat-plakat kenangan, mencetak kartu-kartu dan buku-buku tulis sekolah, memberikan diskon khusus pada dagangan dan hadiah-hadiah uang dalam rangka itu, kegiatan-kegiatan olah raga ataupun menyebarkan symbol khusus untuk hal itu.

Ketujuh
Seorang Muslim tidak boleh menganggap hari-hari besar orang-orang kafir, termasuk pesta Milenium rekaan tersebut sebagai momentum-momentum yang membahagiakan atau waktu-waktu yang diberkahi sehingga karenanya meliburkan pekerjaan, menjalin ikatan perkawinan, memulai aktifitas bisnis, membuka proyek-proyek baru dan lain sebagainya. Tidak boleh dia meyakini bahwa hari-hari seperti itu memiliki keistimewaan yang tidak ada pada hari selainnya karena hari-hari tersebut sama saja dengan hari-hari biasa lainnya, dan karena hal ini merupakan keyakinan yang rusak yang tidak dapat merubah hakikat sesuatu bahkan keyakinan seperti ini adalah dosa di atas dosa, kita memohon kepada Allah agar diselamatkan di terbebas dari hal itu.

Kedelapan
Seorang Muslim tidak boleh mengucapkan selamat terhadap hari-hari besar orang-orang kafir karena hal itu merupakan bentuk kerelaan terhadap kebatilan yang tengah mereka lakukan dan membuat mereka bergembira, karenanya Ibnu Al-Qayyim berkata " Adapun mengucapkan selamat terhadap syi'ar-syi'ar keagamaan orang-orang kafir yang khusus bagi mereka, maka haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat dalam rangka hari-hari besar mereka dan puasa mereka, seperti mengucapkan 'Semoga hari besar ini diberkahi' atau ucapan semisalnya dalam rangka hari besar tersebut. Dalam hal ini, kalaupun pengucapnya lolos dari kekufuran akan tetapi dia tidak akan lolos dari melakukan hal yang diharamkan. Hal ini sama posisinya dengan bilamana dia mengucpkan selamat karena dia (orang kafir) itu sujud terhadap salib. Bahkan, dosa dan kemurkaan terhafap hal itu lebih besar dari sisi Allah ketimbang mengucapkan selamat atas minum khamr, membunuh jiwa yang tidak berdosa, berzina dan semisalnya. Banyak sekali orang yang tidak memiliki sedikitpun kadar dien pada dirinya terjerumus ke dalam hal itu dan dia tidak menyadari jeleknya perbuatannya. Maka, siapa saja yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena suatu maksiat, bid'ah atau kekufuran yang dilakukannya, berarti dia telah mendapatkan kemurkaan dan kemarahan Allah"

Kesembilan.
Adalah suatu kehormatan bagi kaum Muslimin untuk berkomitmen terhadap sejarah hijrah Nabi mereka, Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang disepakati pula orang para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam secara ijma' dan mereka jadikan kalender tanpa perayaan apapun. Hal itu kemudian diteruskan secara turun temurun oleh kaum Muslimin yang datang setelah mereka, sejak 14 abad yang lalu hingga saat ini. Karenaya seorang Muslim tidak boleh mengalihkan penggunaan kalender Hijriah kepada kelender umat-umat selainnya, seperti kalender Masehi ini ; karena termasuk perbuatan menggantikan yang lebih baik dengan yang lebih jelek. Dari itu kami wasiatkan kepada seluruh saudara-saudara kami, kaum Muslimin, agar bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-sebenar takwa, berbuat ta'at dan menjauhi kemaksiatan terhadapNya serta saling berwasiat dengan hal itu dan sabar atasnya.

Hendaknya setiap Mukmin yang menjadi penasehat bagi dirinya dan antusias terhadap keselamatannya dari murka Allah dan laknatNya di dunia dan Akhirat berusaha keras di dalam merealisasikan ilmu dan iman, menjadikan Allah semata sebagai Pemberi petunjuk, Penolong, Hakim dan Pelindung, karena sesungguhnya Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. Cukuplah Rabbmu sebagai Pemberi Petunjuk dan Penolong serta berdo'alah selalu dengan do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini.

"Artinya : Ya, Allah, Rabb Jibril, Mikail, Israfil. Pencipta lelangit dan bumi. Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib dan nyata. Engkau memutuskan hal yang diperselisihkan di antara para hambaMu, berilah petunjuk kepadaku terhadap kebenaran yang diperselisihkan dengan idzinMu, sesungguhnya Engkau menunjuki orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus" [6]

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.
Wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad Wa Alihi Wa Shahbihi


[Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, No. 21049, tgl. 12-08-1420]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]
_________
Foote Note
[6]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam shahihnya, Kitab Shalah Al-Musafirin, No. 770

HUKUM MERAYAKAN HARI ULANG TAHUN

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : "Apa hukum merayakan hari ulang tahun ?".

Jawaban.
Merayakan hari ulang tahun tidak ada dasarnya sama sekali di dalam syari'at yang suci ini, bahkan termasuk perbuatan bid'ah, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa mengada-ada dalam perkara (agama) kita ini yang bukan bagian darinya, maka perbuatan itu tertolak".

Dalam lafazh Imam Muslim dan dikomentari oleh Imam Al-Bukhari di dalam Shahih-nya disebutkan.

"Artinya : Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan (dalam agama) yang tidak ada perintah dari kami, maka perbuatan tersebut tertolak".

Yang telah diketahui bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengadakan perayaan ulang tahun selama hidupnya, tidak pernah memerintahkan-pun tidak ada dari sahabat yang melakukannya. Demikian pula para Al-Khulafaur Rasyidun, para sahabat Nabi semuanya tidak pernah mengerjakan perbuatan itu, padahal mereka adalah manusia paling tahu terhadap sunnah-sunnah Nabi dan manusia yang paling disukai oleh Nabi serta paling gemar mengikuti setiap apa yang diajarkan oleh Nabi. Jika perayaan ulang tahun disyari'atkan, tentu mereka melakukannya. Demikian para ulama terdahulu, tidak ada yang mengerjakannya, tidak pula memerintahkannya.

Dengan demikian bisa dipahami bahwa perbuatan tersebut bukan dari syari'at yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kami bersaksi atas Allah Subhanahu wa Ta'ala dan semua kaum muslimin, seandainya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakannya atau memerintahkannya, atau para sahabat melakukannya, niscaya kami akan mengerjakannya pula dan mengajak untuk mengerjakannya. Karena kami, alhamdulillah paling senang mengikuti sunnahnya dan mengagungkan perintahnya. Kita mohonkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar tetap teguh dalam kebenaran dan selamat dari apa yang menyalahi syari'at Allah yang suci, sesungguhnya Dia Mahabaik dan Mahamulia.

[Fatawa Mar'ah, 2/10]


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-3, hal 290-291, Penerbit Darul Haq]

HUKUM MERAYAKAN VALENTIN'S DAY

Oleh
Al-Lajnah Ad-Da' imah lil Buhuts Al-'Ilmiyah wal Ifta'

Pertanyaan:
Al-Lajnah Ad-Da' imah lil Buhuts Al-'Ilmiyah wal Ifta' ditanya : Setiap tahunnya, pada tanggal 14 Februari, sebagian orang merayakan valentin's day. Mereka saling betukar hadiah berupa bunga merah, mengenakan pakaian berwarna merah, saling mengucapkan selamat dan sebagian toko atau produsen permen membuat atau menyediakan permen-permen yang berwarna merah lengkap dengan gambar hati, bahkan sebagian toko mengiklankan produk-produknya yang dibuat khusus untuk hari tersebut. Bagaimana pendapat Syaikh tentang:

Pertama: Merayakan hari tersebut?
Kedua: Membeli produk-produk khusus tersebut pada hari itu?
Ketiga: Transaksi jual beli di toko (yang tidak ikut merayakan) yang menjual barang yang bisa dihadiahkan pada hari tersebut, kepada orang yang hendak merayakannya?
Semoga Allah membalas Syaikh dengan kebaikan.

Jawaban:
Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, para pendahulu umat sepakat menyatakan bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha, selain itu, semua hari raya yang berkaitan dengan seseorang, kelompok, peristiwa atau lainnya adalah bid'ah, kaum muslimin tidak boleh melakukannya, mengakuinya, menampakkan kegembiraan karenanya dan membantu terselenggaranya, karena perbuatan ini merupakan perbuatan yang melanggar batas-batas Allah, sehingga dengan begitu pelakunya berarti telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri. Jika hari raya itu merupakan simbol orang-orang kafir, maka ini merupakan dosa lainnya, karena dengan begitu berarti telah bertasyabbuh (menyerupai) mereka di samping merupakan keloyalan terhadap mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang kaum mukminin ber-tasyabbuh dengan mereka dan loyal terhadap mereka di dalam KitabNya yang mulia, dan telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

"Artinya : Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka."[1]

Valentin's day termasuk jenis yang disebutkan tadi, karena merupakan hari raya Nashrani, maka seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak boleh melakukannya, mengakuinya atau ikut mengucapkan selamat, bahkan seharusnya me-ninggalkannya dan menjauhinya sebagai sikap taat terhadap Allah dan RasulNya serta untuk menjauhi sebab-sebab yang bisa menimbulkan kemurkaan Allah dan siksaNya. Lain dari itu, diharamkan atas setiap muslim untuk membantu penyelenggaraan hari raya tersebut dan hari raya lainnya yang diharamkan, baik itu berupa makanan, minuman, penjualan, pembelian, produk, hadiah, surat, iklan dan sebagainya, karena semua ini termasuk tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan serta maksiat terhadap Allah dan RasulNya, sementara Allah Swt telah berfirman.

"Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya." [Al-Ma'idah: 2]

Dari itu, hendaknya setiap muslim berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dalam semua kondisi, lebih-lebih pada saat-saat terjadinya fitnah dan banyaknya kerusakan. Hendaknya pula ia benar-benar waspada agar tidak terjerumus ke dalam kese-satan orang-orang yang dimurkai, orang-orang yang sesat dan orang-orang fasik yang tidak mengharapkan kehormatan dari Allah dan tidak menghormati Islam. Dan hendaknya seorang muslim kembali kepada Allah dengan memohon petunjukNya dan keteguhan didalam petunjukNya. Sesungguhnya, tidak ada yang dapat memberi petunjuk selain Allah dan tidak ada yang dapat meneguhkan dalam petunjukNya selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hanya Allah lah yang kuasa memberi petunjuk.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da' imah lil Buhuts Al-'Ilmiyah wal Ifta' (21203) tanggal 22/11/1420H]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]_________
Foote Note
[1]. HR. Abu Dawud dalam Al-Libas (4031), Ahmad (5093, 5094, 5634).

WANITA MENDATANGI DOKTER LAKI-LAKI DENGAN ALASAN MEMBUTUHKAN PENGOBATAN

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : "Tentang hukum seorang wanita yang mendatangi dokter laki-laki dengan alasan ia membutuhkan pengobatan".

Jawaban.
Sebagian kaum wanita dan wali-walinya meremehkan (hukum) mendatangi dokter laki-laki dengan alasan ia membutuhkan pengobatan. Ini adalah bahaya besar yang tidak bisa dibenarkan dan didiamkan saja. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah dalam kitab Majmu' Fatawa (10/13) berkata :

"Dalam kondisi apapun, berdua-duan dengan wanita selain mahram diharamkan secara syara' meskipun untuk dokter laki-laki yang mengobatinya berdasarkan hadits:

"Artinya : Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, karena setan menjadi orang ketiga".

Maka harus hadir orang lain bersamanya, baik ia suaminya atau salah satu mahramnya yang laki-laki, apabila tidak ada seorangpun kerabat dekatnya yang wanita yang bisa menemaninya. Jika tidak ditemukan salah seorang yang telah disebut di atas, sedangkan sakitnya sangat berbahaya yang tidak bisa ditunda-tunda, maka paling tidak harus dengan kehadiran seorang perawat wanita agar terhindar dari hukum berduaan yang terlarang.

[At-Tanbihat, Syaikh Al-Fauzan, hal.65]


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimiah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-3, hal 193-195, Darul Haq]

HUKUM ZIARAHNYA WANITA KE KUBUR ?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim
Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : Hukum ziarahnya wanita ke kubur ?

Jawaban.
Sesungguhnya para wanita dilarang berziarah kubur, karena ziarah kubur mereka cenderung kepada sikap meratap dan histeris serta hal tidak baik lainnya, karena pada dasarnya wanita itu lemah, kurang tenang dan kurang sabar. Mengenai hal ini para ulama berdalih dengan hadits Ibnu Abbas :

"Rasulllah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat para wanita peziarah kuburan dan orang-orang yang menjadikan masjid di atasnya serta mereka yang menempatkan lampu-lampu diatasnya" [Diriwayatkan oleh Ahlus Sunan].

Mengenai hal ini ada juga dalil dari hadits Abu Hurairah dan hadits Hassan bin Tsabit yang khusus mengenai wanita.

Kenapa hanya para wanita ?

Pendapat yang lebih kuat, bahwa dalil ini menunjuk haram, karena dalam hadits tersebut terdapat laknat, dan laknat tersebut bukan ditujukan kepada sesuatu yang dibenci, akan tetapi karena para wanita itu memiliki sifat meratap, lemah dan tidak sabar. Jika anda mengatakan bahwa terkadang lebih kuat hatinya dari pada laki-laki, dan bahkan sebaliknya dari sebagian laki-laki, jika hukum dikaitkan dengan sumber dugaannya, maka sama saja keberadaan dan tidak keberadaannya.

Dan telah diklaim pula bahwa hadits (maka ziarahilah) mencakup para wanita. Ini adalah pendapat yang bodoh dan keliru. Sebenarnya larangan itu mengandung dua segi, masing-masing mempunyai alasan : Larangan pertama berlaku untuk semua, yaitu larangan berziarah secara mutlak, kemudian diizinkan bagi kaum pria karena hilangnya alasan tersebut di samping didalam pembolehannya terkandung kebaikan bagi yang meninggal serta do'a untuknya dan teringat akan akhirat, namun tidak diizinkan bagi para wanita karena alasannya tidak hilang.

Alasan pertama hilang dengan kemantapan iman dan terputusnya ketergantungan kepada kuburan yang pernah menyebabkan timbulnya 'watsaniah' (dalam hal ini adalah pengagungan terhadap kuburan), hal ini pernah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (Aku melarang kalian), dan di sini ada larangan lain yang khusus berlaku untuk para wanita, juga terkandung alas an lain, yaitu karena wanita bersifat peka, lemah dan kurang sabar, karena itu disebutkan dalam hadits.

"Artinya : Kembalilah kalian karena akan berdosa dan tidak mendapat pahala, sebab kalian dapat menimbulkan fitnah bagi yang hidup dan menyakiti yang telah mati".

Fitnah terhadap yang hidup sangat jelas, lebih-lebih terhadap para pemuda, sedangkan sikap yang menyakiti dari mereka adalah tangisan dan teriakan histeris mereka.

[Fatawa wa Masa'il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 3/237]


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'til Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-1, hal 178-179, 185-186, Darul Haq]

=============================================================

HUKUM ZIARAHNYA WANITA KE KUBUR?

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Abani
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Apa hukumnya wanita berziarah kubur?".

Jawaban.
Wanita adalah saudara kandung lelaki. Maka apa yang dibolehkan bagi lelaki maka dibolehkan pula bagi wanita. Dan apa yang disunnahkan bagi lelaki maka disunnahkan pula bagi wanita, kecuali hal-hal yang dikecualikan oleh dalil yang bersifat khusus.

Dalam masalah wanita ziarah ke kubur tidak ada dalil khusus yang mengharamkan wanita berziarah kubur dengan pengharaman secara umum. Bahkan diriwayatkan dalam 'Shahih Muslim' bahwa Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha tidur bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diam-diam dari tempat tidurnya menuju pekuburan Baqi' untuk memberikan salam kepada mereka (jenazah-jenazah kaum muslimin -pent-). Dan Aisyah pun ikut membuntuti di belakang beliau secara diam-diam.

Ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berjalan pelan, iapun pelan, ketika beliau cepat, iapun cepat, hingga sampai kembali ke tempat tidurnya. Kemudian beliau masuk ke kamarnya dan melihat Aisyah dalam keadaan terengah-engah. Beliau berkata kepada Aisyah : "Ada apa denganmu wahai Aisyah ? Apakah engkau curiga bahwa Allah dan Rasul-Nya akan curang terhadapmu ? Sesungguhnya tadi Jibril mendatangiku dan berkata :

"Sesungguhnya Rabbmu menyampaikan salam kepadamu dan memerintahkanmu untuk mendatangi Baqi' dan memintakan ampunan untuk mereka (ahli kubur)".

Dalam suatu riwayat lain di luar As-Shahih, Aisyah berkata : Apalah aku bila dibandingkan denganmu wahai Rasulullah ! Kemudian lanjut Aisyah :
-sebagaimana dalam As-Shahih- "Wahai Rasulullah! Jika aku berziarah kubur maka apa yang harus aku ucapkan ? Beliau bersabda : "Ucapkanlah .... (beliau mengucapkan doa salam kepada ahli kubur sebagaimana yang telah kita kenal).

Adapun hadits.

"Artinya : Allah melaknat para wanita yang sering mendatangi kubur".
Hanyalah berlaku saat di Makkah. Kita berpegang dengan hadits yang sudah terkenal.

"Artinya : Dahulu aku pernah melarang kalian dari berziarah kubur, sekarang berziarahlah kalian".

Dan tidak 'syak' lagi bahwa larangan tersebut bukan di Madinah akan tetapi di Makkah, karena mereka baru saja keluar dari kesyirikan. Tidak mungkin larangan ini terjadi di Madinah.

Adapun perkataan beliau : "Sekarang berziarahlah kalian", besar kemungkinan ini terjadi di Makkah. Akan tetapi sama saja apakah di Makkah atau di Madinah, yang jelas izin menziarahi kubur terjadi setelah larangan ziarah di Makkah. Dan hal ini memberikan suatu konsekuensi penting bagi hadits Aisyah di atas. Karena jika sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam :

"Dahulu aku pernah melarang kalian ...." terjadi setelah Aisyah, maka mungkin hadits Aisyah di 'nasakh" (hapus), tetapi ini terlalu jauh sekali.

Pendapat yang kuat adalah beliau melarang mereka berziarah kubur ketika di Makkah, kemudian pada akhir masa Makkah atau awal masa Madinah, beliau membolehkan ziarah kubur.

Yang jelas dan yang harus kita ketahui bahwa larangan tersebut ditujukan untuk lelaki dan wanita. Maka izin (untuk kembali berziarah kubur) juga untuk laki-laki dan wanita. Kalau begitu kapan berlakunya hadits.

"Artinya : Allah melaknat wanita-wanita yang sering menziarahi kubur"
Jika hadits tersebut keluar setelah izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para wanita untuk berziarah kubur, berarti terjadi penghapusan hukum dua kali (dilarang, lalu dibolehkan, dan akhirnya dilarang lagi). Hal seperti ini tidak pernah kita jumpai dalam hukum-hukum syari'at yang di 'mansukh'.

Baiklah ! kita anggap saja sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Allah melaknat wanita-wanita yang sering menziarahi kubur" keluar setelah beliau menginzinkan pria dan wanita berziarah kubur. Tapi bagaimana dengan hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah memberikan izin kepada Aisyah untuk berziarah kubur ? Apakah izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini terjadi setelah hadits laknat di atas ? Atau sebelumnya ?

Pendapat yang kuat menurut kami adalah bahwa izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar sebelum hadits "laknat terhadap perempuan-perempuan tukang berziarah".

Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa yang dilarang adalah perempuan yang berlebih-lebihan dan terlalu sering berziarah. Sangat tidak mungkin ziarah ini haram bagi wanita, sementara Sayyidah Aisyah kerap kali berziarah kubur, sampai sepeninggal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.


[Disalin dari kitab Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Al-Bani. hal 157-160, Pustaka At-Tauhid]


=============================================================

HUKUM MEMOTONG RAMBUT DAN KHITAN

Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman

Pertanyaan.
Jelaskan hukum memotong rambut kepala bagi laki-laki dan hukum berkhitan. Sebutkan pula perbedaan pendapat tentang hukum khitan (beserta dalil-dalil dan keterangannya)?

Jawaban
Hukum memotong rambut bagi kaum laki-laki adalah sunnah berdasarkan hadits dari Aisyah, ia berkata.

“Artinya : Panjang rambut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah diantara daun telinga, sampai (di atas) bahu” [Ahmad VI/118, Abu Dawud No. 4187, Tirmidzi no. 1755, Ibnu Majah No.3655]

Dan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Adalah rambut beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengombak (ikal), tidak keriting dan tidak pula lurus. (Panjangnya) antara daun telinga dan kedua bahunya” [Bukhari No. 5563, 5564,5565. Muslim No. 2338]

Imam Ahmad III/113, 165, Muslim No. 2338 meriwayatkan dengan lafal.

“Artinya : Adalah rambut beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai pada (batas) tengah-tengah kedua telinganya”.

Adapun khitan, wajib hukumnya bagi laki-laki dan mulia (utama) bagi kaum wanita, yaitu tidak wajib, berdasarkan keterangan dari banyak ulama.

Abu Abdillah berkata, “Ibnu Abbas sangat tegas dalam masalah khitan. Diriwayatkan dari beliau, bahwa “Tidak sah haji dan shalatnya”. Maksud beliau jika orang itu tidak berkhitan”.

Dalil tentang wajibnya berkhitan adalah sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang laki-laki yang baru saja masuk Islam.

“Artinya : Bersihkan darimu rambut kekafiranmu dan berkhitanlah” [Abu Dawud No. 356]

Begitu pula hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Ibrahim kekasih Allah berkhitan pada usia 80 tahun. Beliau berkhitan dengan kapak” [Bukhari No. 3178, 5940. Muslim No. 2370]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Kemudian Kami telah wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang lurus”[An-Nahl : 123]

Disamping itu karena khitan adalah salah satu dari syiar kaum muslimin. Kalaulah berkhitan itu tidak wajib tentu tidak boleh membuka aurat untuk khitan, karena membuka aurat itu hukumnya haram. Namun, ketika membuka aurat untuk berkhitan itu diperbolehkan, hal itu menunjukkan berkhitan itu wajib.

Berkhitan juga disyariatkan kepada wanita. Abu Abdillah berkata, Dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Apabila dua khitan (laki-laki dan perempuan) bertemu (senggama) maka wajib mandi” [Ahmad VI/239. Tirmidzi 109, dan Ibnu Majah 608]

Dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa para wanita dahulu (pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkhitan.

Begitupula hadits Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang wanita tukang khitan pernah mengkhitan (seorang anak wanita), maka Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya, “Sisakan sedikit bila engkau mengkhitan” [Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah V/420-421]

Al-Khallaf meriwayatkan dengan sanadnya dari Syaddad bin Aus, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Khitan itu sunnah bagi laki-laki dan mulia (utama) bagi wanita” [1]

Hadits yang seperti hadits Syaddad itu diriwayatkan pula dari Jabir bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu secara mauquf.

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada wanita tukang khitan khusus wanita.

“Artinya : (Sisakanlah) syahwatnya dan jangan dihabiskan, karena hal itu lebih memuaskan suami dan wajah (bisa) lebih bercahaya”[Lihat Majma Az-Zawaid V/172]

Waktu yang wajib bagi laki-laki berkhitan adalah ketika sudah baligh, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, katanya.

“Artinya : Dan mereka (para sahabat) tidaklah mengkhitan seorang laki-laki melainkan setelah dia berusia baligh”[Bukhari No. 5941]

Namun kewajiban ini akan gugur bagi orang yang takut mengalami kebinasaan (bila dikhitan). Dan berkhitan di masa kecil sampai usia tamyiz (sebelum baligh) lebih baik, karena akan lebih cepat sembuh dan dia akan tumbuh dalam keadaan sesempurna mungkin. Wallahu ‘alam


[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 06/I/rabi’ul Awwal 1424H -2003M]
_________
Foote Note
[1] Hadits dhaif karena dalam sanadnya terdapat perawi bernama al-Hallaj bin Artha’ah. Dia seorang mudallis dan riwayatnya akan hadits ini mudhtarib (goncang).

HUKUM QOZA DAN MENCABUT UBAN

Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman

Pertanyaan.
Apa yang dimaksud dengan qoza ? Bagaimana hukumnya dan apa dalilnya ?

Jawaban.
Yang dimaksud dengan qoza adalah mencukur sebagian rambut kepala dan membiarkan sebagian yang lain. Adapun hukumnya adalah makruh

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nafi’ dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang qoza”

Kemudian Nafi’ ditanya, “Apa yang dimaksud dengan qoza ?” Dia menjawab, “Mencukur sebagian rambut kepala dan membiarkan sebagian yang lain” [Bukhari No. 5576 dan Muslim No. 2120]

Begitupula hadits lain dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang anak yang dicukur sebagian rambut kepalanya dan dibiarkan sebagian yang lain, maka beliau melarang perbuatan mereka itu dengan bersabda.

“Artinya : Cukurlah seluruhnya atau biarkan saja seluruhnya” [Ahmad II/88, Abu Dawud No. 4195, Nasa’i 5048 dan Nasa’i dengan sanad yang shahih]

Pertanyaan.
Apa hukumnya mencabut uban dan hukum mengubah warnanya (menyemirnya)? Apa pula dalilnya ?

Jawaban.
Mencabut uban hukumnya makruh (dibenci). Demikian pula mengubah warnanya (menyemir) dengan warna hitam hukumnya makruh.

Adapun dalil larangan mencabut uban adalah sebuah hadits dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Janganlah kalian mencabut uban karena uban itu cahaya seorang muslim. Tidaklah seorang muslim tumbuh ubannya karena (memikirkan) Islam malainkan Allah tulis untuknya (dengan sebab uban tersebut) satu kebaikan, mengangkatnya (dengan sebab uban tersebut) satu derajat, dan menghapus darinya (dengan sebab uban tersebut) satu kesalahan” [Ahmad II/179, 210 –dan ini lafalnya, Abu Dawud No. 4202]

Begitu pula hadits dari Ka’ab bin Murrah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang tumbuh ubannya karena (memikirkan) Islan, maka pada hari kiamat nanti dia akan mendapatkan cahaya”[Tirmidzi No. 1634 –dan ini lafalnya-, dan Nasa’i 3144 dengan tambahan lafal ‘fii sabilillah’]

Adapun dalil kemakruhan mengubah warna uban dengan warna hitam adalah berdasarkan hadits dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Pada hari ditaklukannya kota Mekkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu) dibawa menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang rambut kepalanya putih seperti kapas, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Bawalah dia ke salah seorang isterinya agar mengubah warna rambutnya dengan sesuatu (bahan pewarna) dan jauhilah warna hitam”[Hadits Riwayat Jama’ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi] [1]

Abu Dawud No. 4212 dan Nasa’i No. 5075 telah meriwayatkan sebuah hadits dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Pada akhir zaman nanti akan ada suatu kaum yang menyemir dengan warna hitam seperti arang. Mereka ini tidak akan mencium bau harumnya surga”.

Adapun mengubah (menyemir) rambbut dengan inai dan katam [2] maka hukumnya sunnah, dan tidak (memyemir) dengan tumbuhan waros dan za’faron [3]. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya sebaik-baik bahan untuk mengubah (menyemir) uban ini adalah inai dan katam” [Ahmad V/147, 150, 154, 156, 169. Tirmidzi No. 1752. Abu Dawud No. 4205, Nasa’i No. 5062. Ibnu Majah No. 3622]

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ‘Pernah ada seorang laki-laki melewati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang rambut ubannya disemir dengan inai, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Betapa bagusnya ini”.

Ibnu Abbas berkata, kemudian laki-laki lain lewat sedang rambut ubannya disemir dengan inai dan katam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Ini lebih baik dari yang tadi”.

Kemudian laki-laki lain lewat sedang rambut ubannya disemir dengan warna kuning, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Ini adalah yang terbaik dari semuanya” [Abu Dawud No. 4211, diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah No. 3627]


[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 06/I/rabi’ul Awwal 1424H -2003M]
_________
Foote Note
[1] Lihat shahih Muslim No. 2102, Sunan Abu Dawud No. 4206, Sunan An-Nasa’i No. 5076 dan 5242, Sunan Ibnu Majah 3642 dan Musnad Ahmad III/316
[2] Sejenis tumbuhan yang menghasilkan waran kemerah-merahan atau kekuning-kuningan, semacam pacar.
[3] Sejenis tumbuhan yang menghasilkan waran kemerahan atau kekuningan.

SUNNAH-SUNNAH FITRAH

Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman
Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]


Pertanyaan.
Apa saja sunnah-sunnah fitrah itu dan apa dalilnya ?

Jawaban.
Yaitu sunnah-sunnah yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu dan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Adapun hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Lima perkara yang termasuk fitrah, yaitu : mencukur bulu kemaluan, berkhitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku”[Hadits Riwayat Bukhari 5550, 5552, 5939. Muslim 257. Abu Dawud 4198. Tirmidzi 2756 dan ini lafalnya. Nasa’i 10. Ibnu Majah 292]

Adapun hadits Aisyah, yaitu dari jalan Zakariya bin Abu Zaidah dan Mush’ab bin Abu Syaibah dari Thalq bin Habib dari Abu Zubair dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sepuluh perkara yang termasuk fitrah, yaitu : memotong kumis, membiarkan jenggot, bersiwak (gosok gigi), memasukkan air ke dalam hidung (ketika berwudhu), memotong kuku, membasuh ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan , beristinja’ (dengan menggunakan air)”

Zakaria berkata, “Mus’ab berkata, ‘Aku lupa perkara yang kesepuluh. Kalau tidak salah adalah berkumur” [Hadits Riwayat Ahmad VI/137. Muslim 261. Nasa’i 5040. dan Tirmidzi 2757]


Pertanyaan.
Adakah dalil yang menjelaskan tentang –batasan-batasan waktu dalam- memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan ? Tolong jelaskan berserta dalilnya !

Jawaban.
Semua dilakukan setiap pekan berdasarkan hadits riwayat Al-Baghawi di dalam Musnad-nya [Al-Baghawi] dari Abdullah bin Amru bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong kuku dan kumisnya pada setiap hari jum’at”

Dan makruh hukumnya bila membiarkannya (tidak dipotong) lebih dari 40 (empat puluh) hari berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.

“Artinya : Kami telah diberi tempo dalam memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan jangan sampai dibiarkan lebih dari empat puluh malam” [Hadits Riwayat Muslim 258 dan Ibnu Majah 295]

Sementar Ahmad III/122, Tirmidzi 2759 dan Abu Dawud 4199, meriwayatkan dengan lafal.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tempo kepada kami……”

[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 05/I/Dzulqa’adah 1424H -2003M]

SUNNAH-SUNNAH FITRAH

Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan [1/2]

Pertanyaan
Tolong jelaskan tentang hukum mencukur jenggot dan memotong kumis berserta dalil-dalilnya !

Jawaban.
Diharamkan mencukur, memotong, mencabut dan membakar jenggot. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan benar-benar telah Aku muliakan anak cucu Adam” [Al-Isra : 70]

Al-Baghawi rahimahullah berkata, “Ada yang menafsirkan bahwa Allah memuliakan kaum laki-laki dengan jenggotnya dan memuliakan kaum wanita dengan (panjang) rambutnya”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Apa saja yang datang dari Rasul, maka ambillah, dan apa yang dilarang oleh Rasul maka tinggalkanlah” [Al-Hasyr : 7]

Allah juga berfirman.

“Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [An-Nur : 63]

Dan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Potonglah kumis dan biarkan jenggot, selisilah orang-orang majusi” [Hadits Riwayat Ahmad II/365, 366 dan Muslim 260]

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

“Artinya : Selisihilah orang-orang musyrik (dengan cara) melebatkan jenggot dan memendekkan kumis” [Hadits Riwayat Bukhari 5553 dan Muslim 259]

Imam Ahmad [Lihat Al-Musnad II/366] meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Panjangkanlah jenggot dan potonglah kumis. Janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani”

Al-Bazzar meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahun ‘anhu secara marfu’ (yaitu hadits yang riwayatnya diangkat sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).

“Artinya : Janganlah kalian menyerupai orang-orang asing ; panjangkanlah jenggot”

Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari mereka” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud 4031 dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, sedangkan Al-Bazaar meriwayatkannya dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu VII/368]

Dari riwayat yang lain dari Amru bin Syau’aib dari bapaknya dari kakeknya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

“Artinya : Bukan termasuk dari golongan kita orang yang tasyabbuh kepada selain kita (menyerupai orang kafir). Janganlah kalian semua menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani” [Tirmidzi 2695, beliau berkata : “Hadits ini sanadnya dhaif”]

Dan riwayat dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu (dengan lafal).

“Artinya : Barangsiapa menyerupai mereka sampai dia mati, maka akan dikumpulkan bersama mereka”.

Dari Zaid bin Arqom, dia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang tidak memotong (memendekkan supaya tidak menutupi bibirnya) maka bukan termasuk dari golongan kami” [Hadits Riwayat Ahmad, Tirmidzi dan Nasa’i]

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.
“Artinya : Adalah beliau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong atau mencukur sebagian kumisnya dan demikian pula yang dilakukan Nabi Ibrahim –khaliilurrahmaan shalawaatullah ‘alaihi” [Hadits Riwayat Tirmidzi]

Muhaddits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani –rahimahullah- telah menjelaskan hukum mencukur jenggot dalam kitabnya, Adabu Az-Zifaf, hal.118-123. Beliau berkata : “mencukur jenggot termasuk adat kebiasaan yang sangat buruk bagi orang yang fitrahnya masih sehat, dan itu adalah sebuah bencana yang telah menimpa sebagian besar kaum laki-laki, yaitu berhias diri dengan cara mencukur jenggot yang itu tidak lain hanya karena ikut-ikutan kepada orang kafir Eropa. Sampai-sampai menjadi aib bagi mereka apabila ada laki-laki yang menikah kemudian menjumpai istri barunya dalam kondisi tidak mencukur jenggotnya. Bahkan ada kesesatan lain dalam masalah ini yaitu mereka membiarkan jenggotnya ketika ada salah seorang kerabat karibnya yang wafat (sungguh bukan mata kepala mereka yang buta akan tetapi mata hati mereka yang buta). Dan orang yang mencukur jenggot berarti masuk dalam beberapa penyimpangan, diantaranya adalah :

Merobah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 118-119

“Artinya : Yang dilaknati Allah dan syaithan itu mengatakan, “Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Mu bagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga binatang-binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya dan akan aku suruh mereka (merobah ciptaan Allah) lalu benar-benar mereka merobahnya. Barangsiapa yang menjadikannya syaithan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata”.

Ini adalah nash yang jelas menjelaskan tentang hukum merubah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ada izin dariNya, yang berarti telah mentaati perintah Syaithan, dan bermaksiyat kepada Al-Rahman. Maka sudah pasti bahwa laknat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dimaksudkan kepada orang-orang yang merobah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tujuan (prasangka) supaya lebih baik (dari yang sebelumnya), maka tidak diragukan lagi perkara cukur jenggot dengan tujuan supaya lebih ganteng ini (!?) termasuk di dalamnya. Pelaknatan tersebut termasuk dalam mencukur jenggot sebagaimana yang telah saya katakana dan itu sangat jelas, tanpa adanya izin dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, supaya tidak ada orang yang menyangka (sebaliknya) bhawa yang termasuk dalam perobahan tersebut adalah seperti mencukur bulu kemaluan atau yang sejenisnya yang telah dizinkan oleh syariat, bahkan di sunnahkan atau diwajibkan.

Perbuatan tersebut menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sabda beliau.

“Artinya : Potonglah kumis dan peliharalah jenggot” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Arti dan kata inhakuu adalah sempurnakan dalam memotong, dan maksud sempurna dalam memotong disini adalah memotong apa yang lebih (menutupi) bibir bukan mencukur bersih itu menyelisihi sunnah shahihah yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk itu Imam Malik ketika ditanya tentang orang yang memanjangkan kumisnya berkata, “Saya berpendapat dicambuk supaya bertaubat”. Beliau berfatwa bagi orang yang mencukur kumisnya, “Ini adalah satu kebid’ahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat”. Riwayat Al-Baihaqi 1/151 lihat Fathul Al-Bari 10/285-286]

Karena itulah Imam Malik tidak mencukur kumisnya. Ketika ditanya tentang hal itu beliau berkata, “Telah berkata kepadaku Zaid bin Aslam dari Amir bin Abdillah bin Az-Zubair bahwasanya Umar Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu apabila marah berdiri bulu kumisnya”. Riwayat At-Thabari di Mu’jam Al-Kabir 1/4/1 dengan sanad yang shahih.

Telah diketahui di sana ada kaidah, “Perintah itu mengandung faidah wajib, kecuali ada qarinah (tanda yang menunjukkan tidak wajibnya perintah tersebut)”. Padahal qorinah (tanda) yang ada disini memperkuat hukum wajibnya memelihara jenggot, yaitu.

1. Menyerupai Orang-Orang Kafir
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Potonglah kumis, peliharalah jenggot dan selisihilah orang-orang majusi” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Yang juga menambah kuatnya hukum wajib memelihara jenggot adalah :

2. Menyerupai Wanita.
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki [Hadits Riwayat Bukhari X/274]. Dan tidak tersembunyi lagi bahwasanya laki-laki yang mencukur jenggot yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya sebagai pembeda bagi kaum laki-laki dengan perempuan, maka mencukur jenggot merupakan penyerupaan laki-laki dengan wanita yang paling besar.

Semoga apa yang telah kami sampaikan berupa sebagian dalil-dalil yang ada bisa memuaskan orang-orang yang terkena cobaan dengan penyelisihan ini. Semoga Allah mengampuni kita semua dan mengampuni mereka dari semua yang tidak disukai dan diridhaiNya. Amiin


[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 05/I/Dzulqa’adah 1424H -2003M]

=============================================================

FENOMENA TAHDZIR, CELA-MENCELA SESAMA AHLUSSUNNAH DAN SOLUSINYA

Oleh
Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Bagian Terkahir Dari Dua Tulisan [2/2]

Kedua.
Berkaitan dengan cara membantah orang yang melakukan kekeliruan pendapat perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:

[1]. Hendaknya bantahan tersebut dilakukan dengan penuh keramahan dan kelemah-lembutan disertai keinginan yang kuat untuk menyelamatkan orang yang salah tersebut dari kesalahannya, apabila kesalahannya jelas terlihat. Selayaknya seseorang yang hendak membantah pendapat orang lain merujuk bagaimana cara Syaikh bin Baz tatkala melakukan bantahan, untuk kemudian diterapkannya.

[2]. Apabila kesalahan orang yang dibantah tadi masih samar, mungkin benar atau mungkin juga salah, maka selayaknya masalah tersebut dikembalikan kepada pimpinan Lembaga Fatwa untuk diberi keputusan hukumnya. Adapun apabila kesalahannya jelas, maka wajib bagi orang yang dibantah tersebut untuk meninggalkannya. Kerena kembali kepada kebenaran adalah lebih baik dari pada tetap tenggelam dalam kebatilan.

[3]. Apabila seseorang telah membantah orang lain, maka berarti dia telah menunaikan kewajiban dirinya, maka hendaknya dia tidak menyibukkan diri mengikuti gerak-gerik orang yang dibantah. Sebaliknya, dia selayaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun orang lain. Begitulah sikap yang dicontohkan oleh Syaikh bin Baz.

[4]. Seorang penuntut ilmu tidak diperbolehkan mengajak orang lain serta memaksanya untuk memilih si Fulan (yang dibantah) atau ikut dia (yang membantah); apabila sepakat dengannya maka dia selamat; namun apabila tidak sepakat maka di bid’ahkan dan diboikotnya. Tidak boleh seorang pun menisbatkan fenomena tabdi’ (pembid’ahan) dan hajr (pemboikotan) yang kacau seperti ini sebagai manhaj ahlussunnah. Dan siapapun tidak diperbolehkan mengelari orang yang tidak menempuh jalan yang ngawur ini sebagai orang yang tidak bermanhaj salaf. Boikot (hajr) yang dilakukan dalam manhaj ahlussunnah adalah boikot yang memberikan manfaat bagi orang yang diboikot, seperti boikot seorang bapak pada anaknya, Syaikh kepada muridnya, dan boikot dari pihak yang memiliki kedudukan dan derajat yang lebih tinggi kepada orang-orang yang menjadi bawahannya. Boikot-boikot seperti itu akan memberikan manfaat bagi orang yang diboikot. Namun apabila boikot itu bersumber dari dari seorang penuntut ilmu kepada penuntut ilmu yang lain, lebih-lebih pada perkara yang tidak selayaknya seseorang diboikot, maka boikot seperti itu tidak manfaat sedikit pun bagi orang yang diboikot, tetapi malah akan menimbulkan permusuhan, saling membelakangi dan saling menghalangi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Majmu’ Fatawa (III/413-414) ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah. Beliau berkata.

“Pendapat yang benar adalah pendapat yang dikemukakan oleh para imam, yaitu bahwa Yazid bin Mu’awiyah tidak perlu dicintai secara khusus, namun juga tidak boleh dilaknat. Meskipun dia seorang yang fasiq atau zalim, mudah-mudahan Allah mengampuni orang yang fasiq dan zalim, terlebih lagi dia telah melakukan kebaikan yang besar".

Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah bersabda.

"Pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin akan diampuni dosa-dosanya"

Dan pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin dipimpin oleh Yazid bin Mu’awiyah, dan Abu Ayyub Al-Anshari ikut dalam pasukan tersebut.
Oleh karena itu, selayaknya kita bersikap adil dalam permasalahan tersebut. Kita tidak boleh mencela Yazid bin Mu’awiyah dan memata-matai seseorang dalam bersikap terhadapnya, karena sikap seperti itu adalah bid’ah yang bertentangan dengan manhaj ahlussunnah wal jama’ah.

Dalam kitab yang sama (III/415), beliau juga berkata, “Sikap seperti itu juga akan memecah belah umat Islam. Disamping itu, sikap itu tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (XX/164), “Tidak boleh seorang pun menjadikan orang lain sebagai figur yang harus diikuti dan sebagai standar dalam berteman atau bermusuhan selain Rasulullah. Tidak diperkenankan pula seseorang menjadikan sebuah perkataan pun sebagai barometer untuk berteman dan bermusuhan selain perkataan Allah dan Rasul-Nya serta ijma’ kaum muslimin. Cara-cara seperti ini adalah termasuk perbuatan ahli bid’ah. Para ahli bid’ah biasa menjadikan figur atau sebuah perkataan sebagai tolak ukur. Mereka berteman ataupun bermusuhan dengan dasar perkataan atau figur tersebut. Akhirnya hanya memecah-belah umat Islam.

Para pendidik tidak boleh mengkotak-kotakkan umat Islam, dan melakukan perbuatan yang hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bahkan yang seharusnya dilakukan adalah saling menolong atas dasar kebaikan dan takwa, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala,

“Dan Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [Al-Maidah: 2]

Al-Hafizh Ibnu Rajab ketika menjelaskan hadist : Beliau berkata, “Termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tak berguna baginya.”

Dalam kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al ‘Hikam (I/288), beliau berkata, “Hadist ini merupakan landasan penting dalam masalah adab. Imam Abu Amru bin Ash Shalah menceritakan bahwa Abu Muhammad bin abu Zaid, salah seorang imam Madzhab Malik pada zamannya, pernah berkata: “Adanya berbagai macam adab kebaikan bercabang dari empat hadist, yaitu hadist Rasulullah:

“Barangsiapa yang beriman dengan Allah Ta’ala dan hari akhirat hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau (kalau tidak bisa) lebih baik diam.”

Lalu hadits:

"Salah satu ciri baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya"

Lalu hadist Rasulullah yang mengandung wasiatnya yang singkat :

"Jangan marah"

Kemudian yang terakhir hadist:

"Seorang mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya"

Saya Berkata :
Betapa perlunya para penuntut ilmu dengan adab-adab diatas, karena adab-adab tersebut jelas akan mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Para penuntut ilmu juga perlu menjauhi sikap dan kata-kata yang kasar yang hanya akan membuahkan permusuhan, perpecahan, saling membenci dan mencerai-beraikan persatuan.

Menjadi kewajiban bagi setiap penuntut ilmu untuk menasehati dirinya sendiri agar berhenti mengikuti tulisan-tulisan di internet yang memuat komentar kedua belah pihak dalam masalah ini. Hendaknya mereka memanfaatkan dan memperhatikan website yang lebih bermanfaat seperti website milik Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang berisi telaah pembahasan-pembahasan ilmiah keagamaan dan fatwa-fatwa beliau yang sampai sekarang telah mencapai dua puluh satu jilid. Website lain yang lebih bermanfaat untuk mereka lihat adalah website Fatwa Lajnah Daimah yang sampai kini telah mencapai dua puluh jilid; begitu pula website Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang berisi telaah kitab-kitab dan fatwa-fatwanya yang banyak dan luas.


[Disalin dari kitab “Rifqon Ahlussunnah bi Ahlissunnah edisi Indonesia Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlassunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir Hajr oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr, Terbitan Titian Hidayah Ilahi, Hal. 69-85]

BENIH TAKFIR DALAM TUBUH UMAT


Oleh
Syaikh Abu Usamaha Salim bin Ied Al-Hilali
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2

Semoga Allah menjadikan pertemuan ini, pertemuan yang diberkahi, mendorong penyebaran ilmu yang murni, penyebaran Kitabullah dan Sunnah Rasulullah dan manhaj Salafush Shalih, generasi yang datang setelah Nabi, dan membawa agama ini dengan amanah, antusias dan ketegaran.

Topik pembicaraan kami, (ialah) seputar fitnah ghuluw dalam takfir, bahayanya terhadap umat dan pengaruh destruktifnya di masyarakat lokal maupun internasional.

Definisi takfir, yaitu memvonnis atau mensifati seseorang dengan kekafiran, atau mensifatinya dengan hukum kafir ; baik dengan alasan yang benar ataupun tidak. Karena itu, saya tegaskan bahwa takfir merupakan hukum syar’i. Ia merupakan wewenang Allah dan RasulNya. Tidak boleh kita meniadakan atau menolaknya. Sebab, takfir merupakan hukum syar’i ; ada orang yang bisa dikafirkan (dan) ada juga yang terjerumus dalam perbuatan takfir.

Tetapi masalahnya bukan pada persoalan di atas, namun terletak pada sikap ekstrim dalam takfir (mengkafirkan) dan mengeluarkan takfir itu dari kaidah yang telah ditetapkan Allah dan Rasulullah.

Karena itu, ada orang yang boleh dikafirkan, ada juga yang tidak boleh untuk dikafirkan. Dalam permasalahan ini, Ahlus Sunnah bersikap tengah-tengah antara dua golongan. Golongan yang mengabaikan hak Allah dalam masalah takfir ini, dengan golongan ekstrim menempatkan takfir bukan pada porsinya.

Ulama mengklasifikasikan kekufuran menjadi dua katagori :

Pertama : Kufur akbar yang mengeluarkan (manusia) dari Islam.
Kedua : kufur ashgar, tidak mengeluarkan dari Islam, meskipun diistilahkan kufur.

Dalam masalah pembagian kufur ini, ada keterangan paling mewakili, yaitu yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnul Qayim dalam kitabnya yang agung Ash-Shalah. Beliau menuturkan, kufur terbagi (menjadi) dua jenis, (yaitu) kufur yang mengeluarkan dari agama. Beliau menerangkan kufur ini berlawanan dengan iman dalam semua aspek. Maksudnya, ketika ada seseorang yang melakukannya, maka imannya akan hilang. Misalnya mencaci Allah, memaki NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyakiti Nabi, bersujud kepada kuburan dan patung, melemparkan mushaf ke tempat kotor, atau contoh-contoh serupa lainnya yang telah dipaparkan para ulama. Orang yang terjerumus dalam perbuatan-perbuatan ini dihukumi sebagai kafir. Hujjah harus ditegakkan kepadanya (artinya, ia harus diingatkan dengan hujjah,-red), sampai syarat-syarat takfir terpenuhi dan segala penghalang kekafiran hilang. Jika hujjah sudah ditegakkan kepadanya oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk itu atau oleh wakilnya, sedangkan ia tetap menolak, maka baru divonis sebagai kafir.

Jenis kedua, yang tidak mengeluarkan dari agama. Namun syari’at Islam menyebutkannya sebagai tindakan kekufuran, seperti perbuatan-perbuatan maksiat. Contohnya termaktub dalam beberapa hadits.

“Artinya : Mencaci orang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kufur” [Hadits Riwayat Bukhari No. 48, Muslim No. 64]

“Artinya : Barangsiapa bersumpah dengan menyebut nama selain Allah, maka ia kafir atau musyrik” [Hadits Riwayat Tirmidzi]

“Artinya : Janganlah kalian menjadi kafir sepeninggalkau, yaitu sebagian kalian membunuh yang lain” [Hadits Riwayat Bukhari No. 121. Muslim No. 65]

Begitu juga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang orang yang meninggalkan shalat dengan sebutan kufur. Demikianpula firman Allah.

“Artinya : Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia termasuk orang-orang yang kafir” [Al-Ma’idah : 44]

Ini adalah contoh-contoh kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari agama, dengan syarat tidak menganggapnya sebagai perbuatan yang halal. Jika meyakini perbuatan maksiat ini halal, maka ia telah keluar dari Islam, murtad dan menjadi kafir. Ini adalah istihlal qalbi (penghalalan secara hati).

Berikutnya, pembicaraan kita tentang masalah ini, yaitu tentang orang-orang yang berlebihan-lebihan dalam takfir, menjadikan perbuatan yang tidak mengeluarkan dari agama, sebagai perkara yang mengeluarkan dari Islam. Dari sinilah fitnah terjadi. Dan ini merupakan fitnah pertama yang terjadi di dalam Islam, di tangan-tangan orang Khawarij yang dinyatakan oleh Nabi sebagai anjing-anjing neraka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih.

Pada waktu itu, pembesar mereka menantang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala Belaiu membagi rampasan perang di Hunain dengan memberikannya kepada orang-orang yang muallaf dan tidak memberikan kepadanya sedikitpun. Pemimpin mereka itu mengatakan : “Bersikap adillah, wahai Muhammad! Sesungguhnya pembagian yang engkau lakukan ini tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Celaka engkau. Siapa lagi yang akan berbuat adil kalau aku tidak berbuat adil? Sesungguhnya aku orang yang paling mengenal Allah dan paling bertawqa kepadaNya” [Hadits Riwayat Bukhari]

Dari sikap yang ditujukan oleh laki-laki penentang Rasulullah tersebut, terlihat dengan jelas faktor-faktor yang mendorong mereka ke dalam sikaf takfir (mengkafirkan orang).

[1]. Mereka menjadikan himpitan sosial, politik atau ekonomi sebagai sarana untuk keluar dari prinsip-prinsip pemahaman Islam dan memberontak kepada penguasa kaum Muslimin.

[2]. Kelancangan mereka terhadap Waliyul Amr. Kelancangan itu ditunjukkan oleh pimpinan mereka terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam sebuah hadits shahih dalam Musnad (disebutkan). “Suatu hari Nabi melewati orang ini dalam keadaan sujud. Maka beliau menghampiri para sahabatnya. Beliau berkata : “Siapa yang mau membunuhnya ?” Abu Bakar mengiyakan, lalu bangkit dengan pedang terhunus. Kemudian beliau menghampiri orang itu, belaiu mendapati sedang sujud. Maka beliaupun kembali (tidak membunuhnya) seraya berkata :”Ya Rasulullah, bagaimana aku membunuh yang mengucapkan laa illaha illa Allah?”. Demikian juga yang dilakukan Umar. Kemudian Ali menyanggupinya, beliau bergegas ke sana, tapi orang tersebut sudah tidak ada lagi. Kemudian. Beliau bersabda : “Seandainya ia berhasil dibunuh, tentu tidak akan ada lagi dua orang yang berselisih di antara umatku”.

Jadi, benih-benih takfir tumbuh dari golongan Khawarij, dan ini merupakan fitnah yang pertama kali terjadi dalam Islam, dan akan terus berlangsung sampai akhirnya Dajjal bergabung dengan pasukan mereka.

Apa yang diperintahkan Nabi pun terjadi. Fitnah Khawarij merangsek. Dan hasil pertama yang menjadi akibatnya, ialah yang dialami Khalifah ketiga Utsman Asy-Syahid yang mendapat jaminan syurga. Orang-orang Khawarij dengan provokasi dari Yahudi, memberontak kepadanya dan berhasil mengepung, dan membunuh Khalifah Utsman Radhiyallahu ‘anha. Kemudian mereka memobilisasi pasukannya untuk memberontak kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi Ali memerangi, membunuh dan menghabisi mereka sampai akarnya. Sedikit pun tidak tersisa, kecuali sembilan orang saja, sebagaimana dipaparkan buku-buku sejarah. Sembilan orang ini menyebar ke seluruh penjuru dunia. Menyebar pula fitnah Khawarij bersama mereka, membawa pemikiran takfir, petumpahan darah dan pembunuhan. Sungguh benar sabda Nabi, mereka adalah duri buat Islam. Mereka tidak mengusik orang-orang kafir, tetapi justru memerangi umat Islam.

Demikianlah, fitnah ini menghasilkan pertumpahan darah, menciderai kehormatan serta perusakan. Dan ini terjadi di negari-negeri Islam.


[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425H/2005M Rubrik Liputan Khusus yang diangkat dari ceramah Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilali Tanggal 5 Desember 2004 di Masjid Istiqlal Jakarta]

BENIH TAKFIR DALAM TUBUH UMAT

Oleh
Syaikh Abu Usamaha Salim bin Ied Al-Hilali
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2

Fitnah ini akan berlangsung terus sebagaimana dikabarkan Nabi. Dalam hadits Ibnu Umar dalam sunan Ibnu Majah (disebutkan) : “Akan tumbuh generasi yang membaca Al-Qur’an. Ketika sebuah generasi habis, maka akan datang generasi berikutnya sampai datang di tengah-tengah mereka Dajjal”. Mereka adalah Khawarij. Setiap kali pupus satu generasi, akan tumbuh generasi baru. Demikian seterusnya hingga muncul Dajjal ditengah pasukan mereka yang dimobilisasi untuk melawan kaum muslimin. Mereka adalah para pengikut Dajjal. Dajjal yang menyebarkan kerusakan dimuka bumi, dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan. Orang-orang Khawarij ini adalah tentara Dajjal di akhir zaman, mereka mendukung kekuasaan Dajjal dan mendukung kerusakan yang dilakukan Dajjal. Wal’iyyadzu billah tabaraka wa ta’ala.

Inilah yang kita lihat di lapangan. Muculnya jama’ah-jama’ah takfir dan menodongkan senjata mereka kehadapan umat Islam. Hasilnya, (ialah) pemboman, perusakan, pembunuhan dan pengusiran penduduk.

Peristiwa ini juga terjadi dihadapan anda. Lihat misalnya, apa yang terjadi beberapa tahun silam ketika muncul golongan ekstrimis di Aljazair. Mereka melakukan pembunuhan, perusakan-perusakan dan penodaan terhadap kehormatan dengan dalih Islam di bawah panji jihad, atau dalih melawan himpitan politik dan seabreg dalih besar lainnya. Sebenarnya mereka pernah bertanyan kepada para ulama. Dan ulamapun telah memberikan nasihat kepada mereka. Namun mereka menutup telinga dan tetap keras kepala.

Fitnah mereka mulai terjadi tahun 90-an hingga kini. Hasil yang diakibatkannya adalah, setengah juta orang Islam terbunuh. Setengah juta orang terbunuh hanya dalam waktu sepuluh tahun, di tangan orang yang mengaku dirinya muslim, mengaku berbuat untuk Islam dan mengaku bahwa mereka berjihad di jalan Allah.

Sementara, negeri Islam Aljazair, ketika melancarkan perang kemerdekaannya melawan penjajah Perancis selama seratus tiga puluh tahun, hanya mengorbankan satu juta syahid. Apabila korban di tangan orang Islam saja mencapai setengah juta jiwa dalam waktu sepuluh tahun, bagaimana jika fitnah ini berlangsung selama seratus tiga puluh tahun ? Berapa korban yang akan jatuh ? Maka akan menghabisi masyarakat muslim di sana!

Sebelumnya di Suriah, juga ada kelompok ekstrim yang memberontak dengan semboyan-semboyan membahana dan slogan-slogan besar. Maka terjadilah apa yang terjadi, pembunuhan, pengusiran penduduk, dan pengeboman. Bahkan ada sebuah kota, yaitu kota Hamah, total hancur-lebur disebabkan oleh ulah mereka, dengan menelan korban tewas empat puluh ribu jiwa dan penduduknya.

Itulah ulah mereka, penyembelihan, perusakan, peledakan, dan teror terhadap masyarakat yang terusik rasa amannya. Di sana sini ada ranjau darat, bom mobil, granat dan pembunuhan-pembunhan misterius. Akan tetapi kemanapun mereka pergi, sesungguhnya Allah senantiasa mengawasi!

Tidak ada satu jengkal negeri kaum musliminpun yang selamat dari fitnah ini. Dan negeri ini, negeri Islam yang penduduknya paling banyak di antara negeri-negeri Islam lainnya, juga tidak selamat dari ulah mereka, dari perusakan mereka, dari pemboman mereka dan dari terror mereka.

Hal ini, atau beberapa hari sebelumnya, juga terjadi di negara Haramain. Semoga Allah menjaganya dan menjaga seluruh negara Islam dari ulah tangan para perusak itu. Dan semoga Allah membasmi mereka. Setiap negeri kaum muslimin, senantiasa terancam dengan keberadaan mereka.

Karena itu, kita wajib berhati-hati terhadap bahaya pemikiran ini. Pemikiran yang secara lahir kelihatan indah, tetapi disebaliknya menyimpan kebusukan. Ada banyak sebab mengapa hal itu terjadi. Namun akan saya sebutkan secara garis besar pada tiga sebab.

[1]. Semangat keagamaan yang ada pada para pemuda, namun disertai kebodohan terhadap syari’at dan terhadap maksud-maksud agama.

[2]. Semangat buta ini dimanfaatkan oleh para hizbiyyin dan harakiyyin, terutama yang terpengaruh pemikiran Sayyid Qutb dan Muhammad Qutb. Sesungguhnya kelompok-kelompok ghuluw dan jama’ah-jama’ah takfir lahir karena terinspirasi oleh buku-buku mereka berdua, sebagaimana pengakuan tokoh besar mereka. Kelompok-kelompok itu memanfaatkan semangat para pemuda yang bodoh ini dengan mengarahkan mereka untuk mengkafirkan para penguasanya, mengkafirkan negerinya dan mengkafirkan umatnya sehingga mereka menjadi perusak dan menjadi bencana bagi negeri mereka.

[3]. Ditambah lagi, ada tangan-tangan tersembunyi serta pihak-pihak yang mempunyai kaitan dengan orang-orang kafir, mengail di air keruh, ikut memanfaatkan kebodohan ini, kemudian mengarahkannya untuk mengadakan kerusakan, penghancuran dan menimbulkan kekacauan di negerinya kaum muslimin. Semua itu diatasnamakan Islam, padahal Islam berlepas diri dari itu semua. As-Salafiyah juga berlepas diri dari itu semua.

Islam adalah agama yang menjunjung keamanan, kesentausaan, dan ketentraman, Islam mempersatukan kata dan hubungan. Sedangkan Salafiyah adalah dakwah menuju Kitab Allah, Sunnah Rasulullah dan manhaj Salaf. Maka dakwah Salafiyah sangat memperhatikan keamanan kaum muslimin dan sangat memperhatikan keamanan negeri kaum muslimin, seperti halnya dakwah Salafiyah juga sangat memperhatikan keamanan kaum muslimin serta bersemangat untuk mempersatukan bahasa serta negeri kaum muslimin. Karena itu, kita wajib merujuk kepada ulama besar kita.

Dalam masalah-masalah krusial, kita harus bertanya kepada ulama-ulama besar, tidak boleh bertanya kepada ulama kecil. Masalah-masalah besar hanya bisa dijawab oleh ulama-ulama besar. Dahulu ulama besar yang telah wafat seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Utsaimin pernah mengeluarkan fatwa untuk para pemuda, bahwa kegiatan-kegiatan (merusak) itu adalah tidak syar’i, tidak boleh dikerjakan oleh para pemuda harus mempejari agamanya serta berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah. Para pemuda harus duduk disekeliling ulama supaya bahasa dan barisannya bisa bersatu. Semantara para musuh, baik dari dalam maupun dari luar tidak mampu mengusik barisan kita.

Saya berdoa agar Allah mempersatukan kita, menolong kita untuk menghadapi musuh, dan agar Allah menjadikan izzah terlimpah bagi Islam, kaum muslimin dan siapa saja yang membela Islam. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk melakukan itu semua.


[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425H/2005M Rubrik Liputan Khusus yang diangkat dari ceramah Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilali Tanggal 5 Desember 2004 di Masjid Istiqlal Jakarta]

Musuh-musuh Dakwah Tauhid

Sabtu, 24 Maret 2006 - 20:17:23, Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Baabduh

Sebagaimana dialami Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dakwah yang mengajak kepada tauhid niscaya akan menghadapi musuh-musuh yang tiada henti-hentinya untuk memadamkan cahaya tauhid di muka bumi ini. Daulah Utsmani, yang merupakan representasi kelompok Sufi, yang juga diagungkan banyak kelompok pergerakan Islam, adalah salah satunya. Bagaimana kisah selengkapnya, simak kajian berikut!

Telah menjadi sunnatullah, Allah telah menetapkan adanya musuh-musuh yang senantiasa menghalangi dakwah menuju tauhid dan upaya-upaya untuk menegakkan syariat Islam. Mereka bisa datang dari kaum kafir ataupun dari kalangan kaum munafiqin yang memakai baju Islam yang merasa terusik kepentingannya dan khawatir terbongkar kedok dan syubhat-syubhatnya. Hal ini sebagaimana Allah tegaskan di dalam firman-Nya:


“Dan demikianlah, kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lainnya perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)


“Dan demikianlah, kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh dari kalangan orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Rabb mu menjadi Pemberi Petunjuk dan Penolong.” (Al-Furqan: 31)
Begitu pula dakwah yang dilakukan para ulama pewaris nabi, yang selalu berdakwah untuk memurnikan tauhid serta menegakkan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara mereka adalah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu yang telah berupaya memurnikan tauhid umat serta mengajak mereka untuk menegakkan syariat Islam. Namun musuh-musuh dakwah beliau tidak rela terhadap apa yang beliau lakukan.
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu menyimpulkan musuh yang menghalangi dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dalam tiga jenis:
1. Para ulama suu` yang memandang Al-Haq sebagai suatu kebatilan dan memandang kebatilan sebagai Al-Haq, dan berkeyakinan bahwa pembangunan (kubah-kubah) di atas kubur serta mendirikan masjid di atas kubur-kubur tersebut, kemudian berdoa, ber-istighatsah kepadanya serta amalan yang serupa dengan itu, adalah bagian dari agama dan petunjuk (yang benar, pent). Dan mereka berkeyakinan bahwa barangsiapa mengingkari hal itu berarti dia telah membenci orang-orang shalih, serta membenci para wali.
Jenis yang pertama ini adalah musuh yang harus diperangi.
2. Jenis yang kedua adalah orang-orang yang dikenal sebagai ulama, namun mereka tidak mengerti tentang hakekat Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu yang sebenarnya. Mereka tidak mengetahui pula tentang kebenaran dakwah beliau bahkan cenderung bertaqlid kepada yang lain, serta membenarkan setiap isu negatif yang dihembuskan ahli khurafat dan para penyesat.
Sehingga mereka menyangka berada di atas kebenaran atas isu-isu negatif yang dituduhkan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, bahwasanya beliau membenci para wali dan para nabi, serta memusuhi mereka dan mengingkari kekeramatannya. Sehingga mereka memusuhi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan mencela dakwahnya serta membuat orang antipati terhadap beliau.
3. Orang-orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya. Mereka memusuhi beliau agar kekuatan para pengikut dakwah Islamiyyah tersebut tidak sampai menyentuh mereka, yang akan menurunkan mereka dari posisinya serta menguasai negeri-negeri mereka.-sekian dari Asy-Syaikh Ibnu Baz.1
Faktanya, musuh-musuh dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu banyak diperankan oleh:
1. Kaum kafir Eropa
Inggris, Prancis, dan lainnya, yang tengah berkuasa dan menjajah negeri-negeri Islam pada waktu itu. Mereka menganggap bahwa dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu yang bertujuan memurnikan tauhid dan menegakkan syariat, merupakan suatu kekuatan besar yang dapat mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri jajahannya.
Karena dakwah beliau ini telah berhasil menyatukan umat dalam naungan aqidah tauhid di sejumlah negeri. Selain di daerah Najd, ternyata dakwah beliau telah berhasil menyentuh muslimin di negeri lainnya seperti di Afrika Utara yang mayoritasnya adalah negeri-negeri jajahan Inggris dan Prancis, India sebagai jajahan Inggris, dan tak luput pula Indonesia sebagai jajahan Belanda.
Hal ini membuat para penjajah kafir itu geram dan mengkhawatirkan bangkitnya muslimin di negeri jajahannya. Sehingga mereka pun berupaya untuk menjauhkan kaum muslimin dan membuat mereka antipati terhadap dakwah tauhid yang dilancarkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab2.
Hal ini mereka lakukan dengan cara:
a. Menebarkan isu-isu negatif dan dusta tentang dakwah tauhid di tengah-tengah muslimin melalui para misionaris mereka, baik secara lisan maupun tulisan.
b. Memprovokasi dan mempengaruhi pemerintahan Dinasti ‘Utsmani untuk membenci dan memerangi dakwah tauhid, dan dikesankan kepada mereka bahwa dakwah mulia tersebut sebagai ancaman besar bagi eksistensi Daulah ‘Utsmaniyyah3.
c. Pemberian bantuan pasukan dari pemerintahan penjajah Inggris maupun Prancis kepada Dinasti ‘Utsmani dalam upayanya menyerang dakwah tauhid.4
Di antara bukti yang menunjukkan provokasi mereka terhadap Dinasti ‘Utsmani untuk memusuhi dan menyerang dakwah tauhid adalah adanya penyerangan tentara Dinasti ‘Utsmani terhadap kota Ad-Dir’iyyah sebagai pusat dakwah tauhid di bawah pimpinan Ibrahim Basya pada tahun 1816 M atas perintah ayahnya Muhammad Ali Basya, Gubernur Mesir ketika itu, yang bersekongkol dengan penjajah Prancis.
Karena keberhasilannya atas penyerangan ke negeri Ad-Dir’iyyah itu, Pemerintah Inggris mengirimkan utusannya, yaitu Kapten George Forster Sadleer, untuk menyampaikan ucapan selamat secara khusus dari Pemerintahan Inggris atas keberhasilan Dinasti ‘Utsmani menghancurkan Ad-Dir’iyyah5.
2. Daulah ‘Utsmaniyyah
Yang tak kalah gencar pula adalah permusuhan pemerintahan Dinasti ‘Utsmani yang telah terprovokasi kaum kafir penjajah. Keadaan ini diperburuk oleh para mufti pemerintahan Dinasti ‘Utsmani yang notabene beraqidah tashawwuf. Siang dan malam mereka memprovokasi pemerintah untuk memerangi dakwah tauhid di Najd, baik di masa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu masih hidup, ataupun permusuhan mereka terhadap dakwah tauhid sepeninggal beliau.
Tercatat dalam sejarah, beberapa kali ada upaya penyerangan yang dilakukan Dinasti ‘Utsmani terhadap Negeri Najd dan kota-kota yang ada di dalamnya yang terkenal sebagai pusat dakwah tauhid.
Di antaranya apa yang terjadi di masa Sultan Mahmud II, ketika memerintahkan Muhammad ‘Ali Basya untuk menyerang kekuatan dakwah tauhid di Najd. Tentara Muhammad ‘Ali Basya dipimpin oleh anaknya Ibrahim Basya dalam sebuah pasukan besar dengan bantuan militer dari negara-negara kafir Eropa. Pada akhir tahun 1232 H, mereka menyerang kota ‘Unaizah dan Al-Khubra` serta berhasil menguasai Kota Buraidah. Sebelumnya, pada bulan Muharram 1232 H, tepatnya tanggal 23 Oktober 1818 M, mereka berhasil menduduki daerah Syaqra’ dalam sebuah pertempuran sengit dengan strategi tempur penuh kelicikan yang diatur oleh seorang ahli perang Prancis bernama Vaissiere.
Bahkan dalam pasukan Dinasti ‘Utsmani yang menyerang Najd pada waktu itu didapati 4 orang dokter ahli berkebangsaan Itali. Nama-nama mereka adalah Socio, Todeschini, Gentill, Scots. Nama terakhir ini adalah dokter pribadi Ibrahim Basya. Demikian juga didapati perwira-perwira tinggi Eropa yang bergabung dalam pasukan Dinasti ‘Utsmani dalam penyerangan tersebut.6
Hal ini menunjukkan bahwa Dinasti ‘Utsmani telah bersekongkol dengan negara-negara kafir Eropa di dalam memerangi dakwah tauhid, yang tentunya hal ini mengundang amarah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjadi sebab terbesar hancurnya Daulah ‘Utsmaniyyah.
Belum lagi kondisi tentara dan pasukan tempur Dinasti ‘Utsmani yang benar-benar telah jauh dari bimbingan Islam. Hal ini sebagaimana disebutkan sejarawan berkebangsaan Mesir yang sangat terkenal, yaitu Abdurrahman Al-Jabrati. Ketika menyampaikan kisah tentang kondisi pasukan Dinasti ‘Utsmani dan membandingkannya dengan pasukan tauhid di Najd, yang beliau nukil dari penjelasan salah seorang perwira tinggi militer Mesir yang menceritakan tentang kondisi pertempuran yang terjadi pada tahun 1227 H yang dipimpin Ahmad Thusun, putra Muhammad ‘Ali Basya, beliau menyatakan:
“…dan beberapa perwira tinggi mereka (tentara Mesir, pent.) yang menyeru kepada kebaikan dan sikap wara’ telah menyampaikan kepadaku bahwa mana mungkin kita akan memperoleh kemenangan, sementara mayoritas tentara kita tidak berpegang dengan agama ini. Bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak beragama dengan agama apapun dan tidak bermadzhab dengan sebuah madzhab pun. Dan berkrat-krat minuman keras telah menemani kita. Di tengah-tengah kita tidak pernah terdengar suara adzan, tidak pula ditegakkan shalat wajib. Bahkan syi’ar-syi’ar agama Islam tidak terbetik di benak mereka.
Sementara mereka (tentara Najd, pent), jika telah masuk waktu shalat, para muadzin mengumandangkan adzan dan pasukan pun segera menata barisan shaf di belakang imam yang satu dengan penuh kekhusyu’an dan kerendahan diri. Jika telah masuk waktu shalat, sementara peperangan sedang berkecamuk, para muadzin pun segera mengumandangkan adzan. Lalu seluruh pasukan melakukan shalat khauf, dengan cara sekelompok pasukan maju terus bertempur sementara sekelompok yang lainnya bergerak mundur untuk melakukan shalat.
Sedangkan tentara kita terheran-heran melihat pemandangan tersebut. Karena memang mereka sama sekali belum pernah mendengar hal yang seperti itu, apalagi melihatnya.” –sekian
Kalau kisah tersebut disampaikan salah seorang perwira tinggi militer Mesir, maka Abdurrahman Al-Jabrati sendiri juga menceritakan tentang pertempuran yang terjadi pada tahun 1233 H yang dipimpin Ibrahim Basya dalam menghancurkan Ad-Dir’iyyah, yang tidak jauh berbeda dari kisah yang disampaikan sang perwira tinggi tersebut di atas. Lihat penjelasan tersebut dalam kitab Al-Jabrati, IV/140.8
Dinasti ‘Utsmani melengkapi kekejaman dan permusuhannya terhadap dakwah tauhid dengan menawan Al-Amir Abdullah bin Su’ud, sebagai salah satu penerus dan pembela dakwah tauhid yang telah menginfakkan jiwa dan hartanya dalam menegakkan kalimat tauhid serta syariat Islam. Beliau dikirim ke Mesir dan selanjutnya dikirim ke Istambul lalu dihukum pancung di sana setelah sebelumnya diarak di jalan-jalan Istanbul, dijadikan sebagai lelucon dan olok-olok selama tiga hari. Peristiwa ini terjadi pada 18 Shafar 1234 H/ 17 Desember 1818 M.9
3. Permusuhan kaum sufiyyah
Musuh berikutnya yang dengan gencar memusuhi dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah orang-orang dari aliran tashawwuf/Sufi yang merasa kehilangan pamor di hadapan para pengikutnya. Dengan dakwah tauhid, banyak syubhat dan kerancuan kaum Sufi yang terbongkar dan terbantah dengan hujjah-hujjah yang terang dan jelas, yang disampaikan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, murid-murid, serta para pendukungnya.
Berbagai macam bid’ah dan amalan-amalan yang menyelisihi sunnah Rasul serta amalan-amalan yang tercampur dengan berbagai praktek kesyirikan yang selama ini mereka tebarkan di daerah Najd ataupun Hijaz (Makkah dan Madinah), mulai tersingkir dan dijauhi umat. Demikian juga praktek amalan ibadah haji yang selama ini telah mereka penuhi dengan bid’ah dan amalan yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta berbagai upaya untuk memakan harta umat dengan cara batil, juga terhalangi dengan adanya dakwah tauhid tersebut.
Ini semua membuat mereka geram dan marah terhadap dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dan murid-muridnya. Itu semua mendorong mereka untuk berupaya menjauhkan umat dari dakwah beliau. Mereka sebarkan berbagai macam kedustaan tentang beliau dan dakwah tauhid yang disampaikannya.
Kaum Sufi bersama orang-orang kesultanan Turki dan Mesir serta kaum kafir Eropa menciptakan sebuah julukan terhadap dakwah beliau dengan Gerakan Dakwah Al-Wahhabiyyah serta melukiskannya sebagai madzhab baru di luar Islam. Nama Al-Wahhabiyyah adalah sebuah nama yang dinisbahkan kepada ayah Asy-Syaikh Muhammad yang bernama Abdul Wahhab.
Padahal jika mereka mau jujur, semestinya mereka menjulukinya dengan Muhammadiyyun, yaitu nisbah kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu secara langsung. Namun hal itu sengaja mereka lakukan dalam rangka memberikan kesan lebih negatif terhadap dakwah beliau. Karena jika memakai julukan Muhammadiyyun akan terkesan di banyak kalangan bahwa ini adalah sebuah madzhab yang baik.
Bahkan mereka tak segan-segan mengucapkan kata-kata kotor untuk memuluskan tujuannya, yang sebenarnya kita sendiri malu untuk mendengar dan menukilkan kalimat tersebut. Namun dengan sangat terpaksa kami nukilkan salah satu contoh kata-kata kotor dan menjijikkan yang diucapkan tokoh-tokoh Sufi.
Di antaranya adalah yang diucapkan salah satu tokoh mereka yang dikenal dengan nama Muhammad bin Fairuz Al-Hanbali (meninggal 1216 H) dalam rekomendasinya terhadap kitab Ash-Shawa’iq war Ru’ud, sebuah kitab yang penuh dengan tuduhan dan kedustaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, karya seorang tokoh Sufi yang bernama Abdullah bin Dawud Az-Zubairi (meninggal 1225 H). Dalam rekomendasinya itu, Ibnu Fairuz berkata:
“…Bahkan mungkin saja Asy-Syaikh (yakni ayah Asy-Syaikh Muhammad yang bernama Abdul Wahhab, pent.) pernah lalai untuk menggauli ibunya (yakni ibu Muhammad bin Abdul Wahhab, pent.) sehingga dia didahului oleh setan untuk menggauli isterinya. Jadi pada hakekatnya setanlah ayah dari anak yang durhaka ini.”10
Sebuah ucapan kotor yang penuh kekejian dan kedustaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu bahkan terhadap ayah dan ibunya.
Mereka juga menuduh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dengan berbagai tuduhan dusta, di antaranya:
Tuduhan bahwasanya beliau mengklaim An-Nubuwwah (yakni mengaku sebagai nabi), sebagaimana disebutkan dalam kitab Mishbahul Anam karya Ahmad Abdullah Al-Haddad Ba’alawi (hal. 5-6). Dan dinyatakan pula oleh Ahmad Zaini Dahlan (meninggal 1304 H) dalam sebuah makalah kecilnya yang berjudul Ad-Durar As-Saniyyah fir Raddi ‘alal Wahhabiyyah (hal. 46): “…yang nampak dari kondisi Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwasanya dia adalah seorang yang mengklaim An-Nubuwwah. Hanya saja dia tidak mampu untuk menampakkan klaimnya tersebut secara terang-terangan.”
Pernyataan semacam ini dia tegaskan juga dalam kitabnya yang lain yang berjudul Khulashatul Kalam, hal. 228-261.
Buku-buku Ahmad Zaini Dahlan ini, adalah buku-buku yang sarat dengan kedustaan dan tuduhan-tuduhan batil terhadap dakwah dan pribadi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Buku-buku itu, dalam kurun 60 tahun terakhir ini, sering menjadi referensi kaum Sufi di berbagai belahan bumi, termasuk di Indonesia, dalam menebarkan kedustaan terhadap dakwah tauhid yang mulia itu. Bahkan sebagian buku-buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Lebih parah lagi, buku-buku karya kaum Sufi ini dimanfaatkan kaum kafir dan para orientalis sebagai referensi bagi mereka dalam menebarkan kedustaan terhadap dakwah mulia tersebut dan menjauhkan umat Islam darinya. Di antara mereka adalah seorang orientalis berkebangsaan Denmark bernama Caresten Nie Bury dalam bukunya (Travel Through Arabia and Other Countries In The East) namun dia tidak berhasil memasuki Najd. Sehingga ketika menulis tentang sejarah Najd, dia banyak menukil dan menyandarkan karyanya pada berita-berita yang beredar di Jazirah Arabia yang telah dipenuhi banyak kedustaan oleh para tokoh Sufi di sana11.
Begitu juga salah seorang tokoh kafir yang lainnya menulis sebuah buku yang berjudul (Memorandum, by T.E. Ravenshaw)12. Buku ini pun dipenuhi berbagai macam kedustaan dan tuduhan-tuduhan batil terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.
Kemudian diikuti pula oleh seorang orientalis lainnya yang bernama William W. Hunter dalam bukunya Al-Muslimun fil Hind (The Indian Musalmans, dicetak pada tahun 1871 M, kemudian dicetak kedua kalinya pada tahun 1945 M) yang telah banyak menukil dari seniornya, yaitu T.E. Ravenshaw.13
Beliau juga dituduh sebagai penganut inkarul hadits (aliran yang mengingkari hadits); sebagaimana dituduhkan Ahmad Abdullah Al-Haddad Ba‘alawi di dalam kitabnya Mishbahul Anam. Tentunya tuduhan tersebut sangatlah aneh. Karena Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu selalu berhujjah dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana dalam banyak karya beliau, yang telah banyak diketahui oleh umat Islam. Namun begitulah kaum Sufi, tidak malu dan segan untuk berdusta untuk menjauhkan umat dari dakwah tauhid.
Tuduhan kepada Al-Amir Su’ud bin Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud -salah satu pembela dan pembawa bendera dakwah tauhid yang menghabiskan waktu, tenaga, pikiran, dan segala yang dimilikinya dalam membela dakwah yang mulia tersebut - bahwasanya beliau telah menghancurkan kubah yang dibangun di atas kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal itu sama sekali tidak pernah terjadi.
Memang benar beliau dan para pendukungnya telah menghancurkan beberapa kubah yang berada di Najd dan sekitarnya, namun sedikitpun mereka belum pernah menyentuh bangunan kubah di atas kubur Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Walaupun mereka semua yakin bahwa bangunan kubah tersebut tidak diridhai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bertentangan dengan syariat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu 'anhu, bahwasanya beliau berkata:



“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dilaburnya sebuah makam, dan diduduki, serta dibangun di atasnya.” (HR. Muslim 970)
Hal ini dipertegas pula dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu, ketika beliau mengutus Abul Hayyaj, “Maukah engkau aku utus dengan sebuah misi yang dengan misi tersebut pula aku diutus oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?” Yaitu:


“Jangan kau biarkan satu gambarpun kecuali kau musnahkan, dan jangan kau biarkan ada satu kuburan pun yang menonjol kecuali kau ratakan.” (HR. Muslim no. 969)
Namun demikianlah musuh-musuh dakwah tauhid memutarbalikkan fakta, sehingga beberapa sejarawan orientalis senang dengan disebutkannya beberapa kisah dusta tersebut. Hal ini sebagaimana didapati dalam beberapa buku sejarah karya mereka, di antaranya tulisan yang berjudul Hadhir Al-‘Alam Al-Islami (The New World of Islam) karya L. Stoddard (1/64), Dictionary of Islam “Wahhabiyah” karya Thomas P. Hughes (hal. 660), Mustaqbal Al-Islam (Future of Islam) karya Lady Anne Blunt (hal. 45). Dan masih banyak sejarawan orientalis lainnya yang memanfaatkan kedustaan serta tuduhan batil kaum Sufi terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk semakin mencemarkan dakwah tauhid yang beliau dakwahkan.14
Dan masih banyak tuduhan-tuduhan dusta yang lainnya.
Namun kami simpulkan kedustaan-kedustaan tersebut dengan menukilkan sebuah surat yang ditulis oleh putra beliau yang bernama Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, yang ditujukan kepada penduduk Makkah pada tahun 1218 H / 1803 M. Beliau berkata:
“…Adapun sekian perkara dusta atas nama kami dalam rangka untuk menutupi al-haq, di antaranya tuduhan bahwa kami menafsirkan Al-Qur`an dengan logika kami serta mengambil hadits-hadits yang sesuai dengan pemahaman kami… Dan bahwasanya kami merendahkan kedudukan Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pernyataan kami bahwasanya Nabi telah menjadi debu di kuburnya dan tongkat salah seorang kami lebih bermanfaat dari beliau, dan bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memiliki syafaat, serta berziarah kepadanya tidak disunnahkan…, dan bahwasanya kami adalah beraliran mujassimah15, serta mengkafirkan manusia secara mutlak (tanpa batas, pent)… Maka ketahuilah bahwa seluruh kisah khurafat tersebut di atas dan yang semisalnya… Jawaban kami terhadap setiap permasalahan tersebut di atas adalah dengan ucapan:

سُبْحَانَكَ هَذا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ

“Maha Suci Engkau (Wahai Rabb kami) sesungguhnya ini adalah kedustaan yang sangat besar.” (An-Nur: 16)
—sekian dari kitab Al-Hadiyyatus Sunniyyah, hal. 46 16
4. Syi’ah Rafidhah
Tak kalah dahsyat dari permusuhan kaum Sufi terhadap dakwah tauhid, adalah permusuhan kaum Syi’ah Rafidhah, yang juga merasa terusik dengan adanya dakwah tauhid. Aqidah mereka yang sesat dan penuh dengan kekufuran, yang mereka tebarkan di tengah-tengah umat dengan penuh pembodohan dan penipuan, terbongkar dengan tersebarnya dakwah tauhid tersebut. Umat menjadi mengerti bahwa aqidah Syi’ah Rafidhah yang meyakini bahwa:
‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu adalah seorang imam yang ma’shum, dan seluruh shahabat yang menyelisihinya adalah kafir.
Para imam Syi’ah Rafidhah yang 12 mengetahui perkara-perkara ghaib, bahkan punya andil di dalam mengatur alam semesta.
Keyakinan mereka dengan aqidah Ar-Raj’ah, yaitu keyakinan bahwasanya ‘Ali bin Abi Thalib dan imam-imam mereka yang 12 akan kembali hidup di akhir zaman
dan lain-lain,
adalah aqidah sesat yang bisa mengantarkan seseorang kepada kekufuran.
Ini semua membuat mereka marah dan memusuhi dakwah tauhid hingga hari ini. Belum lagi kemarahan mereka karena pasukan tauhid telah menghancurkan bangunan kubah di atas kuburan Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib di Karbala. Itu semua mendorong mereka untuk memusuhi dakwah tauhid tersebut dan menebarkan kedustaan-kedustaan tentangnya.
Tak cukup sampai di situ. Mereka bahkan melampiaskan kebencian dan permusuhannya itu dalam bentuk tindakan fisik. Di antaranya adalah pembunuhan atas Al-Amir Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud pada tanggal 18 Rajab 1218 H/4 November 1803 M, yang dilakukan seorang Syi’ah Rafidhah berkebangsaan Iran. Beliau dibunuh oleh penjahat ini ketika beliau sedang menunaikan shalat Ashar. Tepatnya ketika beliau bersujud, tiba-tiba datanglah orang Syi’ah tersebut dengan membawa sebilah belati kemudian menghunjamkannya ke tubuh Al-Amir Abdul Aziz rahimahullahu.
Permusuhan ini terus berlanjut hingga masa kini. Baik dalam bentuk permusuhan fikri ataupun fisik. Sebagai contoh adalah sejumlah upaya penyerangan yang dilakukan kaum Syi’ah Rafidhah pengikut Khumaini (Khomeini, red.) di Kota Makkah, pada musim haji tepatnya pada hari Jum’at 6 Dzulhijjah 1407 H. Didahului penyebaran selebaran-selebaran yang berisi kedustaan dan provokasi, sebuah penyerangan sporadis dan penuh kezhaliman itu menelan 402 korban jiwa dari jamaah haji dan pihak keamanan Negeri Tauhid.
Tak cukup sampai di sana, pada tahun 1409 H, kembali para pengikut Khumaini dari kalangan Syi’ah Rafidhah yang kejam dan tidak berperikemanusiaan itu melakukan peledakan bom di Masjidil Haram, yang juga menelan korban jiwa serta korban luka dari para jamaah haji, tamu-tamu Allah.17
5. Hizbiyyun dan pergerakan-pergerakan Islam
Zaman berganti zaman, generasi pun telah berganti. Namun permusuhan terhadap dakwah tauhid tak kunjung usai, dan memang akan terus berlanjut. Dalam beberapa dekade terakhir ini, kaum hizbiyyun menampilkan diri sebagai musuh dakwah tauhid dan sunnah yang ditegakkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dan para penerusnya. Di antara kaum hizbiyyun itu pada masa ini adalah:
Al-Ikhwanul Muslimun (IM)
Gerakan yang didirikan di atas upaya merangkul berbagai macam kelompok dan pemikiran bid’ah —sebagaimana telah dijelaskan dalam majalah Asy Syari’ah edisi 20, Sejarah Hitam IM— telah mempraktekkan berbagai macam bentuk permusuhan terhadap dakwah tauhid dan sunnah serta negara tauhid Saudi Arabia. Baik melalui statemen dan karya-karya tulis para tokohnya, maupun dalam bentuk tindakan fisik nyata di lapangan.
Di antara penulis dan tokoh besar IM adalah Muhammad Al-Ghazali, yang melarikan diri dari ancaman Anwar Sadat - Presiden Mesir kala itu - dan tinggal di negeri Saudi Arabia.
Dengan segala fasilitas yang dia terima dari negeri tauhid ini, dia justru menikam dari belakang dan membalas kebaikan itu dengan caci maki terhadap para ulama tauhid dan sunnah, penerus dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Hal ini sebagaimana didapati dalam beberapa karyanya yang penuh dengan kesesatan. Di antaranya adalah apa yang dia tulis dalam kitabnya Kaifa Nata’amalu ma’al Qur`an dan kitab As-Sunnah baina Ahlil Fiqhi wa Ahlil Hadits.
Namun Alhamdulillah, para ulama tauhid telah membantah dan menghancurkan syubhat-syubhatnya. Di antaranya adalah bantahan yang ditulis Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan Asy-Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhahumallah.
Kemudian permusuhan Muhammad Al-Ghazali terhadap dakwah tauhid dan sunnah ini diikuti pula oleh tokoh dan pemikir besar IM lainnya, yaitu Yusuf Al-Qaradhawi. Dia adalah murid dari Muhammad Al-Ghazali sekaligus temannya. Namun cara Al-Qaradhawi di dalam menunjukkan permusuhannya lebih halus dan terselubung dibandingkan gurunya. Hal ini nampak sekali dalam karya-karyanya, seperti kitab Kaifa Yata’amalu Ma’as Sunnah dan Awwaliyatul Harakatil Islamiyyah, serta beberapa kitabnya yang lain.18
Kemudian pada generasi berikutnya IM melahirkan tokoh-tokoh semacam Muhammad Surur bin Naif Zainal ‘Abidin, yang nampak lebih arogan dalam memusuhi negeri tauhid dan dakwah tauhid itu sendiri. Begitu besar kebencian dan permusuhannya, sehingga dia merasa sesak nafasnya dan sempit dadanya untuk tinggal bersama kaum muslimin di negeri tauhid. Dia justru memilih tinggal bersama kaum kafir di Inggris dengan merendahkan dirinya di bawah perlindungan hukum-hukum kufur di negeri kafir yang sangat memusuhi Islam itu. Sementara itu, dia mengkafirkan pemerintah-pemerintah muslimin dengan alasan mereka tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah.
Dengan penuh kebencian dan tanpa malu, dia keluarkan sejumlah pernyataan pedas dan dusta tentang ulama-ulama tauhid dan sunnah di negeri tauhid Saudi Arabia khususnya. Lihat sebagian pernyataan-pernyataannya yang pernah dimuat dalam majalah Asy Syari’ah Vol. I/No. 12/1425 H/2005. Lihat pula kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 51-57; Al-Irhab karya Asy-Syaikh Zaid Al-Madkhali, hal. 67-77.
Kelompok ini pun tak segan-segan melakukan tindakan fisik untuk mewujudkan permusuhannya terhadap dakwah Tauhid dan para da’inya, sebagaimana telah terjadi di beberapa tempat. Di antaranya adalah yang terjadi di negeri Yaman berupa penembakan brutal dan sporadis terhadap sejumlah Ahlus Sunnah di sebuah masjid, yang menyebabkan sebagian mereka terbunuh.
Bahkan salah satu tokoh IM di negeri Yaman mengancam Ahlus Sunnah dengan pernyataannya: “Jika seandainya kami memiliki kekuatan, niscaya kami akan memerangi Wahhabiyyin sebelum kami memerangi kaum komunis.” Hal ini sebagaimana dikisahkan Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullahu dalam beberapa kali ceramah beliau.
Lebih dari itu semua, apa yang telah terjadi di Afghanistan dengan terbunuhnya seorang mujahid Ahlus Sunnah, yaitu Asy-Syaikh Jamilurrahman rahimahullahu. Pembunuhnya adalah salah seorang dari kelompok IM yang dikenal dengan Abu ‘Abdillah Ar-Rumi. Dia datang ke Afghanistan membawa kebencian yang sangat besar terhadap Ahlus Sunnah dan menjulukinya dengan Wahhabiyyah. Pembunuhan sadis ini terjadi pada hari Jum’at 20 Shafar 1412 H/ 30 Agustus 1991 M sebelum Asy-Syaikh Jamilurrahman berangkat menuju shalat Jum’at. Pembunuh kejam itu mendatangi beliau sebagai tamu yang hendak memeluknya. Tanpa disangka ternyata orang ini melepaskan tembakan ke arah Asy-Syaikh dan tepat mengenai wajah dan kepala beliau!
Inilah sekelumit contoh permusuhan dan kebencian tokoh-tokoh besar IM terhadap para ulama tauhid dan sunnah serta negeri tauhid Saudi Arabia.

Hizbut Tahrir
Kelompok Hizbut Tahrir (HT) adalah sebuah kelompok sempalan yang didirikan Taqiyyuddin An-Nabhani di negeri Yordania pada tahun 1372 H/1953 M. Selengkapnya bisa pembaca dapati pada majalah Asy Syari’ah Vol. II/No. 16/1426 H/2005.
Namun yang hendak kita tampilkan di sini adalah bentuk kebencian dan permusuhan HT terhadap Daulah Tauhid dan para ulamanya.
Permusuhan itu diwujudkan dalam statemen-statemen mereka dan karya-karya tulisnya. Di antaranya adalah apa yang disebutkan dalam buku berbahasa Inggris How The Khilafah Destroyed (Kaifa Hudimat Al-Khilafah) karya Abdul Qadim Zallum yang diterbitkan Khilafah Publication London England. Buku ini adalah salah satu buku refensi utama dalam perjalanan HT.
Dalam buku ini, penulisnya telah menuduh Daulah Tauhid sebagai suatu bentuk konspirasi Barat dalam meruntuhkan Khilafah ‘Utsmaniyyah, dengan mengkambinghitamkan Al-Amir Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud rahimahullahu dan menyatakan beliau sebagai agen Inggris. Padahal justru beliau adalah seorang yang telah menyerahkan waktu, tenaga, pikiran, dan hidupnya untuk membela dan menegakkan tauhid sebagaimana telah kami sebutkan di atas.
Tuduhan HT ini sama sekali tidak disertai dengan bukti dan fakta ilmiah. Tapi yang ada hanya sebatas analisa dan klaim semata. Sebaliknya telah kami paparkan di atas dengan bukti-bukti ilmiah bahwa ternyata Dinasti ‘Utsmanilah yang sebenarnya bersekongkol dan diperdaya oleh negara-negara kafir Eropa dalam memerangi dakwah tauhid dan sunnah.
Kemudian mereka juga menuduh gerakan Dakwah Tauhid sebagai gerakan pemberontakan terhadap Dinasti ‘Utsmani. Tuduhan ini pun adalah tuduhan yang batil dan dusta, sebagaimana telah kami bahas di atas.
Masih dalam buku tersebut di atas, penulis HT ini menuduh bahwa Al-Amir Su’ud bin Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud telah menghancurkan bangunan kubah di atas makam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta mempereteli batu perhiasan dan ornamen-ornamennya yang sangat berharga. Namun itu semua adalah dusta. Bahkan dengan itu, penulis HT ini telah mengikuti jejak para orientalis Eropa belaka, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Tak kalah serunya adalah salah satu tokoh HT yang bernama Muhammad Al-Mis’ari ikut meramaikan permusuhan kelompok ini terhadap dakwah dan negara tauhid dalam beberapa statemennya.
Di antaranya adalah pernyataan dia yang dimuat oleh surat kabar Asy-Syarqul Ausath edisi 6270, terbit pada hari Jum’at 8 Ramadhan 1416 H:
“Sesungguhnya kondisi saat ini di negeri Saudi Arabia yang tidak mengizinkan bagi kaum Masehi (Nashara, pent.) dan Yahudi untuk mempraktekkan syi’ar-syi’ar ibadah secara terang-terangan akan berubah dengan tampilnya Komisi ini19 di medan hukum. Bahwasanya pemberian hak kepada kaum minoritas adalah wajib, dalam bentuk hak untuk melaksanakan syi’ar-syi’ar agama mereka di gereja-gereja mereka, serta hak untuk mendapatkan pengakuan resmi atas pelaksanaan akad pernikahan sesuai dengan aturan agama mereka secara khusus serta hak-hak lainnya, sebagai bentuk penyempurnaan terhadap kebebasan kehidupan keagamaan dan kehidupan pribadi mereka secara sempurna. Baik mereka itu dari kaum Yahudi, Masehi, ataupun kaum Hindu!!”
Kemudian dia berkata: “Sesungguhnya pembangunan gereja-gereja adalah perkara yang mubah dalam syariat Islam.”20
Dia pun dengan lancang mencaci maki Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab —sang Mujaddid yang berdakwah untuk memurnikan tauhid umat ini dan menjauhkan mereka dari kesyirikan dan bid’ah— dengan statemennya yang dia ucapkan dalam sebuah selebaran resmi yang dikeluarkan CDLR dari London pada hari Kamis 22 Syawwal 1415 H / 23 Maret 1995 M:
“Kedua: Saya tidak akan membahas tentang aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Namun saya hanyalah menyebutkan tentang sebuah realita, yaitu bahwasanya dia (Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pent) adalah seorang yang berpemikiran nyleneh dan bukanlah seorang yang alim. Dia adalah seorang yang diliputi dengan berbagai masalah dan cara bersikap nyleneh yang memang sesuai dengan ke-nyleneh-an kaum di Najd pada masa itu…”
Nampak sekali kebencian tokoh besar HT yang satu ini terhadap dakwah tauhid sekaligus menunjukkan kebodohannya tentang tauhid itu sendiri. Namun yang sangat aneh dari orang ini, ketika dia mencaci maki Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pada saat yang sama dia memuji tokoh besar Syi’ah Rafidhah, Al-Khumaini, dengan pernyataannya:
“Sesungguhnya dia (Al-Khumaini, pent) adalah seorang pemimpin bersejarah yang agung dan jenius…”
Dalam selebaran yang sama pula, dengan penuh arogansi dia mencaci maki salah satu imam dakwah ini, yaitu Al-Imam Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu dengan pernyataannya:
“Pertama: Saya tidak menuduh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dengan kekufuran. Namun saya menyatakan dengan satu kata bahwa mayoritas ulama dan masyayikh berpandangan bahwasanya dia (Ibnu Baz) setelah (mengeluarkan) fatwanya tentang bolehnya upaya perjanjian damai dengan Israil telah sampai ke sebuah tahapan yang mendekati kepada kekufuran. Saya hanya menukilkan pendapat para ulama dan masyayikh tersebut. Adapun pendapat saya pribadi adalah beliau (Asy-Syaikh Ibnu Baz, pent) telah sampai pada derajat pikun, bodoh, dan kelemahan yang sangat rendah.”21
Bantahan tuntas atas ucapan keji ini para pembaca bisa mendapatinya dalam buku kami Mereka Adalah Teroris (Bantahan Aku Melawan Teroris) hal. 325-326 footnote no. 215. Begitu pula tentang jawaban hukum perdamaian dengan kaum kafir, lihat hal. 203-219 (cet. II/Edisi Revisi)
Subhanallah… Betapa kejinya ucapan tersebut! Seseorang yang berdakwah untuk memurnikan tauhid umat serta menjauhkan dari kesyirikan dibenci, dicaci maki, dan dituduh dengan tuduhan-tuduhan dusta. Sementara seorang Syi’ah Rafidhah, semacam Khumaini, yang menyeru kepada kesesatan dan kekufuran disanjung dan dipuji. Inikah sebuah Hizb dan tokohnya yang konon menginginkan tegaknya khilafah??!
Sayang sekali Al-Mis’ari yang telah mengumumkan kebenciannya terhadap daulah tauhid serta ulamanya dan merasa gerah hidup di tengah-tengah muslimin, justru rela dan merasa tentram tinggal di negeri kufur dengan perlindungan hukum dari mereka.

Al-Qa’idah (Al-Qaeda, red.)
Jaringan Al-Qa’idah, yang merupakan jaringan khawarij terbesar masa kini, juga tak kalah besar kebencian dan permusuhannya terhadap daulah tauhid dan sunnah serta para ulamanya. Kebencian tersebut tidak hanya dituangkan dalam bentuk statemen-statemen para tokohnya, bahkan juga dalam bentuk serangan fisik dan teror.
Usamah bin Laden mencaci maki salah seorang imam besar Ahlus Sunnah pada masa ini, yaitu Al-Imam Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu, di antaranya dalam suratnya yang ditujukan kepada Al-Imam Ibnu Baz tanggal 27/7/1415 H yang dikeluarkan Hai`ah An-Nashihah (Lembaga Nasehat) di negeri London, Usamah berkata:
“Dan kami mengingatkan engkau —wahai syaikh yang mulia— atas beberapa fatwa dan sikap-sikap yang mungkin Anda tidak mempedulikannya, padahal fatwa-fatwa tersebut telah menjerumuskan umat ini ke dalam jurang kesesatan (yang dalamnya) sejauh (perjalanan) 70 (tujuh puluh) tahun.”
Dengan tegas dan lugas, Usamah bin Laden menghukumi daulah tauhid Saudi Arabia sebagai negara kafir. Hal ini sebagaimana dimuat dalam koran Ar-Ra`yul ‘Am Al-Kuwaity edisi 11-11-2001 M, dalam sebuah wawancara dengan Usamah bin Laden, ia menjawab:
“Hanya Afghanistan sajalah Daulah Islamiyyah itu. Adapun Pakistan dia memakai undang-undang Inggris. Dan saya tidak menganggap Saudi itu sebagai Negara Islam….”
Usamah juga memvonis kafir Putra Mahkota Abdullah bin Abdul ‘Aziz –waktu itu dan kini sebagai Raja Negara Saudi Arabia—, yaitu dalam ucapannya yang terakhir untuk rakyat Iraq pada bulan Dzulhijjah 1423 H:
“…... Maka para penguasa tersebut telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan sekaligus MEREKA TELAH KELUAR DARI AGAMA (ISLAM) INI dan berarti mereka juga telah mengkhianati umat.”
Dengan bangga Usamah menyanjung para teroris yang melakukan aksi peledakan di negeri tauhid tersebut:
“Aku (Usamah) memandang dengan penuh pemuliaan dan penghormatan kepada para pemuda yang mulia, yang telah menghilangkan kehinaan dari umat ini, baik mereka yang telah meledakkan (bom) di kota Riyadh, atau peledakan di kota Khubar, ataupun peledakan-peledakan di Afrika Timur dan yang semisalnya.”
Dalam dua peledakan ini, terkhusus di Kota Khubar, memakan 18 korban jiwa yang mayoritasnya adalah muslimin, serta 350 lebih luka-luka dan sebagiannya lagi menderita cacat seumur hidup. Tidak cukup itu, bahkan Usamah “membumbui” kebenciannya terhadap daulah tauhid dengan kedustaan. Di antara kedustaannya adalah pernyataan dia bahwa kaum Salibis telah menduduki Masjidil Haram.
Wallahu a’lam.

1 Lihat kitab Al-Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab wa Da’watuhu wa Siratuhu, karya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 23; lihat pula kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’d Asy-Syuwai’ir, cet. III hal. 91.
2 Lihat kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’d Asy-Syuwai’ir, hal. 63-67 (cet III/1419 H).
3 Ibid, hal. 77-78.
4 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 139.
5 Lihat kitab Imam wa Amir wa Dakwah likulli Al-‘Ushur karya Ahmad bin Abdul ‘Aziz Al-Hushain, penerbit Daruth Tharafain cet. I th. 1993, hal. 191, dan penulis mengisyaratkan pada kitab Jaulah fi Biladil ‘Arab hal. 104-111
6 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 139
7 Shalat Khauf yaitu shalat fardhu yang ditegakkan ketika sedang berkecamuk perang, dengan beberapa tata cara tertentu yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sangat berbeda dengan tata cara pelaksanaan shalat fardhu di luar waktu pertempuran.
8 Dinukil dari kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 152-153.
9 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 141.
10 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An Nadwi, hal. 199.
9 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 141.
10 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An Nadwi, hal. 199.
12 Ibid, hal. 236.
13 Ibid, hal. 237.
14 Ibid, hal. 214
15 Yaitu sebuah aliran yang menetapkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki jasmani seperti layaknya makhluk. Ini adalah aliran sesat yang keluar dari prinsip manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.
16 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 213
17 Revolusi Iran Khumaini telah banyak mempengaruhi pemikiran para aktivis dan pergerakan Islam di mancanegara untuk melakukan tindakan-tindakan teror dan pembunuhan-pembunuhan serta menebarkan pemikiran bernuansa terorisme pada kaum muda Islam. Bahkan secara terbuka kelompok Al-Ikhwanul Muslimun menyatakan dukungannya terhadap Revolusi Iran ini.
18 Lihat kitab Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam, hal. 175-203. Untuk mengetahui lebih banyak tentang kesesatan aqidah dan pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi, lihat buku Membongkar Kedok Yusuf Al-Qaradhawi cet. Pustaka Salafiyah, Depok
19 Komisi yang dimaksud adalah Lajnah Ad-Difa’ ‘anil Huquqisy Syar’iyyah (Komisi Pembelaan Hak-hak Syari’ah) [C.D.L.R] yang berpusat di London, di mana Muhammad Al-Mis’ari ini sebagai Juru Bicara Resminya. Komisi ini banyak mengeluarkan statemen dan tindakan-tindakan yang berisi provokasi untuk membenci dan melawan pemerintah Saudi Arabia. Selengkapnya tentang Komisi ini dan fatwa para ulama sunnah tentangnya bisa dibaca pada buku Mereka Adalah Teroris hal. 370-374 (edisi revisi).
20 Lihat kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 38-39 (cet. II) Percetakan Darus Salaf.

21 Lihat kitab Al-Quthbiyyah hiyal fitnah Fa’rifuha Abu Ibrahim bin Sulthan, hal. 115.

Jum'at, 24 Februari 2006 - 02:57:24, Penulis : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

Kategori : Hadits

Petunjuk bagi Orang-Orang yang Bingung (Terhadap Buku Ahlul Kitab dan Buku-Buku Sesat)
[Print View] [kirim ke Teman]

Shahabat yang mulia bernama Jabir bin Abdillah z menuturkan:



“Umar ibnul Khaththab z datang kepada Nabi n dengan membawa sebuah kitab yang diperolehnya dari sebagian ahlul kitab. Nabi n pun membacanya lalu beliau marah seraya bersabda: “Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih. Janganlah kalian menanyakan sesuatu kepada mereka (ahlul kitab), sehingga mereka mengabarkan al-haq (kebenaran) kepada kalian namun kalian mendustakan al-haq tersebut. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan tersebut. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa p masih hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku.”

Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/387 dan Ad-Darimi dalam muqaddimah kitab Sunan-nya no. 436. Demikian pula Ibnu Abi ‘Ashim Asy-Syaibani dalam kitabnya As-Sunnah no. 50. Hadits ini dihasankan oleh imam ahlul hadits di jaman ini Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani v dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij As-Sunnah dan Irwa`ul Ghalil no. 1589.
Dalam riwayat Ad-Darimi hadits di atas datang dengan lafadz:



‘Umar ibnul Khaththab z datang kepada Rasulullah n dengan membawa salinan dari kitab Taurat. Ia berkata: “Ya Rasulullah, ini salinan dari kitab Taurat." Rasulullah n diam, lalu mulailah ‘Umar membacanya dalam keadaan wajah beliau n berubah. Melihat hal itu Abu Bakar berkata kepada ‘Umar: “Betapa ibumu kehilangan kamu, tidakkah engkau melihat perubahan pada wajah Rasulullah n?” Umar melihat wajah Rasulullah n (dan ia menangkap perubahan tersebut), maka ia berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan RasulNya. Kami ridha Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami dan Muhammad sebagai Nabi kami.” Rasulullah n berkata: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Musa p muncul kepada kalian kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, sungguh kalian telah sesat dari jalan yang lurus. Seandainya Musa masih hidup dan ia menemui masa kenabianku, niscaya ia akan mengikutiku.”

Sikap Seorang Muslim terhadap Berita-berita Ahlul Kitab
Berita-berita yang datang dari ahlul kitab, Yahudi ataupun Nasrani, yang tidak ada keterangannya dalam syariat kita, tidak boleh kita pastikan kebenarannya kemudian kita benarkan. Atau memastikan kedustaannya kemudian kita pun mendustakannya. Karena berita itu bisa jadi benar atau haq dan bisa jadi dusta atau batil. Jika kita benarkan dikhawatirkan itu adalah batil dan bila kita dustakan khawatirnya itu adalah haq. Sehingga dua keadaan ini bisa menjatuhkan kita ke dalam dosa.
Shahabat Rasulullah n yang mulia Abu Hurairah z mengabarkan:


Adalah ahlul kitab mereka membaca Taurat dalam bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada orang-orang Islam. Maka Rasulullah n bersabda: “Janganlah kalian membenarkan ahlul kitab dan jangan pula mendustakannya, dan katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan pada kami….” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4485)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani v berkata ketika menjelaskan sabda Nabi n

(Janganlah kalian membenarkan ahlul kitab dan jangan pula mendustakannya): “Yakni apabila berita yang mereka kabarkan itu masih mengandung ihtimal (kemungkinan benar dan kemungkinan salah). Sehingga jangan sampai perkaranya benar namun kalian mendustakannya atau perkaranya dusta namun kalian membenarkannya, dan kalian pun terjatuh dalam dosa. Dan tidak ada larangan mendustakan mereka dalam perkara yang memang syariat kita menyelisihinya dan tidak pula ada larangan untuk membenarkan mereka dalam perkara yang disepakati syariat kita, demikian penjelasan Al-Imam Asy-Syafi`i.” (Fathul Bari 8/214)
Bersamaan dengan itu kita dilarang bertanya tentang perkara agama kepada ahlul kitab. Karena itulah Ibnu Abbas c berkata:


Bagaimana kalian bertanya kepada ahlul kitab tentang sesuatu sementara kitab kalian yang diturunkan kepada Rasulullah n adalah kitab paling akhir (turunnya dari sisi Allah). Kalian membacanya dalam keadaan murni tidak bercampur (dengan kepalsuan). Allah telah menyampaikan (keterangan) kepada kalian bahwa ahlul kitab itu telah mengganti dan mengubah-ubah kitabullah. Mereka menulis kitab itu dengan tangan-tangan mereka (mereka karang sendiri) kemudian mereka mengatakan: “Ini (apa yang mereka tulis itu) diturunkan dari sisi Allah.” Mereka lakukan perbuatan itu untuk memperoleh keuntungan yang sedikit. Tidakkah ilmu yang datang kepada kalian mencegah kalian dari bertanya kepada mereka? Tidak, demi Allah! Kami tidak melihat seorang pun dari mereka yang bertanya kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian. (HR. Al-Bukhari no. 7363, kitab Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah, bab Qaulin Nabi n: La Tas`alu Ahlal Kitab ‘an Syai`in)
Dari ucapan beliau

, seakan-akan Ibnu ‘Abbas c hendak menyatakan: “Mereka ahlul kitab tidak pernah menanyakan tentang sesuatu pun kepada kalian, sementara mereka tahu kitab kalian tidak ada tahrif (penyimpangan/ perubahan) di dalamnya. Mengapa kalian justru bertanya kepada mereka sedangkan kalian benar-benar mengetahui bahwa kitab mereka telah diubah dari aslinya?” (Fathul Bari 13/621).
Abdurrazzaq Ash-Shan’ani v meriwayatkan dalam Mushannafnya3 (no. 19212) dari jalan Huraits bin Zhuhair, ia berkata: “Abdullah (yakni Ibnu Mas‘ud) berkata v:

“Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu kepada ahlul kitab karena sesungguhnya mereka tidak akan memberikan petunjuk/ hidayah kepada kalian. Mereka sendiri telah menyesatkan diri mereka. (Bila kalian bertanya kepada mereka kemudian mereka memberitakan apa yang kalian tanyakan, dikhawatirkan) kalian akan mendustakan yang haq atau membenarkan yang batil.”
Bila ada yang menyatakan bahwa larangan bertanya kepada ahlul kitab ini seakan bertentangan dengan perintah Allah k dalam firman-Nya:

“Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Al-Kitab sebelummu.” (Yunus: 94)
Maka dijawab bahwa ayat ini tidaklah bertentangan dengan larangan yang tersebut dalam hadits. Karena yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah bertanya kepada ahlul kitab yang telah beriman, sementara larangan yang tersebut dalam hadits hanyalah ditujukan bila bertanya kepada ahlul kitab yang belum beriman. (Fathul Bari 13/408)

Peringatan Rasulullah n dari Membaca Buku-buku Ahlul Kitab
Di dalam Al-Qur`an, Allah k mengabarkan bahwa ahlul kitab telah mengubah-ubah kitab mereka yang tadinya merupakan kalamullah yang diturunkan dari atas langit, namun kemudian karena ulah para pendeta Yahudi dan Nasrani bercampurlah kalamullah tersebut dengan kalam manusia. Bahkan kalamullah itu sendiri mereka ubah dan dipindahkan dari tempatnya, sehingga kitab mereka tidak lagi murni sebagaimana diturunkan pada awalnya, tetapi tercampur dengan kepalsuan dan kedustaan, dan susah untuk dipisahkan mana yang haq dan mana yang batil.
Allah k berfirman:

Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan4.” (Al-Baqarah: 79)
Al-Imam Ath-Thabari v berkata: “Yang Allah maksudkan dengan firman-Nya ini adalah orang-orang Yahudi Bani Israil yang telah melakukan tahrif atas Kitabullah. Dan mereka menulis sebuah kitab berdasarkan penakwilan/ penafsiran menyimpang yang mereka buat, menyelisihi dengan apa yang Allah k turunkan kepada Nabi Musa p. Kemudian orang-orang Yahudi ini menjual kitab karangan mereka itu kepada suatu kaum yang tidak memiliki ilmu tentang penakwilan tersebut, tidak pula memiliki pengetahuan dengan apa yang terdapat dalam Taurat, dan kepada orang-orang bodoh yang tidak mengetahui apa yang terdapat dalam kitabullah. Mereka, orang-orang Yahudi melakukan hal ini, karena ingin mendapatkan dunia yang rendah.” (Jami'ul Bayan fi Ta`wil Ayil Qur`an 1/422)
Al-Imam Al-Baghawi v menyebutkan bahwa pendeta-pendeta Yahudi itu khawatir kehilangan sumber penghidupan dan kepemimpinan mereka ketika Nabi n datang ke Madinah. Mereka lalu melakukan tipu daya untuk menyimpangkan orang-orang Yahudi dari beriman kepada Nabi n. Mereka telah memahami sifat/ ciri-ciri beliau n yang tersebut dalam Taurat, di mana disebutkan bahwa beliau memiliki wajah dan rambut yang bagus, kedua matanya seperti bercelak, perawakannya sedang tidak terlalu tinggi tidak pula pendek. Mereka lalu kemudian mengubah sifat-sifat tersebut dan menggantinya dengan sifat tinggi, miring matanya, dan keriting rambutnya. Bila orang-orang bodoh yang tidak mengerti Taurat bertanya tentang sifat/ ciri-ciri nabi yang terakhir kepada para pendeta ini, mereka pun membacakan apa yang telah mereka tulis, sehingga orang-orang bodoh tersebut menjumpai sifat/ ciri-ciri nabi yang akhir itu berbeda dengan sifat/ ciri Nabi n. Akibatnya mereka pun mendustakannya. (Ma’alimut Tanzil, 1/54-55)
Allah k berfirman:

“Mereka (orang-orang Yahudi) mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.” (An-Nisa: 46)
Ayat di atas menunjukkan bahwa sifat orang-orang Yahudi itu suka mengganti dan mengubah-ubah makna Taurat dari tafsir yang sebenarnya. (Jami‘ul Bayan fi Ta`wil Ayil Qur`an 4/121)
Perubahan yang mereka lakukan itu bisa berupa lafadz atau maknanya, atau keduanya sekaligus. Mereka mengubah hakikat yang ada, menempatkan al-haq di atas al-batil, dan menentang al-haq itu. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 181)
Diriwayatkan bahwa Ka‘b Al-Ahbar pernah datang menemui Umar ibnul Khaththab z, yang ketika itu menjabat sebagai Amirul Mukminin, dengan membawa sebuah mushaf, ia berkata: “Wahai Amirul Mukminin, dalam mushaf ini tertulis Taurat, apakah aku boleh membacanya?”
Umar menjawab: “Jika memang engkau yakin itu adalah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa p pada hari Thursina maka silahkan membacanya. Dan jika tidak, maka jangan membacanya.” (Syarhus Sunnah 1/271)
Karena bercampurnya al-haq dengan al-batil inilah, Rasulullah n mengingkari perbuatan Umar z yang memegang Taurat sebagaimana tersebut dalam hadits yang menjadi pembahasan kita. Beliau n menyatakan kepada Umar:

“Apakah engkau termasuk orang yang bingung wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih.”
Di samping itu, apa yang datang dalam syariat agama yang dibawa Rasulullah n sudah sangat memadai sehingga umat beliau tidak lagi membutuhkan syariat agama lain atau syariat umat terdahulu. Umat ini tidak lagi butuh nabi dan rasul lain setelah diutusnya Rasulullah n di tengah mereka. Kalaupun para nabi dan rasul terdahulu, sebelum Muhammad n, masih hidup dan menemui masa kenabian beliau, niscaya para nabi dan rasul tersebut akan mengikuti beliau dan tunduk pada syariat yang beliau bawa. Karena itulah Rasulullah n berkata kepada ‘Umar z:


“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya seandainya Musa p masih hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku.”

Kitab Suci Yahudi dan Nasrani Tidak Lagi Asli
Allah k tidak memberikan jaminan penjagaan atas kalam-Nya yang termaktub dalam kitab Taurat dan Injil, sebagaimana jaminan penjagaan yang diberikan-Nya kepada Al-Qur`an:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikra (Al-Qur`an) dan sungguh Kamilah yang akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)
Karena penjagaan ini maka Al-Qur`an selama-lamanya tidak akan dapat dipalsukan sampai kalamullah itu diangkat kembali dari lembaran dan dada-dada manusia (dari hapalan mereka) menjelang hari kiamat. Adapun kitab samawi lainnya seperti Taurat dan Injil tidaklah selamat dari pemalsuan sehingga wajar bila kita katakan kitab-kitab yang dipegang ahlul kitab telah dipalsukan para rahib dan pendeta mereka dari aslinya. Ini berdasarkan pengabaran Allah k sendiri melalui Al-Qur`an, dari hadits Rasulullah n, dari atsar dan juga dari bukti-bukti sejarah serta pertentangan dan keganjilan-keganjilan yang ada di dalam Taurat dan Injil sendiri.
Dalam kitabnya Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal, Ibnu Hazm v menyebutkan secara panjang lebar sejarah Bani Israil sejak wafatnya Nabi Musa p untuk membuktikan bahwa kitab Taurat tidak lagi asli tetapi telah diubah-ubah. Disebutkan bahwa sepeninggal Nabi Musa p, Bani Israil dipimpin Yusya’ bin Nun selama 31 tahun dengan tetap istiqamah berpegang dengan agama. Kemudian mereka dipimpin Fainuhas ibnul ‘Azar bin Harun selama 25 tahun, juga masih istiqamah di atas agama. Setelah wafatnya Fainuhas, seluruh Bani Israil murtad dari agama mereka dan menyembah berhala secara terang-terangan. Dan sejak itu mereka dipimpin penguasa-penguasa kafir, meski terkadang diselingi kepemimpinan penguasa yang beriman. Namun tetap lebih dominan dikuasai penguasa kafir dan yang berkubang dalam kekafiran dan penyembahan terhadap berhala5.
Ibnu Hazm v berkata: “Sejak Bani Israil masuk ke tanah yang disucikan (Palestina) sepeninggal Musa p sampai masa pemerintahan raja mereka Syawul, sebanyak tujuh kali mereka meninggalkan keimanan dan terang-terangan menyembah berhala.” Beliau v juga berkata: “Perhatikanlah, kitab apa yang masih tertinggal bersama dengan kekufuran yang terus menerus dan menolak keimanan selama masa yang panjang6 di sebuah negeri yang kecil. Sementara tidak ada seorang pun di muka bumi ketika itu yang berada di atas agama mereka dan mengikuti kitab mereka selain mereka sendiri.” (Al-Fishal 1/215)
Berikut ini kami sebutkan beberapa contoh kedustaan yang terdapat dalam Taurat. Di dalam Taurat dihikayatkan bahwa Allah k berfirman: “Ini Adam, ia telah menjadi seperti salah satu dari Kami dalam mengetahui kebaikan dan kejelekan…." Ibnu Hazm menyatakan dengan ucapan ini menunjukkan mereka meyakini ilaah atau sesembahan itu lebih dari satu dan Adam termasuk ilaah tersebut7.
Disebutkan pula dalam Taurat: “Ketika manusia telah banyak memenuhi muka bumi dan lahir putri-putri Adam. Maka saat putra-putra Allah melihat putri-putri Adam yang cantik-cantik, putra-putra Allah pun memperistri sebagian dari mereka.” Ibnu Hazm membantah kedustaan mereka ini dengan menyatakan bahwa ucapan tersebut adalah kedunguan dan kedustaan yang besar, di mana Allah dijadikan memiliki anak laki-laki yang menikahi putri-putri Adam, yang berarti Allah dan Adam berbesanan. Maha Suci Allah dari kedustaan ini8.
Selain itu di dalam Taurat yang mereka pegangi disebutkan bahwa Nabi Luth p digauli dua putrinya secara bergantian setelah beliau yang telah renta dibuat mabuk dengan diminumi khamr. Sehingga kedua putrinya hamil dari hasil hubungan dengan ayahnya. Na’udzubillah dari tuduhan keji mereka yang membuat gemetar kulit orang-orang yang beriman yang mengetahui hak-hak para nabi9.
Ibnul Qayyim v mendustakan ucapan orang-orang Yahudi bahwa lembaran-lembaran yang bertuliskan Taurat saling mencocoki baik yang ada di belahan bumi timur maupun barat. Ibnul Qayyim berkata: “Ini adalah kedustaan yang nyata, karena Taurat yang berada di tangan orang-orang Nasrani menyelisihi/ berbeda dengan Taurat yang berada di tangan orang-orang Yahudi, dan juga Taurat yang ada di tangan Samiri berbeda pula dengan keduanya. Demikian pula Injil, sebagiannya berbeda dengan yang lain dan saling bertentangan."
Ibnul Qayyim melanjutkan: “Taurat yang berada di tangan orang-orang Yahudi di dalamnya terdapat tambahan, perubahan/ penyimpangan dan pengurangan yang kentara bagi orang-orang yang mendalam ilmunya. Dan mereka (ahlul ilmi) yakin secara pasti bahwa hal itu tidak terdapat dalam Taurat yang Allah turunkan kepada Musa p. Demikian pula Injil yang berada di tangan orang-orang Nasrani. Di dalamnya terdapat tambahan, perubahan/ penyimpangan dan pengurangan yang tidak bisa disembunyikan dari orang-orang yang ilmunya dalam. Dan mereka yakin secara pasti bahwa hal itu tidak terdapat dalam Injil yang Allah k turunkan kepada Al-Masih `Isa p.” (Hidayatul Hayara fi Ajwibatil Yahudi wan Nashara, hal. 101)
Al-‘Allamah Asy-Syaikh Rahmatullah bin Khalilur Rahman Al-Kairanawi Al-Hindi v menyebutkan beberapa bukti bahwa kitab Taurat dan Injil yang ada sekarang bukanlah Taurat dan Injil yang pernah diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi ‘Isa i. Di antaranya, beliau menyebutkan fakta sejarah berkenaan dengan Taurat bahwasanya Taurat yang ada sekarang terputus sanadnya sebelum zaman raja Yusya’ bin Amun yang berkuasa pada tahun 638 SM. Sedangkan nuskhah (manuskrip) bertuliskan Taurat yang didapatkan setelah 18 tahun ia berkuasa, tidak bisa dijadikan sandaran. Karena nuskhah itu dibuat-buat oleh Al-Kahin Hilqiyya. Selain tidak bisa dijadikan sandaran, secara umum nuskhah itu hilang sebelum Bukhtanashar menaklukkan negeri Palestina pada tahun 587 SM. Seandainya kita anggap nuskhah itu tidak hilang, maka ketika Bukhtanashar menguasai Palestina niscaya ia akan memusnahkan Taurat dan seluruh kitab Perjanjian Lama sehingga tidak tersisa bekasnya. Orang-orang Yahudi berdalih bahwa Uzara telah menulis sebagian lembaran-lembaran Taurat di Babil, namun yang ditulisnya ini pun hilang ketika Anthaikhus IV menaklukkan negeri Palestina.
Ketika Suraya berkuasa antara tahun 175-163 SM, ia berencana memusnahkan agama Yahudi dan mewarnai Palestina dengan ajaran Hailainiyyah (Helenisme Yunani). Ia pun menjual jabatan-jabatan pendeta Yahudi, membunuh sejumlah 40 hingga 80 juta pendeta Yahudi, merampas barang-barang yang ada di seluruh tempat ibadah Yahudi, bertaqarrub kepada sesembahannya dengan menyembelih babi dan menyalakan api di atas tempat penyembelihan orang Yahudi, serta memerintahkan 20 ribu tentara untuk mengepung Al-Quds yang akhirnya menyerbu Al-Quds pada hari Sabtu ketika orang-orang Yahudi berkumpul untuk mengerjakan shalat. Mereka merampas Al-Quds, meruntuhkan rumah dan pagar-pagar, menyalakan api di dalamnya serta membunuh semua orang yang ada di dalamnya sampaipun para wanita dan anak-anak. Tidak ada yang selamat pada hari itu kecuali orang yang lari ke gunung-gunung atau bersembunyi dalam gua-gua.” (Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hal. 20-21)
Demikian pula keberadaan Injil yang dipegangi orang-orang Nasrani. Jauh ditulis setelah diangkatnya Nabi ‘Isa p, baik itu Injil yang konon katanya ditulis oleh Yohanes yang kemudian disebut Injil Yohanes, Injil Markus, Injil Lukas maupun Injil Matius. Cukuplah keberadaan empat Injil ini yang masing-masing isinya terdapat pertentangan, sebagai bukti ketidakotentikan Injil tersebut. Dan Injil-Injil itu bukanlah Injil yang pernah diturunkan kepada Nabi ‘Isa p.
Asy-Syaikh Rahmatullah Al-Hindi berkata: “Kitab samawi (yang diturunkan dari langit) yang wajib kita terima adalah kitab yang ditulis dengan perantara salah seorang nabi, dan sampai kepada kita dengan sanad yang bersambung tanpa ada perubahan dan penggantian. Adapun kitab yang disandarkan kepada seseorang yang memiliki ilham dengan semata-mata persangkaan dan dugaan, tidaklah cukup untuk menetapkan bahwa kitab tersebut merupakan karya orang itu, sekalipun misalnya ada satu atau beberapa kelompok mengaku-aku penyandaran tersebut.
Tidakkah engkau lihat bahwa kitab-kitab Perjanjian Lama yang disandarkan kepada Musa, Uzra, Isy’aya`, Irmiya dan Sulaiman u, tidaklah tsabit (benar) dengan satu dalil pun yang menunjukkan keshahihan penyandarannya kepada mereka, karena hilangnya sanad yang bersambung atas kitab-kitab tersebut. Dan juga tidakkah engkau lihat bahwa kitab-kitab dari Perjanjian Baru yang lebih dari 70 (buah) disandarkan kepada ‘Isa, Maryam, Hawariyyun dan pengikut mereka. Kelompok-kelompok Nasrani yang ada sekarang telah sepakat tentang ketidakshahihan penyandaran kitab-kitab tersebut kepada Isa dan lainnya. Bahkan kitab-kitab itu termasuk kedustaan yang dibuat-buat. Kemudian ada kitab yang wajib diterima menurut penganut Katholik, namun wajib ditolak menurut orang-orang Yahudi dan penganut Protestan….” (Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hal.19)
Dengan demikian semakin pastilah dari fakta-fakta yang ada bahwa kitab-kitab yang dipegangi Yahudi dan Nasrani bukanlah Taurat dan Injil yang disebutkan dalam Al-Qur`anul Karim, sehingga tidak wajib untuk kita terimanya. Namun kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tersebut ditempatkan sebagai berikut:
Setiap riwayat yang terdapat di dalamnya bila dibenarkan oleh Al-Qur`anul Karim maka riwayat tersebut diterima dengan yakin, kita benarkan tanpa rasa berat.
Namun bila didustakan Al-Qur`an maka kita tolak dengan yakin, kita dustakan tanpa keberatan.
Bila Al-Qur`an mendiamkannya, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan maka kita pun mendiamkannya, yakni kita tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan.
Al-Qur`anul Karim adalah penjaga bagi kitab-kitab sebelumnya, yakni Al-Qur`an menampakkan al-haq yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya dan mendukungnya, serta menampakkan kebatilan yang ada di dalam kitab-kitab tersebut dan menolaknya.
Bantahan ulama Islam atas Taurat dan Injil serta menampakkan kedustaan serta perubahan yang ada di dalamnya, tidaklah ditujukan kepada Taurat dan Injil yang diturunkan Allah kepada Musa dan ‘Isa i. Namun yang mereka bantah adalah kisah dan riwayat-riwayat yang dikumpulkan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sepanjang beberapa kurun, di mana orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan bahwa itu adalah wahyu dan ilham. Sungguh Taurat yang Allah turunkan kepada Musa hanya satu dan Injil yang Allah turunkan kepada ‘Isa hanya satu pula. Lalu bagaimana bisa didapatkan sekarang ini ada tiga Taurat yang berbeda dan ada empat Injil yang juga berbeda?10” (Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hal. 35-37)
Wallahul musta’an.

Manhaj yang Benar terhadap Buku-buku Ahlul Bid'ah wal Ahwa`
Melihat ‘Umar z memegang lembaran yang tertulis Taurat di dalamnya sudah membuat wajah Rasulullah n berubah karena marah. Padahal kitab Taurat merupakan salah satu kitab samawi, Kalamullah yang diturunkan Allah k dari langit, meski kemudian diubah-ubah dan diganti Yahudi. Lalu bagaimana kiranya jika beliau n melihat buku-buku yang jelas tidak diturunkan dari langit, malah isinya bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah? Bagaimana kira-kira kemarahan beliau bila melihat kita membolak-balik buku tersebut dan membacanya? Apalagi ingin menyelami kebenaran yang katanya ada atau mungkin ada di dalamnya? Tentunya kemurkaan beliau jauh lebih besar lagi. Wallahul musta'an.
Bisa jadi buku-buku yang ditulis ahlul bid'ah dan pengekor hawa nafsu itu ada setitik atau beberapa titik nilai kebenaran, tapi kebenaran apa yang bisa diharapkan bila ia dibalut dan diselimuti sekian banyak kebatilan? Dan bukankah buku-buku yang selamat dari kebatilan masih banyak, buku-buku yang ditulis ulama Ahlus Sunnah masih menggunung? Kenapa harus mempersulit diri dengan menyelami samudera kebatilan nan pekat karena ingin mendapatkan sebutir kecil mutiara kebenaran?
Ketika Abu Zur'ah Ar-Razi v memperingatkan seseorang dari buku Al-Harits Al-Muhasibi dengan menyatakan: “Hati-hati engkau dari buku-buku ini, karena ini merupakan buku-buku bid'ah dan kesesatan. Wajib bagimu berpegang dengan atsar (hadits atau Sunnah Nabi n) karena di dalamnya engkau akan merasa cukup.” Ternyata orang itu berkelit dengan mengatakan: “Dalam buku-buku ini ada ibrah/ pelajaran." Apa jawaban Abu Zur’ah v? Beliau menegaskan: “Siapa yang tidak mendapatkan ibrah dalam Kitabullah, niscaya tidak ada baginya ibrah dalam buku-buku ini.” (Al-Mizan 2/165)
Memberi peringatan (tahdzir) dari kitab-kitab yang di dalamnya terdapat kebid'ahan dan kesesatan, memang termasuk manhaj as-salafus shalih dengan mencontoh Rasul yang mulia n ketika mengingkari perbuatan ‘Umar ibnul Khaththab z. Tahdzir ini dimaksudkan sebagai penjagaan terhadap manhaj kaum muslimin dari kemudharatan dan bahaya yang dikandung dalam buku-buku tersebut. Dan tidak termasuk perbuatan dzalim bila seorang muslim menasehati saudaranya untuk menjauhi buku-buku yang demikian karena ingin menghindarkan kemudharatan yang akan didapatkannya, dengan semata ia menyebutkan kejelekan buku tersebut tanpa menyinggung kebaikannya. (Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, wal Kutub wath Thawa`if, hal. 128, karya Asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi‘ bin Hadi Al-Madkhali)
Al-Imam Ibnu Muflih v berkata: “Asy-Syaikh Muwaffaquddin v menyebutkan larangan dari melihat buku-buku ahlul bid'ah. Beliau mengatakan: “Adalah generasi salaf melarang dari bermajelis dengan ahlul bid'ah, melarang melihat buku-buku mereka, dan mendengar ucapan mereka.”" (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/251)
Asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata menukilkan ucapan Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah: “Setiap buku yang berisi penyelisihan terhadap As-Sunnah tidak boleh dilihat dan dibaca. Bahkan yang diizinkan dalam syariat adalah menghapus dan memusnahkannya.” Kemudian Ibnul Qayyim v menyebutkan: “Para shahabat telah membakar seluruh mushaf yang menyelisihi mushaf Utsman karena kekhawatiran mereka akan timbulnya perselisihan di tengah umat. Maka bagaimana bila mereka melihat buku-buku ini yang menciptakan perselisihan dan perpecahan di kalangan umat…." Ibnul Qayyim berkata lagi: “Maksud dari semua ini adalah buku-buku yang mengandung kedustaan dan bid'ah wajib untuk dimusnahkan dan dipunahkan. Bahkan memusnahkannya lebih utama daripada menghancurkan alat-alat laghwi dan musik serta bejana-bejana yang berisi khamr. Karena bahaya buku-buku ini lebih besar daripada bahaya alat-alat musik. Dengan demikian tidak ada ganti rugi terhadap buku-buku tersebut sebagaimana tidak ada ganti rugi dari penghancuran bejana-bejana khamr.” (Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah fi Naqdir Rijal, wal Kutub wath Thawa`if, hal. 134)
Wallahu a’lam bish-shawab
.
1 Ibnu ‘Aun berkata: “Aku bertanya kepada Al-Hasan: ‘Apa yang dimaksud dengan
مُتَهَوِّكُوْنَ
?’. Al-Hasan menjawab: ‘Orang-orang yang bingung’. Demikian disebutkan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (1/132), sebagaimana dinukilkan dalam Al-Irwa` (6/38). Al-Imam Al-Baghawi v menyebutkan makna sabda Rasulullah n tersebut: ‘Yakni apakah kalian bingung dalam berIslam, kalian tidak mengetahui agama kalian hingga kalian harus mengambil agama tersebut dari Yahudi dan Nasrani?” (Syarhus Sunnah 1/271)
2
ثَكِلَتْكَ الثَّوَاكِلُ
yakni betapa ibumu kehilangan kamu. Orang yang mengucapkan hal ini kepada seseorang seakan-akan mendoakan kematian lawan bicaranya karena jeleknya perbuatan atau ucapannya. Atau ia mengucapkan ucapan tersebut dengan maksud menyatakan: “Bila engkau berbuat/ berucap demikian, maka kematian lebih baik bagimu, agar engkau tidak menambah kejelekan lagi.” Atau bisa pula ucapan ini termasuk lafadz-lafadz yang biasa beredar di lisan orang Arab tanpa dimaksudkan sebagai doa seperti ucapan mereka:

(An-Nihayah, hal. 123)
3 Al-Hafizh Ibnu Hajar menghasankan sanadnya dalam FathulBari 13/408
4 Al-Imam Al-Qurthubi v menyatakan bahwa dalam ayat ini dan yang sebelumnya ada peringatan dari melakukan penggantian, perubahan, dan penambahan dalam syariat. Maka semua orang yang mengganti, mengubah atau mengadakan perkara baru (bid'ah) dalam agama Allah dengan sesuatu yang bukan bagian dari agama dan dengan sesuatu yang terlarang dalam agama, maka ia masuk dalam ancaman yang keras dan azab yang pedih tersebut. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 1/9)
5 Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal, 1/ 213-215
6 Lebih dari 114 tahun
7 Al-Fishal 1/146.
8 Al-Fishal 1/147
9 Al-Fishal 1/161
10 Karena terbatasnya lembaran yang ada dalam rubrik ini maka kami tidak dapat memaparkan semuanya. Bagi pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan lebih jauh, silahkan membaca kitab-kitab seperti Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal Al-Imam Ibnu Hazm, Al-Jawabus Shahih liman Baddala Dinal Masih Al-Imam Ibnu Taimiyyah, Hidayatul Hayara fi Ajwibatil Yahudi wan Nashara Al-Imam Ibnul Qayyim, Izh-harul Haq Asy-Syaikh Rahmatullah Al-Hindi atau Mukhtasharnya.

===============================================================

Mengunakan Kaos yang Bergambar Tokoh Orang Kafir/Kufar
Kamis, 01 April 04

Tanya :

Apakah menggunakan kaos yang bergambar tokoh-tokoh yang kafir termasuk muwalat ( mewalikan / mengagungkan ) kuffar ?

Jawab :

Tidak, tetapi orang yang melakukannya dalam hatinya ada perasaan mengagungkan orang kafir, yang berarti pula telah menafikan imannya atau kesempurnaan imannya. Seharusnya bagi kita sebagai orang muslim, tidak memakai pakaian ini, dan janganlah membelinya kalau masih banyak barang lain yang dihalalkan oleh Allah bagi kita. Sebab, apabila kita menggunakan pakaian semacam ini, berarti merupakan pengakuan kejayaan kaum kafir, karena kita bangga apabila gambar-gambar mereka kita pakai. Ini merupakan bentuk penghormatan terhadap mereka. Juga berarti bahwa mereka mengambil keuntungan orang kita dengan pakaian-pakaian semacam ini, pabrik pakaian ini untung besar, sementara kantong saku kita terbuka melompong setelah memberi mereka uang-uang kita. Ini salah sekali, apabila kita pergi ke beberapa rumah, tentu kita dapati bahwa masing-masing wanita mempunyai lebih dari 20 pakaian. Setiap kali ada pertunjukan, tentu ia membeli. Yang saya nasehatkan untuk saudara-saudara, hendaknya memutuskan hubungan total terhadap pakaian semacam ini, dan cukup menggunakan pakaian yang islami, yang sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

=============================================================

Kebenaran Nubuat Rasulullah Dan Fenomena Tahun Baru Dikalangan Umat
Senin, 12 April 04

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كاَنَ قَبْلَكُمْ شِبْراً بِشِبْرٍ وذِرَاعاً بِذِرَاعٍ, حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ. قُلْنَا: يَارَسُوْلَ اللهِ, الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى ؟ قَالَ: فَمَنْ» ؟ . رواه البخاري

Dari Abu Sa’id (al-Khudry) bahwasanya Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara/metode) orang-orang sebelum kamu, sejengkal-demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga andaikata mereka menelusuri lubang masuk ‘Dlobb’ (binatang khusus padang sahara, sejenis biawak-red), niscaya kalian akan menelusurinya pula”.

[Kami (para shahabat) berkata: “Wahai Rasulullah! (mereka itu) orang-orang Yahudi dan Nashrani?”. Beliau bersabda: “Siapa lagi (kalau bukan mereka-red)”. {H.R.al-Bukhary)


TAKHRIJ HADITS SECARA GLOBAL

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah.

Dalam riwayat yang lain disebutkan: “…hingga andaikata mereka memasuki lubang masuk dlobb niscaya kalian akan memasukinya pula”.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dari Ibnu ‘Umar terdapat gambaran yang lebih jelas. Dari Ibnu ‘Umar radliallâhu 'anhuma, Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh Ummatku akan melakukan apa yang dilakukan oleh Bani Israil, sama persis layaknya sepasang sandal dengan pasangan yang lainnya, hingga andaikata pada mereka ada orang yang mengawini ibunya secara terang-terangan, maka di kalangan ummatku akan ada yang sepertinya”.

PENJELASAN HADITS

Makna hadits diatas adalah bahwa Rasulullah telah mensyinyalir melalui nubu-at (tanda-tanda kenabian)-nya, bahwa kelak di akhir zaman, ada diantara umatnya yang mengikuti gaya hidup orang-orang sebelum mereka, yaitu orang-orang Yahudi dan Nashrani.

Beliau menegaskan bahwa di dalam mengikuti dan meniru-niru gaya hidup mereka tersebut, umatnya melakukannya secara bertahap dari mulai sejengkal, sehasta dan seterusnya (sebagaimana terdapat di dalam tambahan riwayat yang lain).

Ketika Rasulullah menyinggung tentang orang-orang sebelum mereka, para shahabat seakan tahu siapa mereka itu, yaitu orang-orang Yahudi dan Nashrani, tetapi masih ragu dan ingin mendapatkan penegasan dari Rasullah.

Namun Rasulullah menjawabnya dengan gaya bahasa bertanya pula sebagai penegasannya: “Kalau bukan mereka, siapa lagi?”.

Hadits tersebut dimulai dengan tiga kata penegas; yaitu al-Qasam al-Muqaddar (Bentuk sumpah yang abstrak), al-Lâm serta an-Nûn. Semuanya di dalam tata bahasa Arab adalah merupakan bentuk penegasan dimana seharusnya kalimat aslinya berbunyi ‘Demi Allah, Sungguh kamu akan mengikuti…’.

Syaikh al-‘Utsaimin –rahimahullah- menyatakan bahwa kalimat ‘Latattabi’unna’ diarahkan kepada orang banyak (jama’) bukan kepada orang per-orang (mufrad). Ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan di dalam hadits ini bukan makna zhahirnya bahwa semua umat ini akan mengikuti cara/metode orang-orang sebelum mereka tetapi maksudnya disini adalah bersifat ‘âmm khâsh’ (umum tetapi khusus) sebab ada diantara umat ini yang tidak mengikuti hal tersebut. Tetapi bisa jadi juga, maknanya tetap umum (general) tetapi meskipun demikian, tidak mesti bahwa umat ini mengikuti sunnah umat terdahulu dalam segala halnya. Bisa jadi, ada sebagian yang mengikuti sisi yang satu ini dan sebagian yang lain mengikuti sisi yang lainnya. Maka dengan demikian, hadits ini tidak dapat diartikan bahwa umat ini telah keluar dari dien al-Islam. Makna ini adalah lebih pas sehingga hadits tersebut tetap di dalam keumuman maknanya. Tentunya yang harus kita ketahui bahwa ada diantara cara-cara hidup (sunnah/metode) orang-orang terdahulu yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari dien ini seperti memakan riba, dengki, prostitusi dan dusta. Sebagian lagi ada yang mengeluarkan pelakunya dari dien ini seperti menyembah berhala.

Hadits tersebut dimaksudkan untuk mengingatkan umat ini akan perihal tersebut sehingga mereka berhati-hati. Jadi, maknanya bukan menetapkan (iqrar) bahwa hal itu disetujui akan terjadinya sehingga membuat orang yang lemah imannya beralasan dengan hadits ini ketika akan melakukan perbuatan maksiat bahwa apa yang dilakukannya semata karena telah ditetapkan oleh Rasulullah sendiri. Sungguh ini merupakan ucapan dusta yang nyata terhadap beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam.

Semua perbuatan maksiat yang terjadi saat ini mesti ada asal-usulnya pada umat-umat terdahulu akan tetapi orang yang diberi taufiq oleh Allah untuk mendapatkan hidayah, maka dia akan mendapatkan hidayah tersebut. Artinya, ada semacam kesimpulan bahwa perbuatan maksiat yang terjadi pada umat ini memiliki akar dan asal-usul pada umat-umat masa lampau. Demikian pula, bahwa tidaklah ada perbuatan yang dilakukan oleh umat-umat masa lampau melainkan akan ada pewarisnya pada umat ini.

Imam an-Nawawy menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “Syibr (sejengkal)” “ Dzirâ’ (sehasta)” “ Juhr adl-Dlobb (lubang masuk/rumah Dlobb) “ adalah sebagai perumpamaan betapa mirip dan hampir samanya apa yang kelak dilakukan oleh umat ini dengan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani. Hal ini bukan di dalam melakukan kekufuran tetapi di dalam perbuatan maksiat dan pelanggaran-pelanggaran agama.

Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa cara mengikuti itu ibarat bulu pada panah yang harus datar sehingga arah panahnya tidak nyasar. Demikian pulalah, kelak umat ini akan mengikuti sunnah umat-umat terdahulu seperti itu.

Ucapan Rasulullah ‘lubang masuk/rumah dlobb’ karena lubang dlobb merupakan lubang binatang yang paling kecil dan perumpamaan ini hanya dimaksudkan sebagai al-Mubâlaghah (berlebih-lebihan). Artinya, bahwa umat ini benar-benar akan mengikuti mereka hingga bila diajak masuk ke lubang yang paling kecil sekalipun.Tentunya, bila diajak untuk memasuki lubang/rumah singa yang lebih besar, lebih pasti lagi mereka akan mengikutinya.

Imam an-Nawawy –rahimahullah- menegaskan: “Ini merupakan mu’jizat yang nyata sekali dari Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam dan apa yang beliau beritakan telah benar-benar terjadi”.

Antara Nubu-at Rasulullah dan Fenomena Perayaan Tahun Baru

Bila kita mengamati secara seksama realitas yang ada menjelang berakhirnya setiap tahun Masehi, maka akan kita dapatkan seakan Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam berbicara tentang kondisi kontemporer saat ini.

Betapa tidak, hampir mayoritas umat ini merayakan datangnya Tahun Baru Masehi tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh pemilik Hari Besar tersebut, yaitu kaum Yahudi. Anehnya, di negeri ini dirayakan pula oleh kalangan Nashrani.

Perayaan yang berisi hura-hura, kemaksiatan dan pemubaziran dilakukan di hampir seluruh pelosok negeri, tidak oleh kalangan muda-mudi saja tetapi juga oleh orang-orang tua. Pada tengah malam menjelang pergantian tahun, mereka berpesta pora dan lelap dalam gegap-gempita serta suara hiruk-pikuk musik yang menggila. Beramai-ramai dalam suasana sesak, saling himpit dan bergaya dengan berbagai mode yang ada. Entah apa yang terjadi manakala ada sekumpulan muda-mudi dalam suasana mabok seperti itu dan di tengah malam dengan saling bergandengan dan seterusnya. Perbuatan maksiat dimana-mana dan secara terang-terangan sudah semakin berani dipertontonkan. Belum lagi ada acara mubazir yang tak kalah riuhnya dan merupakan fenomena yang diciptakan dan dimanfa’atkan oleh para pedagang ayam. Di sepanjang jalan menjelang malam itu, para pedagang ayam ini berjejer menjajakan ayam mereka sembari meneriakkan yel-yel tahun baru. Ayam yang dibeli tersebut kemudian dibakar hampir di seluruh perkampungan dan gang. Maka, asappun mengepul kemana-mana dan dari mana-mana. Anehnya, mereka seakan tidak peduli dengan suasana keprihatinan dan ekonomi yang lagi morat-marit. Mereka membeli dan membakar ayam dalam jumlah yang sangat besar sehingga banyak sekali ayam yang tersisa pada pagi harinya karena tidak ada lagi yang kuat memakannya selain binatang.

Bila melihat kepada namanya, sepertinya memperingati dan merayakan Tahun Baru Masehi identik dengan tahunnya orang-orang Nashrani saja. Tetapi sebenarnya, perayaan Tahun Baru tersebut merupakan bagian dari aktifitas rituil agama Yahudi dan Majusi (yang disebut dengan ‘an-Nayrûz’). Oleh karena itu, merekalah yang sebenarnya memiliki misi merayakan dan memeriahkannya bukan kaum Muslimin.

Sedangkan di dalam Islam, hanya dikenal tiga Hari Besar (‘Ied) yang memang disyari’atkan untuk dirayakan dan dimeriahkan; dua bersifat tahunan, yaitu ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha serta satu lagi, bersifat pekanan, yaitu Hari Jum’at. Selain tiga Hari Besar ini, tidak dikenal peringatan dan perayaan hari besar lainnya, apalagi bila perayaan itu identik dengan agama selain Islam, seperti agama Nashrani, Yahudi atau Majusi.

Nah, yang menjadi masalah kemudian adalah keterlibatan sebagian besar dari umat mayoritas yang beragama Islam di dalamnya; Kenapa mereka ikut merayakan dan memeriahkannya juga? Tidak tahukah mereka bahwa perayaan itu khusus untuk non Muslim, khususnya, kaum Yahudi dan Majusi? Tahukah mereka bahwa hal ini bertentangan dengan ajaran agama? Bagaimana pengawasan dan kontrol ulama terhadap gejala-gejala seperti ini yang dapat merusak ‘aqidah umat?.

Tentu kita amat prihatin dengan nasib umat yang semakin lama semakin terkikis ‘aqidahnya, sedikit-demi sedikit sebagaimana yang disinyalir di dalam hadits Nabi tersebut.

Setidaknya –menurut hemat penulis-, ada dua faktor besar yang menyebabkan terjadinya hal tersebut:

Pertama, Kejahilan sebagian besar umat ini akan ajaran agama yang shahih. Kedua, Kurangnya kontrol para ulama, khususnya penekanan terhadap sisi ‘aqidah.

Mengenai faktor pertama ini, ia amat identik dengan pepatah yang mengatakan: “Manusia itu adalah musuh bagi apa yang tidak diketahuinya”. Dalam hal ini, bukan berarti umat selama ini tidak mengalami proses pembelajaran. Proses itu ada tetapi kurang terkoordinir dengan baik dan terfokus sehingga hasil yang didapatpun mengambang.

Proses pembelajaran sebagian besar umat selama ini hanya bertumpu kepada acara-acara ceremonial. Rujukan-rujukan yang digunakan dari sisi materi kurang memberikan tekanan kepada pemurnian ‘aqidah dari syirik dan penyakit TBC (Takhayyul, Bid’ah, Syirik dan Churafat) sementara dari sisi otentititas dan validitasnya kurang dapat dipertanggungjawabkan pula karena banyak sekali hadits-hadits yang dijadikan sebagai hujjah sangat lemah kualitasnya bahkan maudlu’/palsu.

Umat yang awam hanya mengerti bahwa acara-acara ceremonial semacam itu adalah bagian dari agama yang mereka anggap ‘wajib’ dilakoni dari masa ke masa dan secara turun-temurun. Bilamana ada salah seorang diantara mereka yang dianggap sebagai tokoh agama di suatu tempat sudah meninggal dunia, maka secara perlahan frekuensi acara tersebut dengan sendirinya akan menurun drastis. Mereka tidak mengerti apakah hal itu benar-benar dicontohkan oleh Rasulullah melalui dalil-dalilnya yang kuat dan shahih atau tidak. Apalagi bila ditanyakan kepada mereka tentang rujukannya, logika berfikir yang mereka fahami hanyalah bahwa hal itu ‘memang dari dulunya demikian’. Mereka hanya terbiasa dengan ‘taqlid buta’. Memang secara agama, bahwa apa yang dapat dilakukan oleh orang awam adalah taqlid kepada para ulamanya.

Selain acara-acara ceremonial tersebut, memang banyak sekali diadakan majlis-majlis ta’lim tetapi amat disayangkan bahwa bobot materinya kurang berimbang. Sangat sedikit –untuk tidak mengatakan hampir tidak pernah- di dalamnya menyentuh sisi ‘aqidah dan bagaimana mereka bisa terlepas dari kesyirikan dan penyakit TBC tersebut. Yang sering disuguhkan kepada mereka hanyalah masalah ‘Fadlâ-il A’mâl’ (amalan-amalan ekstra) seperti pahala ibadah yang ini sekian dan yang itu sekian namun banyak sekali pula hadits-hadits yang digunakan sebagai hujjah untuk itu, kualitasnya dla’if (lemah) sekali bahkan maudlu’/palsu. Sebagai contoh adalah shalat ar-Raghâ-ib dimana sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam an-Nawawy bahwa hadits tentang ibadah ini sama sekali tidak ada landasannya yang shahih.

Maka, kejahilan di tubuh umat ini akan semakin parah bila faktor kedua juga tidak terbenahi.

Para ulama adalah pewaris para Nabi dan menjadi tumpuan berpijak umat di dalam mengarungi kehidupan keagamaan mereka. Ketika berbicara, maka seharusnya mereka menyadari bahwa posisi mereka adalah sebagai orang yang dimandati untuk mengatasnamakan agama dengan menggunakan firman-firman Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam.

Dengan posisi seperti ini, sudah sepatutnya bahkan wajib bagi mereka untuk memberikan pelajaran-pelajaran agama yang benar kepada umat sebab umat yang awam hanya bertaqlid kepada mereka. Mereka harus mengambil dalil-dalilnya dari rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid sebab kelak mereka akan mempertanggungjawabkan hal ini di hadapan Allah Ta’ala.

Sudah sepantasnya, para ulama meneladani sikap para Imam empat Madzhab yang semuanya sepakat menyatakan keharusan untuk merujuk kepada hadits yang shahih. Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i mengatakan: “Bila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku”. Imam Ahmad berkata: “Janganlah kalian mentaqlidiku, jangan pula mentaqlidi Malik, asy-Syafi’i, al-Awza’i dan ats-Tsawry tetapi ambillah darimana mereka mengambil”. Imam Malik berkata: “Tidak ada seorangpun setelah (wafatnya) Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam kecuali pendapatnya diambil atau ditinggalkan kecuali Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam”. Para Imam ini melarang umat dan pengikutnya mentaqlid mereka secara buta bahkan salah seorang dari mereka, yakni Abu Hanifah amat keras sekali ucapannya: “Haram bagi siapa yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan ucapanku”.

Ungkapan para Imam empat madzhab tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa bilamana suatu ketika kita menemukan hadits yang shahih dan hadits yang mereka jadikan hujjah adalah dla’if atau ada hadits yang lebih shahih dan kuat dari hadits yang mereka jadikan hujjah, maka mereka akan menjadikan hadits yang shahih atau lebih shahih dan kuat tersebut sebagai pendapat mereka. Ini juga menandakan bahwa mereka adalah orang yang berlapang dada di dalam menerima al-Haq dan sama sekali tidak menganggap pendapat mereka lebih benar dari yang lain sebab tolok ukurnya adalah kekuatan hujjah dan keshahihannya.

Perlu kita renungi pula bahwa ketika para imam tersebut mengatakan demikian, mereka menyadari betul bahwa ada hadits yang belum sampai kepada mereka baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga hadits yang mereka jadikan hujjah adalah hadits yang mereka anggap paling shahih yang sampai kepada mereka. Maka, agar umat dan pengikutnya jangan terperdaya dan terkungkung di dalam taqlid buta, mereka mengatakan seperti ungkapan-ungkapan tersebut sehingga mereka berlepas diri dari kesalahan yang kelak terjadi akibat hujjah mereka yang dipandang lemah atau kurang shahih dan kuat.

Disini, perlu ditekankan bahwa bilamana para ulama mengambil sikap seperti para Imam empat madzhab tersebut, tentulah kondisi umat dari sisi pembelajaran tersebut akan mencapai arah yang benar. Umat akan tenang dan yakin di dalam menjalankan ibadah mereka karena para ulama mereka interes terhadap dalil-dalil yang shahih dan kuat.

Dan, bilamana pula para ulama telah bersikap demikian maka berarti akan mudah bagi mereka untuk mengikis habis segala bentuk kesyirikan dan penyakit TBC yang sudah melanda umat begitu mereka mau meneliti bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam.

Terlebih lagi tentunya, bilamana mereka lebih memfokuskan kepada pemurnian ‘aqidah dari kesyirikan dan penyakit TBC tersebut tentu kejahilan umat akan ajaran agamanya yang kebanyakannya berupa pengamalan terhadap penyakit tersebut akan dapat teratasi dan terkikis sehingga perayaan semacam ‘Natal Bersama’ ‘Valentine Days’ ‘Tahun Baru (Happy New Year)’ dan sebagainya tidak akan mampu membuai dan menggoyahkan ‘aqidah mereka.

Inilah arti penting dari kontrol para ulama terhadap ‘aqidah umat dan upaya pemurniannya dari segala bentuk kesyirikan dan penyakit TBC diatas.

Dengan begitu, para ulama telah ikut andil di dalam mensosialisasikan hadits Rasulullah yang kita kaji ini dan dapat meminimalisir dampak dari apa yang telah disinyalir oleh Rasulullah tersebut.

Korelasi Antara Hadits Diatas Dengan Hadits Larangan Tasyabbuh

Terdapat korelasi yang amat jelas antara hadits ini dengan hadits larangan Tasyabbuh (menyerupai) dengan suatu kaum.

Dalam hadist diatas, Rasulullah mensinyalir bahwa umat ini akan mengikuti sunnah (cara/metode) orang-orang Yahudi dan Nashrani. Maka, di dalam mengkuti cara mereka tersebut terdapat penyerupaan di dalam banyak hal.

Dalam hadits Rasulullah banyak sekali larangan agar kita jangan menyerupai suatu kaum, terutama sekali terhadap orang-orang Yahudi dan Nashrani, diantaranya sabda beliau: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka”. (H.R.)

Imam al-Munawy dan al-‘Alqamy mengomentari makna ‘Barangsiapa menyerupai suatu kaum’, yakni secara zhahirnya dia berpakaian seperti pakaian mereka, mengikuti gaya hidup dan petunjuk mereka di dalam berpakaian serta sebagian perbuatan mereka.

Al-Qary mengatakan: “Barangsiapa menjadikan dirinya serupa dengan orang-orang kafir, misalnya di dalam berpakaian dan selainnya atau serupa dengan orang-orang fasiq, Ahli Tasawwuf atau serupa dengan orang-orang yang lurus dan baik, maka ‘dia adalah bagian dari mereka’, yakni di dalam mendapatkan dosa atau kebaikan/pahala”.

Dalam hal ini, kami tidak ingin mengupas panjang lebar tentang Tasyabbuh karena pembahasannya secara detail akan didapat pada pembahasan tentang hadits-hadist larangan tasyabbuh tersebut.

Yang jelas, fenomena merayakan ‘Tahun Baru’ tersebut masuk ke dalam katogeri larangan Tasyabbuh.

Imbauan

Kami mengimbau agar saudaraku, kaum Muslimin, membentengi diri dengan ‘aqidah yang benar sehingga tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang dapat menodai, mengotori apalagi menggoyahnya.

Kepada para orangtua, hendaknya mengarahkan pendidikan agama yang memadai kepada anak-anak mereka terutama penekanan sisi ‘aqidah. Suruhlah mereka belajar agama kepada para ustadz yang dikenal kokoh dan lurus ‘aqidahnya. Tegurlah mereka bilamana melakukan perbuatan yang menyimpang dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ajarkanlah mereka al-Walâ’ dan al-Barâ’ sehingga senantiasa bangga dengan agamanya dan loyal terhadap Allah dan Rasul-Nya serta tidak menyukai segala bentuk kesyirikan dan penyimpangan yang berupa penyakit TBC diatas.

Ajarkanlah mereka doa: “Ya Allah! anugerahilah kepada kami kecintaan terhadap iman, dan anugerahilah kami kebencian terhadap kekufuran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Jadikanlah kami diantara orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Kepada para ulama, tunjukkanlah kepada masyarakat contoh dan suriteladan yang baik. Ajarkanlah mereka bagaimana membentengi diri dari segala bentuk penyelewengan terhadap ‘aqidah. Arahkan mereka kepada manhaj ulama Salaf seperti para imam empat madzhab di dalam ‘aqidah dan menerima al-Haq. Bersama para tokoh masyarakat, berantaslah segala bentuk kesyirikan, bid’ah, khurafat dan kemaksiatan. Terbukalah kepada dan biasakanlah mereka untuk memperoleh rujukan yang shahih, kuat dan valid. Jangan biasakan mereka dengan ‘taqlid buta’.

Semoga kita semua mendapatkan petunjuk Allah Ta’ala dan senantiasa dibimbing oleh-Nya ke jalan yang diridlai-Nya. Amin. Wallahu a’lam

REFERENSI

  • CD MAUSÛ’AH AL-HADÎTS
  • SHAHIH AL-BUKHÂRY
  • SHAHIH MUSLIM DAN SYARAHNYA
  • AL-QAUL AL-MUFÎD ‘ALÂ KITÂB AT-TAUHÎD, KARYA SYAIKH SHALIH AL-‘UTSAIMIN
  • ‘AUN AL-MA’BÛD SYARH SUNAN ABÎ DÂUD
  • ‘IED AL-YÛBIEL, BID’ATUN FI AL-ISLAM, KARYA SYAIKH BAKR BIN ‘ABDULLAH, ABU ZAID
  • AL-MUSTADRAK, KARYA ABU ‘ABDILLAH, AL-HÂKIM


MEMBONGKAR KESESATAN DAN PENYIMPANGAN GERAKAN-GERAKAN DA'WAH -IKHWANUL MUSLIMIN-

Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary Al-Medany
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2

MENGHIDUPKAN BID'AH
Jamaah Ikhwanul Muslimin juga banyak sekali menghidupkan bidah. Sa`id Hawwa menyatakan dalam bukunya At-Tarbiyyah Ar-Ruhiyyah (pembinaan mental): ''Ustadz Al-Banna beranggapan bahwa menghidupkan hari-hari besar Islam (selain dua hari `ied), adalah termasuk tugas harakah-harakah (gerakan) Islam. Beliau juga menganggap bahwa suatu hal yang aksiomatik alias pasti, kalau dikatakan bahwa pada zaman modern ini memperingati hari besar semacam maulid nabi dan yang sejenisnya, dapat diterima secara fiqih dan harus mendapat prioritas tersendiri.

Dikisahkan juga oleh Mahmud Abdul Halim dalam bukunya Ahdats Shana`atha At-Tarikh (1/109) bahwa ia sering bersama-sama Hasan Al-Banna menghadiri maulid nabi. Ia (Hasan Al-Banna) sendiri terkadang maju kepentas untuk menyanyikan nasyid (nyanyian) maulid nabi dengan suara keras dan nyaring. Setelah menukil banyak kisah Al-Banna tersebut, Syaikh Farid berkomentar:

''Semoga Allah memerangi pelaku-pelaku bidah. Alangkah bodohnya mereka, alangkah lemahnya akal mereka. Sesungguhnya mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas dilakukan bahkan oleh anak kecil sekalipun.''

Dalam lembaran-lembaran majalah Ad-Dakwah, yang dipimpin oleh Umar At-Tilimsani tatkala dia masih menjabat salah satu Mursyid partai Ikhwanul Muslimin (nomor 21 hal 16/Rabi`ul Awwal 1398 H), tercetus banyak ungkapan yang penuh dengan kebidahan dan ghuluw (pengkhutusan/berlebih-lebihan) terhadap Nabi.

Di antaranya dalam makalah di bawah judul : Fi dzikra maulidika ya dhiya` Al-Alamin (dalam memperingati hari kelahiranmu, wahai sinar alam semesta)

TA'ASHUB / FANATIK TERHADAP PENDAPAT ULAMANYA
Syaikh Muqbil menyatakan dalam Al-Makhraj Minal Fitan hal. 86: ''(banyak) dari kalangan pengikut Ikhwanul Muslimin yang mengetahui bahwa mereka bodoh dalam masalah dien. Apabila kita menyatakan kepadanya : ini halal, atau ini haram adalah sudah kita tegakkan dalil-dalilnya, ia akan mengelak sambil menjawab: Yusuf Qordhawi di dalam al-halal wal haram bilang begini, Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, atau Hasan Al-Banna di dalam Ar-Rasail atau Sayid Quthub dalam tafsir Fi Dzi lalil Quran bilang begini! Bolehkah dalil-dalil yang jelas dipatahkan dengan ucapan-ucapan mereka?''

Karena itulah banyak diantara mereka yang masih meremehkan hukum ''merokok'' misalnya, yang telah ditegaskan keharamannya oleh ulama ahlul hadits, lewat berbagai tinjauan, karena mengikuti fatwa syaikh mereka Yusuf Qordhawi yang tidak jelas dalam menerangkan hukumnya.

MANHAJ DAKWAH YANG MELENCENG DARI SYARIAH
Kerusakan manhaj dakwah mereka diawali oleh propaganda "Tauhidu As-Sufuf" (menyatukan barisan) kaum muslimin yang mereka dengung-dengungkan. Dimana propaganda itu berkonotasi mengabaikan adanya berbagai penyimpangan aqidah yang membaluti tubuh umat Islam. Menurut mereka, cukup kita meneriakan : wa Islamah (wahai Islam), maka kita pun bersatu.

Hasan Albana pernah berkata :

"Dakwah Ikhwanul Muslimin tidaklah ditujukan untuk melawan satu aqidah, agama, ataupun golongan, karena faktor pendorong perasaan jiwa para pengemban dakwah jama'ah ini adalah berkeyakinan fundamental bahwa semua agama samawi berhadapan dengan musuh yang sama, yaitu atheisme” [Lihat qofilah Al-Ikhwan As-siisi 1/211].

Utsman Abdus Salam Nuh mengomentari ucapan itu dalam bukunya At-Thoriq ila Jama'ati Al-Umm halaman 173: "Bagaimana bisa disebut dakwah Islamiah, kalau tidak sudi memerangi aqidah-aqidah yang menyimpang, sedangkan Islam sendiri diturunkan untuk memberantas berbagai penyimpangan keyakinan dan membersihkan hati manusia dari keyakinan-keyakinan itu.

Inti pemahaman inilah yang akhirnya melahirkan gerakan yang disebut Pan Islamisme, yang menyatukan umat Islam dengan berbagai keyakinannya dibawah satu panji. Ikhwanul Muslimin juga banyak mempergunakan berbagai sarana yang tidak sesuai dengan syari'at untuk mengembangkan dakwahnya.

Diantaranya : Mengadakan pertunjukan sandiwara. Dalam hal ini, Syaikh Muqbil memberikan tanggapan :"Sesungguhnya pertunjukan sandiwara itu, kalaupun tidak dikatakan dusta, amatlah dekat dengan kedustaan. Kita meyakini keharamannya, selain itu juga bukan merupakan sarana dakwah yang dipergunakan ulama kita terdahulu."

Imam Ahmad meriwayatkan satu hadits dari Ibnu Mas'ud , bahwasanya Rosulullah bersabda : Manusia yang paling keras disikda hari kiamat nanti ada tiga : Orang yang membunuh seorang nabi atau dibunuh olehnya, seorang pemimipin yang sesat dan menyesatkan, dan pemain lakon (mumatsil). [Dalam musnadnya I/407, berkata Ahmad Syakir dalam ta'liknya IV/65 :Sanadnya shahih , dan di shahihkan pula oleh Syaikh Al Bany dalam Ash Shohihah no. 281]

Beliau melanjutkan :``Yang dimaksud mumatsil disitu adalah pelukis atau orang yang melakonkan perbuatannya di hadapan orang lain. Sebagaimana ditegaskan dalam kamus``. (lihat Al-Makhroj ? Minal Fitan halaman 90). Para ulama juga lebih mengharamkan (sandiwara) lagi, tatkala sering terjadi dalam sandiwara seseorang harus memerankan diri sebagai orang kafir, bahkan penyembah berhala yang mempraktekkan ibadahnya di hadapan patung. Dan banyak lagi yang lainnya.

[Syaikh Dr. Sholeh Al Fauzan menjelaskan :"Pendapat saya , bahwa sandiwara (itu) Tidak Boleh!! Karena bebarapa sebab :

[1]. Tujuan sandiwara adalah membuat para hadirin tertawa
[2]. Tasyabuh dengan orang-orang yang tidak baik
[3]. Cara da'wah seperti ini bukanlah cara da'wah yang dicontohkan nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dan para Salafusholih. Sandiwara-sandiwara tersebut tidaklah dikenal kecuali dari orang-orang kafir yang menular kepada kaum muslimin dengan alasan da'wh.dpun menjdikn sandiwara sebagai wasilah da'wah “ini Juga Tidak Benar, karena wasilah da'wah adalah Taufiqiyah/ sudah tetap diatur.lih. Al Ajwibatu mufidah hal :62-63]

[Syaikh Bakar Abu Zaid berkata dalam bukunya :At-Tamstil" hal 18: "Akhirnya para ulama peneliti mengetahui bahwa bibit sandiwara ini dari syiar ibadah orang-orang Yunani." .Syaikh Hamud ibnu Abdillah at-Tuwajiri juga menegaskan :"Sesungguhnya menjadikan sandiwara sebagai sarana da'wah kepada Allah bukanlah termasuk Sunnah Rasul dan Sunnah Khulafaur Rasyidin.Akan tetapi ini adalah cara da'wah yang diada-adakan di jaman kita. Lihat Al Hujjatul Qowiyyah hal :64-64 oleh Syaikh Abdussalam Ibnu Barjas, cet Daarussalaf]

MENDAHULUKAN URUSAN POLITIK DARIPADA SYARI'AT
Meski secara lahir, jama'ah Ikhwanul Muslimin selalu menggembar-gemborkan harus tegaknya kekuasaan Islam, namun secara mengenaskan mereka hanya menjadikan itu sebagai slogan umum yang aplikasinya meninggalkan dakwah tauhid dan menjejali orang awam hanya dengan propaganda politik mereka.

Kita sudah bosan dengan dengungan politik yang membuat manusia jahil dengan agamanya, mereka hidup terpecah belah dengan tidak mengenal agamanya, tidak mengenal bagaimana shalat yang sesuai dengan sunnah RasulNya Shalallahu 'Alaihi wa Sallam .Apakah kita akan menyibukkan manusia dengan politik ???Padahal keadaan umat seperti ini ???Mengapa manusia tertipu dengan slogan ini , padahal jika mansuia belajar dien, maka dengan sendirinya manusia akan menolak yang berasal dari luar agamanya.

Contohnya, ketika mereka mengakui bahwa syarat pemimpin Islam yang ideal adalah ilmu dan taqwa, mereka justru mengangkat Mujadidi sebagai pemimpin Afghanistan, hanya demi menyenangkan banyak pihak termasuk dunia barat.

Hal itu diungkapkan oleh Abdullah Al-Azhom dalam majalah Al-Jihad nomor 52 maret 1989 : "Mujadidi adalah profil pemimpin ideal menurut dunia Internasional khususnya barat. Hal itu akan memuluskan jalan Afghanistan untuk menjadi negara yang diakui di dunia secara formal....." (At-Thoriq 214) juga akan kita dapati, bahwa para pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin lebih banyak berbicara dan mengulas tentang politik daripada aqidah, dalam majalah, buku-buku bahkan di podium-podium, sampai-sampai dikala menyampaikan khotbah jum'at."

Masih banyak lagi penyimpangan dakwah Ikhwanul Muslimin yang tak mungkin dirinci disini satu persatu. Semuanya sudah banyak diulas ulang oleh para ulama ahlul Hadits. Yang jelas, gerakan ini turut membidani kelahiran berbagai gerakan sejenis di berbagai negara. Di Libanon seperti At-Tauhid, di Palestina Hammas, di Mesir Jama'ah Islamiah, di Aljazair FIS, di Malaysia Darul Arqom, di Indonesia seperti NII (Negara Islam Indonesia) yang sebelumnya dikenal dengan Darul Islam atau DI TII, Al-Usroh, Komando Jihad, JAMUS (Jama'ah Muslimin), dan lain-lain.

[Disalin dari tulisan Membongkar Kesesatan Dan Penyimpangan Gerakan-Gerakan Islam, Penulis Abu Ihsan Al-Atsari Al-Medany, Ta’liq Abu Unaisah Al-Atsary dan Ibnu Bilal Al-Banyuwangi]

KETIMPANGAN MANHAJ MUWAZANAH

Disusun
Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2

Telah kita jelaskan pada pembahasan yang lalu bahwa membantah ahli bid’ah dan mengkritik mereka adalah salah satu dari pokok-pokok agama yang agung, bahkan merupakan jihad fi sabilillah yang paling utama, karena ahli bid’ah lebih berbahaya dibandingkan orang kafir. Membantah ahli bid’ah adalah salah satu pokok-pokok manhaj salaf yang diterapkan oleh para ulama salaf dari masa ke masa.

Tetapi ternyata baru-baru ini muncul kelompok sururiyyah [1] atau quthbiyyah [2] yang menyebarkan keragu-raguan terhadap manhaj salaf dalam membantah ahli bid’ah, bahkan berusaha mengganti manhaj salaf dalam masalah ini dengan manhaj mereka. Mereka cetuskan manhaj yang baru di dalam mengkritik person, tulisan dan kelompok yang mereka namakan manhaj muwazanah, yaitu manhaj yang mengharuskan bagi siapa saja yang mengkritik kesalahan person, tulisan ataupun kelompok untuk menyebutkan kebaikan dan kejelekannya secara bersamaan, karena ini adalah sikap yang adil menurut mereka. [3]. Manhaj ini dinamakan juga oleh para pencetusnya sebagai manhaj Al-‘Adl wal Inshaf.[4]

Berikut ini akan kami paparkan ketimpangan manhaj muwazanah dan bahwasanya keadilan yang hakiki adalah manhaj Islam yang dipraktekan oleh generasi terbaik dari kalangan sahabat, tabi’in dan para imam kaum muslimin, dengan banyak menukil dari risalah Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali yang berjudul Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal wal Kutub Wath-Thowaif, cetakan kedua tahun 1413H.

MANHAJ ISLAM DAN PARA IMAM DALAM MENGKRITIK PERKATAAN DAN PERSON

[A]. Allah Subhanahu wa Ta’ala Memuji Orang-Orang Yang Beriman Tanpa Menyebut Kejelekan Mereka Dan Mencela Orang-Orang Kafir Dan Munafiq Tanpa Menyebut Kebaikan Mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang beriman di dalam ayat-ayat yang banyak, dan menyebutkan pahala yang agung yang Dia siapkan bagi orang-orang yang beriman, tanpa menyebutkan sedikitpun dari kesalahan mereka –seperti yang diharuskan oleh para pencetus manhaj muwazanah- padahal : ‘Setiap anak Adam adalah selalu berbuat kesalahan”, dan hikmah yang diambil dari menyebut kebaikan mereka tanpa menyebut kejelekan mereka adalah untuk menggerakkan hati setiap manusia agar meniru dan meneladani mereka.

Di sisi lain Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang kafir dan munafik di dalam ayat-ayat yang banyak tanpa menyebut sedikitpun dari kebaikan mereka, karena kekufuran dan kesesatan mereka telah merusak kebaikan-kebaikan mereka dan menjadikannya tidak bernilai sama sekali seperti debu yang berterbangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” [Al-Furqan : 23]

Demikian juga Allah mengkisahkan kepada kita umat-umat terdahulu yang mendustakan rasul-rasul mereka. Allah sebutkan kekufuran dan kebatilan mereka dan kemudian hukuman kepada mereka dan penghancuran mereka, tanpa menyebut sedikitpun dari kebaikan mereka, karena tujuan yang asasi dari penyebutan kisah mereka adalah sebagai peringatan kepada umat-umat sesudah mereka agar menjauhi perbuatan mereka dari kekufuran dan pendustaan kepada rasul-rasul mereka, supaya tidak mengalami kehancuran sebagaimana kehancuran mereka.

Kemudian Allah juga menyebut orang-orang Yahudi dan Nashara dengan sifat-sifat buruk yang ada pada mereka, dan mengancam mereka dengan ancaman yang keras, tanpa menyebut sedikitpun dari kebaikan mereka yang telah mereka hilangkan nilainya dengan kekufuran dan pendustaan mereka terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta penyelewengan mereka terhadap kitab mereka.

Inilah manhaj Allah didalam mencela orang-orang kafir dan munafiq, dan inilah manhaj yang paling adil, karena Allah adalah Dzat yang Maha adil.

[B]. Peringatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Kepada Umatnya Dari Bahaya Ahli Bid’ah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dari kejelekan ahli bid’ah tanpa menyebut sedikitpun dari kebaikan mereka, karena kebaikan mereka tidak bernilai, sedangkan bahaya mereka lebih besar daripada maslahat yang diharapkan dari kebaikan mereka.


Dari Aisyah bahwasanya dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini.

“Artinya : Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kalian. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : ‘Kami beriman keapda ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” [Ali-Imran : 7]

Aisyah berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat ; mereka itulah yang disebut Allah dalam kitabNya, maka awaslah dari mereka!” [Muttafaq ‘Alaih, Shahih Bukhari 4547 dan Shahih Muslim 2665]

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Akan datang pada akhir umarku orang-orang yang menyampaikan kepada kalian apa-apa yang tidak pernah kalian dengar dan tidak pernah didengar oleh bapak-bapak kalian, maka awaslah kalian dari mereka!” [Sahih Muslim 1/12]

Merupakan hal yang dimaklumi bahwa ahli bid’ah tentu memiliki kebaikan, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menoleh sama sekali kebaikan mereka, dan tidak menyebutkannya sama sekali, dan tidak mengatakan : “Ambillah manfaat dari kebaikan mereka dan sebutkanlah kebaikan mereka ketika mengkritik mereka!”

Tetapi sangat disayangkan bahwa keadaan sekarang ini telah berbalik seratus delapan puluh derajat, sekarang sering kita dapati seorang yang mengaku bermanhaj salaf tetapi dia loyal kepada ahli bid’ah, membela manhaj ahli bid’ah dan membela tulisan-tulisan mereka dengan mati-matian, dan di lain pihak mereka jauhkan umat dari ahli haq dan ahli sunnah ! Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raaji’uun.

[C] Sikap Para Sahabat Dan Tabi’in Terhadap Ahli Bid’ah

Ibnu Umar berkata tentang kelompok qadariyyah : “Jika engkau bertemu mereka beritahukan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dari Ibnu Umar” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahihnya 1/140]

Abu Qilabah berkata : “Janganlah kalian duduk-duduk dengan ahli ahwa, karena aku khawatir mereka akan menjerumuskan ke dalam kesesatan mereka, dan mengaburkan persepsi kalian terhadap mereka” [Syarhus Sunnah oleh Imam Baghowi 1/227]

Maka lihatlah bagaimana sikap tegas para sahabat, tabi’in dan para imam terhadap ahli bid’ah, mereka peringatkan umat dari kejelekan ahli bid’ah tanpa menyebut sedikitpun dari kebaikan mereka, hal ini didasarkan atas pemahaman mereka yang benar terhadap kaidah-kaidah Islam, di antaranya kaidah masyhur.

“Menjauhkan mafsadah (kerusakan) didahulukan atas mendatangkan mashlahat”

[D] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Meyebutkan Aib Orang-orang Tertentu Tanpa Menyebut Kebaikan Mereka Dengan Tujuan Nasihat.

[1]. Dari Aisyah bahwasanya ada seorang laki-laki meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya maka dia bersabda : “Dia adalah sejelek-jelek kerabat”. Ketika dia duduk, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermuka manis, dan bersikap ramah kepadanya, ketika orang itu telah pergi Aisyah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah ketika engkau melihatnya engkau bermuka manis, dan bersikap ramah kepadanya !”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Aisyah, kapan engkau melihatku berbuat keji?! Sesungguhnya sejelek-jelek derajat manusia di sisi Allah adalah orang yang ditinggalkan oleh manusia karena takut kepada kejekannya” [Shahih Bukhari 6032]

Al-Imam Al-Qurthubi berkata :”Hadits ini menunjukkan bolehnya ghibah terhadap orang yang terang-terangan berbuat kefasikan atau kemaksiatan yang keji atau yang semisal itu dari kecurangan dalam menghukumi dan seruan kepada kebid’ahan, dan bolehnya mudarah (bersikap membujuk) terhadap mereka dan menjauhi bahaya kejelekan mereka selama hal itu tidak membawa kepada sikap mudahanah (menjilat) dalam agama Allah” [Fathul Bari 10/452]

[2]. Ketika Fatimah bintu Qois selesai iddahnya, dia dipinang oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya : “Adapun Abu Jahm maka dia adalah seorang laki-laki yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (ringan tangan), adapun Mua’wiyah maka dia adalah seorang yang miskin tidak punya harta sama sekali, maka menikahlah dengan Usama bin Zaid” [Shahih Muslim 1480]

Tidak diragukan lagi bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah memiliki banyak keutamaan dan kebaikan, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kebaikan keduanya karena yang diharapkan oleh Fatimah bintu Qois adalah nasihat dan saran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dua orang yang meminangnya.

Adapun para pencetus manhaj muwazanah, maka mereka mewajibkan dalam keadaan seperti ini untuk menyebut kebaikan keduanya, tanpa memperdulikan bahwa orang yang meminta nasihat akan semakin bertambah bingung dan bahkan bisa jadi terjerumus ke dalam mudharat.

[3]. Dari Aisyah bahwasanya Hindun bintu Utbah berkata : “Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang pelit, dia tidak memberiku nafkah yang mencukupiku dan mencukupi anak-anaku, kecuali kalau aku mengambil darinya dalam keadaan dia tidak tahu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Ambillah apa yang mencukupimu dan mecukupi anak-anakmu dengan cara yang ma’riuf” [Muttafaq ‘Alaih, Shahih Bukhari 3564 dan Shahih Musalim 1714]

Al-Hafidz Ibnu hajar berkata : “Hadits ini menunjukkan bolehnya menyebut seseorang dengan sifat yang tidak dia sukai jika tujuannya untuk meminta fatwa, mengadu, dan yang semisalnya, dan ini adalah salah satu dari keadan-keadaan yang dibolehkan.

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari Hindun ketika menyebutkan kejelekan Abu Sufyan tanpa menyebut kebaikannya, padahal jelas bahwa Abu Sufyan memiliki kebaikan yang banyak.
Adapun para pencetus manhaj muwazanah, maka mereka tidak memperhatikan hal-hal seperti ini, tidak bisa membedakan antara maslahat dan mafsadah, bahkan mereka tinggalkan segi maslahat, mereka remehkan bahaya bid’ah dan mudharatnya, mereka belum sampai kepada faidah nasihat yang telah didapati oleh Islam dan para imam salaf, ketika mereka tinggalkan hal itu, terbayang kepada mereka bahwa menyebut kejelekan dan bid’ah person atau kelompok sebagai peringatan dan nasihat kepada umat merupakan sikap yang tidak adil dan penghianatan !!

[E] Kritikan Para Imam Terhadap Ahli Bid’ah Dan Para Perawi

Para imam banyak memberikan kritikan terhadap ahli bid’ah dan para perawi, dan mereka tidak pernah mengisyaratkan sama sekali wajibnya memakai manhaj muwazanah. Mereka menulis kitab-kitab tentang Jarh wat Ta’dil, kitab-kitab tentang pembelaan kepada sunnah dan bantahan kepada hali bid’ah dan celaan kepada mereka, kitab-kitab tentang ‘ilal, kitab-kitab tentang hadits-hadits yang maudhu (palsu), dalam keadaan sama sekali tidak mereka wajibkan manhaj muwajanah di dalam kitab-kitab yang mereka tulis, bahkan mereka menulis kitab-kitab yang khusus dalam Jarh (celaan) pada perawi, tanpa mensyaratkan sama sekali manhaj muwazanah ini !

Adapun orang-orang yang mewajibkan manhaj muwazanah maka akan menganggap bahwa yang dilakukan para imam di atas merupakan sikap yang dzolim dan khianat !, kita berlindung kepada Allah dari manhaj yang sesat ini.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon edisi 8 Th III hal.25-30. Ketimpangan Manhaj Muwazanah oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu, Grresik JATIM]
_________
Foote Note
[1]. Nisbah kepada seorang yang bernama Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin, seorang yang masyhur dengan penyimpangannya dan permusuhannya kepda para ulama salaf di dalam majalahnya As-Sunnah yang terbit di London dan di dalam tulisan-tulisannya. Dia ini dikatakan oleh Syaikhuna Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad sebagai seorang yang dengki kepada ulama ahli sunnah, untuk mengenal lebih lanjut tentang dia bisa dibaca Ajwibah Mufidah oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 51-56 dan Fitnatut Takfir wal Hakimiyah oleh Muhammad Al-Husain hal. 92-97
[2]. Nisbah kepda Sayyid Quthb seorang tokoh yang dikenal banyak penyimpangannya dari manhaj yang lurus, untuk membentengi diri dari bahaya pemikirannya bisa membaca kitab Mauriduz Zilat Fai Akhto’i Dhilal oleh Syaikh Abdullah Ad-Duwasiy, dan beberapa kitab Syaikhuna Al-Alamah Rabi’ Al-Madkhaly seperti Adhwa’ Islamiyah ‘Ala Aqidati Sayyid Quthb wa Fikrihi, Matha’in Sayyid Quthb Fi Ashaabi Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Awashim Mimma Fi Kutub Sayyid Quthb Minal Qowasim.
[3]. Lihat Manhaj Ahlis sunnah wal Jama’ah Fi Taqwimir Rijal wa Muallaftihim oleh Ahmad Shouyan! Hal 27. Dhawabith Raiisiyyah Fi Taqwimil Jama’atil Islamiyah oleh Zaid Az-Zaid ! sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah oleh Abu Ibrahim Al-‘Adnani hal.39, Min Ahkhlaqid Da’iyyah oleh Salman Al-Audah! Hal.40 sebagaimana dalam Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thowaif oleh Syaikhuna (guru kami) Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 45 dan Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah minal Bida’ wal Mubtadi’ah oleh Abdurrahman Abdul Khaliq! Hal. 1-2 sebagaimana dalam Jama’ah Wahidah oleh Syaikhuna (guru kami) Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 149
[4]. Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah oleh Abu Ibrahim Al-‘Adnani hal. 27

KETIMPANGAN MANHAJ MUWAZANAH

Disusun
Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2

SYUBHAT MANHAJ MUWAZANAH DAN BANTAHANNYA

Zaid Az-Zaid berkata : “Al-Qur’an dan Sunnah telah mengajarkan kepada kita manhaj (muwazanah) ini, diantaranya firman Allah.

“Artinya : Di Antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu ; dan diantara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya” [Ali-Imran : 75]

Celaan diatas diiringi, bahkan didahului oleh pujian, dan penjelasan keadaan sebagia ahli kitab dan pengakuan bahwa sebagan mereka menunaikan amanah! [5]

Berkata Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali membantah syubhat ini :

Pertama.
Sepanjang sepengetahuanku tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan atas muwazanah antara kebaikan dan kejelekan atau yang semakna dengan ibarat ini, dan tidak selayaknya seorang muslim keluar dari fiqh salaf dan pemahaman mereka.

Kedua.
Yang difahami oleh para ulama tafsir dari ayat di atas adalah peringatan kepada umat Islam dari kejelekan ahli kitab sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Qurthubi di dalam Tafsirnya 4/116 : Allah mengkhabarkan bahwa di antara ahli kitab ada yang amanat dan ada yang pengkhianat, sedangkan orang-orang yang beriman tidak bisa memilah-milah mereka, maka selayaknya menjauhi ahli kitab semuanya.

Ketiga.
Di dalam kitab dan Sunnah banyak didapati nash-nash yang banyak sekali dalam mencela orang-orang Yahudi dan Nashrani, yang tidak menyebutkan kebaikan dan kejelekan mereka sekaligus, seperti firman Allah.

“Artinya : Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” [Al-Baqarah : 42]

Dan firman Allah.

“Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertahankan) Al-Masih putera Maryam ; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” [At-Taubah : 31]

Dimanakah manhaj muwazanah dalam nash-nash di atas ?!

Sesungguhnya penetapan manhaj muwazanah yang bid’ah in akan membuka pintu kepada orang-orang Yahudi, Nashrani, Komunis, dan Rasionalis untuk menyerang kaum muslimin, mencela Allah dan rasulnya, dan apa yang ditulis oleh para ulama Islam dalam mengkritik kelompok-kelompok sesat, dalam masalah jarh wat ta’dil. Hal ini merupakan bukti yang jelas atas kebatilan manhaj muwazanah ini.[6]

FATWA PARA ULAMA TENTANG MANHAJ MUWAZANAH

[1]. Fatwa Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah.

Ada seorang yang bertanya kepada Samahatusy Syaikh : “Ada orang-orang yang mewajibkan muwazanah ; yaitu jika engkau mengkritik seorang ahli bid’ah maka wajib atasmu untuk menyebutkan kebaikannya agar engkau tidak mendholiminya?”.

Maka Samahatusy Syaikh menjawab : “Tidak, hal ini tidak harus, hal ini tidak harus, karena inilah jika engkau melihat kitab-kitab Ahli Sunnah, maka engkau akan mendapati apa yang dimaksud yaitu tahdzir, bacalah dalam kitab Bukhari Kholqu Af’alil Ibad dan Kitabul Adab dari Shahihnya, kitab As-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, kitab Tauhid oleh Ibnu Khuzaimah, Bantahan Utsman bin Said Ad-Darimi kepada Ahli Bida’… dan yang lainnya.

Mereka tulis kitab-kitab ini sebagai peringatan kepada setiap muslim dari kebatilan ahli bid’ah, dan bukan bertujuan memaparkan kebaikan-kebaikan mereka … maka yang dimaksud adalah peringatan kepada setiap muslim dari kebatilan mereka, sedangkan kebaikan mereka tidak bernilai sama sekali bagi yang kafir dari mereka, jika kebid’ahan mereka adalah bid’ah yang mengkafirkan pelakunya maka hapuslah kebaikannya, dan jika bid’ahnya belum mengkafirkannya maka dia berada dalam bahaya, maka yang dimaksud adalah penjelasan kesalahan mereka yang wajib untuk dihindari dan dijauhi”

[Dari kaset Ta’lim Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz di Thoif tahun 1413H sebagaimana dalam Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal Wal Kutub wath Thowaif oleh Syaikhuna Al-Alamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 9]

[2] Fatwa Syaikh Al-Alamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Ada pertanyaan yang dilontarkan kepada Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan –setelah beliau ditanya tentang beberapa pertanyaan mengenai kelompok-kelompok Islam-. Baik ya Syaikh apakah engkau memperingatkan manusia dari mereka tanpa menyebut kebaikan mereka, atau engkau sebutkan kebaikan dan kejelekan mereka secara bersamaan ?

Maka Fadhilatusy Syaikh menjawab : “Jika engkau menyebut kebaikan mereka berarti engkau mengajak (manusia,-pent) kepada mereka, tidak ; jangan engkau sebut kebaikan mereka!, tetapi sebutkan kesalahan mereka saja, karena tugasmu bukanlah untuk mempelajari keadaan mereka dan menilainya… tetapi tugasmu adalah menyebutkan kesalahan yang ada pada mereka agar mereka bertaubat darinya, dan agar selain mereka menjauhi kesalahan itu. Demikian juga kesalahan yang ada pada mereka bisa jadi menghilangkan kebaikan mereka semuanya jika kesalahan itu berupa kekufuran atau kesyirikan, bisa jadi mengalahkan kebaikan mereka, dan bisa jadi itu adalah kebaikan menurut pandanganmu padahal sebenarnya bukanlah kebaikan di sisi Allah”

[Ajwibah Mufidah ‘An As’Ilatil Manahijil Jadidah hal. 13-14]

[3]. Fatwa Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.

Ketika ditanya tentang manhaj muwazanah Syaikh Al-Albani berkata : ‘Ini adalah cara-cara ahli bid’ah. Ketika seorang ahli hadist menilai seorang perawi yang shalih atau alim atau faqih dengan perkataannya : “Fulan jelek hafalannya”, apakah dia juga mengatakan bahwa dia adalah seorang muslim atau seorang yang shalih atau seorang yang faqih atau seorang yang diambil dalam istinbath hukumnya ?! Allahu Akbar. Pada hakekatnya kaidah yang terdahulu (yaitu kaidah : setiap kebaikan adalah dalam ittiba’ kepada salaf) adalah kaidah yang sangat penting sekali yang mencakup cabang-cabang yang banyak khususnya pada zaman ini.

Dari mana mereka (pemilik manhaj muwazanah) mendapatkan dalil yang mengatakan jika seorang hendak menjelaskan kesalahan seorang muslim –jika dia adalah seorang da’i atau bukan- maka wajib bagi dia melakukan cermah yang mennjelaskan kebaikan orang tadi dari awal sampai akhir, Allahu Akbar ini adalah sesuatu yang aneh. Demi Allah ini adalah sesuatu yang aneh….”

[Silsilatul Huda wan Nur kaset no. 850 sebagaimana dalam Nashrul Aziz oleh Syaikhhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 96-97]

PENUTUP

Jelaslah dari uraian di atas bahwa :
[1]. Apa yang didakwakan dari wajibnya memakai manhaj muwazanah dalam mengkritik person, tulisan, dan kelompok adalah dakwaan yang tidak ada dalilnya sama sekali dari kitab maupun sunnah, maka manhaj muwazanah adalah manhaj yang asing dan bid’ah.
[2]. Ulama salaf tidak pernah memakai manhaj muwazanah dalam mengkritik person, tulisan dan kelompok
[3]. Wajib memperingatkan umat dari bid’ah dan ahlinya dengan kesepakatan kaum muslimin, dan boleh bahkan wajib menyebut kebid’ahan mereka dan menjauhkan manusia dari mereka.
[4]. Para ulama salaf telah menulis kitab-kitab dalam jarh wa ta’dil dan kitab-kitab yang khusus dalam jarh saja, kitab-kitab ini jumlahnya banyak sekali, tidak ada seorangpun dari mereka yang mewajibkan atau menyunahkan muwazanah, bahkan mereka mewajibkan jarh saja.
[5]. Para ulama salaf telah menulis kitab-kitab tentang sunnah dan bantahan kepad bid’ah dan ahlinya tanpa memakai manhaj muwazanah.
[6]. Manhaj salaf dilandaskan atas maslahat dan nasihat kepada umat.
[7]. Manhaj salaf adalah benteng yang teguh di dalam melindungi kaum muslimin dari bahaya dan makar ahli bid’ah
[8]. Manhaj muwazanah akan membuka pintu kepada semua ahli bid’ah untuk merusak aqidah kaum muslimin dan melancarkan berbagai macam fitnah kepada mereka.
[9]. Wajib bagi setiap muslim untuk waspada trehadap pemikiran-pemikiran yang membahayakan aqidah dan manhajnya, tidak sepantasnya setiap muslim untuk mengikuti setiap seruan yang memperdayakan, yang akan menyebabkan tercabutnya nikmat yang paling agung, yaitu keteguhan di atas manhaj salaf.


[Disalin dari Majalah Al-Furqon edisi 8 Th III hal.25-30. Ketimpangan Manhaj Muwazanah oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu, Grresik JATIM]
_________
Foote Note
[5]. Dhawabith Raiisiyyah oleh Zaid Az-Zaid! Sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah oleh Abu Ibrahim Al-Adnani hal. 43 dan semakna dengan ini perkataan Ahmad Shouyan dalam Manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah Fi Taqwimir Rijal wa Muallafatihim sebagaimana dalam Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thowaif oleh Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 49
[6]. Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal Wal Kutub wath Thowaif hal. 49-51

BERGABUNG DENGAN MADZHAB-MADZHAB ILHAD [ATHEIS] DAN KELOMPOK-KELOMPOK JAHILIYAH

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

[1]. Ikut bergabung dengan madzhab-madzhab (paham-paham) atheis seperti komunisme, sekulerisme, materialisme dan paham-paham kufur lainnya adalah kufur dan keluar dari Islam. Jika orang-orang bergabung dengan paham-paham tersebut mengaku Islam maka ia termasuk nifaq akbar (kemunafikan besar). Karena sesungguhnya orang-orang munafik itu mengaku Islam secara lahiriyah, tetapi secara batiniyah (sesungguhnya) mereka bersama orang-orang kafir.

Allah berfirman tentang mereka.

“Artinya : Dan jika mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ‘Kami telah beriman’. Dan bila mereka kembali pada setan-setan mereka, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok” [Al-Baqarah : 14]

“Artinya : Yaitu orang-orang yang menunggu-nunggu (persitiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata, ‘Bukankah kami (turut berperang) besertamu?’. Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata, ‘Bukankah kami turut memenangkanmu dan membela kamu dari orang-orang mukmin?” [An-Nisa : 141]

Orang-orang munafik penipu, masing-masing mereka memiliki dua wajah ; wajah untuk menghadapi orang-orang beriman dan wajah untuk berpaling pada kawan-kawannya dari kalangan orang-orang atheis. Mereka juga memiliki dua lisan ; lisan yang secara lahiriah diterima oleh umat Islam dan lisan yang mengungkapkan tentang rahasia mereka yang bersembunyi.

Allah berfirman.

“Artinya : Dan jika mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ‘Kami telah beriman’. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok” [Al-Baqarah : 14]

Mereka berpaling dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan mengolok-ngolok dan merendahkan para pengikutnya. Mereka enggan tunduk terhadap hukum kedua wahyu tersebut karena merasa bangga terhadap ilmu yang mereka miliki, padahal memperbanyak ilmu tersebut tidak bermanfaat, kecuali malah menambah keburukan dan kesombongan. Karena itu, engkau melihat mereka senantiasa mengolok-ngolok orang-orang yang berpegang teguh dengan wahyu yang nyata.

Allah berfirman.

“Artinya : Allah akan (membalas) olok-olok mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka” [Al-Baqarah : 15]

Allah memerintahkan agar kita bergabung dengan orang-orang beriman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” [At-Taubah : 119]

Madzhab-madzhab atheis tersebut adalah madzhab-madzhab yang menyimpang, karena didirikan diatas kebatilan. Komunisme misalnya, mengingkari wujud pencipta Subhanahu wa Ta’ala dan memerangi agama-agama samawiyah. Barangsiapa rela dengan akalnya untuk hidup tanpa aqidah serta mengingkari kepastian hukum-hukum akal, maka berarti ia menafikan akalnya. Lalu sekulerisme mengingkari agama-agama dan hanya bersandar kepada materi yang tidak memiliki orientasi dan tujuan dalam hidup ini, selain kehidupan hewani. Kapitalisme yang dipentingkan hanya mengumpulkan harta dari mana saja, tanpa memperdulikan halal-haram, kasih sayang dan cinta kepada orang-orang fakir dan miskin. Dasar perekonomiannya adalah riba yang berarti memerangi Allah dan RasulNya, dan karenanya Negara serta pribadi menjadi hancur dan menghisap darah rakyat miskin. Karena itu setiap orang yang berakal, apalagi yang memiliki sedikit iman tak mungkin rela hidup berdasarkan madzhab-madzhab ini, hidup tanpa akal, agama, tujuan yang benar yang senantiasa diupayakan dan dan dipertahankan. Madzhab-madzhab ini masuk ke negara-negara Islam saat mayoritas mereka kehilangan dien yang lurus dan terdidik di atas kelalaian serta hidup sekedar menjadi penurut dan pengekor

[2]. Bergabung dengan kelompok-kelompok Jahiliyah serta fanatik terhadap rasialisme adalah suatu kekufuran dan kemurtadan dari Islam. Sebab Islam menolak fanatisme dan kebangkitan Jahiliyah.

Allah berfirman.

“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang-orang yang paling bertakwa” [Al-Hujurat : 13]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidak termasuk golongan kami orang yang menyeru kepada ashabiyah (fanatisme), tidak termasuk golongan kami orang yang membunuh karena ashabiyah, dan tidak termasuk golongan kami orang yang marah karena ashabiyah” [Hadits Riwayat Muslim]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian ashabiyah Jahiliyah dan kebanggaan dengan nenek moyang. Sesungguhnya yang ada hanyalah seorang mukmin yang bertakwa atau pendurhaka yang tercela. Manusia adalah anak cucu Adam, dan Adam diciptakan dari tanah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang Ajam kecuali dengan takwa” [Hadits Riwayat At-Tirmidzi dan lainnya]

Hizbiyah (fanatik golongan) inilah yang memecah belah umat Islam, padahal Allah memerintahkan kita bersatu dan saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa serta melarang berpecah belah dan berselisih.

Allah berfirman.

“Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara” [Ali-Imran :103]

Sesungguhnya Allah menginginkan agar kita menjadi satu hizb (kelompok, jamaah) yang satu, yaitu hizbullah yang beruntung. Tetapi, dunia Islam setelah itu diinvasi dunia barat, baik secara politik maupun budaya, sehingga mereka tunduk kepada ashabiyah darah, ras/gender dan tanah air serta mereka percaya itu sebagai perkara ilmiah, realita yang diakui dan fakta yang pasti, sehingga mereka tidak bisa lagi menghindar daripadanya. Lalu rakyatnya dengan semangat menghidup-hidupkan ashabiyah tersebut yang sudah dipadamkan oleh Islam, mereka terus menyanyikan dan menghidupkan syiar-syiarnya serta bangga dengan masa sebelum kedatangan Islam, padahal itulah masa yang Jahiliyah dan menganjurkan mereka agar mensyukuri nikmat tersebut.

Naluri seorang mukmin adalah hendaknya ia tidak menyebut tentang Jahiliyah, baik masa silam maupun yang terdekat kecuali dengan perasaaan kebencian, ketidaksukaan, kemarahan dan hati yang geram. Bukankah seorang bekas penhuni penjara yang disiksa kemudian dilepaskan lalu ketika diceritakan hari-hari penahanannya, penyiksaan dan penghinaan terhadap dirinya hatinya begitu geram menahan luapan amarah. Dan bukankah seorang yang telah sembuh dari sakitnya yang parah dan lama bahkan hampir saja ia mati menjadi gundah hati dan wajahnya pucat pasi ? Sungguh wajib dipahami bahwa hizbiyah-hizbiyah tersebut adalah suatu adzab yang diturunkan Allah atas orang-orang yang berpaling dari syari'atNya dan menginginkan agamaNya.

Allah berfirman.

“Artinya : Katakanlah, 'Dia yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain” [Al-An'am : 65]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Dan selama pemimpin-pemimpin mereka tidak memutuskan hukum dengan Kitabullah, sunggguh Allah akan menjadikan siksaan dari sebagian mereka” [Hadits Riwayat Ibnu Majah]

Sesungguuhnya fanatik terhadap golongan-golongan menyebabkan ditolaknya kebenaran yang ada pada orang lain, sebagaimana keadaan orang-orang Yahudi, yang kepada mereka.

Allah berfirman.

“Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Berimanlah kepada Al-Qur'an yang diturunkan Allah, mereka berkata, 'Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami'. Dan mereka kafir kepada Al-Qur'an yang diturunkan sesudahnya, sedangkan Al-Qur'an itu adalah (Kitab) yang hak, yang membenarkan apa yang ada ada pada mereka” [Al-Baqarah : 91]

Juga sama dengan keadaan orang-orang Jahiliyah yang menolak kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada mereka, karena fanatik dengan apa yang ada pada nenek moyang mereka.

“Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Ikutilah apa yang diturunkan Allah', mereka menjawab ; (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenk moyang kami” [Al-Baqarah : 170]

Para pengikut hizbiyah tersebut ingin menjadikan hizbiyahnya sebagai ganti dari Islam yang telah dianugrahkan Allah kepada manusia.


[Disalin dari kitab At-Tauhid Lis Shaffitss Tsalis Al-Ali, Edisi Indonesia Kitab Tuhid 3, Penulis Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Penerjemah Ainul Harits Arifin Lc, Penerbit Darul Haq]

PEMBERONTAKAN TERHADAP PENGUASA DAN BATASAN-BATASAN SYAR'INYA

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Diantara permasalahan yang sedang ramai dibicarakan ialah masalah hubungan antara rakyat dengan penguasa serta batasan-batasan syar'i, berkenaan dengan hubungan ini. Syaikh yang mulia, ada sekelompok orang yang berpendapat bahwa perbuatan maksiat dan dosa besar yang dilakukan oleh para penguasa merupakan alasan dibolehkannya melakukan pemberontakan terhadap mereka. Dan merupakan alasan wajibnya mengubah keadaan meskipun menimbulkan mudharat atas kaum muslimin di negeri itu. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh beberapa negeri Islam sangat banyak, bagaimana pendapat Anda mengenai masalah ini ?

Jawaban.
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanyalah bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada keluarga dan sahabat-sahabat beliau serta orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba'du.

Sesungguhnya Allah telah berfirman dalam kitabNya

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" [An-Nisa : 59]

Ayat diatas menegaskan wajibnya mentaati waliyul amri, yaitu umara' dan ulama. Dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak dijelaskan bahwa mentaati waliyul amri dalam perkara ma'ruf merupakan kewajiban.

Nash-nash hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mentaati waliyul amri adalah ketaatan dalam perkara ma'ruf bukan dalam perkara maksiat. Mereka tidak boleh mentaati penguasa jika mereka diperintahkan berbuat maksiat. Akan tetapi mereka tidak boleh memberontak penguasa karenanya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa melihat sebuah perkara maksiat pada diri-diri pemimpinnya, maka hendaknya ia membenci kemaksiatan yang dilakukannya dan janganlah ia membangkang pemimpinnnya. Sebab barangsiapa melepaskan diri dari jama'ah lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah"
Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada umara') dalam saat lapang maupun sempit, pada perkara yang disukainya ataupun dibencinya selama tidak diperintah berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat".

Sorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau menyebutkan bahwa akan ada penguasa yang didapati padanya perkara ma'ruf dan kemungkaran :"Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami ?" Beliau menjawab : "Tunaikanlah hak-hak mereka dan mintalah kepada Allah hak-hak kamu".

Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu menuturkan : "Kami memba'iat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar kami tidak merampas kekuasaan dari pemiliknya" Beliau melanjutkan : "Kecuali kalian lihat pada diri penguasa itu kekufuran yang nyata dan kamu memiliki hujjah atas kekufurannya dari Allah [Al-Qur'an dan As-Sunnah]"

Hal itu menunjukkan larangan merampas kekuasaan waliyul amri dan larangan memberontak mereka kecuali terlihat pada diri penguasa itu kekufuran yang nyata dan terdapat hujjah atas kekufurannya dari Allah (Al-Qur'an dan As-Sunnah). Karena pemberontakan terhadap penguasa akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah dan kejahatan yang lebih besar. Sehingga stabilitas keamanan akan terguncang, hak-hak akan tersia-siakan, pelaku kejahatan tidak dapat ditindak, orang-orang terzhalimi tidak dapat tertolong dan jalur-jalur transportasi akan kacau. Jelaslah bahwa memberontak penguasa akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Kecuali jika kaum muslimin melihat kekafiran yang nyata pada diri penguasa tersebut dan terdapat hujjah atas kekufurannya dari Allah (Al-Qur'an dan As-Sunnah), mereka dibolehkan memberontak penguasa tersebut dan menggantikannya jika mereka mempunyai kemampuan. Akan tetapi, jika mereka tidak memiki kemampuan, mereka tidak boleh mengadakan pemberontakan. Atau jika pemberontakan akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, mereka tidak boleh melakukannya demi menjaga kemaslahatan umum. Kaidah syar'i yang disepakati bersama menyebutkan : Tidak boleh menghilangkan kejahatan dengan kejahatan yang lebih besar dari sebelumnya, akan tetapi wajib menolak kejahatan dengan cara yang dapat menghilangkannya atau meminimalkannya. Adapun menolak kejahatan dengan mendatangkan kejahatan yang lebih parah lagi tentu saja dilarang berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

Apabila kelompok yang ingin menurunkan penguasa yang telah melakukan kekufuran itu memiliki kemampuan dan mampu menggantikannya dengan pemimpin yang shalih dan baik tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar terhadap kaum muslimin akibat kemarahan penguasa itu, maka mereka boleh melakukannya.

Adapun jika pemberontakan tersebut malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar, keamanan menjadi tidak menentu, rakyat banyak teraniaya, terbunuhnya orang-orang yang tidak berhak dibunuh dan kerusakan-kerusakan lainnya, sudah barang tentu pemberontakan terhadap penguasa hukumnya dilarang.

Dalam kondisi demikian rakyat dituntut banyak bersabar, patuh dan taat dalam perkara ma'ruf serta senantiasa menasihati penguasa dan mendo'akan kebaikan bagi mereka. Serta sungguh-sungguh menekan tingkat kejahatan dan menyebar nilai-nilai kebaikan. Itulah sikap yang benar yang wajib ditempuh. Karena cara seperti itulah yang dapat mendatangkan maslahat bagi segenap kaum muslimin. Dan cara seperti itu juga dapat menekan tingkat kejahatan dan meningkatkan kuantitas kebaikan. Dan dengan cara seperti itu jugalah keamanan dapat terpelihara, keselamatan kaum muslimin dapat terjaga dari kejahatan yang lebih besar lagi. Kita memohon taufiq dan hidayah kepada Allah bagi segenap kaum muslimin.


[Disalin dari kitab Muraja'att fi fiqhil waqi' as-siyasi wal fikri 'ala dhauil kitabi wa sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur'an & As-Sunnah, hal 24-29 Terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]


============================================================

HUKUM TENTANG AKSI-AKSI BOM BUNUH DIRI

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Sebagian jama’ah membenarkan adanya jihad perorangan dengan berdalil kepada perbuatan seorang sahabat yang bernama Abu Bashir, mereka melakukan bom syahid (saya katakan ; bom bunuh diri), bagaimana hukum perbuatan ini ?

Jawaban
Syaikh Al-Bani menjawabnya dengan sebuah pertanyaan.

Berapa lama tindakan ini mereka lakukan ..?”

Penanya menjawab : “empat tahun”.

Maka Syaikh Al-Abani berkata : “Mereka untung atau rugi?”.

Penanya berkata : “rugi”.

Syaikh Al-Bani berkata : “ dari buahnya mereka dikenal”

[Silsilah Huda wan Nur kaset no. 527]

Penanya berkata : Berhubung dengan siasat perang modern, di dalamnya terdapat pasukan penyerang yang disebut komando, di sana terdapat pasukan musuh yang menyerang kaum muslimin, maka mereka membuat suatu kelompok bunuh diri (jibaku) meletakkan bom ke arah tank-tank musuh, sehingga banyak menewaskan mereka … apakah perbuatan ini dianggap bunuh diri ?”

Jawaban.
Ini tidak dianggap bunuh diri ; karena bunuh diri adalah jika seorang muslim membunuh dirinya untuk melepaskan diri dari kehidupan yang celaka …. Adapun gambaran di atas yang engkau tanyakan, maka tidak dikatakan bunuh diri bahkan ini adalah jihad fi sabilillah … hanya saja di sana ada catatan yang harus diperhatikan, yaitu hendaknya perbuatan ini bukan sekedar ide pribadi, tetapi harus dengan perintah komandan pasukan … jika komandan pasukan merasa perlu dengan tindakan ini, dia memandang bahwa unsur kerugian yang ditimbulkan lebih sedikit daripada keuntungan yang didapatkan, yaitu memusnahkan jumlah besar dari pasukan musyrik dan kafir, maka pendapat komandan pasukan ini harus ditaati karena komando di tangannya, walaupun ada yang tidak suka maka tetap wajib.

Bunuh diri termasuk hal yang paling diharamkan dalam Islam, karena pelakunya tidaklah melakukannya kecuali karena marah kepada Rabbnya dan tidak ridho kepada ketentuan Allah Jalla Jalaluhu. Adapun yang tadi maka tidak termasuk bunuh diri, sebagaimana hal ini pernah dilakukan oleh para sahabat, seorang dari mereka menyerang sekelompok orang kafir dengan pedangnya, dia tebaskan pedangnya kepada mereka hingga kematian menjemputnya, dia sabar karena dia tahu bahwa tempat akhirnya adalah surga. Maka berbeda sekali antara orang yang membunuh dirinya dengan cara jihad bunuh diri ini dan antara orang yang mengakhiri hidupnya yang sempit dengan membunuh dirinya, atau melakukannya dengan ijtihad pribadinya, maka yang ini termasuk hal yang melemparkan dirinya kepada kebinasaan”.

[Silsilah Huda wan Nur kaset no. 134]

Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman berkata : Sesudah menjelaskan keharaman aksi bom bunuh diri ini Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan mengatakan:

Kemudian kita datang kepada beberapa gambaran dari aksi-aksi bunuh diri, yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dengan tujuan memancing kemarahan musuh. Walaupun perbuatan ini tidak memajukan atau memundurkan, tetapi dengan banyaknya aksi-aksi ini bisa jadi akan melemahkan musuh atau membuat takut mereka. Aksi-aksi bunuh diri ini berbeda dari pelaku yang satu dengan pelaku yang lainnya. Kadang-kadang orang yang melakukan aksi bom bunuh diri ini terpengaruh oleh orang-orang yang membenarkan perbuatan ini, maka dia melakukannya dengan niat berperang, berjihad dan membela suatu keyakinan. Jika yang dibela benar, dan dia melakukannya dengan landasan pendapat orang yang membolehkannya maka bisa jadi dia tidak dikatakan bunuh diri ; karena dia berudzur dengan apa yang dia dengar’.

[Koran Al-Furqon Kuwait, 28 Shafar, edisi 145, hal. 21 dengan perantaraan Salafiyyun wa Qadhiyatu Filisthin hal. 62]

Penutup
Pembahasan kita ini berhubungan dengan kejadian aksi bom bunuh diri di negeri-negeri Islam yang tertindas dan dijajah oleh orang-orang kafir seperti Palestina, Afghanistan, Irak dan yang lainnya. [Salafiyyun wa Qadhiyatu Filisthin oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman hal. 38]

Adapun aksi bom bunuh diri di negeri-negeri kaum muslimin maka hukumnya adalah haram, karena akan menyebabkan melayangnya jiwa-jiwa yang tidak berdosa dari kaum muslimin. Allah Jalla Jalaluhu mengancam siapa saja yang membunuh jiwa seorang mukmin dengan ancaman yang sangat keras.


“Artinya : Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya” [An-Nisa : 93]

Jika yang terbunuh adalah orang-orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari pemerintah muslim maka pelakunya mendapat ancaman dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang mendapat jaminan keamanan maka dia tidak akan mencium bau surga, dan sesungguhnya bau surga didapati dari 40 tahun perjalanan” [Shahih Bukhari 6/2533. Lihat majalah Buhuts Islamiyyah yang diterbitkan oleh Haiah Kibar Ulama edisi 56 hal. 357-362]

Kami akhiri bahasan ini dengan Nasehat berharga dari Syaikh Al-Alamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani.

Jika seorang mujahid mengikhlaskan niat kepada Allah Jalla Jalaluhu semata, maka tidak diragukan lagi bahwa dia akan diberi pahala yang layak baginya sesuai dengan niatnya, tetapi aksi bom bunuh diri ini bukanlah jihad yang diperintahkan Allah Jalla Jalaluhu. Karena jihad harus dipersiapkan, sebagaimana dalam firman Allah Jalla Jalaluhu.

“Artinya : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggetarkan musuh Allah dan musuh kalian” [Al-Anfal : 60]

Inilah jihad, yaitu diumumkan dan dipersiapkan, jihad inilah yang seorang muslim tidak diperkenankan ketinggalan. Adapun jihad yang berarti aksi perorangan –seperti bom bunuh diri-, .. maka itu bukanlah jhad..., karena inilah maka wajib atas kaum muslimin untuk kembali kepada agamanya, memahami syari’at Rabb mereka dengan pemahaman yang shahih, dan mengamalkan apa yang mereka fahami dari syari’at Allah Jalla Jalaluhu dan agamaNya dengan ikhlas dan benar, sehingga mereka bisa bersatu dibawah satu kalimat ; pada saat itulah orang-orang yang beriman bergembira dengna pertolongan Allah Tabaraka wa Ta’ala.

[Dari kaset Taharri Fil fatwa dengan perantaraan Salafiyyun wa Qadhiyatu Filisthin hal. 66-67]

Wallahu ‘alam

[Disunting dari majalan Al-Furqon, edisi 3 Tahun IV, hal. 23-28, Judul BOM Syahid Atau Bunuh Diri, Penyusun Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jawa Timur]

HUKUM BOM BUNUH DIRI (1)

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Syaikh rahimahullah berkata tatkala menerangkan hadist tentang kisah "Ashabul Ukhdud" (orang-orang yang membuat parit), ketika menyebutkan faidah-faidah yang terdapat dalam kisah tersebut, 'bahwasanya seseorang dibenaran mengorbankan dirinya untuk kepentingan otang banyak, karena pemuda ini memberitahukan kepada raja cara membunuhnya yaitu dengan mengambil anak panah milik pemuda itu" [1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : 'Karena hal ini merupakan jihad fi sabilillah, yang menyebabkan orang banyak beriman, sedangkan pemuda tadi tidak rugi karena ia telah mati, dan memang ia akan mati cepat atau lambat"

Adapun perbuatan sebagian orang yang mengorbankan diri, dengan jalan membawa bom kemudian ia datang kepada kaum kuffar lalu meledakkannya merupakan bentuk bunuh diri –semoga Allah melindungi kita-. Barangsiapa yang melakukan bunuh diri maka ia kekal di Neraka Jahannam selamanya seperti telah disinyalir oleh sebuah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [2], karena orang tersebut melakukan bunuh diri bukan untuk kemaslahatan agama Islam. Sebab jika ia membunuh dirinya serta membunuh sepuluh, seratus atau dua ratus orang, hal itu tidak mendatangkan manfaat bagi Islam dan tidak ada orang yang mau masuk Islam, berbeda dengan kisah pemuda tadi. Bahkan boleh jadi hal ini akan memunculkan kemarahan di hati para musuh sehingga mereka membinasakan kaum muslimin dengan sekuat tenaga.

Contohnya apa yang diperbuat oleh orang-orang Yahudi terhadap orang-orang Palestina. Jika di antara penduduk Palestina satu orang yang mengorbankan diri dan ia bisa membunuh enam, atau tujuh orang, maka orang-orang Yahudi akan membalasnya dengan memakan korban enam puluh orang atau lebih. Hal tersebut tidaklah memberikan manfaat bagi kaum muslimin, dan tidak pula orang yang melakukannya.

Oleh sebab itu, kami berpandangan bahwasanya perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang dengan mengorbankan dirinya termasuk perbuatan bunuh diri yang tidak sesuai dengan kebenaran, dan menyebabkan pelakunya masuk ke dalam neraka –semoga Allah melindungi kita-. Pelakunya pun tidak dikatagorikan sebagai syahid. Akan tetapi jika pelakunya beranggapan bahwasanya hal itu dbenarkan, maka kami berharap mudah-mudahan ia terbebas dari dosa, tetapi tetap saja tidak dikatagorikan sebagai syahid, karena ia tidak menempuh jalan orang yang syahid. Dan barangsiapa yang berijtihad lalu ia salah maka baginya satu pahala [3].

Pertanyaan.
Bagaimana dengan hukuman syar'i terhadap orang yang membawa bom di tubuhnya kemudian meledakkan dirinya di tengah kerumunan orang-orang kafir dengan maksud untuk menghancurkan mereka ? Apakah bisa dibenarkan beralasan dengan kisah pemuda yang memerintahkan raja untuk membunuh dirinya ?

Jawaban.
Orang yang meletakkan bom di badannya lalu meledakkan dirinya di kerumunan musuh merupakan suatu bentuk bunuh diri dan ia akan disiksa di Neraka Jahannam selamanya, disebabkan perbuatan tersebut, sebagaimana telah disebutkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa orang yang membunuh dirinya dengan sesuatu ia akan disiksa karenanya di Neraka Jahannam.

Sungguh aneh orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut, sedangkan mereka membaca firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan janganlah kamu membunuh diri ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu" [An-Nisa' : 29]

Akan tetapi mereka tetap saja melakukannya, apakah mereka mendapatkan sesuatu ? Apakah musuh telah kalah ? Ataukah sebaliknya, mereka semakin keras terhadap orang-orang yang melakukan pebuatan ini, seperti yang sedang terjadi di negeri Yahudi, di mana perbuatan-perbuatan tersebut menjadikan mereka semakin sombong bahkan kami menemukan data bahwasanya Negara Yahudi pada pertemuan terakhir golongan kanan menang yaitu mereka yang ingin menguasai bangsa arab.

Akan tetapi orang yang berbuat seperti ini yang beranggapan bahwa ini adalah perngorbanan di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala kami mohon kepada Allah agar ia tidak disiksa karena telah menakwilkan dengan takwil yang salah.

Adapun beralasan dengan kisah pemuda tadi, maka perbuatan pemuda tersebut menjadikan orang masuk Islam bukannya menghancurkan musuh. Oleh karena itu, ketika raja mengumpulkan orang banyak lalu ia mengambil anak panah dari tempat pemuda itu seraya berkata : Dengan nama Allah tuhan pemuda ini, orang-orang pun berteriak : Tuhan adalah Tuhannya pemuda ini, sehingga menghasilkan ke-Islaman orang banyak. Apabila terjadi seperti kisah pemuda ini maka bolehlah beralasan dengan kisah tersebut. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kepada kita agar diambil sebagai pelajaran. Akan tetapi orang-orang yang beranggapan bahwasanya boleh membunuh diri mereka jika mampu membunuh sepuluh atau seratus dari pihak musuh, hal itu hanyalah menimbulkan kemarahan dalam diri musuh serta mereka semakin berpegang dengan keyakinan mereka.


[Disalin dari kitab Fatawa Al-Aimmah Fil An-Nawazil Al-Mudlahimmah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Seputar Terorisme, Penyusun Muhammad bin Husain bin Said Ali Sufran Al-Qathani, Terbitan Pustaka At-Tazkia]
_________
Foote Note
[1] Kisah ini dikeluarkan oleh Imam Muslim di kitab Az-Zuhud wa Ar-Raqaiq, bab : Kisah Ashabul Ukhdud' hadits no. 3005
[2] Hadits riwayat Al-Bukhari dalam kitab Ath-Thib bab : Larangan minum racun dan berobat dengannya serta perkara-perkara yang dikhawaatirkan timbul darinya, hadits no. 5778
[3] Syarah Riyadush Shalihin 1/165-166

BOM SYAHID ATAU BOM BUNUH DIRI (2)

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum syar’i bagi orang meletakkan bahan peledak di tubuhnya, kemudian dia ledakkan di antara komunitas orang-orang kafir untuk menewaskan mereka ? Apakah benar jika dia berdalil dengan kisah seorang pemuda yang hendak dibunuh oleh raja yang musyrik ?”

Jawaban
Orang yang meletakkan bahan peledak dalam tubuhnya dengan tujuan untuk meledakkannya bersama dirinya di komunitas musuh, adalah orang yang membunuh dirinya. Dia akan diadzab karena membunuh dirinya di neraka Jahannam kekal di dalamnya, sebagaimana telah tsabit hal itu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ancaman orang bunuh diri dengan sesuatu maka dia diadzab dengan sesuatu yang membunuhnya di neraka Jahannam”.

Alangkah aneh mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan seperti ini, padahal mereka membaca firman Allah Jalla Jalaluhu.

“Artinya : Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu …”[An-Nisa : 29]

Kemudian mereka melakukan perbuatan itu, apakah mereka memetik sesuatu ? apakah musuh kalah?! Ataukah musuh semakin keras kepada mereka yang melakukan bom bunuh diri ini, sebagaimana hal ini terlihat di negeri Yahudi, dimana perbuatan seperti ini tidak menambah mereka kecuali mereka semakin gigih dengan kebrutalan mereka, bahkan kami dapati pooling terakhir dimenangkan oleh kelompok kanan yang ingin menghabiskan orang-orang Arab.

Akan tetapi barangsiapa yang melakukan hal ini dengan ijtihadnya menyangka bahwa ini adalah sarana pendekatan diri kepada Allah Jalla Jalaluhu maka kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar tidak menghukumnya ; karena dia seorang jahil yang mentakwil….

Adapun pendalilan dengan kisah pemuda ashabul ukhdud, maka kisah pemuda ini didapatkan darinya umat yang masuk Islam, tanpa menewaskan musuh, karena itu ketika raja mengumpulkan orang-orang, dan mengambil sebuah panah dari tempat panah pemuda seraya mengatakan : Dengan nama Allah Jalla Jalaluhu Tuhan pemuda ini, (hingga terbunuhlah pemuda itu) maka orang-orang semuanya berteriak : Tuhan yang benar adalah Tuhan pemuda ini. Maka dengan kematian pemuda ini didapatkan keislaman sebuah umat yang besar.

Seandainya hal seperti ini terjadi maka sungguh kami akan mengatakan bahwasanya di sana ada tempat untuk berdalil dengan kisah ini, dan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan kisah ini agar kita mengambil ibrah darinya. Tetapi orang yang meledakkan diri-diri mereka jika membunuh sepuluh atau seratus musuh, maka hal itu tidak menambah musuh kecuali semakin marah kepada kaum muslimin dan semakin gigih dengan apa keyakinan mereka.

[Majalah Al-Furqon Kuwait, edisi 79, hal.18-19 dan Koran Al-Furqon Kuwait, 28 Shafar, edisi 145, hal. 20]


[Disunting dari majalan Al-Furqon, edisi 3 Tahun IV, hal. 23-28, Judul BOM Syahid Atau Bunuh Diri, Penyusun Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jawa Timur]


===============================================================

HUKUM PENYANDERAAN DAN PEMBAJAKAN PESAWAT

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2

Tidaklah dibenarkan beralasan dengan perbuatan kaum muslimin (secara mayoritas) pada masa sekarang untuk berhukum dengan undang-undang konvensional, perbuatan mereka bukan merupakan alasan untuk menjadi pembenaran dan pembolehan bahkan itu merupakan kemungkaran yang paling besar, walaupun orang banyak melakukannya. Perbuatan kebanyakan orang pada suatu hal tidak bisa dijadikan dalil untuk membenarkan hal tersebut, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” [Al-An’am : 116]

Setiap hukum yang menyelisihi syariat (hukum) Allah adalah hukum jahiliyah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” [Al-Maidah : 50]

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan bahwasanya berhukum dengan selain yang diturunkan Allah merupakan kekufuran, kezhaliman dan kefasikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir” [Al-Maidah : 44]

“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhlim” [Al-Maidah : 45]

“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang dirturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [Al-Maidah : 47]

Ayat-ayat di atas beserta maknanya mewajibkan kaum muslimin untuk berhati-hati dari berhukum dengan selain yang diturunkan oleh Allah, berlepas dari hukum selain Allah, berlomba-lomba melaksanakan hukum Allah dan RasulNya, melapangkan hati serta menerimanya. Dan jika bahaya mencakup secara menyeluruh seperti pembajakan (pesawat), maka wajib mengembalikan permasalahan tersebut kepada Allah dan RasulNya yang lebih utama dan paling ditekankan dari selainnya dan merupakan kewajiban yang paling besar karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, Maha Pemurah dan yang paling mengetahui tentang hal-hal baik bagi hambaNya, serta Dialah yang menolak bahaya dan mencegah kerusakan masa sekarang dan masa akan datang.

Maka sudah seharusnya untuk mengembalikan segala perselisihan kepada Kitabullah dan Sunnah NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena keduanya telah mencukupi, menjawab secara tuntas, solusi bagi segala permasalahan, serta dapat memberikan penyelesaian dari segala kejahatan bagi orang yang berpegang teguh, istiqamah dan berhukum dengan keduanya, menjadikan keduanya sebagai hakim sebagaimana telah dijelaskan pada ayat-ayat muhkamat (ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah).

Karena besarnya dampak yang ditimbulkan oleh tindakan ini (pembajakan), saya berpendapat bahwasanya wajib untuk mengeluarkan pernyataan sebagai sebuah nasehat, tanggung jawab, memperingatkan masyarakat umum dari hal ini serta sebagai bentuk tolong menolong dengan pihak yang berwenang dalam kebaikan dan ketakwaan.

Hanyalah Allah tempat memohon agar memperbaiki keadaan kaum muslimin, memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus, dan memberikan taufiq kepada pemerintah untuk berhukum dengan syari’at Islam serta berpegang teguh dalam segala hal. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Mahamulia. Shalawat dan salam semoga tercurah atas hamba-hamba sekaligus RasulNya Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.

============================================================

JAWABAN PARA IMAM SEPUTAR HUKUM MENCELA PARA ULAMA

[Sa’ad bin Atiq, Muhammad bin Ibrahim, Umar bin Salim, Muhammad bin Abdul Latif, Abdullah Al-Anqori] berkata :

Di antara perkara yang perlu diperingatkan adalah apa yang dilakukan oleh orang-orang jahil (terhadap para ulama) dengan melemparkan tuduhan terhadap ahli ilmu dan agama bahwa mereka (ahlu ilmu dan agama) suka menjilat dan merendahkan ahli ilmu, mengatakan bahwa mereka tidak mentaati perintah Allah yang telah diwajibkan atas mereka serta menyembunyikan kebenaran dan tidak menjelaskannya.

Orang-orang jahil ini tidak mengetahui bahwa tuduhan terhadap ahli ilmu dan agama serta merampas kehormatan kaum mukminin merupakan racun yang mematikan, penyakit yang tersembunyi dan dosa yang sangat nyata, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan orang-orang yang menyakiti orang-rang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [Al-Ahzab ; 58]

Rendahkan mereka, tidak ada tempat bagi ayah kalian untuk dicela atau istilah tempat yang telah mereka duduki.

Jika orang yang adil melihat ayat-ayat ini, haidts-hadits, atsar-atsar dan perkataan para muhaqqiq dari ahli ilmu dan petunjuk, serta mengetahui bahwasanya ia akan berdiri dihadapan Allah dan mengetahui bahwa ia akan ditanya tentang apa yang ia ucapkan dan ia perbuat, niscaya ia akan berhenti pada batas-batasnya serta tidak menyibukkan diri dengan aib orang lain.

Adapun orang yang telah dirasuki dengan kebodohan dan hawa nafsu, merasa kagum dengan pendapatnya maka tidak ada cara untuk menyelamatkannya, kita memohon kepada Allah dengan ampunanNya dan bagi saudara kita sesama muslim. Sesungguhnya Allah Maha Penolong dan Maha Berkuasa atasnya.

[Nashihatun Muhimmatun Fii Tsalatsati Qadaya]

[Disalin dari kitab Fatawa Al-Aimmah Fil An-Nawazil Al-Mudlahimmah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Seputar Terorisme, Penyusun Muhammad bin Husain bin Said Ali Sufran Al-Qathani, Terbitan Pustaka At-Tazkia]

HUKUM PENGKAFIRAN TERHADAP PENGUASA, METODE PENCULIKAN DAN PEMBUNUHAN MISTERIUS !

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Fadhilatusy Syaikh, tentu Anda sudah mengetahui kondisi Afghanistan (pada waktu itu), yaitu jama'ah-jama'ah dan kelompok-kelompok sesat yang banyak bermunculan seperti jamur tumbuh di musim hujan. Sangat disayangkan jama'ah-jama'ah ini berhasil menyebarkan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan manhaj Salafus Shalih di tengah-tengah generasi muda salafi yang sedang berjihad di sana. Di antaranya adalah 'pengkafiran penguasa' dan menghidupkan kembali cara-cara yang sudah lama ditinggalkan yaitu 'penculikan dan pembunuhan misterius'! Sekarang setelah pemuda-pemuda itu kembali ke negeri mereka (setelah berakhirnya jihad) mereka menyebarkan pemikiran tersebut di tengah-tengah para pemuda dilingkungannya...."

Jawaban.
Setelah menguraikan bahaya berpaling dari tafsir salaf dalam memahami Al-Qur'an dan as-Sunnah beliau berkata :

Sangat alami sekali bila mereka menyimpang dari al-Qur'an dan as-Sunnah dan dari manhaj salaf shalih sebagaimana pendahulu mereka. Di antara mereka ini adalah : Kaum Khawarij dahulu maupun sekarang. Sebab pemikiran takfir (pengkafiran kaum muslimin) yang sering kami singgung sekarang ini berasal dari kesalahan memahami ayat yang sering mereka angkat, yaitu firman Allah.

"Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir" [Al-Maidah : 44].

Salah satu kejahilan orang-orang yang berdalil dengan ayat ini adalah mereka tidak memperhatikan (minimal) sejumlah nash-nash yang tercantum di dalamnya kata 'kufur', mereka artikan keluar (murtad) dari agama dan menyamakan para pelaku kekufuran itu dengan orang-orang musyrik dari kalangan Yahudi dan Nasrani... Lalu mereka menerapkan pemahaman yang keliru ini terhadap orang-orang muslim yang tidak bersalah...".

Kemudian beliau berbicara tentang tafsir Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu yang oleh Muhammad Quthb dan pengikutnya berusaha dijadikan sebagai sifat khusus bagi para khalifah Bani Umayyah! Syaikh al-Albani berkata :

"Sepertinya Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu mendengar persis seperti yang sering kita dengar sekarang ini bahwa ada beberapa oknum yang memahami ayat ini secara zhahir saja tanpa diperinci. Maka beliau Radhiyallahu 'anhu berkata : 'Bukan kekufuran yang kalian pahami itu! Maksudnya bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, namun maksudnya adalah 'kufrun duna kufrin' (yaitu kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama -pent-)'.

Kemudian beliau melanjutkan : 'Ibnu Taimiyah Rahimahullah dan murid beliau, Ibnu Qayyim al-Jauziyah selalu memperingatkan pentingnya membedakan antara 'kufur i'tiqaadi' dengan 'kufur amali'. Kalau tidak, akibatnya seorang muslim dapat terperosok ke dalam kesesatan menyempal dari kaum muslimin tanpa ia sadari sebagaimana yang telah menimpa kaum Khawarij terdahulu dan cikal bakal mereka sekarang...".

Kemudian beliau menyebutkan sejumlah persoalan yang terjadi antara beliau dengan lawan dialog beliau, beliau berkata kepada mereka : "Pertama, kalian ini tidak dapat menghukumi setiap hakim (penguasa) yang memakai undang-undang Barat yang kafir itu atau sebagian dari udang-undang itu bahwa jika ia ditanya alasannya ia akan menjawab : Memakai undang-undang Barat itu bagus dan cocok pada zaman sekarang ini, atau ia akan menjawab : Tidak boleh menerapkan Hukum Islam !.

Sekiranya para Hakim itu ditanya alasannya maka kalian tidak dapat memastikan bahwa jawaban mereka adalah "Hukum Islam sekarang ini tidak layak diterapkan!". Kalau begitu jawabannya, mereka tentunya kafir tanpa diragukan lagi. Demikian pula jika kita tujukan pertanyaan serupa kepada masyarakat umum, di antara mereka terdapat para ulama, orang shalih dan lain-lain ...? Lalu bagaimana mungkin kalian dapat menjatuhkan vonis kafir terhadap mereka hanya karena melihat hidup di bawah naungan undang-undang tersebut sama seperti mereka. Hanya saja kalian menyatakan terang-terangan bahwa mereka semua itu kafir dan murtad....."

Kemudian Syaikh Al-Albani berbicara seputar masalah berhukum dengan selain hukum Allah, beliau berkata : "Kalian tidak dapat menghukumi kafir hingga ia menyatakan apa yang ada dalam hatinya, yaitu menyatakan bahwa ia tidak bersedia memakai hukum yang diturunkan Allah. Jika demikian pengakuannya barulah kalian dapat menghukuminya kafir murtad dari agama....".

Kemudian, saya (Al-Albani) selalu memperingatkan mereka tentang masalah pengkafiran penguasa kaum muslimin ini bahwa anggaplah penguasa itu benar-benar kafir murtad, lalu apakah yang bisa kalian perbuat ? Orang-orang kafir itu telah menguasai negeri-negeri Islam, sedang kita di sini menghadapi musibah dijarahnya tanah Palestina oleh orang-orang Yahudi! Lalu apa yang bisa kita lakukan terhadap mereka ? Apa yang dapat kalian lakukan hingga kalian dapat menyelesaikan masalah kalian dengan para penguasa yang kalian anggap kafir itu !? Tidaklah lebih baik kalian sisihkan dulu persoalan ini dan memulai kembali dengan peletakkan asas yang di atas asas itulah pemerintahan Islam akan tegak! Yaitu 'ittiba' (mengikuti) sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di atas sunnah itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membimbing sahabat-sahabat beliau! Itulah istilah yang sering kami sebutkan dalam berbagai kesempatan seperti ini yaitu setiap jama'ah Islam wajib berusaha sungguh-sungguh menegakkan kembali hukum Islam, bukan saja di negeri Islam bahkan di seluruh dunia. Dalam mewujudkan firman Allah :

"Artinya : Dia-lah yang mengutus Rasulnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci" [Ash-Shaff : 9]

Dalam beberapa hadits shahih disebutkan bahwa ayat ini kelak akan terwujud. Bagaimanakah usaha kaum muslimin mewujudkan nash Al-Qur'an tersebut ? Apakah dengan cara mengkudeta para penguasa yang telah dianggap kafir dan murtad itu ? Lalu disamping anggapan mereka yang keliru itu mereka juga tidak sanggup berbuat sesuatu ?! Jadi, bagaimana caranya ? Manakah jalannya ? Tidak syak lagi jalannya adalah jalan yang sering disebut oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau peringatkan kepada para sahabat di setiap khutbah : "Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam!".

Seluruh kaum muslimin, terlebih orang-orang yang ingin menegakkan kembali hukum Islam, wajib memulainya dari arah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memulainya. Itulah yang sering kita simpulkan dalam dua kalimat yang sederhana ini : "Tashfiyah dan Tarbiyah!" Karena kami benar-benar mengetahui kelompok-kelompok ekstrim yang hanya terfokus pada masalah pengkafiran penguasa itu mengabaikan atau lebih tepatnya tidak mau peduli dengan kaidah Tashfiyah dan Tarbiyah ini. Kemudian setelah itu tidak ada apa-apanya !

Mereka akan terus menerus menyatakan vonis kafir terhadap penguasa, kemudian yang mereka timbulkan setelah itu hanyalah fitnah (kekacauan)! Peristiwa yang terjadi belakangan ini yang sama-sama mereka ketahui mulai dari peristiwa berdarah di tanah suci (al-Haram) Makkah (Persitiwa Juhaiman di awal tahun 1980-an), kekacauan di Mesir, terbunuhnya presiden Anwar Sadat, tertumpahnya sekian banyak jiwa kaum muslimin yang tidak bersalah akibat fitnah-fitnah tersebut. Kemudian terakhir di Suriah, di Mesir sekarang ini dan di Aljazair sungguh sangat disayangkan sekali... Kejadian-kejadian itu disebabkan mereka banyak menyelisihi nash-nash Al-Qur'an dan as-Sunnah, yang paling penting diantaranya adalah ayat :

"Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" [Al-Ahzab : 21]

Bagaimanakah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memulai perjuangan dakwahnya ? "Kalian tentu mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pertama kali menawarkan dakwahnya kepada orang-orang yang menurut harapan beliau siap menerima kebenaran yang beliau sampaikan. Lalu beberapa orang menyambut dakwah beliau sebagaimana yang sudah banyak diketahui dari Sirah Nabawiyah. Kemudian dera siksa dan azab yang diderita oleh kaum muslimin di Makkah. Kemudian turunlah perintah berhijrah yang pertama (ke Habasyah) dan yang kedua (ke Madinah) serta berbagai peristiwa yang disebutkan dalam buku-buku sirah ....... Hingga akhirnya Allah mengokohkan dienul Islam di Madinah al-Munawwarah. Di saat itulah mulai terjadi pertempuran, mulailah pecah peperangan antara kaum muslimin melawan orang-orang kafir di satu sisi dan melawan orang-orang Yahudi di sisi yang lain.

Demikianlah sejarah perjuangan nabi ..... Jadi, kita harus memulai dengan mengajarkan Islam ini kepada manusia sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memulainya. Akan tetapi sekarang ini kita tidak hanya memfokuskan diri kepada masalah Tarbiyah ini. Apalagi sekarang ini sudah banyak sekali perkara-perkara bid'ah yang disusupkan ke dalam Islam yang sebenarnya tidak termasuk ajaran Islam dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam. Oleh sebab itu, merupakan kewajiban para da'i sekarang ini adalah memulai dengan pemurnian kembali ajaran Islam yang sudah tercemari ini (tashfiyah)....Kemudian perkara kedua adalah proses Tasfiyah ini harus dibarengi dengan proses Tarbiyah, yaitu membina generasi muda muslim dibawah bimbingan Islam yang murni tadi.

Apabila kita pelajari jama'ah-jama'ah Islam yang ada sekarang ini yang didirikan hampir seabad yang lalu, niscaya kita dapati banyak diantara para pengikutnya tidak mendapatkan faedah apa-apa. Meskipun gaung dan gembar-gembornya mereka ingin mendirikan negara Islam. Mereka telah menumpahkan darah orang-orang yang tidak bersalah dengan dalih tersebut tanpa mendapatkan faedah apa-apa darinya ! Sampai sekarang masih sering kita dengar banyak diantara mereka yang memiliki aqidah sesat, aqidah yang menyelisihi al-Qur'an dan as-Sunnah serta amal-amal yang bertolak belakang dengan al-Qur'an dan as-Sunnah ......

[Dinukil dari Tabloid "Al-Muslimun" 5/5/1416H edisi : 556 halaman 7. dan dari majalah "al-Buhuts al-Islamiyah" 49/373-377]

Ketika mengomentari makalah di atas, al-Alamah Abdul Aziz bin Baz berkata :
"Sayat telah menelaah jawaban yang sarat faedah dan sangat berharga yang diutarakan oleh Shahibul Fadhilah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany wafaqahullah, diterbitkan oleh Tabloid Al-Muslimun berkenan dengan masalah pengkafiran orang yg berhukum dengan selain hukum Allah tanpa melihat perinciannya. Menurut penilaian saya jawaban tersebut sangat berharga dan sesuai dengan kebenaran serta sejalan dengan sabilil mukminin (manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Dalam jawaban tersebut beliau mnejelaskan bahwa siapapun tidak dibolehkan menjatuhkan vonis kafir atas orang yang berhukum dengan selain hukum Allah hanya sekedar perbuatan lahiriyahnya tanpa mengetahui isi hatinya apakah menghalalkan tindakannya atau tidak !? Beliau berdalil dengan tafsir Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu dan dari ulama-ulama Salaf lianya ..."

[Tabloid "Al-Muslimun" 12/5/1416H edisi : 557 halaman 7]

[Dislain dari kitab Madariku An-Nazhar Fi As-Siyasah Baina Ath-Thabbiqaat Asy-Syar’iyah Wa Al-Ihfiaalat Al-Hamaasiyyah edisi Indonesia PandanganTajam Terhadap Politik Antara Haq dan Batil, penulis Syaikh Abdul Malik Ramadlan Al-Jazairi, hal 131-134, Pustaka Imam Bukhari]

SEPUTAR ISSU TERORISME (1)

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halaby Al-Atsary
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2

Tema seputar irhab (terorisme) menjadi pembicaraan hangat di setiap lapisan masyarakat dan ittijahat (berbagai pihak dengan berbagai kepentingannya). Setiap Negara memperbincangkannya, baik negara Islam atau bukan. Semua orang juga berbicara tentang irhab. (Begitu pula) orang-orang Islam dan non-muslim, anak-anak, dewasa dan wanita. Mereka semua membicarakannya. Sehingga, perlu disampaikan sebuah pernyataan yang menyejukkan dan menentramkan yang dapat menjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya.

Kata irhab menurut tinjauan syari’at pada asalnya bukanlah kata yang dibenci. Bahkan ini merupakan kata yang mendapat porsi makna tersendiri di dalam syari’at dan di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman.

“Artinya : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan (membikin irhab pada) musuh Allah” [Al-Anfal : 61]

Rasa gentar dan takut yang menyelinap di hati para musuh Islam, adalah ketakutan luar biasa, yang difirmankan Allah.

“Artinya : Kelak Aku jatuhkan rasa takut ke hati orang-orang kafir” [Al-Anfal : 12]

Dan juga disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Aku ditolong dengan rasa takut (yang ditanamkan kepada musuh) sejak sebulan perjalan” [Hadits Riwayat Bukhari]

Jadi, kata irhab menurut istilah Islam yang Qur’ani bukan irhab dalam kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini, dan bukan pula irhab dalam kejadian mencekam yang problematis sekarang ini.

Sebab irhab menurut konteks kekinian dan menurut peristiwa problematis sekarang ini , identik dengan kerusakan, perusakan, pembunuhan membabi buta dan peledakan yang dilakukan secara ngawur, tanpa dasar petunjuk, bayyinah (bukti nyata) serta bashirah (ilmu) sama sekali. Akan tetapi hanya berdasarkan dorongan semangat dan emosi semata. Dengan dalih, sebagai pembelaan dan kecintaan terhadap agama. Namun tidak semua orang yang mencintai agama, dapat melaksanakan agama dengan baik dan benar. Ibnu Mas’ud mengatakan :”Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak dapat meraihnya”.

Demikianlah,sesungguhnya prinsip dan asas Islam dalam jihad bertumpu pada perbaikan dan penyebaran hidayah, bukan penghancuran, pembunuhan atau peperangan, namun bermisi menebarkan hidayah kepada manusia, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Dari kezhaliman serta keputusasaan menuju kebahagian dan curahan kebaikan. Acuannya terdapat pada firman Allah.

“Artinya : Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas” [Al-Baqarah : 190]

Allah menghubungkan terjadinya peperangan, disebabkan oleh peperangan, tanpa boleh bertindak melampui batas. Dan Allah menjelaskan pada akhir ayat, tindakan yang bengis dan kejam tidak disukai Allah Ta’ala. Allah berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak menykai orang-orang yang melampaui batas”.

Bahkan Al-Qur’an melukiskannya dalam gambaran yang indah dalam ayat.

“Artinya : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [Al-Mumtahanah : 8]

Dalam ayat pertama Allah mengatakan : “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas”. Sedangkan pada ayat yang kedua Allah berfirman : “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. Inilah hakikat Islam dengan risalahnya yang luhur, prinsip-prinsipnya yang universal, bersifat baik dan berorientasi mempebaiki kondisi, tidak dibatasi oleh dimensi waktu maupun ruang, supaya menjadi agama Allah yang terakhir sebagai perwujudan firman Allah.

“Artinya : Sesungguhnya agama yang (diridhai) di sisi Allah adalah Islam”

Dan firmanNya.

“Artinya : Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya”.

Begitulah agama Islam, keagungan tercermin pada pribadi Nabi Muhammad yang bersabda.

“Artinya : Ketahuilah, aku diberi Al-Qur’an dan (wahyu) serupa datang bersamanya”

Nabi menganggap bahwa pengkhianatan terhadap perjanjian dengan orang kafir yang sedang dalam ikatan perjanjian bersama dengan kaum muslimin, baik atas permintaan orang kafir atau atas ajakan kaum muslimin. Nabi menganggap penghianatan itu sebagai dosa besar. Beliau bersabda.

“Artinya : Barangsiapa membunuh seorang mu’ahad (dalam perjanjian dengan kaum muslimin), niscaya ia tidak akan mencium aroma Syurga. (Padahal) aroma syurga dapat tercium sejak empat puluh tahun perjalanan” [Hadits Riwayat Bukhari No. 3.166]

Cermatilah wahai kaum muslimin dengan cara pandang Islam yang luhur, yang tercermin dalam syari’at yang bijak, dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Bandingkanlah dengan fenomena menyedihkan yang terjadi di negera ini (Indonesia, -red). Perhatikanlah apa yang dilakukan sebagian kaum muslimin, dengan dalih jihad dan menegakkan semangat amar ma’ruf nahi mungkar, yang akhirnya mengguncang stabilitas keamanan dan mengacaukan masyarakat. Efeknya terjadi pembunuhan terhadap jiwa orang Islam. Padahal, darah mereka lebih terhormat di sisi Allah dibandingkan Ka’bah yang mulia.


[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425H/2005M Rubrik Liputan Khusus yang diangkat dari ceramah Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halaby Al-Atsary Tanggal 5 Desember 2004 di Masjid Istiqlal Jakarta]

SEPUTAR ISSU TERORISME (2)

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halaby Al-Atsary
Bagian Terkahir dari Dua Tulisan 2/2

Kemana mereka dengan ilmu (yang dimilikinya) atau (lebih pantasnya) dengan kebodohannya ? Kita tidak akan lupa terhadap tindakan mereka yang sadis dengan mengatasnamakan Islam, padahal sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam. Tidak ada toleransi bagi kita atas perbuatan mereka ini, ketika ada di antara mereka yang memperoleh penganiayaan, serta penyiksaan. Sebab Allah telah berfirman.

“Artinya : Dan balasan kejahatan adalah kejelekan serupa”

Tenu saja semua ini termasuk dalam pedoman-pedoman syar’i.

Apalagi, mereka melakukannya dengan keburukan, tentunya akan mendapatkan imbalan keburukan yang berlipat ganda. Tindakan mereka tanpa pedoman ilmu, tanpa bayyinah (bukti), tanpa petunjuk dan tanpa taufikNya.

Saya kagum dengan ungkapan seorang da’i ketika menggambarkan para pelaku aksi-aksi merusak tersebut dengan mengatasnamakan Islam, yang mungkin dengan niat baik. Namun, niat baik tidak akan mengubah amalan jelek menjadi amalan shalih. Sebab sabda Nabi.

“Artinya : Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya”

Maksudnya sesungguhnya amalan baik tergantung niatnya yang baik pula.

Da’i itu mengatakan : “Sesungguhnya masalah utama kita dengan orang-orang itu, terletak pada permasalahan akal-akal mereka, bukan terletak pada hati-hati mereka”.

Mungkin hati mereka berniat baik, tapi belum cukup, sebab harus bersesuaian dengan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Bagaimana kalau peristiwa ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak musuh dengan memperalat mereka untuk merusak dan menodai citra Islam ?

Dalam kesempatan ini saya ingin menyebutkan satu perkara yang harus ditulis oleh sejarah dan harus diabadikan sepanjang masa. Bahwa dakwah Salafiyah dengan para ulamanya, da’i-da’inya, penuntut ilmunya dan guru-gurunya, benar-benar telah memperingatkan bahaya pemikiran-pemikiran ekstrim dan menyimpang ini. Pemikiran-pemikiran yang telah diingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya.

“Artinya : Hati-hatilah, jangan sekali-kali bersikap ghuluw (berlebihan) dalam agama. Sesungguhnya hal yang telah membinasakan orang-orang sebelummu hanyalah sikap ghuluw mereka dalam agama mereka”.

Dakwah Salafiyah yang diberkahi ini telah memperingatkan bahaya pemikiran-pemikiran menyimpang tesebut sejak lebih dari 20 tahunan, dan semakin menggema peringatan itu semenjak sepuluh tahun belakangan, sebelum kita mendengar di radio, koran, majalah dan media massa lain tentang issu terorisme.

Para ulama dakwah Salafiyah telah mengingatkan bahaya sikap ghuluw yang dibangun berdasarkan penyimpangan terhadap Al-Qur’an dan Sunnah ini, sejak bertahun-tahun lamanya dengan maksud agar istilah-istilah syar’i tertanam secara mengakar, kemudian meletakkannya sesuai dengan tempatnya. Baik berkaitan dengan istilah jihad, batasan-batasan, hak-hak serta ketentuan-ketentuannya, atau istilah kufur dan takfir, ataupun istilah-istilah lain yang masih banyak lagi.

Ini merupakan point penting yang harus dicamkan dalam benak dan ditanamkan dalam hati, supaya al-haq (kebenaran) sajalah yang menjadi penuntun dan pembimbing

Sebagai penutup ceramah saya, (saya sampaikan) dua hal penting yang berkaitan erat dengan negara ini, yang penduduknya baik-baik, mengagungkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Dua perkara tersebut ialah.

[1]. Negara ini adalah negara Islam terbesar yang berpenduduk lebih dari 200 juta, mayoritas adalah muslimin. Islam tersebar dengan luas di negeri ini sejak beberapa abad lalu, tidak dengan pedang, tetapi dengan akhlak, iman dan amal shalih. Mana bukti tuduhan terorisme kini yang ingin dilekatkan kepada Islam, yang –sebenarnya- sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam? Kita bersyukur kepada Allah, sebab di awal abad sebelum abad ini, Allah telah menempatkan seorang alim yaitu Syaikh Allamah Ahmad Asy-Syurkati yang meluruskan garis perjuangan, berdakwah kepada Al-Kitab dan Sunnah, memerangi syirik, khurafat, kesesatan, menyeleksi hadits yang dha’if dan memerangi bid’ah. Tokoh ini, telah berkerja mentauhidkan masyarakat negeri ini berdasarkan ilmu yang murni manhaj yang benar.

[2]. Keharusan membedakan antar hakikat terorisme dengan pembelaan terhadap tanah air muslimin. Kalau ada negara menjajah negara lain, maka pembelaan diri tidak termasuk terorisme, meskipun menurut pengertian para musuh Islam. Justru (pembelaan ini) merupakan kewajiban yang diperintahkan sesuai dengan kemampuan dan kemudahan yang dimiliki. Negara ini selama empat abad melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda dan berhasil mengusir mereka dari tanah air.

Semoga Islam tetap berkibar di negeri ini, sehingga hati menjadi penuh dengan kebahagiaan, dan jiwa manusia dipenuhi keimanan.


[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425H/2005M Rubrik Liputan Khusus yang diangkat dari ceramah Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halaby Al-Atsary Tanggal 5 Desember 2004 di Masjid Istiqlal Jakarta]