Selasa, 22 Januari 2008

Kumpulan Risalah 2

Bismilla-hirrahma-nirrahi-m

KHUTHBATUL HAJAH

الحَمْدُ لِلَّهِ (نَحْمَدُ هُ ) نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُ هُ وَ نَعُوْ ذُ بِا للَّهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا ( وَ سَيِّئَا تِ أَعْمَا لِنَا ) مَنْ يَهْدِ هِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِل فَلاَ هَا دِ يَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إلاّ اللَّهُ ( وَ حْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ) وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ هُ وَرَسُوْ لُهُ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.(QS Al Imran 102 )

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An Nisa 1 )

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, (QS Al Ahzab 70 )

niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta`ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (QS Al Ahzab 71)

اَ مَّ بَعْدُ

Amma ba’du [1]

فَإِ نَّ أَ صْدَ قَ الْحَدِ يْثِ كِتَا بُ اللَّهِ وَ خَيْرَ الْهَدْ يِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلّى اللّه عليه و سلّم وَشَرَّ اْلأُمُوْ رِ مُحْدَ ثَا تُهَا وَكُلَّ مُحْدَ ثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّا رِ

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabulla-h, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallalla-hu ‘alaihi wa sallam, sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka” [2]

Menurut pandangan saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat), lafadz khotbatul hajat itu, boleh kita baca dengan tiga cara :

  1. Kita baca lafadz Ibnu Mas'ud sekaligus membaca ayat-ayatnya sebagaimana tersebut diatas.
  2. Kita baca lafadz Ibnu Mas'ud, dengan tidak membaca ayat-ayatnya, saya katakan demikian, karena di riwayat Ibnu Abbas Nabi SAW tidak membaca ayat-ayat Qur'an, seperti yang tersebut di riwayat Ibnu Mas'ud. Jadi kita cukup membaca riwayat Ibnu Mas'ud hanya sampai di kalimat : Was-asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa Rasuuluhu.
  3. Kita baca riwayat Ibnu Abbas sebagaimana tersebut di atas, dan boleh juga kita baca sekaligus ayat-ayat Qur'an yang tersebut di riwayat Ibnu Mas'ud dan boleh juga tidak.

Ketiga cara ini boleh kita baca salah satunya mana yang kita suka, dan sunnah ditambah dengan hadits INNA KHAIRAL HADITS ..........dst.

Kemudian sebagai penutup risalah ini, saya tuliskan bacaan yang sunnah bila dibaca di akhir/penutup majlis, baik oleh yang memberikan ceramah/pengajar maupun oleh para hadirin.

Artinya : "Dari Abi Barzah, ia berkata : Rasulullah SAW mengucapkan diakhir urusannya apabila hendak berdiri (sudah selesai) dari satu majlis : SUBHANAKALLAHUMMA WABI HAMDIKA, ASYAHDU ALLAA ILAAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA-ATUBU ILAIKA" (artinya : Maha Suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu, aku mengakui bahwa tidak ada Tuhan (yang boleh disembah) melainkan Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertobat kepada-Mu).
Lalu seseorang bertanya : Ya Rasulullah ! sesungguhnya Engkau tadi mengucapkan satu perkataan yang belum pernah Engkau ucapkan sebelumnya.
Beliau menjawab : "(bacaan) itu sebagai kaffarat (penebus kesalahan/dosa yang terjadi di dalam majlis (tadi)". (Hadits shahih riwayat Abu Dawud No. 4859)

Hadits ini juga diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah dan Tirmidzi berkata : Hasan-shahih ! Kemudian Imam Hakim meriwayatkan juga dari Aisyah dan ia berkata : Shahihul isnad !. (Baca kitab : Al-Adzkar halaman 204-205 oleh Imam Nawawi).

Sampai disini saya cukupkan risalah tentang Khotbatul Hajat ini, mudah-mudahan tulisan ini mendapat keridlaan Allah 'Azza Wa Jala dalam rangka menghidupkan kembali sunnah Nabi-Nya, yang kini penulis bersama kawan-kawan tercinta pendukung-pendukung sunnah sedang berusaha keras untuk itu. Dan apabila ada kesalahan dalam tulisan ini semata-mata datangnya dari penulis, sedang kebenaran itu tidak lain datangnya dari Allah 'Azza Wa-Jala.

"SUBHANAKALLAHUMMA WABI HAMDIKA, ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA-ATUBU ILAIKA"

APAKAH IBNU SHAYYAD ITU DAJJAL YANG BESAR ITU ?

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2

Dalam pembicaraan di muka mengenai hal ikhwal Ibnu Shayyad dan pengujian Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam terhadapnya, beliau bersikap tawaqquf (berdiam diri) mengenai masalah Ibnu Shayyad, karena beliau tidak mendapatkan wahyu yang menerangkan apakah Ibnu Shayyad itu Dajjal atau bukan.

Umar Radiyallahu anhu pernah bersumpah di sisi Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal, dan beliau tidak mengingkarinya.
Sebagian sahabat juga berpendapat seperti pendapat Umar sebagaimana diriwayatkan dari Jabir, Ibnu Umar, dan Abu Dzar.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Al-Munkadir [1] dia berkata, "Saya melihat Jabir bin Abdullah bersumpah dengan nama Allah bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Saya bertanya (kepadanya), Anda bersumpah dengan nama Allah?" Dia menjawab, "Saya mendengar Umar bersumpah begitu di sisi Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam. tetapi beliau tidak mengingkarinya." [Shahih Bukhari, Kitab Al-l'tisham bil-Kitab Was sunnah, Bab Ban Ra-aa Tarkan Nakir Min an- Nabiyyi saw Hujjatan Laa min Ghairi Rasul 13: 223; dan. Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothis Sa'ah. Bab Dzikri Ibni Shayyad 18: 52-53]

Dari Zaid bin Wahab [2] ia berkata, "Abu Dzar berkata, "Sungguh, jika saya bersumpah sepuluh kali bahwa Ibnu Shaid adalah Dajjal lebih saya sukai daripada bersumpah satu kali bahwa dia bukan Dajjal." [Hadits Riwayat Imam Ahmad]

Dari Nafi, ia berkata, "Ibnu Umar pernah berkata, "Demi Allah, saya tidak ragu-ragu bahwa Al-Masih Ad-Dajjal adalah Ibnu Shayyad." [Sunan Abi Daud, Ibnu Hajar berkata, "Sanadnya shahih." Fathul-Bari 13: 325]

Dan diriwayatkan dari Nafi pula, ia berkata, "Ibnu Umar pernah bertemu Ibnu Shaaid di suatu jalan kota Madinah, lalu ia mengucapkan kata-kata yang menjadikannya marah dan.naik pitam hingga membuat ribut di jalan. Lantas Ibnu Umar datang kepada Kafshah sedang berita itu telah sampai pula kepadanya, kemudian Hafshah berkata kepadanya, "Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepadamu. Apakah yang engkau harapkan dari Ibnu Shaaid? Tidakkah engkau tahu bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Sesungguhnya dia keluar dari kemarahan yang dibencinya." [Shahih Muslim 18:57]

Dan dalam satu riwayat lagi dari Nafi', ia berkata, "Ibnu Umar berkata, "Saya pernah bertemu Ibnu Shaaid (Ibnu Shayyad) dua kali. Setelah saya bertemu yang pertama kali, saya bertanya kepada beberapa orang, "Apakah Anda mengatakan bahwa dia itu Dajjal?" Jawabnya, "Tidak, demi Allah." Semua berkata, "Anda berdusta. Demi Allah, sebagian Anda telah memberitahukan kepadaku bahwa dia tidak akan mati sehingga menjadi orang yang paling banyak harta dan anaknya. Dan demikianlah anggapan mereka hingga hari ini. Lantas kami berbincang-bincang, kemudian kami berpisah. Kemudian bertemu lagi sedangkan sebelah matanya telah buta, lalu saya bertanya, "Sejak kapan mata Anda demikian?" Dia menjawab, "Tidak tahu." Saya bertanya, "Apakah Anda tidak tahu padahal mata itu ada di kapala Anda sendiri?" Dia berkata, "Jika Allah menghendaki, Dia menciptakan yang demikian ini pada tongkatmu." Lalu dia mendengus seperti dengus himar. Kemudian sebagian sahabat saya menganggap bahwa saya telah memukulnya dengan tongkat saya sehingga matanya cidera, padahal demi Allah saya tidak merasa (berbuat) sama sekali."

Setelah itu Ibnu Umar datang kepada Ummul Mukminin dan bercakap-cakap dengannya, lalu Ummul Mukminin berkata, " Apa yang engkau inginkan darinya? Tidakkah engkau tahu bahwa ia pernah berkata, "Sesungguhnya pertama kali yang mengutusnya (membangkitkannya) kepada manusia ialah kemarahan." [Al-Kahfi. 57-58]

Ibnu Shayyad mendengar apa yang diperbincangkan orang mengenai dirinya dan dia sangat terganggu karenanya, oleh sebab itu dia membela diri bahwa dia bukan Dajjal dengan argumentasi bahwa identitas Dajjal seperti yang dikemukakan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam itu tidak cocok diterapkan pada dirinya.

Dalam sebuah riwayat dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, ia bercerita, katanya. "Kami pernah melakukan haji atau umrah bersama Ibnu Shayyad (Ibnu Shaaid), lalu kami berhenti di suatu tempat dan orang-orang pun berpencar hingga tinggal saya dan Ibnu Shaaid. Saya merasa sangat ketakutan kepadanya, mengingat apa yang dikatakan orang tentang dia. Dia membawa perbekalannya dan meletakkannya bersama perbekalanku. Lalu saya berkata. "Sesungguhnya hari sangat panas. sebaiknya engkau letakkan di bawah pohon itu." Lalu ia melaksanakannya. Lantas kami dibawakan kambing. lalu ia mengambil mangkok besar seraya berkata, "Minumlah, wahai Abu Sa'id'" Saya jawab, "Sesungguhnya hari amat panas, dan susu itu juga panas." Saya berkata demikian itu hanya karena saya tidak suka minum sesuatu dari tangannya atau mengambil sesuatu dari tangannya. Ia berkata, "Wahai Abu Sa'id, ingin rasanya aku mengambil tali lantas kugantungkan pada pohon, lalu kucekik leherku karena kekesalan hatiku terhadap apa yang dikatakan orang banyak mengenai diriku. Wahai Abu Sa'id, kalau orang-orang kesamaran terhadap hadits Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam maka tidaklah ada kesamaran atas kalian kaum Anshar. Bukankah engkau termasuk orang yang paling tahu tentang hadits Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam ? Bukankah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda bahwa Dajjal itu mandul, tidak punya anak, sedangkan saya punya anak yang saya tinggalkan di Madinah? Bukankah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda bahwa Dajjal itu tidak bisa memasuki kota Madinah dan Makkah, sedang saya datang dari Madinah dan hendak menuju ke Makkah?"

Kata Abu Sa'id, "Begitulah, hingga aku hampir menerima alasannya." Kemudian Ibnu Shaaid, "Ingatlah, demi Allah, Sesungguhnya saya mengenalnya dan mengetahui tempat kelahirannya serta mengetahui di mana ia sekarang berada." Abu Sa'id berkata: Saya berkata kepadanya, "Celakalah engkau pada hari-harimu." [Shahih Muslim 18:51-52]

Dan dalam suatu riwayat Ibnu Shayyad berkata, "Ingatlah, demi Allah, sesungguhnya saya mengetahui di mana sekarang dia (Dajjal) berada, dan saya juga mengetahui tempat kelahirannya serta mengetahui di mana ia sekarang berada." Abu kau senang jika laki-laki itu adalah engkau?" Dia menjawab, "Kalau disindirkan kepadaku, maka aku tidak benci." [Shahih Muslim 18: 51]

Dan masih ada beberapa riwayat lagi tentang Ibnu Shayyad yang sengaja tidak saya sebutkan karena takut terkesan terlalu panjang, dan lagi karena beberapa orang muhaqqiq seperti Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, dan lain-lainnya menolaknya karena kelemahan sanadnya. [Periksa: An-Nihayah (Al-Fitan wal Malahim) karya Ibnu Katsir dengan tahqiq DR. Thaha Zaini; dan Fathul-Bari karya Ibnu Hajar 13; 326]

Timbul kemusykilan di kalangan para ulama mengenai masalah Ibnu Shayyad ini, sebagian mereka mengatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal dan mereka beralasan dengan sumpah beberapa orang sahabat bahwa dia adalah Dajjal beserta kondisinya sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Abu Sa'id ketika sedang bersamanya. Dan sebagian lagi berpendapat bahwa dia bukan Dajjal dengan mengemukakan alasan hadits Tamim Ad-Dari.

Dan sebelum saya kemukakan perkataan kedua belah pihak secara lengkap, baiklah saya bawakan hadits Tamim seutuhnya:

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Amir bin Syurahil Asy-Sya'bi suku Hamdan, bahwa ia pernah bertanya kepada Fatimah binti Qais, saudara wanita Adh-Dhahhak bin Qais, salah seorang muhajirah (peserta hijrah wanita) angkatan pertama. Amir berkata kepada Fatimah, "Sampaikanlah kepadaku sebuah hadits yang engkau dengar Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam secara langsung tanpa melalui orang lain." Fatimah menjawab, "Jika engkau menginginkan akan saya lakukan." Amir berkata, "Benar, ceritakanlah kepadaku." Fatimah berkata, "Dahulu saya kawin dengan Ibnul Mughiroh, salah seorang pemuda Quraisy yang baik pada waktu itu, lalu ia gugur dalam jihad pertama bersama Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Ketika saya menjanda, saya dilamar oleh Abdur Rahman bin Auf, salah seorang kelompok sahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam meminangku untuk mantan budaknya yang benama Usamah bin Zaid, sedang saya pernah mendapat berita bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

"Barangsiapa yang mencintai aku hendaklah ia mencintai Usamah."


[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]
_________
Foote Note
[1]. Dia adalah Abu Abdillah Muhammad bin Al-Munkadir bin Abdullah bin Hudair bin Abdul Uzza At-Taimin, seorang tabi'i dan salah seorang Imam yang alim, meriwayatkan hadits dari para sahabat, wafat pada thun 131H [Tahdzibut Tahdzib 9 : 473-475]
[2]. Daia adalah Abu Sulaiman Zaid bin Wahab Al-Juhami Al-Kufi, meriwayatkan hadits dari banyak sahabat seperti Umar, Utsman, Ali, Abu Dzar dan lain-lainnya. Dia seorang terpercaya yang banyak meriwayatkan hadits, wafat tahun 96H [Tahdzibut Tahdzib 3 : 427]



APAKAH IBNU SHAYYAD ITU DAJJAL YANG BESAR ITU ?

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2

Maka ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan pinangannya kepada saya, saya berkata, "Urusanku berada di tanganmu, karena itu nikahkanlah saya dengan siapa saja yang engkau kehendaki." Lalu beliau bersabda, "Pindahlah ke rumah Ummu Syarik." Dan Ummu Syarik ini adalah seorang wanita yang kaya dari kalangan Anshar yang suka melakukan infaq di jalan Allah dan biasa dikunjungi tamu-tamu. Lalu saya berkata, "Akan saya laksanakan." Kemudian beliau bersabda, "Jangan lakukan, sesungguhnya Ummu Syarik itu seorang wanita yang sering didatangi tamu-tamu, dan aku tidak suka kerudung (jilbab)mu terlepas atau pakaianmu terbuka dan tampak betismu, lalu dilihat oleh kaum itu apa yang tidak engkau sukai.

Tetapi berpindahlah ke rumah putra pamanmu yaitu Abdullah bin Amr Ibnu Ummi Maktum" (seorang lelaki dari Bani Fihr, yaitu Fihr Quraisy, yang dari kalangan merekalah Abdullah dan Fatimah ini dilahirkan). Lalu saya -kata Fatimah melanjutkan- pindah ke sana. Ketika masa 'iddah ku telah habis, saya mendengar tukang seru Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerukan Ash-Sholaatu Jaami 'ah (Shalatlah dengan berjama'ah). Lalu saya pergi ke masjid dan shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan saya berada di shaf wanita yang ada di belakang shaf laki-laki.

Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam usai melakukan shalat, beliau duduk di atas mimbar sambil tersenyum seraya berkata, "Hendaklah tiap-tiap orang tetap berada di tempat shalatnya." Kemudian beliau melanjutkan, "Tahukah kamu, mengapa saya kumpulkan kamu?" Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengerti." Beliau bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya aku tidak mengumpulkan kalian karena senang atau benci. Aku kumpulkan kalian karena Tamim Ad-Dari, seorang pengikut Nasrani, telah berbai'at masuk Islam dan dia bercerita kepadaku tentang suatu masalah yang sesuai dengan apa yang pernah aku sampaikan kepada kalian mengenai Masih Ad-Dajjal.

la bercerita bahwa ia pernah naik perahu bersama tiga puluh orang yang terdiri atas orang-orang yang berpenyakit kulit dan lepra. Lalu mereka dihempas ombak selama sebulan di laut, kemudian mereka mencari perlindungan ke sebuah pulau di tengah lautan hingga sampai di daerah terbenamnya matahari. Lantas mereka menggunakan sampan kecil dan memasuki pulau tersebut. Di sana mereka berjumpa seekor binatang yang bulunya sangat lebat hingga tak kelihatan mana qubulnya dan mana duburnya, karena lebat bulunya. Mereka berkata kepada binatang itu, "Busyet kamu! Siapakah kamu?" Binatang itu menjawab, "Aku adalah Al-Jassasah." Mereka bertanya, "Apakah Al-Jassasah itu?" Dia menjawab. "Wahai kaum, pergilah kepada orang yang berada di dalam biara ini, karena ia sangat merindukan berita kalian." Kata Tamim. "Ketika binatang itu menyebut seseorang, kami menjauhinya, karena kami takut binatang itu adalah syetan.

Lalu kami berangkat cepat-cepat hingga kami memasuki biara tersebut, tiba-tiba di sana ada seorang laki-laki yang sangat besar tubuhnya dan tegap, kedua tangannya dibelenggu ke kuduknya, antara kedua lututnya dan mata kakinya dirantai dengan besi. Kami bertanya, "Siapakah engkau ini?" Dia menjawab, "Kalian telah dapat menguak beritaku, karena itu beritahukanlah kepadaku siapakah sebenarnya kalian ini?" Mereka menjawab. Kami adalah orang-orang dari Arab. Kami naik perahu dan kami terkatung-katung di laut dipermainkan ombak selama satu bulan, kemudian kami mencari tempat berlindung ke pulaumu ini dengan menaiki sampan kecil yang ada di sini lantas kami masuk pulau ini, dan kami bertemu seekor binatang yang bulunya sangat lebat hingga tidak kelihatan mana qabulnya dan mana duburnya karena lebat bulunya.

Lalu kami bertanya, "Busyet kamu, siapakah kamu?" Dia menjawab, "Aku adalah Al-Jassasah." Kami bertanya, "Apakah Al-Jassasah itu?" Dia menjawab, "Pergilah kepada lelaki ini di dalam biara, karena dia sangat merindukan berita kalian." Lalu kami bergegas menemui dan meninggalkan dia, dan kami merasa tidak aman jangan- jangan dia itu syetan." Dia (lelaki itu) berkata, "Tolong kabarkan kepada kami tentang desa Nakhl Baisan." Kami bertanya, "Tentang apanya?" Dia berkata, "Tentang kurmanya, apakah berbuah?" Kami menjawab, "Ya." Dia berkata, "Ketahuilah, sesungguhnya pohon-pohon kurmanya itu akan tidak berbuah lagi." Dan dia bertanya lagi, "Tolong beritahukan kepadaku tentang danau Ath-Thabariyah." Kami bertanya, "Tentang apanya?" Dia bertanya, "Apakah ada airnya?" Kami menjawab, "Airnya banyak sekali." Dia berkata, "Ketahuilah sesungguhnya airnya akan habis." Selanjutnya dia berkata lagi, "Kabarkan kepadaku tentang negeri 'Ain Zughor." Kami bertanya, "Tentang apanya?" Dia menjawab, "Apakah sumbernya masih mengeluarkan air yang dapat digunakan penduduknya untuk menyiram tanamannya?" Kami menjawab, "Airnya banyak sekali, dan penduduknya menggunakannya untuk menyiram tanaman mereka." Dia berkata lagi, "Tolong beritahukan kepadaku tentang Nabi orang ummi, apakah yang dilakukannya?" Kami menjawab, "Beliau telah berhijrah meninggalkan Makkah ke Yatsrib." Dia bertanya, " Apakah orang-orang Arab memeranginya?" Kami menjawab, "Ya." Dia bertanya lagi, "Apakah yang dilakukannya terhadap mereka?" Lalu kami beritahukan bahwa beliau menolong orang-orang Arab yang mengikuti beliau dan mereka mematuhi beliau." Dia bertanya, " Apakah benar demikian?" Kami menjawab, "Benar." Dia berkata, "Ketahuilah bahwasanya Iebih baik bagi mereka untuk mematuhinya. Dan perlu saya beritahukan kepada kalian bahwa saya adalah Al-Masih (Ad- Dajjal), dan saya akan diizinkan keluar. yang nantinya saya akan berkelana di muka bumi, maka tidak ada satu pun desa melainkan saya singgahi selama empat puluh malam kecuali Makkah dan Thaibah (Madinah), karena kedua kota ini diharamkan atas saya. Setiap saya hendak memasuki salah satunya, saya dihadang oleh seorang malaikat yang menghunus pedang, dan pada tiap-tiap lorongnya ada malaikat yang menjaganya."

Fatimah berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda sembari mencocokkan (menusukkan) tongkat kecilnya di mimbar, " inilah Thaibah. inilah Thaibah, inilah Thaibah," yakni Madinah. "Ingatlah. Bukankah aku telah memberi tahukan kepadamu mengenai hal itu?" Orang-orang menjawab "ya" selanjutnya beliau bersabda, ,"Saya heran terhadap cerita Tamim yang sesuai dengan apa yang telah saya ceritakan kepada kalian, juga tentang kota Madinah dan Makkah. Ketahuilah bahwa dia berada di laut Syam atau laut Yaman. Oh tidak, tetapi dia akan datang dari arah timur... dari arah timur... dari arah timur..." dan beliau berisyarat dengan tangan beliau menunjuk ke arah timur. Fatimah berkata. "Maka saya hafal ini dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam." [Shahih Muslim 18: 78- 83]

Ibnu Hajar berkata, "Sebagian ulama beranggapan bahwa hadits Fatimah binti Qais ini sebagai hadits gharib yang hanya diriwayatkan oleh perseorangan, padahal sebenarnya tidak demikian. Hadits ini di samping diriwayatkan dari Fatimah binti Qais juga diriwayatkan dari Abu Hurairah, Aisyah. Dan Jabir radhiyallahu 'anhum." [Fathul-Bari 13: 328]


[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG IBNU SHAYYAD

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA

Abu Abdillah Al-Qurthubi berkata, "Yang benar bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal berdasarkan dilalah (petunjuk / dalil) terdahulu, dan tidak ada yang menghalanginya untuk berada di pulau tersebut pada waktu itu dan berada di tengah-tengah para, sahabat pada waktu itu yang lain." [At-Tadzkiroh. 702]

Imam Nawawi berkata, "Para ulama mengatakan, "Kisahnya sangat musykil (sukar difahami) dan masalahnya samar-samar, apakah dia itu Al-Masih Ad-Daijal yang terkenal itu ataukah lainnya? Tetapi tidak disangsikan lagi bahwa dia adalah salah satu Dajjal (pendusta besar) di antara dajjal-dajjal."

Para ulama itu mengatakan, "Zhahir hadits-hadits itu menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mendapat wahyu yang menerangkan apakah Ibnu Shayyad itu Al-Masih Ad-Dajjal atau bukan, tetapi beliau hanya mendapat wahyu mengenai ciri-ciri Dajjal, sedangkan pada diri Ibnu Shayyad ada kemiripan dengan ciri-ciri tersebut. Karena itu Nabi saw tidak memastikan Ibnu Shayyad itu sebagai Dajjal atau bukan. Dan karena itu pula beliau berkata kepada Umar Radhiyallahu ‘anhu, "Jika Ibnu Shayyad itu adalah Dajjal, maka engkau tidak akan dapat membunuhnya." Adapun alasan Ibnu Shayyad bahwa dia itu muslim sedang Dajjal itu kafir, bahwa Dajjal tidak punya anak sedang dia punya anak, dan bahwa Dajjal tidak akan dapat memasuki kota Makkah dan Madinah sedang dia (Ibnu Shayyad) telah memasuki kota Madinah dan sedang menuju ke Makkah, maka alasannya itu tidak cukup kuat untuk menunjukkan bahwa dia bukan Dajjal, karena Nabi saw hanya memberitahukan tentang ciri-cirinya pada waktu ia menyebarkan fitnah dan keluar dari bumi. Dan di antara kemiripan ceritanya dan keberadaannya sebagai salah seorang Dajjal pembohong ialah perkataannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, " Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah utusan Allah." Dan pengakuannya bahwa dia didatangi oleh seorang yang jujur dan seorang pembohong, bahwa dia melihat 'Arsy di atas air, dia tidak benci kalau ia sebagai Dajjal, dia mengetahui tempatnya. dan perkataannya, " Sesungguhnya aku mengenalnya dan mengetahui tempat kelahirannya serta di mana ia sekarang berada," dan kesombongannya yang memenuhi jalan. Adapun dia menampakkan Islamnya, argumentasinya, jihadnya, dan penghindarannya dari anggapan sebagai Dajjal tidak tegas menunjukkan bahwa dia bukan Dajjal." [Syarah Muslim oleh Imam An-Nawawi 18: 46-47]

Perkataan Imam Nawawi di atas dapat difahami bahwa beliau menguatkan pendapat bahwa Ibnu Shayyad itu adalah Dajjal.

Imam Syaukani berkata, "Orang-orang berbeda pendapat mengenai masalah Ibnu Shayyad dengan perbedaan yang tajam, dan memang perkaranya sangat musykil sehingga timbul berbagai pendapat. Dan zhahir hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa sangsi apakah Ibnu Shayyad itu Dajjal atau bukan, maka keraguan beliau ini dapat dijawab dengan dua jawaban.

Pertama.
Bahwa keragu-raguan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah sebelum Allah memberitahukan kepada beliau bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Maka ketika Allah telah memberitahukan hal itu kepada beliau, beliau tidak mengingkari sumpah Umar.

Kedua.
Bangsa Arab kadang-kadang mengucapkan kata-kata. dengan nada ragu-ragu, meskipun berita itu tidak meragukan.

Dan di antara dalil yang menunjukkan bahwa Ibnu Shayyad itu Dajjal ialah riwayat yang diriwayatkan oleh Abdur Razaq dengan isnad yang shahih dari Ibnu Umar, ia berkata, "Pada suatu hari saya berjumpa Ibnu Shayyad bersama Yahudi. dan ternyata sebelah matanya tuna netra dan tersembul keluar seperti mata himar. Ketika saya melihatnya, saya bertanya, "Wahai Ibnu Shayyad, saya minta engkau bersaksi karena Allah, sejak kapankah matamu buta?" la menjawab, "Saya tidak tahu, demi Tuhan Yang Rahman." Saya berkata, "Engkau berdusta, bagaimana mungkin engkau tidak tahu sedangkan mata itu ada di kepalamu?" Lalu ia mengusapnya dan menarik nafas panjang tiga kali." [Nailul Author Syarh Muntaqa Al-Akhbar 7: 230-231 oleh Asy-Syaukani, terbitan Musthafa Al-Babi, Mesir]

Riwayat serupa juga telah disebutkan di muka sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Perkataan Imam Syaukani ini menyiratkan makna bahwa beliau sependapat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal yang besar (yang bakal muncul pada akhir zaman).

Dalam mengomentari hadits Tamim ini Al-Baihaqi berkata, "Dalam hadits ini terdapat indikasi bahwa Dajjal terbesar yang akan keluar pada akhir zaman itu bukanlah Ibnu Shayyad, dan Ibnu Shayyad adalah salah satu dari dajjal-dajjal pembohong yang diberitahukan oleh Rasulullah saw akan kemunculannya, dan sebagian besar mereka telah muncul. Seolah-olah orang yang menetapkan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal (terbesar), mereka tidak mendengar kisah Tamim. Sebab, jika tidak demikian, maka mengkompromikan antara keduanya sangat jauh (tidak mungkin), karena bagaimana dapat disesuaikan antara orang yang ketika Nabi saw masih hidup dia baru menginjak dewasa dan bertemu dengan beliau serta ditanya oleh beliau, tetapi kemudian menjadi seorang yang sudah tua sekali dan di penjara di sebuah pulau di tengah lautan dengan dirantai besi, dan dia menanyakan tentang Nabi saw apakah beliau sudah muncul ataukah belum. Maka pendapat yang lebih cocok ialah tentang tidak adanya kejelasan yang pasti. Adapun sumpah Umar, maka boleh jadi hal itu dilakukannya sebelum ia mendengar kisah Tamim. Kemudian setelah mendengarnya, ia tidak berani lagi mengulangi sumpahnya. Adapun Jabir mcngemukakan sumpahnya di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah karena ia tahu Umar bersumpah di sisi Nabi saw, lantas ia mengikutinya." [Fathul-Bari 13: 326-327]

Saya berkata, "Tetapi Jabir Radhiyallahu ‘anhu adalah salah seorang perawi hadits Tamim sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Dawud ketika beliau meriwayatkan kisah Al-Jassasah dan Dajjal seperti kisah Tamim." Kemudian Ibnu Abi Salamah berkata. "Sesungguhnya dalam hadits ini terdapat sesuatu yang tidak saya hafal. Katanya. "Jabir bersaksi bahwa Dajjal adalah Ibnu Shaaid." Saya (Ibnu Abi Salamah) berkata. "la (Ibnu Shaaid) telah meninggal dunia." Ia menjawab, "Meskipun lelah meninggal dunia." Saya berkata, "Ia telah masuk Islam." la menjawab, "Meskipun ia telah masuk Islam." Saya berkata, "Ia telah memasuki kota Madinah." la menjawab, "Meskipun ia pernah memasuki kota Madinah." [Sunan Abu Daud dengan Syarahi 'Aunul Ma ‘bud Kitab Al-Malahim, Bab Fi Khobar Al-Jassasah 11: 476]

Maka Jabir ra tetap berpendapat bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. meskipun ada yang mengatakan bahwa Ibnu Shayyad telah masuk Islam, pernah memasuki kota Madinah. dan telah meninggal dunia. Dan telah disebutkan di muka bahwa Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, "Kami kehilangan Ibnu Shayyad pada musim panas."

Ibnu Hajar berkata, "Abu Nu'aim Al-Ashbahani meriwayatkan dalam Tarikh Ashbahan yang memperkuat pendapat bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. lalu beliau membawakan riwayat dari jalan Syubail bin Urzah dari Hassan bin Abdur Rahman dari ayahnya, ia berkata. "Ketika kami menaklukkan Ashbahan, maka jarak antara lasykar kami dengan Yahudi hanya satu farsakh, maka kami datangi tempat itu dari arah yang sesuai dengan pilihan kami. Pada suatu hari saya datang ke sana, ternyata orang-orang Yahudi sedang berpesta dan memukul gendang, lalu saya bertanya kepada teman saya dari golongan mereka. Kemudian dia menjawab, "Raja kami yang kami mintai pertolongan untuk mengalahkan bangsa Arab sedang tiba." Lalu saya bermalam di loteng rumah teman saya itu, kemudian saya melakukan shalat Shubuh. Ketika matahari terbit, terjadilah keributan di kalangan tentara, lalu saya lihat, ternyata ada seorang lelaki yang memakai kopiah dari tumbuh-tumbuhan yang harum, dan orang-orang Yahudi berpesta memukul gendang. Setelah saya perhatikan ternyata dia Ibnu Shayyad, lantas dia masuk Madinah dan tidak kembali lagi hingga datangnya As-Sa'-ah." [Dzikir Akhbar Ashbahan: 387-388 oleh Abu Nu'aim; Fathul-Bari 3: 327-328]

Ibnu Hajar berkata, "Tidak ada relevansi antara riwayat Jabir (yang kehilangan Ibnu Shayyad pada musim panas) ini dengan riwayat Hassan bin Abdur Rahman, sebab penaklukan Ashbahan itu terjadi pada masa kekhalifahan Umar sebagaimana diriwayatkan Abu Nu'aim dalam Tarikhnya (Tarikh Ashbahan), sedang antara masa terbunuhnya Umar dengan peristiwa musim panas itu berselang waktu sekitar empat puluh tahun. Maka boleh jadi peristiwa itu disaksikan oleh ayah Hassan setelah berlalunya penaklukkan Ashbahan sekian lama. Dan di dalam pemberitaan yang menggunakan kata-kata ketika (lammaa) pada kalimat ketika kami telah menaklukkan Ashbahan ada bagian kalimat syarat ketika.... yang ditaqdirkan berbunyi: "Kami mengadakan perjanjian (ikatan) dengannya dan saya sering pulang balik ke sana," lalu terjadi peristiwa Ibnu Shayyad. Maka masa penaklukan Asbahan dan masuknya Ibnu Shayyad ke Madinah tidaklah dalam satu waktu."[Fathul-Bari 3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa masalah Ibnu Shayyad ini merupakan sesuatu yang musykil (sulit) bagi sebagian sahabat. lalu mereka mengiranya Dajjal. sedangkan Nabi saw tawaqquf (diam saja) mengenai masalah ini sehinngga nyata sesudahnya bahwa dia bukan. Dajjal, melainkan sejenis dukun yang berperikeadaan syetan., karena itu beliau pergi ke sana untuk mengujinya. [Periksa Al-Furkon Baina auliyair rahman wa Auliyaisy-syaiton: 77, cetakan kedua, tahun 1375 H, Terbitan Mathabiur Riyadh]

Ibnu Katsir berkata,”maksudnya bahwa Ibnu Shayyad itu bukan dajjal yang kelak akan keluar pada akhir zaman, berdasarkan hadits Fatimah binti Qais Al-fihriyyah ini merupakan pemilahan dalam masalah tersebut" [An-Nihayah Fil Fitan wal malahim 1:70 dengan tahqiq DR. Thaha Zaini]

Itulah sejumlah pendapat ulama mengenai ibnu Shayyad Yang berbeda-beda satu sama lain dengan dalil masing-masing. Karena itulah Al-Hafizh Ibnu Hajar berusaha mengkompromikan hadits-hadits dan pendapat yang berbeda-beda itu dengan mengatakan "Kompromi yang dekat antara kandungan hadits Tamim dan keberadaan Ibnu Shayyad sebagai Dajjal ialah bahwa wujud Dajjal adalah yang disaksikan oleh Tamim dalam keadaan terbelenggu. sedang Ibnu Shayyad adalah syetan yang menyerupai diri sebagai Dajjial pada waktu itu hingga ia datang ke Ashbahan dan bersembunyi bersama temanya hingga suatu saat yang telah ditetapkan Allah baginya untuk keluar. Mengingat rumitnya masalah ini. maka Imam Bukhari menempuh tarjih (dengan menguatkan yang satu dan melemahkan yang lain), sehingga beliau cakup meriwayatkan hadits Jabir dari Umar mengenai Ibnu Shayyad. dan tidak meriwayatkan hadits Fatimah binti Qais tetang kisah Tamim." [Fathul-Bari 13: 328].
]

PENGUJIAN NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM TERHADAP IBNU SHAYYAD

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA


Ketika tersiar di kalangan orang banyak perihal Ibnu Shayyad sebagai Dajjal, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin mengetahuinya secara jelas, lalu beliau pergi menemui Ibnu Shayyad dengan menyamar (tidak menampakkan identitasnya) sehingga Ibnu Shayyad tidak mengetahuinya, dengan harapan beliau dapat mendengar sesuatu darinya, kemudian beliau menghadapkan beberapa pertanyaan kepadanya untuk mengungkap hakikatnya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu bahwa Umar pernah pergi bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu rombongan untuk menemui Ibnu Shayyad, hingga mereka berhasil menemuinya ketika ia sedang bermain-main dengan anak-anak kecil di sebelah bangunan yang tinggi seperti benteng yang ada di antara lembah kaum Anshar. Ketika itu Ibnu Shayyad sudah hampir dewasa, dan dia tidak merasa akan kedatangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga beliau memukulnya dengan tangan beliau seraya bertanya. "Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rasul Allah?" Lalu Ibnu Shayyad melihat kepada beliau lantas berkata, "Saya bersaksi bahwa engkau adalah Rasul bagi orang-orang ummi (buta hurut)."

Selanjutnya Ibnu Shayyad berkata, "Apakah engkau bersaksi bahwa saya utusan Allah?"
Nabi menjawab, "Aku beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Bagaimana pandanganmu?"
Ibnu Shayyad berkata, "Telah datang kepadaku seorang yang jujur dan seorang pendusta."
Nabi bersabda, "Pikiranmu kacau-balau. Apakah saya menyembunyikan sesuatu terhadapmu?"
Ibnu Shayyad menjawab, "Asap."
Nabi bersabda, "Duduklah, sesungguhnya engkau tidak akan dapat melampaui kedudukanmu."
Umar berkata, "Biarkanlah saya pukul kuduknya, wahai Rasulullah."
Nabi bersabda, "Jika ia menyindir, maka engkau tidak dapat menguasainya. Tapi jika ia tidak menyindir, maka tidak ada kebaikan untukmu dalam membunuhnya." [Shahih Bukhari. Kitabul Janaiz, Bab Idza As lama Ash-Shabiyyu fa maata Hal Yusholla 'alaihi wa Hal Yu'rodhu 'Ala Ash-Shabiyyi Al-Islamu 3: 217)]

Dan dalam satu riwayat disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Ibnu Shayyad, "Apakah yang engkau lihat?" Dia menjawab, "Saya melihat singgasana di atas air." Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Engkau melihat singgasana iblis di laut, dan apa lagi yang engkau lihat?" Dia menjawab, "Saya melihat dua orang yang jujur dan seorang pendusta, atau dua orang pendusta dan seorang yang jujur." Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pikirannya sedang kacau-balau, biarkanlah dia!" [Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothis Sa'ah, Bab Dzikir Ibni Shayyad 18: 49-50]

Ibnu Umar menceritakan dalam versi lain, "Setelah itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama Ubay bin Ka'ab pergi ke kebun kurma yang di sana terdapat Ibnu Shayyad. Beliau berjalan pelan-pelan karena ingin mendengar sesuatu dari Ibnu Shayyad sebelum Ibnu Shayyad mengetahui beliau, lalu Nabi saw melihatnya sedang berbaring di atas sehelai kain miliknya yang ada tandanya. Lalu ibu Ibnu Shayyad melihat Rasulullah saw yang sedang berlindung di balik batang pohon kurma, lantas ia berkata kepada Ibnu Shayyad, "Wahai Shafi -nama ibu Ibnu Shayyad yang sebenarnya- ini adalah Muhammad saw!" Lalu Ibnu Shayyad lari. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Seandainya ibunya membiarkannya, niscaya akan nampak jelas masalahnya."[Shahih Bukhari 3: 218]

Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus saya untuk menemui ibunya. Beliau bersabda, "Tanyakanlah kepadanya berapa lama ia mengandungnya." Lalu saya datang kepadanya dan menanyakannya, kemudian ia menjawab, "Aku mengandungnya selama dua belas bulan." Abu Dzar berkata, "Kemudian beliau menyuruh saya untuk menanyakan bagaimana ia berteriak (menangis) sewaktu dilahirkan. Lalu saya kembali lagi kepadanya dan menanyakannya. Kemudian ia menjawab, "Dia menangis seperti menangisnya bayi yang sudah berusia satu bulan." Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, "Sesungguhnya saya menyembunyikan sesuatu kepadamu." Dia berkata, "Engkau menyembunyikan bagian depan hidung dan mulut (cingur) kambing serta asap kepadaku." Kata Abu Dzar, "Ia hendak mengucapkan ad-dukhon tetapi tidak dapat, lalu ia mengungkapkan ad-dukh, ad-dukh." [Musnad Ahmnad Ahmad 5: 148. Ibnu Hajar berkata, "Shahih."]

Maka pengujian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadapnya dengan "ad-dukhon" adalah untuk mengetahui hakikat urusannya.

Dan yang dimaksud dengan "ad-dukhon" di sini ialah firman Allah:

"Artinya : Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata" [Ad-Dukhon: 10]

Dan di dalam riwayat Ibnu Umar seperti yang diriwayatkan Imam Ahmad: "Aku menyembunyikan sesuatu terhadapmu." Dan beliau menyembunyikan apa yang terkandung dalam ayat:

"Artinya : ... hari ketika langit membawa kabut yung terang" [Musnad Ahmad 9: 139. hadits nomor 6360 dengan tahqiq Ahmad Syakir. Beliau berkata, "Isnadnya shahih."]

Ibnu Katsir berkata. "Ibnu Shayyad dapat mengungkapkannya lewat jalan para dukun dengan lisan jin, dan mereka memotong ungkapan itu. Karena itu ia berkata. Ad-dukh, yakni ad-dukhon. Ketika itu tahulah Rasulullah saw materinya bahwa itu dari syetan. Lalu beliau bersabda, "Duduklah, engkau tidak akan dapat melampaui kedudukanmu." [Tafsir Ibnu Katsir 7: 234]

KEMATIAN IBNU SHAYYAD
Dari Jabir Radiyallahu anhu ia berkata, "Kami kehilangan Ibnu Shayyad pada musim panas." ['Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Daud 11: 476]

Ibnu Hajar mengesahkan riwayat di atas dan melemahkan pendapat orang yang mengatakan bahwa Ibnu Shayyad meninggal dunia di Madinah dan mereka membuka wajahnya serta menyalati jenazahnya. [Fathul-Bari 13: 328]


[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq].

HADITS-HADITS TENTANG TURUNNYA ISA 'ALAIHIS SALLAM MUTAWATIR

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA

Telah saya sebutkan di muka beberapa buah hadits tentang akan turunnya kembali Isa 'alaihissalam, dan tidak saya sebutkan kesemuanya karena kuatir akan menimbulkan kesan pembahasannya terlalu panjang. Hadits-hadits ini tersebut di dalam kitab-kitab Shahih, Sunan, Musnad, dan lain-lain kitab hadits, yang semuanya itu menunjukkan dengan jelas akan turunnya kembali Isa pada akhir zaman. Dan tidak ada alasan bagi orang yang menolaknya atau yang mengatakan bahwa hadits-haditsnya itu adalah hadits-hadits Ahad yang tidak dapat dijadikan hujjah; atau masalah turunnya Isa itu tidak termasuk bagian aqidah yang wajib diimani oleh kaum muslimin [1] karena apabila suatu hadits itu telah shah maka wajiblah diimani dan dibenarkan apa yang disabdakan oleh Nabi Ash-Shaadiq Al-Mashduq (yang benar lagi dibenarkan) saw dan kita tidak boleh menolak sabdanya hanya karena haditsnya haditsnya ahad.

Penolakan dengan alasan seperti itu merupakan argumentasi yang sangat lemah, dan telah saya bicarakan dalam pasal tertentu dari pembahasan ini bahwa hadits ahad itu bila shahih riwayatnya maka wajib dibenarkan dan diterima isinya. Kalau kita mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak dapat dijadikan hujjah, maka kita harus menolak hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam jumlah yang sangat banyak, dan apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi sia-sia dan tidak punya makna. Nah bagaimana lagi dengan masalah akan turunnya Isa 'alaihissalam ini, padahal para ulama telah menyatakan kemutawatiran hadits-hadits akan turunnya Isa itu. Berikut ini saya bawakan pernyataan beberapa ulama tersebut:

Ibnu Jabir Ath-Thabari, setelah menyebutkan perbedaan pendapat tentang wafat Isa, mengatakan, "Pendapat yang paling shahih menurut pandangan kami ialah pendapat orang yang mengatakan: 'Maknanya ialah: Sesungguhnya Aku (Allah) mengambilmu (Isa) dari bumi mengangkatmu kepada-Ku, mengingat mutawatirnya berita- berita dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda:

"Isa bin Maryam akan turun, lalu membunuh Dajjal."

Kemudian beliau mengemukakan beberapa buah hadits yang berkenaan dengan akan turunnya Isa itu. [Tafsir Ath-Thabari 3: 291]

Ibnu Katsir berkata, "Telah mutawatir hadits-hadits dari Rasulullah saw yang memberitahukan akan turunnya Isa 'alaihissalam sebelum hari kiamat sebagai pemimpin dan hakim yang adil." [Tafsir Ibnu Katsir 7: 223]. Kemudian beliau membawakan lebih dari delapan belas buah hadits tentang akan turunnya Isa itu.

Syekh Shiddiq Hasan berkata, "Hadits-hadits tentang akan turunnya Isa itu banyak sekali. Di antaranya, Imam Syaukani mengemukakan dua puluh sembilan hadits antara shahih, hasan, dan dha'if, yang di antaranya ada yang berhubungan dengan hadits-hadits Dajjal... ada yang berhubungan dengan hadits-hadits Al- Mahdi Al-Mun-tazhar. Di samping itu juga terdapat atsar-atsar dari para sahabat yang memiliki hukum marfu', karena dalam kasus seperti ini tidak ada perkenan untuk berijtihad (maka atsar-atsar sahabat itu sudah barang tentu bersumber dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam-Pent). Kemudian beliau berkata, 'Semua riwayat yang telah kami kemukakan ini mencapai derajat mutawatir, sebagaimana tidak samar bagi orang yang memiliki pengetahuan yang luas.'" [Al-Idzaa'ah: 160]

Al-Ghimari (yaitu Abul Fadhl Abdullah Muhammad Ash-Shiddiq Al-Ghimari) berkata, "Sungguh telah mantap pendapat tentang akan turunnya Isa 'alaihissalam dari para sahabat, tabi'in dan pengikut-pengikut mereka, dari para imam dan para ulama semua madzhab sejak dulu hingga masa kita sekarang ini." ['Aqidah Ahlil-Islam Fii Nuzuuli Isa 'alaihissalam: 12].

Dan pada tempat lain beliau mengatakan, "Jalan periwayatannya ini sudah mutawatir betul-betul sehingga tidak mungkin memungkirinya kecuali orang-orang bodoh, seperti kelompok Qadiyaniyah dan orang-orang yang pandangan hidupnya seperti mereka, sebab hadits-hadits ini diriwayatkan oleh sejumlah orang dari orang hingga tertuang di dalam kitab-kitab sunnah yang sampai kepada kita secara mutawatir, dari generasi ke generasi." [Ibid, halaman 5]

Hadits-hadits ini diriwayatkan dari dua puluh lima orang sahabat lebih, yang diriwayatkan oleh lebih dari tiga puluh orang tabi'in, kemudian diriwayatkan oleh tabi'ut-tabi'un sejumlah lebih dari itu. Begitulah hingga diriwayatkan oleh para imam di dalam kitab-kitab sunnah, di antaranya dalam kitab-kitab musnad seperti Musnad Ath-Thayalisi, Ishaq bin Rahawaih, Ahmad bin Hanbal, Utsman bin Abi Syaibah, Abu Ya'la, Al-Bazzar, dan Ad-Dailami. Diriwayatkan juga oleh penyusun kitab-kitab Shahih seperti Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Abu 'Awanah, Al-Ismaili, Adh-Dhiya' Al-Muqaddasi, dan lain-lain. Juga diriwayatkan oleh para pengarang kitab Al-Jami', Al-Mushannaf, Sunan, Tafsir bin Ma'tsur, Mu'jam, Al-Ajza', Al-Gharaib, Al-Mu'jizat, Ath-Thabaqat, dan Al-Malahim.

Dan di antara orang yang menghimpun hadits-hadits tentang akan turunnya Isa 'alaihissalam ialah Syekh Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri [2] dalam buku beliau At-Tashrih Bimaa Tawaatara Fii Nuzulil Masiih. Dalam kitab ini beliau mengemukakan lebih dari tujuh puluh hadits.

Pengarang kitab 'Annul Ma 'bud Syarah Sunan Abi Dawud berkata, "Telah mutawatir khabar dari Nabi saw tentang akan turunnya Nabi Isa 'alaihissalam dari langit dengan jasadnya ke bumi ketika telah mendekati kiamat. Dan ini adalah madzhab Ahlis Sunnah." ['Annul Ma'bad 11: 457 oleh Abuth-Thayyib Muhammad Syamsul Haqqil 'Azhim Abadi]

Syekh Ahmad Syakir berkata, "Masalah akan turunnya Isa 'alaihissalam pada akhir zaman merupakan perkara yang tidak diperselisihkan di kalangan kaum muslimin mengingat banyaknya khabar-khabar yang shahih dari Nabi saw mengenai hal ini.... Dan ini merupakan suatu hal yang diketahui secara pasti dari ad-din (agama), yang tidak dianggap beriman orang yang mengingkarinya." [Hasyiyah Tafsir Ath-Thabari 6: 460 dengan takhrij Syekh Ahmad Muhammad Syakir dan tahqiq Mahmud Syakir, terbitan Darul Ma'arif, Mesir]

Dan dalam ta'liqnya terhadap Musnad Ahmad, Syekh Ahmad Syakir berkata, "Kaum modernis dan kaum puritan pada masa kita sekarang ini telah mempermainkan hadits-hadits yang secara jelas menunjukkan akan turunnya Isa bin Maryam 'alaihissalam pada akhir zaman sebelum berakhirnya kehidupan dunia, dengan mentakwilkannya untuk mengingkarinya, dan pada saat yang lain dengan terang-terangan mengingkarinya. Hal ini sebenarnya disebabkan mereka tidak beriman kepada yang ghaib, atau hampir tidak beriman kepada yang ghaib, padahal hadits-haditsnya itu mutawatir maknanya secara keseluruhan, yang diketahui kandungannya dari ad-din secara pasti. Maka tidak ada gunanya pengingkaran dan takwil mereka." [Hasyiyah Musnad Imam Ahmad 12: 257]

Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata, "Ketahuilah bahwa hadits-hadits Dajjal dan turunnya Isa 'alaihissalam adalah mutawatir yang wajib diimani. Dan janganlah Anda terperdaya oleh orang yang menganggap bahwa haditsnya adalah hadits ahad, karena mereka tidak mengerti ilmu ini, dan di antara mereka tidak ada orang yang mengkaji jalan-jalan periwayatannya. Seandainya di antara mereka ada yang melakukan pengkajian ini niscaya dia akan menemukannya sebagai hadits mutawatir, sebagaimana kesaksian para pakar ilmu ini, seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar dan lain-lainnya. Sungguh sangat disesalkan sikap sebagian orang yang begitu berani membicarakan masalah yang bukan bidang keahliannya, apalagi ini merupakan masalah din dan aqidah." [Hasyiyah Syarah Aqidah Thahawiyah, halamam 565 dengan takhrij Syekh Muhammad Nashiruddin Al- Albani, seorang ahli hadits dari Syam].

Masalah turunnya Isa 'alaihissalam ini oleh sebagian ulama dicantumkan sebagai aqidah Ahli Sunnah wal Jama'ah, dan dia akan turun untuk membunuh Dajjal keparat, semoga Allah membinasakannya.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, "Prinsip-prinsip Ahlis Sunnah menurut kami ialah berpegang teguh dengan apa yang dipegangi oleh para sahabat Rasulullah saw, mengikuti dan meneladani mereka, dan meninggalkan bid'ah-bid'ah karena setiap bid'ah itu adalah sesat." Kemudian beliau menyebutkan sejumlah aqidah Ahlis Sunnah, lalu berkata,".... Dan mengimani bahwa Al-Masihad-Dajjal akan muncul ke dunia dan di antara kedua matanya terdapat tulisan 'kafir', mempercayai hadits-hadits yang membicarakannya, serta mengimani bahwa yang demikian itu akan terjadi dan bahwa Isa akan turun untuk membunuhnya di pintu Lodd."[ThdbaqatAl-Hanabilah 1: 241-243 oleh Al-Qadhi Al-Hasan Muhammad bin Abi Ya'la, terbitan Darul Ma'rifah wan-Nasyr, Beirut]

Abul Hasan Al-Asy'ari [3] rahimahullah berkata dalam membicarakan aqidah ahli hadits dan sunnah, ".... Percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, mempercayai apa yang datang dari sisi Allah dan berita-berita yang diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya dari Rasulullah saw. Mereka (ahli hadits dan sunnah) tidak menolak sedikit pun dari semua itu. . . . Mereka juga membenarkan akan munculnya Dajjal dan bahwa Isa akan membunuhnya."

Kemudian pada bagian akhir perkataannya, beliau berkata, "Dan kami berpendapat seperti pendapat mereka yang telah kami sebutkan di muka. " [Maqolaatul Is-lamiyyin Wa Ikhtilaful Mushallim 1 : 345-348 dengan tahqiq Syekh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, cetakan kedua, tahun 1389 H, terbitan Maktabah An-Nahdhah Al-Mishriyyah, Kairo]

Al-Qadhi 'lyadh berkata, "Masalah akan turunnya Isa dan tugasnya membunuh Dajjal adalah haq dan shahih menurut ahli sunnah berdasarkan hadits-hadits yang shahih mengenai masalah ini. Dan tidak ada dalil aqli maupun dalil syar'i yang membatalkannya, karena itu wajib ditetapkan demikian. " [Syarah Shahih Muslim 18: 75]

Syekh Ath-Thahawi berkata, "Kami mempercayai tanda-tanda hari kiamat, seperti keluarnya Dajjal dan turunnya Isa bin Maryam 'alaihissalam dari langit. " [Syarah Aqidah Thahawiyyah: 564 dengan tahqiq Al-Albani).
Syaikhul Islam IbnuTaimiyah berkata, "Al-Masih 'alaihissalam wa 'alasaarin nabiyyin, pasti akan turun ke bumi sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits shahih. Karena itu beliau berada di langit kedua, karena beliau lebih utama daripada Yusuf, Idris, dan Harun, karena beliau akan turun ke bumi sebelum datangnya hari kiamat, berbeda dengan nabi yang lain. Sedang Adam berada di langit dunia karena ruh anak-anaknya ditunjukkan kepadanya." (Majmu ' Al-Fatawa oleh Ibnu Taimiyah 4: 329]

[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]
_________
Foote Note
[1]. Periksalah kitab AI-Fatawa: 59-82 karya Syekh Mahmud Syaltut, terbitan Darusy Syuruq, cetakan ke 8, tahun 1395 H. Beliau mengingkari pendapat bahwa Isa diangkat dengan badannya, juga mengingkari akan turunnya ke bumi pada akhir zaman, serta menolak hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut seraya mengatakan bahwa hadits-haditsnya adalah hadits ahad dan tidak dapat dijadikan hujjah. Masalah diangkatnya Nabi Isa ke langit, serta masalah apakah pengangkatannya itu dengan tubuhnya atau ruhnya saja adalah merupakan masalah yang diperselisihkan di kalangan ulama, tetapi yang benar bahwa beliau diangkat dengan ruh dan tubuhnya sebagaimana pendapat Jumhur Mufassirin seperti Ath-Thabari, Al-Qurthubi, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain. [Vide: Tafsir Ath-Thabari 3: 291; Al-Qurthubi 4: 100; Majmu' Al-Fatawa Ibnu Taimiyah 4: 322-323; dan Tafsir Ibnu Katsir 2: 405]

[2]. Beliau adalah seorang Syekh ahli hadits, Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri al-Hindi. Beliau memiliki banyak karangan, antara lain Faidhul Baari 'Alaa Shahiihil Bukhari sebanyak 4 jilid, dan "Al-Urfusy Syadziy 'Alaa Jaami'it Tirmidzi" dan lain-lainnya. Beliau wafat pada tahun 1352 H. Semoga Allah merahmati beliau. Lihat biografi beliau dalam Muqadimah kitab At-Tashrih oleh Syekh Abdul Fattah Abu Ghadah.

[3]. Beliau adalah Imam Al-'Allamah Abul Hasan Ali bin Ismail, dari keturunan Abu Musa Al-Asy'ari, seorang sahabat besar. Beliau diasuh di pangkuan suami ibunya, yaitu Abu Ali Al-Jubba'i, seorang syekh Mu'tazilah pada masanya. Beliau berguru kepadanya dan memeluk madzhabnya selama hanipir 40 tahun, kemudian Allah memberinya hidayah untuk berpindah kepada madzhab Ahlis Sunnah wal Jama'ah. Kemudian beliau menyatakan bahwa beliau mengikuti madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mempunyai karangan hingga mencapai lima puluh buah judul buku. DR. Fauqiyah H use in Mahmud menyebutkan bahwa beliau memiliki karya sebanyak 100 buah, dan yang termasyhur antara lain adalah Maqaalaatul Islaamiyyiin, Al-Luma', Al-Wajiz, dan lain-lainnya. Dan kitab beliau yang terakhir ialah "Al-Ibbanah 'An Ushuulid Diyaanah. " Beliau wafat pada tahun 324 H.

DALIL-DALIL TENTANG TURUNNYA ISA 'ALAIHISSALAM DARI AS-SUNNAH

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA

Dalil-dalil dari Sunnah mengenai akan turunnya kembali Isa alaihissalam banyak sekali jumlahnya dan berderajat mutawatir sebagaimana telah kami sebutkan sebagian di muka, dan di sini akan saya sebutkan sebagian pula, tidak keseluruhan, karena kuatir akan terkesan terlalu panjang. Hadits-hadits tersebut antara lain:

[1]. Asy-Syaikhani (Bukhari dan Muslim) meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia ber-kata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Demi Allah yang diriku tangan-Nya, benar-benar putra Maryam akan turun di tengah-tengah kamu sebagai juru damai yang adil, lalu ia menghancurkan salib, dan harta kekayaan melimpah ruah hingga tidak ada seorangpun yang mau menerima (shadaqah atau zakat) dari orang lain, sehingga pada waktu itu sujud satu kali lebih baik daripada dunia dan isinya. " Kemudian Abu Hurairah berkata, "Bacalah firman Allah ini jika Anda mau:

"Artinya : Tidak ada seorang pun dari ahli kitab kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan pada hari kiamat nanti Isa akan menjadi saksi terhadap mereka." [Shahih Bukhari, Kitab Ahaadiitsil Anbia' ,Bab Nuzuli Isa Ibni Maryam 'alahissalam 6: 490-491; Shahih Muslim, Bab Nuzuli Isa Ibni Maryam 'alaihissalam Haakiman 2: 189-191]

Inilah penafsiran Abu Hurairah terhadap ayat ini bahwa yang dimaksud ialah di antara ahli kitab akan ada orang yang beriman kepada Nabi Isa 'alaihissalam sebelum beliau meninggal dunia. Hal ini terjadi ketika beliau turun kembali ke bumi pada akhir zaman sebagaimana telah dijelaskan di muka.

[2]. Asy-Syaikhani juga meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

"Artinya : Bagaimana keadaanmu nanti apabila putra Maryam telah diturunkan di tengah-tengah kamu, sedangkan imam kamu adalah dari antara kamu sendiri?" [Shahih Bukhari 6: 491; Shahih Muslim 2:193]

[3]. Imam Muslim meriwayatkan dari JabirRadhiyallahu 'anhu, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang berjuang membela kebenaran dengan memperoleh pertolongan hingga datangnya hari kiamat.... Kemudian akan turun Isa putra Maryam 'alaihissalam, lalu pemimpin mereka berkata (kepada Isa), Silakan Anda shalat mengimami kami! Isa menjawab, Tidak usah, sesungguhnya sebagian kalian adalah pemimpin bagi sebagian yang lain, sebagai kemunculan dari Allah bagi umat ini." [Shahih Muslim 2: 193-194].

[4]. Telah disebutkan di muka hadits Hudzaifah bin Usaid yang membicarakan tanda-tanda kiamat yang besar yang di dalamnya disebutkan tentang "akan turunnya Isa putra Maryam 'alaihissalam." [Shahih Muslim 18: 27-28].

[5]. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Para Nabi itu adalah bersaudara seayah berlainan ibu, dan Din mereka adalah satu. Dan aku adalah manusia yang paling dekat dengan Isa putra Maryam, karena antara aku dan dia tidak ada nabi lagi. Dan sesungguhnya dia akan turun kembali ke bumi, karena itu jika kamu melihatnya maka kenalilah dia." [Musnad Ahmad 2:406, dan hadits ini adalah shahih. Periksalah catatan pinggir 'Umdatut-Tafsir 4:36 dengan tahqiq Syekh Ahmad Syakir. Bagian permulaan hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari 6: 478, dan diriwayatkan pula oleh Hakim dalam Al-Mustadrak 2: 595. Hakim berkata, "Ini adalah hadits yang shahih isnadnya, hanya saja Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya." Perkataan Hakim ini disetujui oleh Adz-Dzahabi].


[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]

DALIL-DALIL TENTANG TURUNNYA ISA 'ALAIHISSALAM

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2

[1]. Allah berfirman:

“ Artinya : Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak karenanya. Dan mereka berkata, "Manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?" Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.

Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil.

Dan kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi, malaikat-malaikat yang turun-temurun.

Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu; dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus." [Az- Zukhruf: 57-61]

Ayat-ayat di atas membicarakan Isa 'Alaihissalam, dan pada ayat terakhir (Az- Zukhruf: 61) disebutkan wainnahuu 'a 'ilmun lissaa 'ah (Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat), yakni turunnya Isa 'alaihissalam ke bumi sebelum datangnya hari kiamat merupakan pertanda telah dekatnya hari kiamat. Dan hal ini juga ditunjuki oleh qiroah (bacaan) lain terhadap ayat itu, yakni wa innahuu la 'ilmun lis-saa 'ah ( ) dengan memberi harakat fathah pada huruf 'ain dan lam, yang berarti 'alaamah (alamat) dan amaaroh (tanda) telah dekatnya hari kiamat. Bacaan ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan lain-lain Imam tafsir. [Tafsir Al-Qurthubi 16: 105, dan Tafsir Ath-Thabari 25:90-91].

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas ra mengenai penafsiran ayat ini:

Bahwa yang dimaksud ialah keluarnya Isa 'alaihissalam sebelum terjadinya hari kiamat. [Musnad Ahmad 4: 329 hadits nomor 21921 dengan tahqiq Ahmad Syakir yang mengatakan, "Isnadnya shahih."].

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, "Yang benar bahwa dhamir atau kata ganti pada lafal (innahu/sesungguhnya dia) itu kembali kepada Isa, sebab konteks pembicaraan ayat ini mengenai Isa." [Tafsir Ibnu Katsir 7: 222].

Dan beliau (Ibnu Katsir) menganggap jauh (penafsiran yang terlalu jauh) kalau ayat ini diartikan dengan: Apa-apa (mukjizat) yang menyertai Isa seperti menghidupkan orang yang telah mati, menyembuhkan orang yang berpenyakit tuna netra dan belang, dan penyakit-penyakit lainnya. Dan lebih jauh lagi apa yang diriwayatkan dari sebagian ulama bahwa dhamir pada lafal " " (innahu) itu kembali kepada Al-Qur'anul Karim. [Tafsir Ibnu Katsir 7: 223].

[2]. Firman Allah:

"Artiny : Dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah, " padahal mereka tiada membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu kecuali hanya mengikuti persangkaan belaka; dan mereka tidak pula yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. "

"Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. "

"Tidak ada seorang pun dari ahli kitab kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan pada hari kiamat nanti Isa akan menjadi saksi terhadap mereka. " [An-Nisa': 157-159].

Ayat-ayat di atas di samping menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi tidak membunuh dan tidak menyalib Isa, tetapi Allah yang mengangkatnya ke langit sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 55:

"Artinya : Ingatlah ketika Allah berfirman: 'Hai Isa, Sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku. ..'"

Maka ayat-ayat tersebut juga menunjukkan bahwa di antara ahli kitab kelak akan ada orang yang beriman kepada Isa 'alaihissalampada akhir zaman, ketika ia turun (secara hakiki)[1] ke bumi dan sebelum wafatnya sebagaimana diberitakan oleh hadits-hadits yang shahih dan mutawatir.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ketika ditanya tentang masalah wafat dan diangkatnya Nabi Isa 'alaihissalam, beliau berkata, "Segala puji kepunyaan Allah. Isa 'alaihissalam masih hidup. Dan disebutkan di dalam hadits shahih bahwa Nabi saw bersabda:

“Ibnu Maryam akan turun di tengah-tengah kalian sebagai hakim dan pemimpin yang adil, lalu menghancurkan salib, membunuh babi, membebaskan pajak. " [Vide: Perkataan Syekh Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar 3:317].

Selanjutnya Syaikhul Islam mengatakan, "Dan disebutkan pula dalam hadits shahih bahwa Isa akan turun di menara putih sebelah timur Damsyiq dan akan membunuh Dajjal. Maka barangsiapa yang ruhnya telah berpisah dari tubuhnya, tidaklah tubuhnya akan turun dari langit; dan jika ia dihidupkan kembali, maka ia akan bangkit dari kuburnya.

Adapun mengenai firman Allah:

"Sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir. "

Maka ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan sinyalemen di atas bukanlah kematian (al-maut), sebab jika yang dimaksud adalah kematian, maka Isa sama dengan orang-orang Mukmin lainnya, yaitu mengambil ruh mereka lalu membawanya ke langit. Kalau demikian, maka tidak ada keistimewaan Isa dibandingkan dengan orang lain. Begitu pula dengan firman-Nya:

"Dan membersihkan kamu dari orang-orang kafir. "


[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]
_________
Foote Note
[1]. Turunnya ini adalah secara hakiki (sebenarnya). Turunnya kembali ke bumi dan penegakkan terhadap hukum di muka bumi pada akhir zaman bukanlah kiasan tentang menyebarkan semangatnya atau ruhnya dan rahasia risalahnya kepada manusia yang berisi perintah untuk berkasih sayang, mencintai, dan berdamai dengan orang lain serta mengambil maksud-maksud syari'ah tanpa menghiraukan zhahirnya. Karena semua itu bertentangan dengan hadits-hadits mutawatir yang menerangkan akan turunnya kembali ke bumi dengan ruh dan jasadnya sebagaimana beliau telah diangkat dengan ruh dan jasadnya ke langit.

=================================================================

DALIL-DALIL TENTANG TURUNNYA ISA 'ALAIHISSALAM

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2

Kalau yang dimaksud adalah ruhnya berpisah dari tubuhnya, maka tubuhnya itu masih berada di bumi sebagaimana halnya tubuh para Nabi atau lainnya. Dalam ayat lain Allah berfirman:

"Mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu kecuali hanya mengikuti persangkaan belaka; dan mereka tidak pula yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada- Nya.... " [An-Nisa': 157-158].

Firman Allah:,

"Tetapi (yang sebenarnya) Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. "

Memberikan penjelasan bahwa Allah mengangkat tubuh dan ruhnya sebagaimana halnya ia (Isa) akan turun dengan tubuh dan ruhnya seperti disebutkan dalam hadits yang shahih. Karena kalau yang dimaksud adalah " mematikannya" niscaya Dia berfirman: "Mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi dia meninggal dunia. . . " (Wa maa qotaluuhu wa maa shilabuuhu bal maata. . .). Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lafal mutawaffiika ialah qoobidhuka, yakni memegang ruh dan tubuhmu. Dan lafal at-tawaffii tidak menghendaki atau tidak menetapkan tawaffii ruh tanpa tubuh dan tidak pula tawaffi terhadap keduanya kecuali dengan adanya qarinah (indikasi / alasan) tersendiri.

Dan kadang-kadang yang dimaksud ialah memegang ruh ketika tidur, seperti firman Allah:

"Artinya : Allah memegang jiwa orang ketika matinya dan memegang jiwa orang yang belum mati pada waktu tidurnya. " [Az-Zumar: 42]

"Artinya : Dan Dia-lah yang mentawaffikan (menidurkan) kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apayang kamu kerjakanpada siang hari. " [Al-An'am: 60].

Dan di antara firman-Nya lagi yang berkaitan dengan lafal tawaffi atau wafat ialah yang tertera dalam surat Al-An'am: 61:

"Artinya : ... sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami. " [Majmu' Al-Fatawa 4: 322-323].

Pembicaraan dalam pembahasan ini bukanlah tentang pengangkatan Isa 'alaihissalam, tetapi untuk menjelaskan bahwa dia diangkat dengan tubuh dan ruhnya. Sekarang Nabi Isa as masih hidup di langit kelak akan turun pada akhir zaman serta di Imani oleh orang-orang ahli kitab yang hidup pada waktu itu, sebagaimana firman-Nya:

"Tidak ada seorang pun dari ahli kitab kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya.". [An-Nisa': 159].

Ibnu Jarir berkata: "Telah diceritakan kepada kami oleh Basyar, dia berkata: Telah diceritakan kepada kami oleh Suryan dari Abu Hushain dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas mengenai ayat:

"Tidak ada seorang pun dari ahli kitab kecuali akan beriman kepada Isa sebelum kematiannya,"

dia berkata, "Sebelum kematian Isa bin Maryam." [Tafsir Ath-Thabari 6: 18].

Ibnu Katsir berkata, Ini adalah isnad yang shahih." [An-Nihayah Fil Fitan wal Malahim 10: 136. Atsar Ibnu Abbas ini juga dishahkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari 6: 492].

Selanjutnya, setelah mengemukakan berbagai pendapat mengenai makna ayat ini, Ibnu Jarir berkata, "Dan pendapat yang paling shahih ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa takwil ayat itu ialah tidak ada seorang pun dari ahli kitab kecuali akan beriman kepada Isa sebelum Isa meninggal dunia." [Tafsir Ath-Thabari 6: 21].

Dan beliau (Ibnu Jarir Ath-Thabari) meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-Hasan Al-Bishri bahwa beliau berkata, ".... Sebelum kematian Isa. Demi Allah, sesungguhnya beliau sekarang masih hidup di sisi Allah. Tetapi apabila beliau nanti telah turun, maka semua orang beriman kepada beliau." [Ibid, halaman 18].

Ibnu Katsir berkata, "Dan tidak diragukan lagi bahwa apa yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir inilah pendapat yang benar, karena ini merupakan maksud dari konteks ayat-ayat yang menetapkan batalnya pengakuan orang-orang Yahudi bahwa mereka telah membunuh Isa, menyalibnya, dan menyerahkannya kepada orang-orang Nasrani yang bodoh dan tidak mengerti masalah itu. Lalu Allah memberitahukan bahwa perkaranya tidak demikian, tetapi ada seseorang yang diserupakan oleh Allah dengan Isa, lantas mereka bunuh orang yang diserupakan itu sedang mereka tidak mengetahui dengan jelas tentang hal itu. Kemudian Allah mengangkat Isa kepada-Nya, dan dia (Isa) masih hidup dan kelak akan turun ke bumi sebelum datangnya hari kiamat sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits mutawatir." [Tafsir Ibnu Katsir 2: 405].

Ibnu Katsir juga menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas dan lainnya bahwa Ibnu Abbas mengulangi dhamir pada lafal qobla mautihi untuk ahli kitab. Hal ini, kalau shahih riwayatnya, tidaklah menafikan pendapat pertama. Tetapi yang sudah jelas shahih makna dan isnadnya ialah yang telah kami sebutkan terdahulu. [An-Nihayah Fil Fitan wal-Malahim 1: 137].



[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]

SIFAT TURUNNYA ISA 'ALAIHISSALAM

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA

Setelah Dajjal muncul dan melakukan perusakan di muka bumi, Allah mengutus Isa 'Alaihissalam untuk turun ke bumi, dan turunnya adalah di menara putih di timur Damsyiq, Syiria. Beliau mengenakan dua buah pakaian yang dicelup dengan waras dan za'faran ; dan beliau taruh kedua telapak tangan beliau di sayap dua orang Malaikat. Bila beliau menundukkan kepala, meneteslah/menurunlah rambutnya, dan bila diangkat kelihatan landai seperti mutiara. Dan tidak ada orang kafir yang mencium nafasnya kecuali akan mati, dan nafasnya itu sejauh pandangan matanya.

Beliau akan turun pada kelompok yang diberi pertolongan oleh Allah yang berperang untuk menegakkan kebenaran dan bersatu-padu menghadapi Dajjal. Turunlah beliau pada waktu sedang diiqamati shalat, lantas beliau shalat di belakang pemimpin kelompok itu.

Ibnu Katsir berkata, "Inilah yang termasyhur mengenai tempat turunnya Isa, yaitu di menara putih bagian timur Damsyiq. Dan dalam beberapa kitab saya baca beliau turun di menara putih sebelah timur masjid Jami' Damsyiq, dan ini rupanya pendapat yang lebih terpelihara. Karena di Damsyiq tidak dikenal ada menara di bagian timur selain di sebelah Masjid Jami' Umawi di Damsyiq sebelah timur. Inilah pendapat yang lebih sesuai karena beliau turun ketika sedang dibacakan iqamat untuk shalat, lalu imam kaum Muslimin berkata kepada beliau, "Wahai Ruh Allah, majulah untuk mengimami shalat." Kemudian beliau menjawab, "Anda saja yang maju menjadi imam, karena iqamat tadi dibacakan untuk Anda." Dan dalam satu riwayat dikatakan bahwa Isa berkata, "Sebagian Anda merupakan amir (pemimpin) bagi sebagian yang lain, sebagai penghormatan dari Allah untuk umat ini." Shahih Muslim, Kitab Al-Imarn, Bab Bayanu Nuzuli Isa bin Maryam Hakiman bisyari 'ati Nabiyyina Muhammad saw 2: 193-194. [An-Nihayah Fil Fitan wal Malahim 1: 144-145 dengan tahqiq DR. Thaha Zaini]

Ibnu Katsir menyebutkan bahwa pada zamannya, tahun 741, kaum Muslimin merenovasi bangunan menara dengan batu putih yang biayanya diambilkan dari harta kaum Nashara yang telah membakar menara yang berada di daerah mereka. Hal ini barangkali merupakan petunjuk kenabian yang jelas di mana Allah menakdirkan pembangunan menara ini dengan harta kaum Nashara, agar Isa Ibnu Maryam turun di sana untuk membunuh babi, menghancurkan salib, dan tidak menerima jizyah dari mereka. Terhadap orang Nashara yang mau memeluk Islam diperlakukan dengan baik, dan yang tidak mau memeluk Islam dibunuh, demikian pula dengan orang-orang kafir yang lain. [An-Nihayah 1: 145]

Dalam hadits Nawwas bin Sam'an yang panjang yang membicarakan kemunculan Dajjal dan turunnya Isa 'alaihissalam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Ketika Allah telah mengutus al-Masih Ibnu Maryam, maka turunlah ia di menara putih di sebelah timur Damsyiq dengan mengenakan dua buah pakaian yang dicelup dengan waras dan za 'faran, dan kedua telapak tangannya diletakkannya di sayap dua Malaikat; bila ia menundukkan kepala maka menurunlah rambutnya, dan jika diangkatnya kelihatan landai seperti mutiara. Maka tidak ada orang kafirpun yang mencium nafasnya kecuali pasti meninggal dunia, padahal nafasnya itu sejauh mata memandang. Lalu Isa mencari Dajjal hingga menjumpainya di pintu Lodd, lantas dibunuhnya Dajjal. Kemudian Isa datang kepada suatu kaum yang telah dilindungi oleh Allah dari Dajjal, lalu Isa mengusap wajah mereka dan memberi tahu mereka tentang derajat mereka di surga." [Shahih Muslim, Kitab al-Fitan wa Asyrothis Sa 'ah, Bab DzikrAd-Dajjal 18: 67-68].


[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]

PARA ULAMA YANG MENYUSUN KITAB TENTANG AL-MAHDI

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA

Di samping adanya kitab-kitab hadits yang masyhur seperti Sunan Yang Empat (Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasai, dan Sunan Ibnu Majah), dan kitab-kitab Musnad seperti Musnad Ahmad, Musnad Al-Bazzar, Musnad Abi Ya'la, Musnad Al-Harits bin Abi Usamah, dan Mustadrak Al-Hakim, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Shahih Ibnu Khuzaimah, dan kitab-kitab lain yang menyebutkan hadits-hadits tentang Al-Mahdi [1], sebagian ulama juga telah menyusun secara tersendiri mengenai Al-Mahdi Al-Muntazhor ini dalam karya-karya mereka yang memuat sejumlah besar hadits tentang Al-Mahdi ini, antara lain:

[1]. Al-Hafizh Abu Bakar bin Abi Khaitsamah [2] menghimpun hadits-hadits tentang Al-Mahdi, sehagaimana dikutip oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya halaman 556 dari As-Suhaili.

[2]. As-Suyuthi menyusun satu bagian tersendiri yang diberi judul Al-'Arful Wardiy Fi Akhbaril Mahdi dalam Al-Hawi lil Fatawi.

[3]. Dalam kitabnya An-nihayah Fil Fitan wal Malahim juz 1 halaman 30, Ibnu Katsir mengatakan bahwa beliau telah menyusun sebuah kitab tersendiri mengenai Al-Mahdi.

[4]. Ali Al-Muttaqi Al-Hindi [3] memiliki sebuah risalah yang diberi judul Risalah Fi Sya 'nil Mahdi [Al-Isya'ah li Asyrathis Sa'ah halaman 121].

[5]. Ibnu Hajar Al-Makki [4] menyusun sebuah kitab yang diberi judul Al-Qaulul Mukhtashar Fi 'Alaamaatil Mahdil Mahdil Muntazhor. [Al-Isya'ah: 105; Lawami 'ul Anwar 2: 72] ; dan Risalah / Thesis Abdul ' Alim tentang Al-Mahdi halaman 43).

[6]. Al-Mulla Ali al-Qari [5] menyusun sebuah kitab yang diberi judul Al-Masyrabul Wardiy Fi Madzhabil Mahdi. [Al-Isya'ah: 113].

[7]. Mar'i bin Yusuf al-Hanbali [6] menyusun sebuah kitab berjudul Fawaidul Fikri Fi Zhuhuril Muntazhor. [Lawami'ul Anwar 2: 76; dan Al-ldza'aj: 147-148]

[8]. Asy-Syaukani juga menyusun sebuah kitab yang berjudul At-Taudhih Fi Tawaturi Maa Jaa-a Fil Mahdil Muntazhor wad-Dajjal wal-Masih. [Al-Idza'ah. 113].

[9]. Shiddiq Hasan berkata. "As-Sayyid Al-'Allamah Badrul Millah Al-Munir Mu-hammad bin Ismail Al-Amir Al-Yamani [7] telah mengumpulkan hadits-hadits yang menetapkan akan keluarnya Al-Mahdi, yang dia ini berasal dari keluarga Nabi Muhammad saw dan akan muncul pada akhir zaman." [Al-ldza'ah: 114].


Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]
_________
Foote Note
[1]. Periksa: Aqidah Ahlis Sunnah wal Atsar Fil Mahdil Muntazhor halaman 166-168, karya Syekh Abdul Muhsin Al-'Abbad. Dalam kitab tersebut beliau menyebutkan 36 buah kitab tentang Al-Mahdi dan sejumlah penyusunnya.
[2]. Beliau adalah Al-Hafizh Al-Kabir Abu Bakar Ahmad bin Ani Khaitsamah. Ayahnya adalah Zuhair bin Harb, seorang hafizh yang merupakan salah seorang guru Imam Muslim. Abu Bakar menimba ilmu dari Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma'in. Beliau juga menulis kitab At-Tarikh Al-Kabir. Mengenai kitab ini, Adz-Dzahabi berkata, "Saya tidak mengetahui kitab yang lebih banyak faedahnya daripada ini." Beliau wafat tahun 279 H.
[3]. Beliau adalah Ali bin Hisamuddin Al-Hindi, salah seorang yang memiliki perhatian besar terhadap hadits. Beliau berdomisili di dekat Makkah dan wafat di sana pada tahun 975 H. Semoga Allah merahmati beliau. Periksa: Syadzaraatudz-Dzahab 8: 370 dan Al-A'lam 4: 271).
[4]. Beliau adalah Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitsami, seorang ahli fiqih madzhab Syafi'i. Beliau memiliki banyak karangan. Beliau wafat di Makkah pada tahun 973 H. Dan ada yang mengatakan 984 H. Semoga Allah merahmati beliau. Periksa: Syadzaraatudz-Dzahab 8: 370 dan Al-A'lam 1: 234.
[5]. Beliau adalah Ali bin Sulthan Muhammad Nuruddin AI-Harawi, seorang ahli fiqih Madzhab Hanafi; berdomisili di Makkah dan wafat di sana pada tahun 1014 H. Semoga Allah merahmati beliau. Beliau memiliki banyak karya tulis. (Al-A'lam 5: 12).
[6]. Beliau adalah Mar'i bin Yusuf Al-Karami Al-Muqaddasi seorang ahli tarikh dan ahli sastra, juga termasuk pembesar fuqaha. Beliau memiliki karangan hingga 70 kitab; wafat di Kairo pada tahun 1033 H, semoga Allah merahmati beliau. Periksa Al-A'lam 7: 203.
[7]. Beliau adalah Muhammad bin Ismail bin Shalah bin Muhammad Al-Hasani Al-Kahlani Ash-Shan'ani, pengarang kitab Subulus Salam Syarah bulughul Maram. Beliau memiliki banyak karangan, dan wafat di Shan'a pada tahun 1182 H. Periksa: Al-A'lam 6: 38.

SEBAGIAN HADITS SHAHIH YANG BERHUBUNGAN DENGAN AL-MAHDI

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA

[1]. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Bagaimana keadaanmu jika Ibnu Maryam telah turun kepadamu dan imam kamu dari golonganmu?" [Shahih Bukhari, Kitab Ahaditsil Anbiya', Bab Nuzuli Isa bin Maryam 'alaihissalam 6: 491; Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, Bab Nuzuli Isa bin Maryam Hakiman 2: 193]

[2]. Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda:

"Artinya : Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tampil membela kebenaran hingga datangnya hari kiamat." Kemudian, sabda beliau selanjutnya, "akan turun Isa ibnu Maryam, lalu pemimpin mereka berkata, 'Marilah shalat mengimami kami. ' Lalu Isa menjawab, 'Tidak! Sesungguhnya sebagian kamu adalah pemimpin bagi sebagian yang lain, sebagai kehormatan dari Allah. '" [Shahih Muslim, Kitabul Iman, Bab Nuzuli Isa bin Maryam Alaihis sallam. Hakim 2: 193-194].

[3]. Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasullulah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Pada masa terakhir umatku akan ada khalifah yang membagi-bagikan harta dengan tiada terhitung. " Al-Juzairii - salah seorang perawi hadits ini berkata, “Saya bertanya kepada Abu Nadharah dan Abul 'Ala'. "Apakah Anda berdua berpendapat bahwa orang tersebut adalah Umar Abdul Aziz?” Mereka menjawab,”Tidak.”[Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrathis Sa'ah 18: 38-39. Dan diriwayatkan oleh al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah pada bab Al-Mahdi 15: 86-87 dengan tahqiq Syu'aib Al-Aznaut. Al-Baghawi berkata. "ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim."].

Hadits-hadits yang tersebut dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim ini menunjukan kepada dua hal:

Pertama.
Bahwa ketika Isa Ibnu Maryam 'Alaihis sallam turun dari langit, yang menjadi pemimpin untuk mengurus urusan kaum muslimin adalah salah seorang laki-laki di antara mereka.

Kedua.
Bahwa kehadiran pemimpin mereka untuk shalat mengimami mereka dan permintaannya kepada Isa ketika turun dari langit itu untuk menjadi imam shalat bersama mereka menunjukkan bahwa pemimpin tersebut adalah orang yang shalih dan mendapat serta menerapkan petunjuk Allah. Meskipun dalam hadits-hadits tersebut tidak disebutkan nama Al-Mahdi secara eksplisit melainkan hanya disebutkan sifat-sifatnya sebagai orang shalih yang mengimani kaum Muslimin pada waktu itu, namun banyak hadits dalam kitab-kitab Sunan dan Musnad serta lain-lainnya yang menafsirkan hadits-hadits yang tersebut dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim itu yang menunjukkan bahwa lelaki yang shalih itu bernama Muhammad bin Abdullah dan disebut juga Al-Mahdi, dan sunnah itu saling menafsirkan antara sebagian terhadap sebagian yang lain. Dan di antara hadits yang menunjukkan hal itu ialah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah dalam Musnadnya dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Isa bin Maryam akan turun, lalu Amir (pemimpin) mereka, Al-Mahdi, berkata. . . "

Hadits ini menunjukkan bahwa pemimpin yang tersebut dalam Shahih Muslim yang meminta kepada Isa Ibnu Maryam untuk mengimami shalat itu bernama Al-Mahdi.

Syaikh Shidiq Hasan mengemukakan sejumlah besar hadits tentang Al-Mahdi di dalam kitabnya Al-idza 'ah dan menempatkan hadits Jabir yang diriwayatkan Imam Muslim ini di bagian terakhir. Selanjutnya Uqbah berkata, "Di dalam hadits ini tidak terdapat sebutan Al-Mahdi secara eksplisit, tetapi hadits ini dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya tak dapat diartikan lain kecuali Al-Mahdi Al-Muntazhor (yang ditunggu kedatangannya) sebagaimana ditunjuki oleh hadits-hadits dan atsar-atsar terdahulu yang banyak jumlahnya." [Aqidah Ahlis Sunnah wa Atsar fil Mahdil Muntazhor. 175-176 oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-'Abbad, Dosen Al-Jami'ah Al-Islamiyyah Madinah Al-Munawarroh, cetakan pertama tahun 1402 H, terbitan Mathabi'ur Rasyid, Madinah. Dan periksa pula Al-Idza'ah halaman 144]

[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]

HADITS "TIDAK ADA AL-MAHDI KECUALI ISA IBNU MARYAM" DAN JAWABANNYA

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA

Sebagian orang yang mengingkari hadits-hadils Al-Mahdi mengemukakan alasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

"Artinya : Tidaklah bertambah urusan melainkan semakin sulit, dunia semakin rusak. manusia semakin bakhil; dan tidaklah datang kiamat melainkan atas manusia yang paling jelek. dan tidak ada Al-Mahdi kecuali Isa bin Maryam. " [Sunan Ibnu Majah 2: 1341.dan Mustadrak Al-Hakim 4: 441-442]

Alasan mereka ini dijawab bahwa hadits ini adalah dha'if karena dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Muhammad bin Khalid Al-Jundi. Mengenai Muhammad ini Adz-Dzahabi mengatakan “Al-Azdi berkata mungkar haditsnya.” dan Abu Abdillah Al-hakim berkkata, ”majhul.” Dan saya sendiri –Adz-Dzahabi- mengatakan bahwa haditsnya yang berbunyi Laa Mahdiyya Illaa Isa 1bnu maryam (Tidak ada Mahdi kecuali Isa Ibnu Maryam) merupakan khabar mungkar yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah." [Mizanul I'tidal 3: 535].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Hadits ini dha'if Abu Muhammad bin Al-walid Al-Baghdadi dan lain-lainnya berpegang pada hadits ini, padahal dia tidak dapat dijadikan pegangan. Dan hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Yunus dari Asy- Syafi'i, dan Asy-Syafi'i meriwayatkan dari seorang laki-laki penduduk Yaman yang bernama Muhammad bin Khalid Al-Jundi, yang dia ini tidak dapat dijadikan hujjah, dan hadits ini tidak terdapat di dalam Musnad Asy-Syafi'i. Dan ada yang mengatakan bahwa Asy-Syafi'i tidak mendengarnya dari Al-Jundi dan Yunus tidak mendengarnya dari Asy-Syafi'i." [Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah 4: 211]

Mengenai Muhammad bin Khalid Al-Jundi ini Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Dia rnajhul (tidak dikenal)." [Taqribut Tahdzib 2: 157]

Lain lagi dengan Al-Hafizh Ibnu Katsir, mengenai masalah ini beliau berkata, "Sesungguhnya ini adalah hadits yang terkenal dengan perawi Muhammad bin Khalid Al-Jundi Ash-Shan'ani Al-Muadzdzin, guru Imam Syafi'i, yang banyak orang meriwayatkan hadits darinya. Dia tidak majhul sebagaimana anggapan Al-Hakim, bahkan diriwayatkan dari Ibnu Ma'in bahwa beliau menganggapnya tsiqat (kepercayaan). Tetapi sebagian perawi ada yang meriwayatkan hadits darinya dari Aban bin Abi 'Iyasy dari Al-Hasan Al-Bishri secara mursal. Syekh (guru) kami menyebutkan di dalam At-Tahdzib [1] dari sebagian mereka bahwa dia (Muhammad bin Al-Khalid Al-Jundi) bermimpi melihat Asy-Syafi'i, dia berkata, "Yunus bin Abdul A'la Ash-Shadafi berdusta terhadap saya, ini bukan hadits saya." Saya mengatakan, "Yunus bin Abdul A'la Ash-Shadafi termasuk dalam jajaran perawi kepercayaan, dan dia tidak tercela hanya semata-mata mimpi. Zhahir hadits ini sepintas kelihatan bertentangan dengan hadits-hadits yang telah kami kemukakan dalam menetapkan adanya Al-Mahdi yang selain Isa Ibnu Maryam. Sebelum turunnya Isa, maka adanya Mahdi yang bukan Isa bin Maryam adalah sangat jelas Wallahu a’lam-. Adapun setelah turunnya Isa, kalau direnungkan, maka hal ini tidak saling meniadakan; bahkan yang dimaksud dengannya bahwa Al-Mahdi yang benar-benar Al-Mahdi ialah Isa bin Maryam. Dan hal ini tidak menutup kemungkinan adanya Mahdi yang lain. Wallahu a'lam." [An-Nihayah fil Fitan wal Malahim 1: 32 dengan tahqiq DR. Thaha Zaini]

Abu Abdillah Al-Qurthubi berkata, "Boleh jadi yang dimaksud dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam "Laa Mahdiyya Illaa Isaa" (Tidak Mahdi selain Isa) ialah "Tidak ada Mahdi yang sempurna dan makshum kecuali Isa." Dengan demikian maka hadits-hadits tersebut dapat dikompromikan dan hilanglah kesan pertentangannya." [2]

Saya berkata, "Seandainya hadits ini ditetapkan shahih, maka ia tidak dapat rnengesampingkan hadits-hadits mengenal hadits-hadits mengenai Al-Mahdi yang ba-nyak jumlahnya dan lebih shahih isnadnya daripada hadits ini yang masih diperselisih-kan oleh para ulama mengenai shahih dan tidaknya. Wallahu a'lam."


[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]
_________
Foote Note
[1]. Tahdzibul Kamal Fi Asmaair Rijal 3: 193-194 karya Abul Hajaj Al-Maziy.
[2]. At-Tadzkiroh Fi Ahwalil Mautaa wa Unuuril Akhirah, halaman 617.

ORANG-ORANG YANG MENGINGKARI HADITS AL-MAHDI DAN JAWABANNYA

Oleh

Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA

Telah kami sebutkan di muka sejumlah hadits shahih yang menunjukkan secara qath'i akan munculnya Al-Mahdi pada akhir zaman sebagai juru damai dan pemimpin yang adil, dan telah kami kutip pula sejumlah perkataan ulama yang menetapkan ke-mutawatiran hadits-hadits tentang Al-Mahdi, serta telah kami sebutkan pula beberapa buah kitab yang disusun para ulama yang membicarakan masalah Al-Mahdi secara khusus.

Tetapi sayang masih ada sejumlah penulis [1] pada zaman ini yang mengingkari kedatangan Al-Mahdi dan mengatakan bahwa hadits-hadits tentang Al-Mahdi itu tanaqudh (bertentangan satu sama lain) dan batil, dan Al-Mahdi itu hanyalah cerita fiksi ciptaan kaum Syi'ah kemudian dimasukkan dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah.

Sebagian penulis itu terpengaruh oleh pendha'ifan sejarawan Ibnu Khaldun[2] terhadap hadits-hadits Al-Mahdi, padahal Ibnu Khaldun sendiri tidak termasuk pakar dalam lapangan ini yang layak diterima pengesahan dan pendha'ifannya. Dalam hal ini, setelah mengemukakan banyak hadits mengenai Al-Mahdi dan mencela banyak sanadnya, beliau berkata, "Inilah sejumlah hadits yang diriwayatkan para Imam mengenai Al-Mahdi dan kedatangannya pada akhir zaman; sedangkan hadits-hadits itu sebagaimana yang saya ketahui tidak lepas dari kritik kecuali hanya sedikit atau sangat sedikit." [Muqaddimah Tarikh Ibnu Khaldun 1: 574]

Perkataan Ibnu Khaldun di atas menunjukkan bahwa masih ada beberapa hadits yang selamat dari kritiknya. Maka kami katakan bahwa seandainya ada sebuah hadits saja yang shahih, niscaya hal itu sudah cukup menjadi hujjah mengenai Al-Mahdi ini. Nah betapa lagi dengan hadits-haditsnya yang shahih dan mutawatir ini?

Dalam menyanggah pendapat Ibnu Khaldun, Syekh Ahmad Syakir mengatakan. "Ibnu Khaldun tidak memahami dengan baik istilah ahli hadits: "Al-Jarhu maqadamu ‘ala at-Ta'diili." (Celaan itu didahulukan daripada pujian).

Kalau dia mau menganalisis dan memahami dengan baik istilah tersebut niscaya dia tidak akan berkata begitu. Tetapi boleh jadi dia telah membaca dan memahaminya. Namun dia ingin melemahkan hadits-hadits tentang Al-Mahdi karena visi politik pada waktu itu." [Ta'liq Ahmad Syakir atas Musnad Imam Ahmad 5: 197-198]

Kemudian beliau menjelaskan bahwa apa yang ditulis Ibnu Khaldun dalam pasal ini tentang al-Mahdi; penuh dengan kesalahan mengenai nama-nama perawinya dan pengutipan catat-cacatnya. Dan beliau beralasan bahwa hal itu mungkin disebabkan dari sikap orang-orang yang me nasakh dan kelalaian para pen tashhih. Wallahu a 'lam.

Untuk meringkas pembahasan, baiklah kami kutipkan di sini apa yang dikatakan Syekh Muhammad Rasyid Ridha mengenai Al-Mahdi, sebagai contoh bagi orang-orang yang mengingkari hadits-hadits tentang Al-Mahdi. Beliau berkata:

"Adapun pertentangan di antara hadits-hadits Al-Mahdi sangat kuat dan jelas, mengkompromikan riwayat-riwayat tersebut sangat sulit, orang-orang yang menging-karinya sangat banyak, dan syubhatnya sangat jelas. Karena itu Imam Syaikhani (Bu-khari dan Muslim) tidak meriwayatkan sama sekali hadits Al-Mahdi ini dalam kitab Shahih beliau, padahal kerusakan dan fitnah banyak tersebar di kalangan bangsa-bangsa yang beragama Islam." [Tafsir Al-Manar 9: 499]

Kemudian beliau mengemukakan beberapa contoh pertentangan hadits-hadits Al-Mahdi tersebut dan kesemrawutannya -menurut anggapan beliau- dengan mengatakan. "Sesungguhnya riwayat yang masyhur mengenai namanya dan nama ayahnya menurut Ahlus Sunnah bahwa dia bernama Muhammad bin Abdullah, dan dalam satu riwayat dikatakan Ahmad bin Abdullah. Sedangkan golongan Syi'ah Imamiyah sepakat bahwa dia adalah Muhammad bin Al-Hasan Al-'Asy'ari, imam kesebelas dan keduabelas dari imam-imam mereka yang makshum. dan mereka memberinya gelar Al-hujjah. Al-Qaaim, dan Al-Muntazhor.... Sedangkan kelompok Al-Kisaniyyah [3] beranggapan bahwa Al-Mahdi adalah Muhammad bin Al-Hanafiyah dan dia hidup dan berdiam, di gunung Dhawi...." [Tafsir Al-Manar 9: 501]

Selanjutnya beliau mengatakan. "Yang masyhur mengenai nasabnya, bahwa dia adalah 'Alawi Fatimi (keturunan Ali dari jurusan Fatimah) dari putra Al-Hasan. sedangkan dalam beberapa riwayat dikatakan dari putra Al-Husain. dan ini sesuai pendapat Syi'ah Imamiyah. Di samping itu terdapat beberapa hadits yang menerangkan. bahwa dia dari putra Abbas." [Tafsir Al-Manar 9: 502]

Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa banyak cerita Israilliyat yang dimasukkan dalam kitab-kitab hadits. Dan para fanatis Alawiyyah, Abbasiyyah. dan Farisiyyah mempunyai peranan yang sangat besar dalam memalsukan hadits-hadits Al-Mahdi. Masing-masing golongan mendakwakan bahwa Al-Mahdi itu dari kelompok mereka. Orang-orang Yahudi dan orang-orang Persi mempopulerkan riwayat-riwayat ini dengan maksud meninabobokan kaum muslimin sehingga mereka bersikap pasrah tanpa mau berjuang karena menunggu munculnya Al-Mahdi untuk menegakkan Dinul Islam ini dan menyebarkan keadilan di jagad raya. [Tafsir Al-Manar 9: 501-50I]

Apa yang dikemukakan Syekh Muhammad Rasyid Ridha ini dapat dijawab de-mikian: Bahwa riwayat-riwayat tentang kedatangan Al-Mahdi itu adalah shahih dan mutawatir maknawi sebagaimana telah kami sebutkan sejumlah hadits mengenai Al-mahdi ini serta nash-nash para ulama tentang keshahihan dan kemutawatirannya.

Sedangkan alasan bahwa Imam Syaikhani (Bukhari dan Muslim) tidak meriwa-yatkan hadits-hadits Al-Mahdi, maka kami katakan bahwa seluruh sunnah tidak hanya terbukukan dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim saja, bahkan banyak sekali hadits shahih yang tidak tercantum dalam kedua kitab tersebut tetapi tercantum dalam kitab-kitab Sunan, Musnad, Mu'jam, dan lain-lain kitab hadits.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Imam Bukhari dan Muslim tidak harus me-riwayatkan semua hadits shahih, tetapi kedua beliau itu tidak juga menshahihkan beberapa hadits yang tidak terdapat dalam kedua kitab beliau, sebagaimana dikutip oleh Imam Tirmidzi dan lainnya dari Imam Bukhari mengenai penshahihan beliau terhadap beberapa hadits yang tidak terdapat dalam kitab beliau, melainkan dalam kitab-kitab Sunan dan lainnya." [Al-Baa 'itsul Hatsiits Syarhu Itkhtishori Ulumil Hadits karya Ibnu Katsir, halaman 25, oleh Ahmad Syakir, terbitan Darul Kutubil Ilmiyyah]

Adapun mengenai keberadaan hadits-hadits tersebut banyak kemasukan dongeng-dongeng Israiliyat dan sebagian lagi merupakan hasil pemalsuan golongan Syi'ah dan para fanatis golongan lain, maka anggapan seperti ini adalah benar. Tetapi, para Imam hadits telah menjelaskan mana yang shahih dan mana yang tidak. Dan mereka juga telah menyusun beberapa kitab untuk mengumpulkan hadits-hadits maudhu' dan menjelaskan hadits-hadits yang dha'if. Mereka juga telah membuat kaidah-kaidah yang cermat dalam menentukan kriteria dan identitas para perawi, sehingga tidak ada seorangpun ahli bid'ah atau pendusta melainkan dijelaskan keadaannya. Maka Allah telah memelihara sunnah dari permainan orang-orang yang suka bermain-main dan penyelewengan orang yang suka berlebihan serta dari ulah pembuat kebatilan. Dan ini merupakan salah satu cara pemeliharaan Allah terhadap Din Islam ini.
Kalau ada riwayat-riwayat Al-Mahdi yang maudhu' yang dibuat oleh orang-orang yang panatik terhadap golongan, maka hal itu tidak menjadikan kita harus meninggalkan riwayat-riwayat yang shahih. Dan dalam riwayat-riwayat yang shahih ini disebutkan sifat-sifatnya, namanya, dan nama ayahnya.
Apabila ada segolongan manusia yang menetapkan dan menganggap seseorang sebagai Al-Mahdi tanpa didukung oleh identitasnya sebagaimana yang tersebut dalam hadits-hadits shahih. maka hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk mengingkari akan datangnya Al-Mahdi sebagaimana disebutkan dalam hadits. Selanjutnya, Al-Mahdi yang sebenarnya tidak memerlukan adanya orang yang memproklamirkannya. Dia akan dimunculkan oleh Allah ke tengah-tengah manusia jika Allah sudah menghendakinya, dan orang-orang pun akan mengenalnya dengan tanda-tandanya. Adapun anggapan bahwa hadits-hadits Al-Mahdi itu kontradiktif, maka anggapan ini muncul disebabkan adanya riwayat-riwayat yang tidak shahih; sedangkan hadits-hadits yang shahih maka tidak ada pertentangan sama sekali. Maka kepunyaan Allah-lah segala puji dan sanjungan.

Dan lagi, memang perselisihan antara golongan Syi'ah dan Ahlus Sunnah tak terbatas, sedangkan hukum yang adil adalah Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih. Adapun khurafat dan kebatilan-kebatilan Syi'ah tidak boleh dijadikan standard unluk menolak hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Al-Allamah Ibnul Qayyim berkata mengenai Al-Mahdi demikian, "Golongan Rafidhah Imamiyah memiliki pendapat keempat bahwa Al-Mahdi adalah Muhammad bin Al-Hasan Al-Askari [4] Al-Muntazhor dari anak Husain bin Ali, bukan dari anak Hasan, yang datang ke pelbagai negara, tetapi tidak terlihat oleh mata, yang mewariskan tongkat dan menutup tanah lapang. la telah masuk ke dalam gua di bawah tanah Samira' sebagai anak kecil dalam waktu lebih dari lima ratus tahun. Setelah itu tidak ada lagi mata yang pernah memandangnya dan tidak ada pula kabar beritanya, dan mereka menantinya setiap hari. Mereka berhenti dengan kudanya di depan pintu gua sambil berteriak-teriak memanggilnya agar keluar dengan mengatakan, "Keluarlah, wahai Tuan kami! Keluarlah, wahai Tuan kami!" Kemudian mereka kembali dengan tangan hampa. Begitulah kelakuan mereka! Dan sungguh baik orang yang mengatakan:

" Mana mungkin gua dalam tanah
akan melahirkan orang
yang kamu panggil dengan kebodohan.
Bilakah waktunya ia kan datang?
Maka karena akalmu yang rusak,
kamu memuat yang ketiga setelah anqa* dan ghilan**
Maka mereka menjadi cercaan bagi Bani Adam dan menjadi bahan tertawaan setiap orang yang berakal sehat." [Al-Manarul Munif: 152-153]

Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]
_________
Foote Note
[1]. Yang paling menonjol dalam hal ini antara lain: Syekh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar 9: 499-504, Muhammad Farid Wajdi dalam Dairatu Ma'arifil Qamil 'Isyrin 10: 480, Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuhal Islam 3: 237-241, Abdur Rahman Muhammad Utsman dalam Catatan kakinya terhadap Tuhfatul Ahwadzi 6: 474, Muhammad Abdullah 'Anan dalam kitabnya Mawaqif Hasimah Fi Tarikhil Islam: 357-364, Muhammad Fahim Abu Ubaiyyah dalam ta'liqnya atas an-Nihayah Fil Fitan wal Malahim karya Ibnu Katsir 1: 37, Abdul Karim Al-Khathib dalam kitabnya Al-Masih Fil Qur'an wat Taurat wal Injil: 539, dan terakhir adalah Syekh Abdullah bin Zaid Alu Mahmud dalam kitabnya Laa Mahdiy Muntazhor Ba 'dar Rasul saw. Khairul Basyar."
Pendapat beliau-beliau itu disanggah oleh Fadhilatus Syekh Abdul Muhsin bin Muhammad Al-'Abbad dalam kitab beliau yang sangat berharga yang berjudul Ar’Radd 'ala Man-Kadzdzaba bil-Ahaadiitshish-Shahihah al-waridah fil Mahdi". khususnya sanggahan terhadap risalah Ibnu Mahmud yang di dalamnya terdapat pendapat yang jauh dari kebenaran. Semoga Allah membalas pembelaan beliau terhadap Islam dan kaum Muslimin dengan balasan yang sebaik-baiknya.
[2]. Beliau adalah Abdur Rahman bin Muhammad bin Muhammad bin Khaldun Abu Zaid, "Waliyyuddin Al-Hadhrami Al-Asybili yang termasyhur dengan kitabnya Al- 'Ibrar wa Diwanul Mubtada' wal Khabar Fi Tarikhil Arab wa 'Ajam wal Barbar yang terdiri atas tujuh jilid yang diawali dengan Al-Muqaddimah. Beliau juga memiliki karya-karya tulis lain termasuk yang berbentuk sya'ir (puisi).
Beliau lahir dan dibesarkan di Tunis, kemudian pergi ke Mesir dan menjabat Hakim madzhab Maliki, dan wafat di Kairo pada tahun 808 H. Semoga Allah merahmati beliau. Periksa: Syadzaraatudz-Dzahabl: Id-11 dznAl-A'lam 3: 330.
[3]. Al-Kisaniyyah adalah salah satu kelompok Rafidhoh. Mereka adalah pengikut Al-Muhtar bin Abi 'Ubaid Ats-Tsaqafi Al-Kadzdzab. Dan mereka dinisbatkan kepada Kisan, mantan budak Ali ra. Dan ada yang mengatakan bahwa Kisan adalah gelar bagi Muhammad bin Al-Hanafiyah. Periksa: Al-Farqu Bainal Firoq, halaman 38, dengan tahqiq Syekh Muhamma Muhjiddin Abdul Hamid.
[4]. la dilahirkan pada tahun 256 H dan wafat pada tahun 2754 H. Menurut pendapat yang mengatakan bahwa ia pernah ada. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ia tidak pernah ada. Periksa: Minhajus Sunnah 2: 131, dan Al-A'lam 6: 80.

*). Binatang yang berkepala dan bersayap seperti garuda dan berbadan singa. (pen).
**) Hantu. (pen).

DALIL-DALIL AS-SUNNAH YANG MENUNJUKKAN AKAN KEMUNCULANNYA

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA

Banyak hadits shahih yang menunjukkan akan munculnya Al-Mahdi ini. Di antaranya ada hadits-hadits yang secara eksplisit menyebutkan Al-Mahdi dan ada pula yang hanya menyebut sifat-sifat atau identifikasinya saja. Di sini akan kami sebutkan beberapa hadits saja yang kami pandang sudah cukup untuk menunjukkan akan munculnya Al-Mahdi pada akhir zaman yang merupakan salah satu tanda sudah dekatnya hari kiamat.

[1]. Dari Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Pada masa akhir umatku akan muncul Al-Mahdi. Pada waktu itu Allah me-nurunkan banyak hujan, bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberikan banyak harta (penghasilan), banyak ternak, umat menjadi mulia, dan dia hidup selama tujuh atau delapan tahun." [Mustadrak Al-Hakim 4: 557-558, dan ia berkata, "Ini adalah hadits yang shahih isnadnya, tetapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya." Dan Adz-Dzahabi menyetujui pendapat Al-Hakim ini. Al-Albani berkata, "Ini adalah sanad yang shahih yang perawi-perawinya terpecaya.” Silsilatul-Ahaditsish-Shalihah 2:336, hadits no. 711. Dan periksa risalah (Thesis) Abdul Alim” Ahaditsul Mahdi Fi Mizanil-Jarhi wat-Ta’dil” halaman 127-128]

[2]. Juga diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Aku sampaikan kabar gembira kepada kalian dengan datangnya Al-Mahdi yang akan diutus (ke tengah-tengah manusia) ketika manusia sedang dilanda perselisihan dan kegoncangan-kegoncangan, dia akan memenuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnnya bumi dipenuhi dengan penganiayaan dan kezhaliman. Seluruh penduduk langit dan bumi menyukainya, dan dia akan membagi-bagikan kekayaan secara tepat (merata)." Lalu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, "Apakah yang dimaksud dengan shihah (tepat) ?" Beliau menjawab, "Merata di antara manusia." Dan selanjutnya beliau bersabda, "Dan Allah akan memenuhi hati umat Muhammad saw dengan kekayaan (kepuasan), dan meratakan keadilan kepada mereka seraya memerintahkan seorang penyeru untuk menyerukan: 'Siapakah yang membutuhkan harta? Maka tidak ada seorang pun yang berdiri kecuali satu, lalu Al-Mahdi berkata, "Datanglah kepada bendahara dan katakan kepadanya, 'Sesungguhnya Al-Mahdi menyuruhmu memberi uang. 'Kemudian bendahara berkata, 'Ambillah sedikit'' Sehingga setelah dibawanya ke kamarnya, dia menyesal seraya berkata, 'Saya adalah umat Muhammad yang hatinya paling rakus. atau saya tidak mampu mencapai apa yang mereka capai' Lalu ia mengembalikan uang (harta) tersebut, tetapi ditolak seraya dikatakan kepadanya, 'Kami tidak mengambil kembali apa yang telah kami berikan.' Begitulah kondisinya waktu itu yang berlangsung selama tujuh, delapan, atau sembilan tahun. Kemudian tidak ada kebaikan lagi dalam kehidupan sesudah itu. " [Musnad Ahmad 3: 37. Al-Haitsami berkata, "Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan lainnya secara ringkas, dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan berbagai sanad, juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan ringkas dan perawi-perawinya terpecaya.” Majma’uz Zawaid 7: 313:314. Dan periksalah "Aqidatu ahlis-Sunnah wal-Atsar fi Al-Mahdi Al-Muntazhar" halaman 177 karya Syekh Abdul Muhsin Al-'Abbad)].

Hadits ini menunjukkan bahwa setelah kematian Al-Mahdi akan muncul keburukan dan muncul fitnah-fitnah yang besar.

[3]. Dari Ali Radhiyallahu 'anhu. ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Al-Mahdi itu dari golongan kami, ahli bait. Allah memperbaikinya dalam satu malam. " [Musnad Ahmad 2: 58 hadits nomor 645 dengan tahqiq Ahmad Syakir yang mengatakan. "Isnadnya shahih." Dan Sunan Ibnu Majah 2:1367. Hadits ini juga dishahkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir 6: 22 hadits nomor 6611].

Ibnu Katsir berkata, "Allah menerima taubatnya dan memberinya taufiq, memberinya ilham dan bimbingan setelah sebelumnya tidak demikian." [An-Nihayah fil-Fitan wal-Malahim 1: 29) dengan tahqiq DR. Thaha Zaini]'

[4]. Dari Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Al-Mahdi itu dari keturunanku, lebar dahinya dan mancung hidungnya. la memenuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya bumi dipenuhi dengan kezhaliman dan penganiayaan.. la berkuasa selama tujuh tahun." [Sunan Abu Daud, Kitab Al-Mahdi 11: 375 hadits nomor 4265. Mustadrak Al-Hakim 4: 557 dan dia berkata, "Ini adalah hadits shahih menurut syarat Muslim, tetapi beliau berdua (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya." Adz-Dzahabi berkata. "lmran, salah seorang perawinya, adalah dha'if dan Muslim tidak meriwayatkan haditsnya." Dan mengenai sanad Abi Daud, Al-Mundziri berkata, "Di dalam sanadnya terdapat Imran Al-Qaththan, yaitu Abul 'Awwam Imran bin Dawur Al-Qaththan Al-Bishri, Al-Bukhari menjadikan haditsnya sebagai syahid. dan dia dianggap kepercayaan oleh Affan bin Muslim dan Yahya bin Sa'id Al-Qaththan memujinya dengan baik. Tetapi dia dilemahkan oleh Yahya bin Ma'in dan Nasa'i." (Aunul Ma'bud 11: 37). Adz-Dzahabi berkata dalam Mizanul I'tidal, "Ahmad berkata, 'Saya berharap dia itu baik haditsnya.' Abu Daud berkata, 'Dha'if.' (mizanul I'tidal 3: 26). Ibnu Hajar berkata mengenai Imran, "Dia itu jujur tetapi tertuduh berfaham Khawarij. " (Taqribut-Tahdzib 2: 83). Dan Ibnul Qayyim mengomentari sanadnya Abu Daud demikian. "Jayyid (bagus). " (Al-Manarul Munif: 144 dengan tahqiq Syeh Abdul Fattah Abu Ghadah). Al-Albani berkata, "Isnadnya hassan. " (Shahih Al-Jami'ush Shaghir 6: 22-23 hadits nomor 6612)].

[5]. Dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, ia berkata : saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Al –Mahdi itu keturunanku, dari anak cucu Fatimah.” [Sunan Abi Daud : 373; Sunan Ibnu Majah 2: 1368. Al-Albani berkata dalam Shahih Al-Jami’ush Shaghir 6: 22 nomor 6610. "Shahih." Dan periksalah Risalah / Thesis Abdul’Alim tentang "Al-Mahdi" halaman 160].

[6]. Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Isa bin Maryam akan turun, lalu pemimpin mereka, Al-Mahdi, berkata. 'Marilah shalat bersama kami! ’Isa menjawab, Tidak! Sesungguhnya sebagian mereka menjadi amir (pemimpin) bagi sebagian yang lain sebagai penghormatan dari Allah kepada umat ini. '" [Hadits Riwayat Al-Harits bin Abu Usamah dalam musnadnya seperti disebutkan dalam Al-Manarul Munif karya Ibnul Qayyim halaman 147-148, dan diriwayatkan dalam kitab Al-Hawi fi Al-Fatawa karya As-Suyuthi 2: 64. Ibnul Qayyim berkata, "Hadits ini isnadnya jayyid (bagus). " Dan dishahkan oleh Abdul 'Alim dalam Risalahnya tentang Al-Mahdi halaman 144].

[7]. Dari Abi Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah sShallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Dari antara keturunan kami akan ada orang yang Isa Ibnu Maryam melakukan shalat di belakangnya. " [Riwayat Abu Nu’aim dalam Akhbaril Mahdi sebagaimana dikatakan oleh As-Suyuthi dalam Al-Hawi 2: 64, dan dia memberi tanda dha'if, demikian pula Al-Munawi dalam Faidhul Qadir 6: 17. Al-Albani berkata, Shahih. Periksa: Shahih Al-Jami’ush Shaghir 5: 219 hadits nomor 5796. Abdul 'Alim mengatakan di dalam risalah nya, isnadnya hasan karena syahid-syahidnya." Periksa Risalah/Thesis Abdul 'Alim halaman 241].

[8]. Dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu. ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Tidaklah dunia akan lenyap sehingga negeri Arab dikuasai oleh seorang laki-laki dari ahli baitku (keluarga rumahku) yang namanya sama dengan namaku.’’ [Musnad Ahmad 5: 199 hadits nomor 3573 dengan tahqiq Ahmad Syakir, dia berkata,”Isnadnya shahih.”Dan Tirmidzi 6:485, dan dia berkata, "Ini adalah hadist hasan shahih. '' Dan Sunan Abu Daud 11: 371]

Dan dalam riwayat disebutkan dengan lafal:

"Namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku. " [Sunan Abi Daud 11: 370. Al-Albani berkata, "Shahih. " (Shahih Al-Jami'ush Shaghir 5: 70-71, hadits nomor 5180). Dan periksa pula Risalah Abdul 'Alim tentang al-Mahdi halaman 202]
.

[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]

AL-MAHDI, NAMANYA SIFAT-SIFATNYA DAN TEMPAT KELUARNYA

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA

AL-MAHDI
Pada akhir zaman akan keluar seorang laki-laki dari golongan Ahlul-Bait (keturunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan Allah mengokohkan Dinnul Islam dengannya pada saat itu. Dia berkuasa selama tujuh tahun. Pada waktu itu dia memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kelaliman dan kezhaliman. Pada masanya umat manusia merasakan nikmat yang belum pernah dirasakan sebelumnya; bumi rnengeluarkan tumbuh-tumbuhan, langit menurunkan hujan, dan memberikan penghasilan (kekayaan) yang tak terhitung banyaknya.

lbnu Katsir rahimahullah berkata, "Pada waktu itu banyak buah-buahan, tanam-tanaman subur, harta melimpah, kekuasaan berjalan dengan baik, agama berdiri tegak, permusuhan sirna. dan kebaikan bersemarak." [An-Nihayah Fil-Fitan wal-Ma-lahim 1:31 dengan tahqiq DR. Thaha Zaini]


NAMANYA DAN SIFAT-SIFATNYA
laki-laki ini namanya seperti nama Rasulullah saw, dan nama ayahnya seperti nama ayah Rasulullah saw. Maka dia bernama Muhammad atau Ahmad bin Abdullah. Dia berasal dari keturunan Fatimah binti Rasulullah Saw, dari anak cucu Hasan bin Ali Radhiyallahu 'anhu

Ibnu Katsir berkata tentang Al-Mahdi, "Dia bernama Muhammad bin Abdullah Al-Alawi Al-Fathimi al-Hasani radhiyallahu 'anhu." [Ibid, halamann 29].

Dan sifat-sifat tubuhnya antara lain mukanya lebar dan hidungnya mancung.

TEMPAT KELUARNYA
Al-Mahdi akan muncul dari arah (kawasan) timur. Dalam sebuah hadits dari Tsauban ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:


"Akan berperang tiga orang di sisi perbendaharaanmu. Mereka semua adalah putera khalifah. Tetapi tak seorang pun di antara mereka yang berhasil menguasainya. Kemudian muncullah bendera-bendera hitam dari arah timur, lantas mereka membunuh kamu dengan suatu pembunuhan yang belum pernah dialami oleh kaum sebelummu. " Kemudian beliau Saw menyebutkan sesuatu yang aku tidak hafal, lalu bersabda: "Maka jika kamu melihatnya, berbai'atlah walaupun dengan merangkak di atas salju, karena dia adalah khalifah Allah “Al-Mahdi”. "[1]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Yang dimaksud dengan perbendaharaan didalam hadits ini ialah perbendaharaan Ka'bah. Akan ada tiga orang putera khalifah (ia berperang di sisinya untuk memperebutkannya hingga datangnya akhir zaman, lalu keluarlah Al-Mahdi yang akan muncul dari negeri Timur, bukan dari dalam bangunan di bawah tanah Samira seperti anggapan orang-orang Rafidhah yang jahil bahwa Al-.Mahdi sekarang berada di sana dan mereka menanti keluarnya pada akhir zaman. Anggapan semacam ini merupakan igauan yang hina dari syetan, karena tidak ada dalil dan keterangannya sama sekali baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah, dari perkataan atau pemikiran orang sehat maupun dari istihsam."
Selanjutnya beliau mengatakan, "Dan beliau dikukuhkan oleh penduduk masyriq (kawasan timur) yang membantunya, menegakkan kekuasaannya, dan membangun pilar-pilarnya, dan bendera mereka juga berwarna hitam, yaitu warna yang melambangkan sikap merendahkan diri, karena bendera Rasulullah saw juga berwarna hitam yang diberi nama Al-'Uqab.... Maksudnya, bahwa Al-Mahdi yang terpuji dan dijanjikan akan muncul pada akhir zaman, kemunculannya adalah dari wilayah timur dan dia dibai'at di sisi Baitullah sebagaimana ditunjuki oleh beberapa hadits. "[2]

[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]
_________
Foote Note
[1]. Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan, Bab Khurujil Mahdi 2: 1467; Mustadrak Al-Hakim 4: 463-464. Dan dia berkata, "Ini adalah hadits shahih menurut syarat Syaikhain." Perkataan Hakim ini juga disetujui oleh adz-Dzahabi.
Ibnu Katsir berkata. "Ini adalah isnad yang kuat lagi shahih." (An Nihayah fil Fitan 1: 29 dengan tahqiq DR. Thaha Zaini).

Al-Albani berkata, "Hadits ini shahih maknanya, tanpa perkataan: "Karena dia khalifah Allah Al-Mahdi". Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari jalan Alqamah dari Ibnu Mas'ud secara marfu' seperti riwayat Utsman yang kedua, dan isnadnya hasan, tetapi tanpa perkataan "khalifah" (khalifah / pengganti Allah). Dan tambahan "khalifatullah" ini tidak dimiliki jalan yang shahih serta tidak memiliki syahid (hadits yang senada yang diriwayatkan dari orang lain); karena itu tambahan tersebut adalah munkar. Dan di antara kemungkarannya ialah bahwa di dalam syara' tidak boleh dikatakan ada khalifah Allah, karena kemungkinan orang tersebut berbuat keliru, padahal tidak layak bagi Allah kekurangan dan kelemahan.

Kemudian dikutip dari Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengenai penolakan beliau terhadap orang yang mengatakan bahwa khalifah itu sebagai wakil Allah Ta'ala, karena tidak laik bagi Dia memiliki khalifah (wakil / pengganti), sebab Dia adalah Maha Hidup, Maha Menyaksikan, Maha Melindungi, Berdiri Sendiri, Yang Mengawasi, Maha Pemelihara, Maha Kaya dan tidak membutuhkan alam semesta. Sedang khalifah itu ada karena yang digantikan itu mati atau lenyap, sedangkan Allah Maha Suci dari semua itu." (Vide: Silsilatul Ahaditsih-Dha'ifah wal-Maudhu'ah 1: 119-121, hadits nomor 85).

[2]. An Nihayah fil Fitan wal-Malahim 1: 29-30.
Syekh Abdul Alim Abdul Azhim membicarakan hadits-hadits Al-Mahdi secara panjang lebar dalam thesis beliau untuk memperoleh gelar Magister yang berjudul "Al-Ahaditsul Waridah fil Mahdi fi Mizanil Jarh wat Ta'dil". Dalam thesis ini beliau menyebutkan orang-orang yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut beserta perkataan para ulama mengenai isnad masing-masing hadits beserta keputusannya dan kesimpulannya.

Barangsiapa yang ingin mengetahui secara luas dipersilahkan membaca thesis tersebut, karena ia merupakan pembahasan paling luas mengenai hadits-hadits Al-Mahdi sebagaimana dikatakan oleh Syekh Abdul Muhsin Al-'Abbad dalam majalah al-Jami'ah Al- Islamiyyah nomor 45 halaman 323.

Dalam thesis tersebut beliau menyebutkan ada hadits-hadits marfu' dan atsar-atsar sahabat dan lainnya tentang Al-Mahdi ini sebanyak 336 riwayat. Di antaranya terdapat tiga puluh dua hadits dan sebelas atsar yang berkedudukan diantara shahih dan hasan. Yang menyebutkan Al-Mahdi secara eksplisit sebanyak 9 hadits dan 6 atsar, dan sisanya hanya menyebutkan identifikasinya.
Banyak al-Huffazh yang mengesahkan hadits-hadits Al-Mahdi ini, antara lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya "Minhajus Sunnah fi Naqdhi Kalamisy Syi'ah wal Qadariyyah" 4: 211, dan al-'Allamah Ibnu Qayyim dalam kitabnya "Al-Manarul Munif fish Shahih wadh-Dha’if" halaman 142 dan seterusnya dengan tahqiq Syekh Abdul Fattah Abu Ghadah, serta dishahkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam kitabnya "An-Nihayah fil-Fitan wal-Malahim" 1: 24-32 dengan tahqiq DR. Thaha Zaini. Juga dishahkan oleh ulama- ulama lain sebagaimana akan kami sebutkan.

PERBEDAAN ANTARA KAUM MUSLIMIN DAN PENGIKUT AHMADIYAH

Kamis, 01 April 04

Tanya :
Apakah perbedaan antara kaum muslimin dan para pengikut ahmadiyyah ?

Jawab :

Perbedaan antara keduanya bahwa kaum muslimin adalah mereka yang hanya menyembah Allah Ta'ala dan mengikuti RasulNya Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan beriman bahwa dia shallallahu 'alaihi wasallam adalah penutup nabi-nabi yang tidak ada nabi setelahnya, adapun pengikut ahmadiyyah ,pengikut Mirza Ghulam Ahmad adalah kafir bukan termasuk golongan muslimin karena mereka mengira bahwa Mirza ghulam Ahmad adalah seorang nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, dan barang siapa berkeyakinan dengan keyakinan ini * maka dia adalah kafir menurut kesepakatan seluruh ulama kaum muslimin, berdasarkan firman Allah : ( Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi, ) Q.S. 33 : 40. dan berdasarkan hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : ( Saya adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelah-ku ) HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan Abu Daud. Fatwa Lajnah Daimah, ketua Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, wakil ketua Syaikh Abdur Razzaq Afifi, anggota Syaikh Abdullah bin Ghadyan dan Syaikh Abdullah bin Qa'ud. Jld. II hal. 221 * pendek kata Pengikut ahmadiyyah adalah kelompok yang mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi yang mendapatkan wahyu dan berkeyakinan bahwa tidak shah keislaman seseorang sampai dia beriman kepadanya, dan Mirza adalah kelahiran abad ke 13, sedang Allah telah memberitahukan bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah penutup para nabi, dan kaum muslimin semua telah sepakat tentang masalah ini, oleh karena itu barang siapa yang mengakui bahwa setelah nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam ada nabi lain yang menerima wahyu dari Allah maka dia adalah kafir karena dia telah mendustakan Al-Qur'an, dan mendustakan hadits-hadits shahihah yang datang dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa dia shallallahu 'alaihi wasallam adalah penutup para nabi dan dia ( pengikut ahmadiyah ) juga telah menyimpang dari kesepakatan seluruh kaum muslimin.( hal. 220 )

MUQADDIMAH KITAB I'TIQAD AL-A'IMMAH AL-ARBA'AH
Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

Segala puji bagi Allah. Kepadanya kita memuji, meminta pertolongan, petunjuk, dan ampunan. Kita berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa kita dan keburukan perbuatan jiwa kita. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, Yang Maha Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Allah berfirman:

“Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah, dan jangan sekali-kali mati kecuali sebagai muslim.” [Ali Imran: 102]

“Artinya : Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Dia menciptakan istrinya; dan daripadanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan keluarga. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” [An-Nisa’: 1]

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, maka Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu, dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta’ati Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan memperoleh keberuntungan yang agung.” [Al-Ahzab: 70-71]

Saya telah melakukan penelitian yang cukup luas untuk meraih gelar Doktor tentang aqidah Imam Abu Hanifah. Dalam bagian pendahuluan dari penelitian itu tercakup ringkasan tentang aqidah tiga imam yang lain, yaitu Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Sejumlah orang yang mulia telah meminta saya untuk membuat bahasan tersendiri tentang aqidah imam tiga, sebagai pelengkap dalam menyajikan bahasan aqidah empat Imam.

Karenanya ringkasan tentang aqidah Imam Abu Hanifah dalam masalah tauhid, qadar, iman, sahabat, dan sikap beliau tentang ilmu kalam, saya gabungkan dalam pendahuluan penelitian saya tersebut.

Kepada Allah saya bermohon agar pekerjaan ini benar-benar ikhlas untuk memperoleh ridha-Nya, dan semoga Allah menganugrahkan taufiq kepada kita semua, sehingga kita dapat memperoleh bimbingan sesuai dengan kitab-Nya, dan berjalan sesuai dengan sunnah Rasul-Nya. Karena Allah jualah yang mengetahui niat seseorang. Dia jualah yang mencukupkan kita, dan Dia sebaik-baik Dzat tempat kita berserah diri.

Dan akhir do’a kita adalah alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.


[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad) oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]

MUKADDIMAH MUJMAL USHUL AHLIS SUNNAH WAL JAMA’AH FI AL-AQIDAH

Oleh
Dr. Nashir Ibn Abdul Karim Al 'Aql

KATA PENGANTAR
Buku yang kami hadirkan ke hadapan anda ini memaparkan sekilas tentang prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Buku ini sengaja kami susun guna memenuhi permintaan para pembaca, baik dari kalangan terpelajar maupun umum. Dalam karya ini kami akan menguraikan prinsip-prinsip aqidah Salaf dan kaidah-kaidahnya dengan ringkas dan jelas. Dalam penulisannya pun kami berusaha meggunakan bahasa agama yang dipakai dan diriwayatkan dari para imam.

Untu itu, dalam risalah ini tidak ada rincian, definisi (ta’rif), dalil, nama dan nukilan. Kami berusaha menghadirkan risalah ini kepada anda dalam bentuk buku kecil yang ringan, praktis, dan mudah dibawa. Harapan kami, semoga buku ini dapat menjadi bibit bagi seorang penulis yang sudah ahli dan dapat memenuhi keinginan pembaca yang ingin memperluas ilmunya.

Perlu diketahui pula, risalah ini telah diperlihatkan kepada Syaikh Abdurrahman Ibn Nashir Al-Barrak, Dr Hamzah Ibn Husein Al-Fi’r dan Dr Safar Ibn Abdurrahman Al-Hawali. Alhamdulillah, beliau-beliau telah memberikan andil yang cukup besar dalam menyempurnakan penulisan ini dengan memberikan beberapa tambahan dan catatan.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan amal kami ini ikhlas semata-mata untukNya, dan semoga shalawat, salam dan berkah senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diutus sebagai rahmat untuk alam semesta, juga tak lupa kepada keluarga, shahabat dan para pengikutnya sampai akhir nanti

Penulis
Nashir Ibn Abdul Karim Al-Aql
3 Ramadhan 1411H

MUKADDIMAH
Aqidah menurut bahasa berasal dari kata 'aqd, yang berarti penguatan, pemantapan, dan pengikatan dengan kuat. Sedangkan menurut istilah, yakni keimanan yang teguh, yang tidak dihinggapi suatu keraguan apapun bagi pemiliknya.

Dengan demikian, aqidah Islamiyah berarti keimanan yang teguh kepada Allah ta'ala berupa tauhid dan ketaatan; kepada malaikat, kitab-kitabNya, para rasul, hari akhir, takdir dan semua perkara ghaib, serta berita-berita lain dan hal-hal yang pasti, baik berupa ilmu pengetahuan maupun dalam amal perbuatan.

Salaf adalah generasi pertama dari umat kita (Islam). Yang termasuk kaum salaf, yaitu para sahabat radhiyallahu 'anhum, tabi'in, dan para imam kebenaran. Mereka adalah tiga generasi yang mendapat kemuliaan. Karena itu, siapa yang mengikuti jejak mereka pada masa-masa sesudahnya disebut salafy.

Adapun yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah orang-orang yang mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya .

Orang-orang yang mengamalkan segala ajaran Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam disebut ahlus sunnah karena mereka berpegang teguh dan mengikuti sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Mereka juga disebut Al Jama'ah karena mereka bersatu di atas al haq (kebenaran). Mereka tidak berselisih dalam agama. Mereka berkumpul pada para imam al haq dan mereka juga mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para salaf.

Karena mereka mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan jejak para salaf (atsar) maka mereka disebut juga sebagai ahlul hadits, ahlul atsar, dan ahlul ittiba' (orang yang mengikuti sunnah). Mereka juga disebut Ath Tha'ifah Al Manshurah (kelompok yang ditolong oleh Allah) dan Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat).


[Disalin dari buku Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Al 'Aqidah edisi Indonesia PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql, Penerbit GIP Jakarta]

=============================================================

KAIDAH PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH DALAM MENGAMBIL DAN MENGGUNAKAN DALIL

Oleh
Dr. Nashir Ibn Abdul Karim Al 'Aql

[1]. Sumber aqidah adalah kitab Allah (Al Qur'an), sunnah Rasulullah yang shahih dan ijma' para salaf yang shaleh.

[2]. Setiap sunnah yang shahih yang berasal dari Rasulullah wajib diterima, sekalipun mutawatir atau ahad (hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat atau lebih, tetapi periwayatannya bukan dalam jumlah yang tak terhitung).

[3]. Yang menjadi rujukan dalam memahami Kitab dan Sunnah adalah nash-nash (teks Al Qur'an atau hadits) yang menjelaskannya, pemahaman para salaf yang shaleh dan para imam yang mengikuti mereka serta dilihat arti yang benar dari bahasa Arab. Namun jika hal tersebut sudah benar maka tidak dipertentangkan lagi dengan hal-hal yang hanya berupa kemungkinan sifatnya menurut bahasa.

[4]. Prinsip-prinsip utama dalam agama (ushuluddin) semua telah dijelaskan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Siapapun tidak berhak mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut termasuk bagian dari agama.

[5]. Berserah diri dan patuh hanya kepada Allah dan RasulNya lahir dan batin. Tidak menolak sesuatu dari Kitab atau Sunnah yang shahih, baik dengan analogi, perasaan, kasyf (illuminasi, atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang syeikh ataupun iman-imam, dan lain-lainnya.

[6]. Dalil aqli yang benar akan sesuai dengan dalil naqli (nash) yang shahih. Sesuatu yang qath''i (pasti) dari kedua dalil itu tidak akan bertentangan. Apabila sepertinya ada pertentangan di antara kedua dalil itu, maka wajib dalil naqli harus didahulukan.

[7]. Wajib untuk senantiasa menggunakan bahasa agama dalam aqidah dan menjauhi bahasa bid'ah (yang bertentangan dengan sunnah). Bahasa umum yang mengandung pengertian yang salah dan yang benar perlu dipertanyakan lebih lanjut mengenai pengertian yang dimaksud. Apabila yang dimaksud adalah pengertian yang benar maka perlu disebutkan dengan menggunakan bahasa agama (syar'i). Tetapi bila yang dimaksud adalah pengertian yang salah maka harus ditolak.

[8]. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam adalah ma'shum (dipelihara Allah dari kesalahan), dan umat Islam secara keseluruhan dijauhkan dari Allah dari kesepakatan atas kesesatan. Namun secara individu, tidak ada seorang pun dari kita yang ma'shum. Jika ada perbedaan pendapat di antara para imam atau yang selain mereka maka perkara tersebut dikembalikan kepada Kitab dan Sunnah, dengan memaafkan orang yang keliru dan berprasangka baik bahwa dia adalah orang berijtihad.


[9]. Ada di antara umat kita yang memperoleh bisikan dan ilham dari Allah, ru'ya (mimpi) yang baik. Ini benar dan termasuk salah satu bagian dari kenabian. Firasat yang baik adalah benar, dan itu semua adalah karamah (suatu kelebihan dan keluarbiasaan yang dikaruniakan Allah kepada seorang wali) [1] serta tanda baik dari Allah asal dengan syarat tidak bertentangan dengan syariat dan tidak menjadi sumber aqidah maupun hukum.

[10]. Berdebat untuk menimbulkan keraguan dalam agama adalah perbuatan tercela. Tetapi berdebat dengan cara yang baik untuk mencari kebenaran disyariatkan. Perkara yang dilarang oleh nash untuk mendalaminya wajib diterima dan wajib menahan diri untuk mendalami sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh seorang muslim. Seorang muslim harus menyerahkan pengetahuan tersebut kepada Yang Maha Mengetahui, yakni Allah subhanahu wa ta'ala.

[11]. Kaum muslimin wajib senantiasa mengikuti manhaj (metode) Al-Qur'an dan Sunnah dalam menyampaikan sanggahan, dalam aqidah dan dalam menjelaskan suatu masalah. Karena itu bid'ah tidak boleh dibalas dengan bid'ah lagi, kekurangan dilawan dengan berlebih-lebihan, atau sebaliknya.

[12]. Setiap perkara baru yang tidak ada sebelumnya dalam agama adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan dalam neraka.


[Disalin dari buku Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Al 'Aqidah edisi Indonesia PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql, Penerbit GIP Jakarta]

_________
Foote Note
[1] Ciri karamah adalah orang yang mendapatkannya senantiasa istiqamah, berjalan di atas tuntunan Al Qur'an dan Sunnah.

JAMA'AH DAN IMAMAH
Oleh
Dr. Nashir Ibn Abdul Karim Al 'Aql

[1]. Jama'ah dalam masalah ini, yaitu sahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dan berpegang teguh dengan jejak mereka sampai hari kiamat. Merekalah yang dimaksud dengan Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat).

Orang yang senantiasa menerapkan manhaj mereka, maka dia termasuk dalam jama'ah, sekali pun melakukan kesalahan dalam sebagian masalah kecil.

[2]. Tidak boleh berselisih dalam agama, juga tidak boleh memfitnah sesama kaum muslimin. Segala masalah yang mengandung perbedaan pendapat di antara umat Islam wajib dikembalikan kepada Kitabullah, sunnah Rasulullah dan kesepakatan para Salafush Shalih.

[3]. Orang yang keluar dari jama'ah wajib diberi nasehat. Kita wajib menyampaikan dakwah kepadanya. Dia harus diajak berdiskusi dengan cara yang baik dan menjelaskan hujjah (dalil, bukti, argumentasi) kepadanya. Apabila dia tidak mau bertobat, maka dia diberi hukuman yang layak sesuai dengan syara'.

[4]. Wajib membawa umat Islam kepada ungkapan dan kalimat yang tersebut di dalam Al Qur'an, sunnah dan ijma'. Kita tidak boleh menguji orang-orang awam dari kaum muslimin dengan perkara-perkara yang pelik dan pengertian- pengertian yang mendalam.

[5]. Pada dasarnya seluruh muslimin mempunyai tujuan dan keyakinan yang baik, kecuali bila tampak sesuatu yang bertentangan dengan hal tersebut. Pada dasarnya ucapan mereka pun harus difahami dengan pemahaman yang baik, tetapi barangsiapa yang menampakkan kedurhakaan dan tujuan jahatnya maka tidak boleh dilakukan penafsiran yang dibuat-buat terhadap dirinya.

[6]. Golongan-golongan lain dari Ahlul Qiblah yang menyimpang dari Sunnah berhak mendapat ancaman siksaan dan neraka. Hukum mereka adalah sebagaimana hukum orang-orang yang berhak di antara mereka yang kafir dalam batinnya. Golongan-golongan yang keluar dari Islam secara mutlak adalah kafir, dan hukum bagi mereka adalah hukum bagi orang-orang yang murtad.

[7]. Shalat Jum'at dan jama'ah termasuk syia'ar Islam terpenting yang tampak dan shalat bermakmum kepada seorang muslim yang tidak diketahui hal-ikhwalnya adalah sah, sedangkan tidak bermakmum kepadanya dengan dalih tidak mengetahui hal-ikhwalnya adalah bid'ah.

[8]. Tidak boleh shalat bermakmum kepada orang yang menampakkan bid'ah atau kefasikan, selama bisa bermakmum kepada yang lain. Akan tetapi bila hal itu terjadi, maka shalatnya sah dan berdosa orang yang melakukannya, kecuali bila tujuannya adalah untuk menghindari mafsadah (bahaya) yang lebih besar. Andaikan tidak ada orang lain kecuali dia atau ada yang lebih jahat lagi, maka boleh shalat bermakmum kepadanya dan kita tidak boleh meninggalkannya. Barangsiapa yang dihukumi sebagai kafir maka tidak sah bermakmum kepadanya.

[9]. Imamah Kubra (khalifah) terjadi dan berlaku atas kesepakan umat atau merupakan bai'at dari wakil-wakil umat yang disebut ahlu al halli wal 'aqd [1]. Barangsiapa yang memperoleh kemenangan sehingga terjadilah kesepakatan terhadap dirinya, maka dia wajib ditaati dengan baik, wajib dibela dan kita tidak boleh keluar dari kepemimpinannya, kecuali bila dia secara terang-terangan menampakkan kekafiran dan dapat terbukti dari nash yang jelas dari Allah Ta'ala.

[10]. Shalat, haji dan jihad wajib dilaksanakan bersama imam kaum muslimin meskipun dia orang zalim.

[11]. Tidak boleh berperang dengan sesama muslim karena suatu kepentingan duniawi atau fanatisme jahiliyah (adat kebiasaan atau pandangan yang bertentangan dengan Islam). Ini adalah dosa yang sangat besar. Tetapi, kaum muslimin dibolehkan memerangin ahli bid'ah, para pemberontak dan sejenisnya bila mereka tidak dapat dicegah dengan cara lain yang lebih kecil resikonya. Bisa pula hukumanya menjadi wajib sesuai dengan maslahat dan situasinya.

[12]. Para shahabat yang mulia seluruhnya adalah terpercaya. Mereka adalah generasi terbaik dari umat ini. Mempersaksikan keimanan dan keutamaan mereka adalah prinsip asasi yang tidak dapat ditawar lagi dalam agama. Mencintai mereka adalah agama dan keimanan, sedangkan membenci mereka adalah kekafiran dan kemunafikan. Hendaklah kita menahan diri untuk membicarakan pertentangan yang telah terjadi di antara mereka. Jangan memperdebatkannya sehingga bisa mengurangi dan menjelek-jelekkan kehormatan mereka.

Yang paling mulia di antara mereka adalah Abu Bakar, kemudian Umar, Utsman dan Ali. Mereka adalah al khulafa'ur rasyidin (para pemimpin yang berjalan di atas kebenaran). Khilafah (kepemimpinan) mereka terjadi berdasarkan urutan tingkat kemuliannya.

[13]. Termasuk agama, mencintai dan membela ahlul bait Rasulullah [2] serta menghargai kehormatan isteri-isteri beliau bagi ibu kaum mukminin. Juga termasuk agama mengetahui keutamaan mereka, begitu pula dengan mencintai para imam salaf, ulama sunnah dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik serta menjauhi ahli bid'ah dan orang-orang yang menuruti hawa nafsu.

[14]. Jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah) adalah puncak kemegahan dan kejayaan Islam, dan ini tetap berlaku sampai hari kiamat.

[15]. Amar ma'ruf dan nahi munkar (menyeru pada kebaikan dan melarang kemungkaran) termasuk syi'ar Islam yang sangat penting dan merupakan faktor pemelihara keutuhan Islam. Kedua perkara ini wajib dilaksanakan menurut kemampuan, tetapi dalam hal ini maslahat pun menjadi bahan pertimbangan.


[Disalin dari buku Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Al 'Aqidah edisi Indonesia PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql, Penerbit GIP Jakarta]
_________
Foote Note
[1] Ahlu al hal wal 'aqd adalah dewan yang mewakili kaum muslimin yang berhak mengeluarkan keputusan yang tidak menyimpang dari Al-Qur'an dan Sunnah.
[2]Ahlul bait artinya keluarga. Ahlu bait Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam ialah mereka yang diharamkan menerima shadaqah. Mereka itu sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadits riwayat Muslim, yakni keturunan Ali, 'Aqil, Ja'far dan 'Abbas.

QADAR

Oleh
Dr. Nashir Ibn Abdul Karim Al'Aql

[1]. Termasuk rukun iman ialah iman kepada qadar (takdir), yang baik maupun yang buruk adalah dari Allah Ta'ala. Iman kepada qadar meliputi iman kepada setiap nash tentang qadar serta tingkatannya (diketahui, dicatat, dikehendaki dan diciptakan oleh Allah). Tidak ada seorang pun yang dapat menolak ketetapanNya atau yang dapat membatalkan keputusanNya.

[2]. Iradah (kehendak) dan amr (perintah) yang tercantum dalam Al-Qur'an dan Sunnah ada dua macam:

[a] Iradah kauniyah qadariyah [1] yang pengertiannya sama dengan masyi'ah, dan amr kauny qadariy [2].

[b] Iradah syar'iyah [3] yang berarti disenangi dan dicintai Allah, dan amr syar'iy [4].

[3]. Petunjuk dan kesesatan makhluk ada di tangan Allah. Di antara makhluk ada yang diberi Allah petunjuk karena rahmat dan karuniaNya, dan ada pula yang tersesat karena keadilanNya.

[4]. Makhluk dengan segala tingkah lakunya adalah ciptaan Allah Ta'ala. Hanya Dia-lah sang Pencipta. Allah-lah yang menciptakan tingkah laku dan perbuatan makhluk.

[5]. Menetapkan bahwa segala yang diperbuat Allah ada hikmahnya dan segala usaha akan membawa hasil atas kehendak Allah Ta'ala.

[6]. Ajal telah ditulis, rezki telah dibagi dan kebahagiaan serta kesengsaraan telah ditetapkan oleh-Nya untuk seluruh umat manusia sebelum mereka diciptakan.

[7]. Berdalih dengan takdir boleh dilakukan terhadap musibah dan cobaan, namun dosa dan kesalahan tidak boleh berdalihkan dengan takdir tetapi harus bertaubat dan pelakunya berhak mendapat celaan.

[8]. Bersandar kepada usaha saja adalah syirik dalam tauhid, sedangkan meninggalkan usaha sama sekali berarti menolak ajaran agama. Menyatakan bahwa usaha tidak ada pengaruh dan hasilnya, bertentangan dengan ajaran agama dan akal. Tawakal tidak berarti meninggalkan usaha.


[Disalin dari buku Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Al 'Aqidah edisi Indonesia PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql, Penerbit GIP Jakarta]
_________
Foote Note
[1] Iradah Kauniyah qadariyah ialah kehendak yang berkenaan dengan takdir Allah terhadap alam semesta.
[2] Amr kauniy qadariy, yaitu perintah yang berkenaan dengan takdir Allah terhadap alam semesta. Contohnya, firman Allah dalam surat Yaasin ayat 82: "Sesungguhnya perintah Allah apabila Dia mengkehendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: 'Jadilah!', maka terjadilah ia."
[3] Iradah syar'iyah ialah kehendak yang berkenaan dengan syari'at atau apa yang dicintai Allah dalam agama.
[4] Amr syar'iy, yaitu perintah yang berhubugnan dengan syari'at, seperti perintah tentang shalat, zakat, puasa, dan lain-lain. Makhluk mempunyai keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan kehendaknya itu mengikuti keinginan dan kehendak Al Khaliq.

KONSEP IMAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
Oleh
Dr. Nashir Ibn Abdul Karim Al 'Aql

[1]. Iman adalah ucapan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Artinya, iman adalah ucapan hati dan lisan, serta perbuatan hati, lisan dan anggota badan. Ucapan hati, yaitu keyakinan dan kepercayaannya. Adapun ucapan lisan, yaitu pernyataannya, sedangkan perbuatan hati, yaitu kepatuhan, keikhlasan, ketaatan, kecintaan dan keinginannya kepada segala amal shaleh. Adapun perbuatan anggota badan, yaitu melaksanakan segala perintah dan meninggalkan segala larangan.

[2]. Barangsiapa yang menyatakan bahwa amal perbuatan tidak termasuk iman maka dia adalah seorang murji'. Barangsiapa yang memasukkan dalam iman sesuatu yang tidak termasuk di dalamnya maka dia adalah seorang mubtadi' (orang yang melakukan bid'ah).

[3]. Barangsiapa tidak bersedia mengucapkan dua kalimat syahadat maka dia tidak berhak memperoleh sebutan sebagai orang yang beriman. Dia juga tidak dihukumi sebagai orang yang beriman, baik di dunia maupun di akhirat.

[4]. Islam dan iman adalah dua sebutan dalam agama. Di antara keduanya terdapat pengertian umum dan pengertian khusus. Ahlul Qiblah [1]disebut sebagai kaum muslimin.

[5]. Pelaku dosa besar tidak keluar dari keimanannya. Di dunia tetap beriman tetapi kurang imannya, sedangkan di akhirat dia berada di bawah masyi'ah Allah, artinya bila Allah mengkehendaki, akan diampuni dan bila mengkehendaki sebaliknya maka dia akan disiksa sesuai dengan keadilanNya. Orang-orang yang mempunyai tauhid tempat kembalinya adalah surga. Sekalipun ada di antara mereka yang disiksa terlebih dulu tetapi tidak ada seorang pun dari mereka yang kekal di dalam neraka.

[6]. Tidak boleh menyatakan pasti bahwa si fulan termasuk ahli surga atau neraka, kecuali terhadap seseorang yang telah dinyatakan oleh nash demikian.

[7]. Kufur dalam bahasa agama ada dua macam. Pertama, kufur akbar, yaitu kufur yang menyebabkan seseorang keluar dari agama. Kedua, kufur ashghar, yaitu kufur yang tidak menyebabkan seseorang keluar dari agama. Kufur macam ini terkadang disebut juga dengan kufur 'amali.

[8]. Takfir (pernyataan atau penghukuman terhadap seseorang bahwa dia menjadi kafir) termasuk hukum agama yang acuannya adalah Kitab dan Sunnah. Karena itu kita tidak boleh takfir kepada seorang muslim karena suatu ucapan atau perbuatan bila tidak ada dalil syar'i yang menyatakan demikian. Suatu ucapan atau perbuatan yang dinyatakan sebagai kafir tidak mesti pelakunya pun menjadi kafir, kecuali bila syarat-syaratnya terpenuhi dan tidak ada hal-hal yang menghalanginya. Takfir termasuk hukum paling serius. Karena itu kita harus hati-hati dan waspada dalam mentakfirkan seorang muslim.


[Disalin dari buku Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Al 'Aqidah edisi Indonesia PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql, Penerbit GIP Jakarta]
_________
Foote Note
[1]Ahlul Qiblah adalah orang yang mengaku beragama Islam, melakukan shalat seperti kaum muslimin, menghadap ke kiblat dan memakan sesembelihan mereka, sekalipun termasuk orang yang menuruti hawa nafsunya atau berbuat dosa, selama tidak mendustakan ajaran yang dibawa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam.

TAUHID DALAM PENGHAMBAAN DAN TUJUAN [TAUHID ULUHIYAH]
Oleh
Dr. Nashir Ibn Abdul Karim Al 'Aql

[1]. Allah Ta'ala Maha Esa. Tidak ada seorang pun yang menjadi sekutu bagi-Nya, baik dalam ciptaan dan kekuasaanNya, dalam penghambaan dan pengabdian kepadaNya, serta dalam asma dan sifatNya. Dia-lah Rabb Semesta Alam. Hanya Dia sendiri yang berhak dengan segala macam ibadah.

[2]. Mempersembahkan ibadah, seperti berdoa, meminta perlindungan, memohon pertolongan, bernazar, menyembelih kurban, tawakal, takut, berharap dan mencintai selain kepada Allah Ta'ala adalah perbuatan syirik, meskipun perbuatan itu dilakukan kepada malaikat, seorang nabi utusan, atau kepada hambaNya yang shaleh.

[3]. Salah satu sendi utama ibadah ialah beribadah kepada Allah dengan penuh rasa cinta, rasa takut dan penuh harap dengan menyeluruh. Beribadah kepada Allah dengan sebagian daripadanya tanpa yang lain, juga kesesatan.

Salah seorang ulama mengatakan: "Barangsiapa yang beribadah kepada Allah hnya dengan rasa cinta maka dia seorang zindiq (orang yang sesat dalam agama dan menyimpang dari jalan kebenaran). Barangsiapa yagn beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut maka dia adalah seorang haruri [1] , dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan penuh harapan maka dia adalah seorang murji' [2]."

[4]. Patuh, tunduk dan taat secara mutlak kepada Allah dan rasulNya, Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Iman kepada Allah sebagai Hakim termasuk iman kepada-Nya sebagai Rabb dan Sesembahan. Tidak ada sekutu bagiNya dalam hukum dan perintahNya. Penerapan hukum yang tidak diijinkan Allah, berhukum kepada thaghut [3], mengikuti selain syariat Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan merubah sesuatu darinya adalah kufur. Siapa yang mengatakan, seseorang boleh keluar dari syariatnya maka dia kafir.

[5]. Menggunakan hukum yang bukan dari Allah adalah kufur akbar, yang bisa ; menyebabkan seseorang keluar dari Islam; dan bisa juga termasuk kufur duna kufrin yakni kufur yang tidak menyebabkan keluar dari Islam.

Kufur akbar terjadi bila patuh dan tunduk kepada hukum selain hukum Allah, atau menginjinkan penggunaan hukum tersebut. Sedangkan kufur duna kufrin, bila tidak menggunakan hukum Allah dalam suatu kejadian tertentu karena menuruti hawa nafsu, tetapi secara umum ia masih tetap patuh kepada hukum Allah.

[6]. Pembagian agama pada hakikat yang dikhususkan untuk orang-orang tertentu dan syariat yang hanya wajib diikuti orang-orang awam saja serta melakukan pemisahan urusan politik atau urusan lainnya dari agama adalah tindakan batil (tidak benar). Apapun yang bertentangan dengan syari;at, baik hakikat, politik maupun perkara lainnya maka hukumnya bisa kufur dan bisa pula sesat, sesuai dengan tingkatannya.

[7]. Tidak ada seroang pun yang dapat mengetahui sesuatu yang ghaib selain Allah Ta'ala semata. Mempercayai ada seseorang selain Allah yang dapat mengetahui hal-hal ghaib adalah perbuatan kufur, sekalipun dia mengimani bahwa Allah yang memberitahukan sebagian dari perkara ghaib kepada sebagian rasulNya.

[8]. Percaya kepada ahli nujum dan para dukun adalah kufur, sedangkan mendatangi dan pergi ke tempat mereka adalah dosa besar.

[9]. Wasilah yang diperintahkan di dalam Al Qur'an ialah apa yang mendekatkan seseorang kepada Allah Ta'ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan. Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu ) ada tiga macam:

[a] Masyru' yaitu tawassul kepada Allah Ta'ala dengan asma dan sifat-Nya, dengan amal shaleh yang dikerjakannya, atau melalui doa orang shaleh yang masih hidup.

[b] Bid'ah yaitu mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan cara yang tidak disebutkan dalam syari'at, seperti tawassul dengan pribadi para nabi dan orang-orang shaleh, dengan kedudukan mereka, kehormatan mereka, dan sebagainya.

[c] Syirik bila menjadikan orang-orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah, termasuk berdo'a kepada mereka, meminta hajat dan memohon pertolongan kepada mereka.

[10]. Berkah berasal dari Allah Ta'ala. Namun Allah mengkhususkan sebagian berkahNya kepada seorang hamba atau sesuatu makhluk yang dikehendakiNya. Oleh karena itu, seseorang atau sesuatu makhluk tidak boleh dinyatakan mempunyai berkah kecuali berdasarkan dengan dalil. Berkah artinya kebaikan yang banyak atau kebaikan yang tetap dan tidak hilang. Waktu-waktu yang mengandung keberkahan seperti malam lailatul Qadar. Adapun tempat yang ada berkahnya seperti masjid Al Haram, mesjid Nabawi dan masjid Al Aqsha. Benda yang ada berkahnya seperti air zamzam. Amal yang ada berkahnya adalah setiap amal shaleh yang diberkahi, dan pribadi yang ada berkahnya adalah seperti para nabi. Kita tidak boleh meminta berkah kepada manusia dan peninggalan mereka, kecuali kepada pribadi dan peninggalan nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam karena dalil yang ada hanya menyatakan demikian. Namun hal ini tidak berlaku lagi setelah wafatnya dan hilangnya barang peninggalan beliau.

[11]. Tabarruk (meminta berkah) termasuk perkara yang berdasarkan nash. Untuk itu tidak boleh tabarruk kepada sesuatu kecuali pada hal yang telah dinyatakan oleh dalil.

[12]. Mengenai pervbuatan yang dilakukan orang di kuburan dan ketika ziarah kubur ada tiga macam:

[a]. Masyru', yaitu ziarah kubur dengan tujuan untuk mengingat akhirat, untuk memberikan salam kepada ahli kubur dan mendoakan mereka.

[b]. Bid'ah, tidak sesuai dengan kesempurnaan tauhid. Ini merupakan salah satu sarana berbuat syirik, misalnya ziarah ke kuburan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya, atau bertujuan untuk mendapat berkah, menghadiakan pahala kepada ahli kubur, membuat bangunan di atas kuburan, mengecatnya dan memberinya lampu penerang. Juga termasuk perbuatan bid'ah bila menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah dan sengaja bepergian jauh untuk mengunjunginya. Masih banyak perbuatan lain yang dinyatakan telah terlarang dan tidak mempunyai dasar hukum dalam syariat.

[c]. Syirik bertentangan dengan tauhid, misalnya mempersembahkan salah satu macam ibadah kepada ahli kubur, sperti berdoa kepadanya sebagaimana layaknya kepada Allah meminta bantuan dan pertolongannya, bertawaf di sekelilingnya, menyembelih kurban dan bernazar untuknya, dan lain sebagainya.

[13]. Sesuatu yang menjadi wasa'il (sarana) dihukumi berdasarkan tujuan dan sasaran. Setiap sesuatu yang menjadi sarana menuju syirik dalam ibadah kepada Allah atau menjadi sarana menuju ibadah kepada Allah atau menjadi sarana menuju bidok'ah maka wajib dihentikan dan dilarang. Setiap perkara baru (yang tidak ada dasarnya) dalam agama adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan.


[Disalin dari buku Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Al 'Aqidah edisi Indonesia PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql, Penerbit GIP Jakarta]
_________
Foote Note
[1] Haruri adalah seorang pengikut haruriyah, salah satu sekte dalam aliran khawarij yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan di akhirat kekal di dalam neraka.
[2] Murji' adalah seorang pengikut murji'ah, yaitu kelompok yang berpendapat bahwa amal tidak termasuk dalam kriteria iman dan iman tidak bertambah juga tidak berkurang. Mereka mengatakan, suatu dosa tidak berbahaya selama ada iman, sebagaimana suatu ketaatan tidak berguna selama ada kekafiran.
[3] Thaghut adalah segala yang diperlakukan secara melampaui batas yang telah ditentukan Allah, misalnya dengan disembah, ditaati dan dipatuhi.

TAUHID DALAM PENGETAHUAN DAN KEYAKINAN
Oleh
Dr. Nashir Ibn Abdul Karim Al 'Aql

[1]. Prinsip dalam asma dan sifat Allah adalah menetapkan apa yang ditetapkan Allah untuk diriNya atau yang ditetapkan oleh Rasulullah tanpa tamtsil (mempersamakan atau menyerupakan Allah dengan makhluk dalam asma dan sifatNya) dan takyif (mempertanyakan bagaimana sifat Allah, atau menentukan bahwa sifat Allah itu hakekatnya begini). Juga menolak apa yang ditolak Allah terhadap diriNya atau yang ditolak Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam tanpa tahrif (mengubah lafadz sifat atau menyelewengkan maknanya) dan tanpa ta'thil (mengingkari seluruh atau sebagian sifat Ilahi). Hal itu dengan mengimani makna dan arti yang dikandung oleh nash. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Ta'ala:

"Artinya : Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." [Asy Syura: 11]

[2]. Tamtsil dan ta'thil dalam asma dan sifat Allah adalah kufur. Tahrif yang disebut oleh ahli bid'ah sebagai ta'wil, ada yang kufur hukumnya, seperti ta'wil orang-orang kebatinan, ada yang bid'ah dan sesat, seperti ta'wil orang-orang yang tidak mengakui sifat-sifat Allah, dan ada pula yang terjadi karena kekeliruan.

[3]. Pantheisme dan kepercayaan bahwa Allah bersemayam pada sesuatu makhlukNya atau bersatu dengannya adalah perbuatan kufur yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam

[4]. Iman kepada malaikat yang mulia secara umum. Mengimaninya secara terinci adalah dengan mengimani apa yang telah dinyatakan oleh dalil, seperti nama-namanya, sifat-sifatnya, dan tugas-tugasnya sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang.

[5]. Iman kepada seluruh kitab yang diturunkan Allah. Mengimani sepenuhnya bahwa Al Qur'an Al Karim adalah kitab yang termulia dan yang membatalkan keberlakuan kitab-kitab lainnya. Kitab-kitab sebelum Al Qur'an telah mengalami perubahan dan penyelewengan. Untuk itu kita wajib mengikuti Al Qur'an dan tidak mengikuti kitab sebelumnya.

[6]. Iman kepada para nabi dan rasul Allah. Semoga selawat dan salam dilimpahkan Allah kepada mereka. Mereka adalah orang yang paling mulia. Barangsiapa yang tidak berpendapat begitu maka dia termasuk kafir. Apa yang telah dinyatakan nash tentang mereka wajib diimani. Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam adalah yang termulia, rasul terakhir, dan diutus Allah untuk seluruh umat manusia.

[7]. Mengimani bahwa wahyu telah terputus semenjak wafatnya Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Beliau adalah nabi dan rasul terakhir. Orang yang tidak berkeyakinan demikian adalah kafir.

[8]. Iman kepada hari akhir dan kejadian-kejadian yang ada di dalamnya menurut berita yang benar, juga beriman pada tanda-tanda kiamat yang terjadi sebelumnya.

[9]. Iman kepada qadar yang baik dan yang buruk dari Allah Ta'ala, yaitu dengan mengimani bahwa Allah Ta'ala mengetahui apa yang akan terjadi sebelum terjadi. Allah telah menuliskannya dalam Lauhul Mahfuzh [1]. Yang dikehendakiNya-lah yang terjadi dan yang tidak dikehendakiNya tidak akan terjadi. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Pencipta segala sesuatu, Yang Maha Berbuat atas apa yang dikehendaki.

[10]. Iman pada perkara-perkara ghaib yang telah dinyatakan oleh dalil yang shahih, seperti 'arsy, surga, neraka, kenikmatan dan siksa kubur, adanya jembatan dan timbangan (di hari akhirat) dan lain-lain tanpa ta'wil sedikitpun.

[11]. Mengimani adanya syafa'at nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan syafa'at para nabi, malaikat, orang-orang yang shalih, serta yang lain pada hari kiamat, sebagaimana rinciannya disebutkan dalam nash-nash yag shahih.

[12]. Orang-orang yang beriman akan melihat Allah pada hari kiamat di surga dan di mahsyar[2]. Barangsiapa mengingkari atau menta'wilkannya maka dia sesat dan menyimpang dari kebenaran. Namun tidak ada seorangpun yang dapat melihat Allah di dunia.

[13]. Karamah para wali dan orang-orang shalih benar-benar ada. Namun tidak setiap sesuatu yang luar biasa adalah karamah. Bisa jadi itu merupakan cobaan dari Allah dan bisa pula merupakan pengaruh dari setan dan orang-orang yang jahat. Tolak ukur dalam hal ini adalah apakah hal itu sesuai atau tidak dengan Al Qur'an dan Sunnah.

[14]. Semua orang yang beriman adalah wali Allah, dan di dalam diri setiap orang yang beriman terdapat tingkat kewalian sesuai dengan tingkat keimanannya.


[Disalin dari buku Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Al 'Aqidah edisi Indonesia PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql, Penerbit GIP Jakarta]
_________
Foote Note
[1] Lauhul Mahfuzh adalah kitab yang tertuis di dalamnya segala takdir makhluk dan apa yang terjadi di alam semesta.
[2] Mahsyar adalah tempat dikumpulkannya seluruh makhluk di hari kiamat untuk menerima balasan amal perbuatannya.

AL-QUR'AN DAN KALAM
Oleh
Dr. Nashir Ibn Abdul Karim Al 'Aql

[1]. Al Qur'an, baik lafazh maupun maknanya adalah kalam Allah yang diturunkan- Nya. Al Qur'an bukan makhluk. Al Qur'an hanya berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Al Qur'an adalah mu'jizat [1] yang menunjukkan kebenaran nabi yang membawanya, Keasliannya akan tetap dijaga Allah sampai hari Kiamat.

[2]. Allah Ta'ala berfirman menurut apa yang Dia kehendaki, bila Dia mengkehendaki dan dengan cara yang Dia kehendaki. Firman Allah Ta'ala adalah benar-benar, dengan lafaz dan suara. Adapun bagaimana firmanNya kita tidak dapat mengetahuinya dan tidak mempermasalahkannya.

[3]. Pendapat yang megnatakan bahwa kalam Allah adalah makna spritual, Al-Qur'an adalah hikayah (cerita) atau 'ibarah (terjemahan) dari kalam Allah, dan megnatakan pula bahwa Al Qur'an adalah majaz (kiasan) maka orang yang menyatakan demikian telah sesat dan menyimpang. Hal itu bahkan bisa menjadikannya kafir.

[4]. Al-Qur'an harus ditafsirkan menurut cara yang telah dikenal dalam metode salaf. Al Qur'an tidak boleh ditafsirkan dengan hanya menggunakan akal saja. Hal ini termasuk perkataan terhadap Allah tanpa dasar ilmu, dan penakwilan Al Qur'an dengan cara seperti takwilan kebatinan adalah kufur.


[Disalin dari buku Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Al 'Aqidah edisi Indonesia PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql, Penerbit GIP Jakarta]
_________
Foote Note
[1] Mukjizat ialah suatu kelebihan, keajaiban dan keluarbiasaan yang dikaruniakan Allah kepada rasulNya sebagai bukti kebenarannya.

CIRI KHUSUS DAN SIFAT UTAMA AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
Oleh
Dr. Nashir Ibn Abdul Karim Al 'Aql

Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah golongan yang selamat dan kelompok yang dimenangkan oleh Allah. Sekalipun ada perbedaan tingkat di antara mereka namun mereka mempunyai ciri-ciri khusus dan sifat-sifat utama yang membuat mereka berbeda dari golongan lain. Antara lain:

[1]. Memberikan perhatian kepada Kitab Allah dalam bentuk hafalan, bacaan dan tafsiran. Di samping itu juga memberikan perhatian kepada hadits dalam bentuk pengertian, pemahaman dan pemilahan yang shahih dari yang dha'if. Ini disebabkan karena keduanya merupakan sumber utama pengambilan dan dengan disertai pengamalan ilmu yang diperolehnya.

[2]. Masuk ke dalam Islam secara menyeluruh dan iman kepada semua isi Kitabullah, yaitu mengimani seluruh nash yang berkenaan dengan janji maupun ancaman Allah, nash yang berkenaan dengan penetapan asma dan sifat Allah maupun yang berkenaan dengan penolakan hal-hal yang tidak patut bagiNya. Mengimani takdir Allah serta menetapkan bahwa makhluk mempunyai keinginan dan kehendak dan Dia-lah yang berbuat, sebagaimana mereka memadukan antara ilmu dengan ibadah, kekuatan dengan kasih sayang, di samping itu juga mau berusaha dan bekerja tetapi tetap sederhana.

[3]. Mengikuti sunnah, meninggalkan bid'ah dan menjauhkan diri dari perpecahan serta perselisihan dalam agama.

[4]. Mencontoh dan mengikuti jejak para tokoh kebenaran yang dapat dipercaya. Yang dicontoh adalah suru teladannya dalam ilmu, amal dan dakwah. Para tokoh kebenaran itu adalah para shahabat serta orang-orang yang mengikuti manhajnya. Di samping itu juga menjauhi orang-orang yang menyalahi jalan mereka.

[5]. Mengambil jalan tengah, baik dalam pemahaman aqidah maupun dalam amal serta tindak tanduk.; Berada di antara golongan yang berlebihan dan golongan yang melalaikan; berada di antara orang-orang yang melampau batas dan orang-orang yang bermalas-malasan.

[6]. Senantiasa menajaga kesatuan sikap umat Islam ata al-haq dan mempersatukan barisannya atas tauhid dan ittiba' (mengikuti sunnah). Di samping itu juga menjauhkan setiap faktor yang dapat menyebabkan pertentangan dan perselisihan di antara umat. Tidak memiliki keistimewaan atas umat dalam prinsip-prinsip agama, kecuali dengan sebutan sunnah wal jama'ah. Tidak memihak serta tidak memusuhi selain atas ikatan Islam dan Sunnah.

[7]. Berda'wah kepada Allah, beramar ma'ruf nahi munkar, berjihad, menghidupkan sunnah, berusaha untuk tajdid [1] agama serta menegakkan syari'at dan hukum Allah dalam segala urusan yang kecil maupun besar.

[8]. Bersikap adil dan bijaksana dan senantiasa memperhatikan hak Allah Ta'ala, bukan hak pribadi atau golongan. Oleh karena itu mereka tidak bersikap berlebihan terhadap orang yang memihak dan tidak pula berlaku zalim terhadap orang yang memusuhinya. Mereka tidak mengingkari kebaikan yang datang dari siapa saja.

[9]. Kesatuan dalam pemahaman dan kesamaan dalam pandangan, sekalipun berjauhan tempat dan berbeda zman. Inilah salah satu hasi dari kesatuan sumber dan pengambilan.

[10]. Berbuat baik, berkasih sayang, dan sopan santun terhadap seluruh umat manusia.

[11]. Ikhlas dan setia kepada Allah, Kitabullah, Rasulullah, pemimpin umat Islam dan seluruh kaum muslimin.

[12]. Memperhatikan urusan umat Islam, membela kepentingannya dan melaksanakan hak-haknya. Mereka tidak melakukan tindakan menyakiti umatnya.


[Disalin dari buku Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Al 'Aqidah edisi Indonesia PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql, Penerbit GIP Jakarta]
_________
Foote Note
[1] Tajdid, yaitu pembaharuan tentang pemahaman dan pengamalan Islam dengan cara kembali kepada ajaran Qur'an dan Sunnah sedcara murni dan konsekwen.

PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG IMAN
Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

[1]. Iman Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari ‘Abd ar-Razzaq bin Hammad, katanya: “Saya mendengar Ibn Juraij, Sufyan bin ‘Uyainah dan Anas bin Malik, mengatakan: “Iman itu adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.” [1]

[2]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi’, katanya: “Imam Malik bin Anas pernah berkata: “Iman itu adalah ucapan dan perbuatan.” [2].

[3]. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Asyhab bin Abdul Aziz, katanya, Imam Malik berkata: “Ketika umat Islam shalat dengan menghadap ke baitul Maqdis selama enam belas bulan, mereka kemudian diperintahkan untuk menghadap ke Masjidil Haram pada waktu shalat. Kemudian turun ayat:

“Artinya : Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu.” [Al-Baqarah : 143]

Maksud “iman” dalam ayat itu adalah “shalat dengan menghadap keBaitul Maqdis.” Kata Imam Malik lagi, “Menurut paham golongan Murji’ah shalat itu tidak termasuk iman.” [3]


[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Malik bin Anas Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Al-Intiqa' hal. 34
[2]. Al-Hilyah, VI/327
[3]. Al-Intiqa' hal. 34

LARANGAN ABU HANIFAH TERHADAP ILMU KALAM DAN BERDEBAT DALAM MASALAH AGAMA
Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

[1]. Imam Abu Hanifah berkata: “Di kota Bashrah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu (selera) sangat banyak. Saya dating di Bashrah lebih dari dua puluh kali. Terkadang saya tinggal di Bashrah lebih dari satu tahun,, terkadang satu tahun, dan terkadang kurang dari satu tahun. Hal itu karena saya mengira bahwa Ilmu Kalam itu adalah ilmu yang paling mulia.” [1]

[2]. Beliau menuturkan: “Saya pernah mendalami Ilmu Kalam, sampai saya tergolong manusia langka dalam Ilmu Kalam. Suatu saat saya tinggal dekat pengajian Hammad bin Abu Sulaiman. Lalu ada seorang wanita datang kepadaku, ia berkata: “Ada seorang lelaki mempunyai seorang istri wanita sahaya. Lelaki itu ingin menalaknya dengan talak yang sesuai sunnah. Berapakah dia harus menalaknya?”

Pada saat itu saya tidak tahu apa yang harus saya jawab. Saya hanya menyarankan agar dia dating ke Hammad untuk menanyakan hal itu, kemudian kembali lagi ke saya, dan apa jawaban Hammad. Ternyata Hammad menjawab: “Lelaki itu dapat menalaknya ketika istrinya dalam keadaan suci dari haid dan juga tidak dilakukan hubungan jima’, dengan satu kali talak saja. Kemudian istrinya dibiarkan sampai haid dua kali. Apabila istri itu sudah suci lagi, maka ia halal untuk dinikahi.

Begitulah, wanita itu kemudian datang lagi kepada saya dan memberitahukan jawaban Hammda tadi. Akhirnya saya berkesimpulan, “saya tidak perlu lagi mempelajari Ilmu Kalam. Saya ambil sandalku dan pergi untuk berguru kepada Hammad.” [2]

[3]. Beliau berkata lagi: “Semoga Allah melaknati Amr bin Ubaid, karena telah merintis jalanuntuk orang-orang yang mempelajari Ilmu Kalam, padahal ilmu ini tidak ada gunanya bagi mereka.”[3]

Beliau juga pernah ditanya seseorang, “Apakah pendapat anda tentang masalah baru yang dibicarakan orang-orang dalam Ilmu Kalam, yaitu masalah sifat-sifat dan jism?” Beliau menjawab, “itu adalh ucapan-ucapan para ahli filsafat. Kamu harus mengikuti hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan metode para ulama salaf. Jauhilah setiap hal yang baru karena hal itu adalah bid’ah.” [4]

[4]. Putra Imam Abu Hanifah, yang namanya Hammad, menuturkan, “Pada suatu hari ayah datang ke rumahku. Waktu itu di rumah ada orang-orang yang sedang menekuni Ilmu Kalam, dan kita sedang berdiskusi tentang suatu masalah. Tentu saja suara kami keras, sehingga tampaknya ayah terganggu. Kemudian saya menemui beliau, “Hai Hammad, siapa saja orang-orang itu?”, Tanya beliau. Saya menjawab dengan menyebutkan nama mereka satu persatu. “Apa yang sedang kalian bicarakan?”, Tanya beliau lagi. Saya menjawab, “Ada suatu masalah ini dan itu”. Kemudian beliau berkata: “Hai Hammad, tinggalkanlah Ilmu Kalam.”

Kata Hammad selanjutnya: “Padahal setahu saya, ayah tidak pernah berubah pendapat, tidak pernah pula menyuruh sesuatu kemudian melarangnya. “ Hammad kemudian berkata kepada beliau., “wahai Ayahanda, bukankah ayahanda pernah menyuruhku untuk mempelajari Ilmu Kalam?” “ya, memang pernah”. Jawab beliau, “Tetapi itu dahulu. Sekarang saya melarangmu, jangan mempelajari Ilmu Kalam”, tambah beliau

“Kenapa, wahai ayahanda?”, Tanya Hammad lagi. Beliau menjawab, “Wahai anakku, mereka yang berdebat dalam Ilmu Kalam, pada mulanya adalah bersatu pendapat dan agama mereka satu. Nemun syetan mengganggu mereka sehinggamereka bermusuhan dan berbeda pendapat.” [5]

[5]. Kepada Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah berkata: “Jangan sekali-kali kamu berbicara kepada orang-orang awam dalammasalah ushuluddin dengan mengambil pendapat Ilmu Kalam, karena mereka akan mengikuti kamu dan akan merepotkan kamu.” [6]

Inilah rangkuman dari pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah, tentang aqidah beliau dalam masalah ushuluddin dan sikap beliau terhadap Ilmu Kalam dan ahli-ahli Ilmu Kalam

[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Al-Kurdi, Manaqib Abi Hanifah, hal.137
[2]. Tarikh Baghdad XIII/333
[3]. Al-Harawi, Dzamm 'Ilm Al-Kalam, hal. 28-31
[4]. Al-Harawi, Dzamm 'Ilm Al-Kalam, lembar 194-B
[5]. Al-Makki, Manaqib Abu Hanifah, hal.183-184
[6]. Ibid, hal.37

PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG SAHABAT
Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

[1]. Imam Abu Hanifah berkata: “Kita tidak boleh menyebutkan seorangpun dari sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali dengan sebutan yang baik.” [1]

[2]. Kata beliau juga: “Kita juga tidak boleh berlepas diri dari salah satu sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak boleh pula mencintai yang satu dan mengesampingkan yang lain.”[2]

[3]. Beliau juga berkata: “Keberadaan salah seorang sahabat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sesaat saja, hal itu lebih bagus dari pada amal kita sepanjang umur, meskipun umur itu panajang.”[3]

[4]. Kata beliau lagi: “Kita menetapkan, bahwa di antara umat Islam ini, orang yang paling mulia seudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Bakar ash-Shidiq, kemudian Umar, kemudian Utsman dan kemudian Ali Radhiallahu 'anhu”[4]

[5]. Beliau juga berkata: “Manusia paling mulia setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, Kemudian Umar, kemudian Utsman dan kemudian Ali. Selanjutnya kita tidak boleh membicarakan tentang para sahabat kecuali dalam hal-hal yang baik-baik saja.” [5]


[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1] Al-Fiqh Al-Alkbar, hl. 304
[2] Al-Fiqh Al-Absath, hal 40
[3] Al-Makki Manaqib Abi Hanifah, hal 76.
[4] Kitab Al-Washiyah beserta syrhnya, hal 14
[5] An-Nur Al-Lami, lembar 119-A

PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG PENGERTIAN IMAN
Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

[1]. Beliau berkata: “Imam itu iqrar (pengakuan) dan tashdiq (pembenaran).”[1]

[2]. Kata beliau lagi: “Iman itu adalah iqrar dengan lisan dan tashdiq dengan hati. Iqrar saja belum disebut iman" [2]

Keterangan ini dinukil oleh Ath-Thahawi dari Imam Abu Hanifah dan dua orang muridnya. [3]

[3] Beliau juga berkata : "Iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang.”[4]

Menurut saya pendapat Imam Abu Hanifah bahwa: ”Iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang” dan bahwa yang disebut iman itu adalah “tashdiq dalam hati dan iqrar dalam lisan, sementara perbuatan (amal) tidak termasuk dalam pengertian iman”, adalah masalah yang membedakan antara beliau dengan Imam-Imam Islam yang lain, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ishaq, Imam Bukhari, dan lain-lain. Yang benar adalah pendapat para Imam itu. Sementara pendapat Abu Hanifah adalah tidak benar. Namun demikian beliau tetap mendapat pahala, baik hasil ijtihad beliau itu benar atau pun salah. Kemudian ada keterangan dari Imam Ibn’Abdul Bar dan Ibn Abi ‘Izz, bahwa Imam Abu Hanifah mencabut pendapatnya itu. Wallahu a’lam.[5]


[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1] Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 304
[2] Kitab Al-Washiyyah bersama Syarhnya, hal. 2
[3] Ath-Thahawiyyah berikut Syarhnya, hal. 360
[4] Kitab Al-Washiyah berikut Syarhnya, hal. 3
[5] Ibn Abd Al-Bar, At-Tirmidzi IX/247. Syarh Al-Aqidah

PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG QADAR
Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

[1]. Seseorang datang kepada Imam Abu Hanifah dan mendebat beliau tentang masalah qadar. Kata beliau: “Tahukah Anda, bahwa orang yang melihat masalah matahari dengan matanya, semakin lama ia melihat, ia semakin bingung.” [1]

[2]. Beliau berkata lagi: “Allah telah mengetahui segala sesuatu sejak masa azali, sebelum segala sesuatu itu terwujud.” [2]

[3]. Beliau juga berkata: “Allah juga mengetahui sesuatu yang tidak ada ketika hal itu tidak ada, dan juga Allah mengetahui bagaimana hal itu akan ada apabila Allah ,mewujudkannya. Allah juga mengetahui bagaimana kehancuran sesuatu itu.” [3]

[4]. Imam Abu Hanifah berkata: “Taqdir Allah adalah di Lauh Mahfuzh.” [4]

[5]. Beliau juga berkata: “Kita menetapkan, bahwa Allah telah memerintahkan kepada al-Qalam dn ia berkata, “Apa yang alkan saya tulis wahai Tuhanku?” Allah menjawab: “Tulislah apa yang ada dan terjadi sampai hari kiamat.” Hal ini berdasarkan firman Allah “
“ Artinya : Segala sesuatu yang mereka lakukan tertulis dalam al_kitab. Dan segala yang kecil dan besar tertulis.” [Al-Qamar: 52-53] [5]

[6]. Beliau juga berkata: “Di dunia ini dan akhirat tidaklah ada dan terjadi sesuatu kecuali berdasarkan kehendak Allah.” [6]

[7]. Kata beliau lagi: “Allah menciptakan segala sesuatu tanpa bahan apa-apa.”

[8]. Beliau juga brkata: “Allah adalah Maha Pencipta sebelum Dia menciptakan.”

[9]. Beliau juga berkata: “Kita menetapkan, bahwa hamba bersama amal-amalnya. Penetapannya dan pengetahuannya adalah makhluk. Apabila yang berbuat saja makhluk, maka perbuatan-perbuatannya lebih tepat untuk disebut makhluk.”

[10]. Beliau berkata lagi: “Semua perbuatan hamba, baik yang bergerak ataupun diam, merupakan usahanya, dan Allah yang menciptakannya. Semua perbuatan itu berdasarkan kehendak, pengetahuan, penetapan dan qadar Allah.

[11]. Beliau berkata: “Semua perbuatan hamba, baik yang bergerak maupun yang diam, adalah betul-betul upaya mereka, dan Allah menciptakannya. Semua perbuatan itu berdasarkan kehendak, ilmu, penetapan, dan qadar Allah. Semua ketaatan adalah wajib berdasarkan peritah Allah, dan hal itu disukai, diridhai, diketahui dikehendaki, ditetapkan dan ditaqdirkan Allah. Sedangkan maksiat semuanya diketahui, ditetapkan, ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah, tetapi Allah tidak menyukai dan tidak meridhai hal itu,bahkan Allah juga tidak memerintahkannya.” [7]

[12]. Beliau juga berkata: “Allah menciptakan makhluk berdasarkan fithrahnya, suci dari perbuatan yang terlarang. Kemudian Allah menyuruh mereka untuk berbuat kebajikan dan melarang untuk berbuat yang tercela. Maka, di antara mereka kemudian ada yang kafir dengan melakukan perbuatan-perbuatan kekafiran dan mengingkari kebenaran (hak). Ada juga di antara mereka yang beriman, baik melalui perbuatannya, iqrar lisannya, dan pembenaran hatinya. Dan hal itu merupakan taufiq dan pertolongan Allah kepadanya.” [8]

[13]. Beliau juga berkata: “Allah telah mengeluarkan anak cucu Adam dari tulang punggungnya dalam bentuk sel-sel, kemudian mereka diberi akal, lalu Allah menyuruh mereka untuk beriman dan melarang mereka melakukan kekafiran. Kemudian mereka mengakui ketuhanan (rububiyyah) Allah. Maka hal itu merupakan iman mereka. Kemudian mereka dilahirkan berdasarkan fithrah tersebut. Karenanya, sebenarnya ia telah mengubah dan mengganti fitrah itu. Sedangkan orang yang beriman dengan penuh keyakinan hatinya, maka ia tetap berada dalam fithrah tersebut.[9]

[14]. Beliau juga berkata: “Allah-lah yang menetapkan segala sesuatu. Tidak ada sesuatupun di dunia dan akhirat kecuali atas kehendak, pengetahuan, dan qadja serta qadar Allah. Dan hal itu telah ditulis di Lauh Mahfuzh.” [10]

[15]. Beliau juga berkata: “Allah tidak memaksa seorangpun dari makhluk-Nya untuk menjadi kafir atau mukmin. Tetapi Allah menciptakan mereka menjdai orang-orang. Sementara beriman atau menjadi kafir ituadalah perbuatan hamba. Allahmengetauhi orang yang kafir pada saat ia kafir. Manakala setelah itu ia beriman, Allah juga mengetahui dan dia akan dicintai Allah. Dan ilmu Allah tidak berubah. [11]


[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1] Qalaid Uqud Al-Aqyan, lembar 77-A
[2] Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 302-303
[3] Ibid
[4] Ibid, hal. 302
[5] Al-Washiyah bersama Syarhnya, hal. 21
[6] Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 303
[7] Ibid
[8] Ibid, hal. 302-303
[9] Ibid, hal. 302
[10] Ibid
[11] Ibid, hal. 303

PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG SAHABAT

Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

[1]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Abdullah al-Anbari, katanya: “Siapa yang merendahkan derajat seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau ia merasa tidak senang, maka ia tidak punya hak untuk dilindungi oleh umat Islam.” Kemudian beliau membaca ayat.

“Artinya : Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a “Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau menjadikan kebencian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” [Al-Hasyar : 10][1]

Imam Malik kemudian berkata: “barangsiapa marah kepada salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia telah terkena ayat ini.”

[2]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari salah seorang putra az-Zubair, katanya: “Kami berada di tempat Malik. Kemudian orang-orang menyebut-nyebut seseorang yang merendahkan martabat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Imam Malik membaca ayat:

“Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih saying sesame mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan menjadi tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnyakarena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min)" [Al-Fath : 29]

Imam Malik kemudian berkata: “barangsiapa marah kepada salah seorang sahabat nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia telah terkena ayat ini.”[2]

[3]. Qadhi ‘Iyadh meriwayatkan dari Asyhab bin ‘Abdul Aziz, katanya: “Kami berada di tempat Imam Malik, tiba-tiba ada seorang dari golongan Alawiyin datang kepada beliau, sementara orang-orang yang ada di situ sedang mengikuti majlis pengajian Imam Malik. Orang tadi, sambil berdiri bertanya kepada beliau, “wahai Abu Abdillah” panggilan akrab untuk beliau. Imam Malik kemudian mendekati, padahal beliau itu tidak pernah menyambut lebih dari menganggukkan kepala, apabila dipanggil orang. Kemudian orang tadi berkata: “Saya ingin membuat anda menjadi hujjah (bukti kebenaran) antara saya dengan Allah, sebab apabila saya akan menghadap Allah nanti, saya akan ditanya Allah, dan saya akan menjawab: “Malik telah mengatakan hal itu.”. Imam Malik lalu berkata: “Baik, silahkan apa yang hendak anda tanyakan!” Orang tadi brkata: “Siapakah yang peling mulia sesudah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ?” Beliau menjawab: “Abu Bakar.” Orang Alawiyin tadi bertanya lagi: “Lalu siapa?” Dijawab, “Umar”. “Kemudian siapa lagi?”, Tanya orang tadi. Imam Malik menjawab: “Kemudian Khalifah yang terbunuh secara didzalimi, yaitu Utsman.” Orang tadi lalu berkata: “Demi Allah, saya tidak akan duduk di sampingmu selamanya”. “Ya silakan., Anda bebas”. Jawab Imam Malik.[3]


[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Malik bin Anas Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Al-Hilyah VI/327
[2]. Al-Hilyah, VI/327
[3]. Tartib Al-Madarik, II/44-45

PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG TAUHID (1)
Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

[1]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Ibn Wahb, katanya: “Saya mendengar Imam Malik berkata kepada seseorang, “Kemarin kamu bertanya kepada saya tentang qadar bukankah begitu?”. “Ya”, jawab orang itu. Imam Malik berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman:

“Artinya : Sekiranya kamu menghendaki, Kami akan memberikan petunjuk kepada semua orang. Tetapi telah tetaplah keputusan-Ku, bahwa Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia semuanya.” [As-Sajdah : 13]

Maka tidak boleh tidak, ketetapan Allahlah yang berlaku.” [1]

[2]. Qadhi “Iyadh berkata: “Imam Malik pernah ditanya tentang kelompok Qadariyah, siapakah mereka itu? Beliau menjawab: “Mereka itu adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah itu tidak menciptakan maksiat.” Beliau ditanya pula tentang Qadariyah. Jawab beliau: “Mereka adalah orang-orang yang berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kemampuan. Apabila mereka mau, mereka dapat menjadi orang-orang taat atau menjadi orang-orang yang durhaka.” [2]

[3]. Ibn Abi ‘Ashim meriwayatkan dari Sa’ad bin ‘Abd al-Jabbar, katanya: “Saya mendengar Imam Malik bin Anas berkata: “Pendapat saya tentang kelompok qadariyah adalah, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila tidak mau, mereka harus dihukum mati.”[3]

[4]. Imam Ibn ‘Abdil Bar berkata: “Imam Malik pernah berkata: “saya tidak pernah melihat seorangpun dari orang-orang yang berbicara masalah qadar dan ia tidak bertaubat.” [4]

[5]. Imam Ibn Abi ‘Ashim meriwayatkan dari Marwan bin Muhammad at-tatari, katanya: “saya mendengar Imam Malik bin Anas ditanya tentang hal menikah dengan seseorang penganut paham Qadariyah. Kata beliau seraya membaca ayat al-Qur’an:

“Artinya : Seorang hamba sahaya yang beriman lebih baik daripada seorang musyrik.” [Al-Baqarah : 221] [5]

[6]. Qadhi ‘Iyadh menuturkan bahwa Imam Malik menyatakan: “Kesaksian penganut paham Qadariyah yang menyebarkan pahamnya yang bid’ah itu tidak dapat dibenarkan. Begitu pula penganut golongan Khawarij dan penganut paham Rafidhah (Syi’ah).” [6]

[7]. Qadhi ‘Iyadh juga menuturkan, bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang penganut Qadariyah, apakh kita tolak pendapat-pendapatnya? Jawab beliau: “Ya, bila ia mengetahui hal itu.” Dalam suatu riwayat Malik berkata: “Tidak boleh shalat menjadi makmum di belakang penganut paham Qadaritah, dan hadits yang ia riwayatkan harus ditolak. Apabila kamu menemukan mereka di suatu tempat persembunyiannya, keluarkanlah mereka.” [7]


[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Malik bin Anas Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Al-Hilyah VI/396
[2]. Tartib Al-Madarik II/48. Syarh Ushul I'tiqad Ahlus Sunnah Wal -Al-Jama'ah II/701
[3]. Ibn Abi Ashim, As-Sunnah, I/87-88, Al-Hilyah VI/326
[4]. Al-Intiqa, hal.34
[5]. Ibn Abi Ashim, As-Sunnah I/88 Al-Hilyah, VI/326
[6] Tartib Al-Madarik II/47
[7]. Tartib Al-Madarik, II/47

PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG TAUHID (2)
Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

[1]. Al-Harawi meriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang Ilmu Tauhid. Jawab beliau: “Sangat tidak mungkin bila ada orang menduga bahwa Nabi Muhammad Shallalahu alaihi wa sallam mengajari umatnya tentang cara-cara bersuci tetapi tidak mengajari masalah tauhid. Tauhid adalah apa yang disabdakanNabi Shallalahu alaihi wa sallam, “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah).” [1]

Maka sesuatu yang dapat menyelamatkan harta dan nyawa (darah) maka hal itu adalah tauhid yang sebenarnya. [2]

[2]. Imam adh-Daruquthni meriwayatkan dari al-Wahid bin Muslim, katanya: “Saya bertanya kepada Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i dan al-Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits mengenai sifat-sifat Allah. Mereka menjawab: ”Jalankanlah (baca dan pahami) seperti apa adanya.” [3]

[3]. Imam Ibn ‘Abdil Bar juga menuturkan bahwa Imam Malik pernah ditanya: “Apakah Allah dapat dilihat pada hari kiamat?” Beliau menjawab: “Ya, dapat dilihat. Karena Allah berfirman :

“Artinya : Wajah-wajah orang mu’min itu pada hari kiamatberseri-seri, kepada Tuhannya wajah-wajah itu melihat.” [Al-Qiamah, 22-23]

Dan Allah telah berfirman tentang golongan lain:

“Artinya : Tidak demikian. Mereka (orang-orang kafir) itu pada hari kiamat benar-benar terhalang hijab (tabir), tak dapat melihat Tuhan mereka.” [Al-Muthaffifin : 15]

Qadhi ‘Iyadh juga menuturkan dalam kitab Tartib al-madarik, II/42, dari Ibn Nafi’ [4] dan Asyhab [5], keduanya berkata, “wahai Abu Abdillah –panggilan akrab Imam Malik-, apakah benar orang-orang mu’min dapat melihat Allah?”, “Ya, dengan kedua mata ini”, jawabImam Malik. Kemudian salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Ada sementara orang yang berkata bahwa Allah itu tidak dapat dilihat. Kata "nadhorot" dalam ayat itu yang secara kebahasaan berarti “melihat” maksudnya adalah “menungu pahala”. Imam Malik menjawab: “Tidak benar mereka”. Yang benar adalah Allah dapat dilihat. Apakah kamu tidak membaca firman Allah tentang Nabi Musa:

“Artinya : Wahai Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku, agar dapat melihat-Mu.” [Al-‘Araf : 143]

Apakah kamu kira Nabi Musa itu memohon sesuatu yang mustahil dari Tuhanna? Allah kemudian menjawab:

“Artinya : Kamu tidakk akan dapat melihat Aku.” [Al-‘Araf : 143]

Maksudnya, Nabi Musa tidak dapat melihat Allah di dunia, karena dunia itu tempat kehancuran, dan tidak mungkin sesuatu uang kekal dapat dilihat dengan sesuatu yang dapat hancur. Apabila manusia sudah sampai ke Akhirat (tempat yang kekal), maka mereka dapat melihat sesuatu yang kekal (Allah) dengan sesuatu yang dikekalkan (tubuh manusia di Akhirat)

[4]. Abu Nu’aim juga menuturkan dari ja’far bin Abdillah, katanya: “kami berada di rumah Malik bin Anas. Kemudian ada orang yang dating dan bertanya: “wahai Abu Abdillah –panggilan akrab Imam Malik- Allah ar-Rahman bersemayam (istawa) di atas ‘Arsy. Bagaimana Allah bersemayam?”

Mendengar pertanyaan itu, Imam Malik marah. Beliau tidak pernah marah seperti itu. Kemudian beliau melihat ke tanah ssambil memegang-megang kayu di tangannya, lalu beliau mengangkat kepala beliau danmelempar kayu tersebut, lalu berkata, “cara Allah beristiwa’ tidaklah dapat dicerna dengan akal, sedangkan istiwa’ (bersemayam) itu sendiri dapat dimaklumi maknanya. Sedangkan kita wajib mengimaninya, dan menanyakan hal itu adalah bid’ah. Dan saya kira kamulah pelaku bid’ah itu. Kemudian Imam Malik menyuruh orang itu agar dikeluarkan dari rumah beliau.” [6]

[5]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Yahya bin ar-Rabi’, katanya: “saya berada di rumah Malik, kemudianada seorang dating dan bertanya, “Wahai Abdillah –panggilan akrab Imam Malik- apa pendapat anda tentang orang yang menyatakan bahwa al-qur’an itu makhluk?”

Imam Malik menjawab: “Dia itu kafir zindiq, bunuhlah dia.” Orang tadi bertanya lagi, “Wahai Abdillah, saya hanya sekedar menceritakan pendapat yang pernah saya dengar.” Imam Malik menjawab: “Saya tidak pernah mendengar pendapat itu dari siapapun. Saya hanya mendengar itu dari kamu.” [7]

[6]. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Nafi’, katanya: “Imam Malik bin Anas mengatakan, siapa yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk dia harus dihukum cambuk dan dipenjara sampai dia bertaubat.” [8]

[7]. Imam Abu Daud juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi’, katanya: “Imam Malik berkata, ‘Allah di langit, dan ilmu (pengetahuan) Allahmeliputi setiap tempat.” [9]


[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Malik bin Anas Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari III/262. Imam Muslim I/51. Imam An-Nasa'i V/14 dan Imam Abu Daud III/101
[2]. Dzam Al-Kalam, lembar 210
[3]. Ad-Daruquthni. Ash-Shifat, hal. 75 Al-Ajiri, Asy-Syari'ah, hal. 314. Al-Baihaqi, Al-I'tiqad, hal.118
[4]. Ada dua orang yang bernama Ibn Nafi', dua-duanya meriwayatkan dari Imam Malik. Yang Pertama bernama Abdullah bin Nafi' bin Tsabit Az-Zubairi (wafat 216H). Yang kedua adalah Abdullah bin Nafi' bin Abu Nafi' Al-Makhzumi (wafat 206), Tahdzib At-Tahdzib VI/50-51
[5]. Asyhab bin Abd Al-Aziz bin Daud Al-Qaisi (wafat 204H), Ibid I/359
[6]. Al-Hilyah, VI/325-326. Ash-Shabuni, Aqidah As-Salaf Ash-hab Al-Hadits, hal. 17-18. Ibn Abd Al-Bar, At-Tamhid, VII/151, Al-Baihaqi, Al-Asma Wa Ash-Shifat, hal. 408. Ibn Hajar, Fath Al-Bari, XIII/406-407
[7]. Al-Hilyah VI/325. Al-Lalikai, Syarh Ushul I'tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, I/249. Al-Qadhi Iyadh, Tartib Al-Madarik, II/44.
[8]. Al-Intiqa' hal.35
[9]. Abu Daud, Masail Al-Iman Ahmad, hal. 263. Abdullah bin Ahmad, As-Sunnah hal. 11 Ibn Abd Al-bar, At-Tamhid VII/138

PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG MASALAH TAUHID (1)
Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

Pertama :
Aqidah beliau tentang tauhid (pengesaan Allah) dan tentang tawassul syar’i serta kebatilan tawassul bid’i.

[1]. Imam Abu Hanifah berkata : “Tidak pantas bagi seseorang untuk berdoa kepada Allah kecuali dengan asma’ Allah. Adapun do’a yang diizinkan dan diperintahkan adalah keterangan yang terambil. Dari firman Allah :

“ Artinya : Bagi Allah ada nama-nama yang bagus (al-asma’-ul-husna), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang ilhad (tidak percaya) kepada asma Allah. Nanti mereka akan mendapatkan balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. “ [Al-A’raf:180] [1]

[2].Imam Abu Hanifah berkata, “Makruh hukumnya seseorang berdo’a dengan mengatakan; saya mohon kepadamu berdasarkan hak si fulan, atau berdasarkan hak para Nabu-Mu, atau berdasarkan hak al-bait al-haram dan al-Masyar al-Haram. [2]

[3]. Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak pantas seseorang berdo’a kepada Allah kecuali dengan menyebut asma’ Alla. Dan saya tidak suka bila ada orang berdo’a seraya menyebutkan ‘dengan sifat-sifat kemuliaan pada ‘arsy-Mu’, [3]atau dengan menyebutkan ‘dengan hak makhluq-Mu’. [4]

Kedua
Pendapat Imam Abu Hanifah tentang penetapan sifat-sifat Allah dan bantahan terhadap golongan Jahmiyah.

[1]. Imam Abu Hanifah berkata: “Allah tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk. Murka dan ridha Allah adalah dua dari sifat-sifat Allah yang tidak dapat diketahui keadaannya. Ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Allah murka dan ridha. Namun tidak dapat dikatakan, bahwa murka Allah itu adalah siksa-Nya dan ridha-Nya itu pahala-Nya.

Kita menyifati Allah sebagaimana Allah menyifati diri-Nya sendiri. Allah adalah Esa, Dzat yang pada-Nya para hamba memohon, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, dan tidak ada satupun yang menyamai-nya. Allah juga hidup, berkuasa, melihat dan mengetahui.”Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka yang menyatakan janji setia kepada Rasul. Tangan Allah tidak seperti tangan makluk-Nya. Wajah Allah tidak seperti wajah-wajah makhluk-Nya.[5]

[2]. Imam Abu Hanifah berkata: “Allah juga memiliki tangan, wajah dan diri seperti disebutkan sendiri oleh Allah dalam al-Qur’an. Maka apa yang disebutkan oleh Allah tentang wajah, tangan dan diri menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang tidak boleh direka-reka bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti meniadakan sifat-sifat Allah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan Mu’tazilah. [6]

[3]. Imam Abu Hanifah juga berkata: “Tidaklah pantas bagi seseorang untuk berbicara tentang Dzat Allah. Tetapi, hendaknya ia menyifati Allah dengan sifat-sifat yang disebutkan oleh Allah sendiri. Ia tidak boleh berbicara tentang Allah dengan pendapatnya sendiri. Maha Suci Allah Rabbul ‘Alamin.[7]

[4]. Ketika ditanya tentang turunnya Allah, Imam Abu Hanifah menjawab, “Allah itu turun tanpa cara-cara seperti halnya turunya makhluk. [8]

[5]. Beliau juga berkata: “Dalam berdo’a kepada Allah, kita memanjatkan do’a ke atas, bukan ke bawah, karena bawah tidak mengandung sifat Rububiyyah dan Uluhiyah sedikitpun.[9]

[6]. Beliau juga berkata: “Allah itu murka dan ridha. Namun tidak dapat disebutkan bahwa murka Allah itu siksa-Nya, dan ridha Allah itu pahala-Nya.” [10]

[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Ad-Durr al Mukhtar ma’a Hasyiyat Radd al-Mukhtar, VI/396-397
[2]. Syarh al-Aqidah ath-Thawiyah, hal. 234, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, II/285, Syarah al-Fiqh al Akbar, hal.108
[3] Imam ABu Hanifah dan Imam Muhammad bin Hasan tidka suka apabila seseorang berdo'a dengan menyebutkan, "Wahai Allah, saya mohon kepada-Mu dengan tempat kemuliaan dari 'arsy-Mu". Karena do'a seperti ini tidak ada petunjuk tekstual (nash) yang membolehkan.

Sementara Imam Abu Yusuf membolehkan do'a seperti itu, karena menurut beliau ada nash dari hadits untuk hal itu, yaitu sebuah hadits di mana Nabi berdo'a, "Wahai Allah, saya mohon kepada-Mu dengan tempat-tempat kemuliaan di 'arsy-Mu dan puncak rahmat dari kitab-Mu"

Hadits ini ditulis Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya, Ad-Da'wat Al-Kabirah, ditulis dalam kitab Al-Binayah IX/382, dan kitab Nasb Ar-Rayah IV/272. Di sanadnya terdapat tiga hal yang dapat menyacatkan hadits.

[a] Daud bin Abu Ashim tidak pernah mendengar hadits dari Ibnu Mas'ud
[b] Abdul Malik bin Juraij adalah seorang mudallis (menyembunyikan kecacatan hadits) dan mursil (menyebutkan hadits dengan sanad tidak bersambung).
[c] Umar bin Harun dituduh sebagai pendusta. Oleh karena itu, Ibnul Al-Jauzi berkata sebagaimana terdapat dalam kitab, Al-Binayah IX/382, bahawa hadits ini adalah palsu tanpa diragukan lagi dan sanadnya sangat parah seperti anda lihat. Lihat Tahdzib At-Tahdzib III/198, VI/405, VII/501 Tarqib At-Tahdzib I/520.
[4] At-Tawasul Wa Al-Wasilah hal, 82. Lihat juga, Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, hal.198
[5] Al-Fiqh Al-Absath, hal.56
[6] Al-Fiqh Al-Akbar, hal.302
[7] Syarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyah II/427, Editor Dr. At-Turki, Jala Al-Ainain, hal.368
[8] Aqidah As-Salaf Ashhab Al-Hadits hal.42, Dar As-Salafiyah. Al-Baihaqi, Al-Asma' wa As-Sifat, hal. 456, Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 245 Takhrij Al-Albani, Al-Qari, Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, hal.60.
[9] Al-Fiqh Al-Absath, hal.51
[10] Ibid, hal.56

====================================================================

PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG MASALAH TAUHID (2)
Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

[7]. Beliau juga berkata: “Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya, dan makhluk-Nya juga tidak serupa dengan Allah. Allah itu tetap akan selalu memiliki nama-nama dan sifat-sifat-Nya. [1]

[8].Beliau juga berkata: “Sifat-sifat Allah itu berbeda dengan sifat-sifat makhluk. Allah itu, mengetahui tetapi tidak seperti mengetahuinya makhluk. Allah itu mampu (berkuasa) tetapi tidak seperti mampunya (berkuasanya) makhluk. Allah itu melihat, tetapi tidak seperti melihatnya makhluk. Allah. Allah itu mendengar tetapi tidak seperti mendengarnya makhluk. Dan Allah itu berbicara tetapi tidak seperti berbicaranya makhluk.[2]

[9].Beliau juga berkata: “Allah itu tidak boleh disifati dengan sifat-sifat makhluk.” [3]

[10]. Beliau berkata: “Siapa yang menyifati Allah dengan sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir.” [4]

[11]. Beliau juga berkata: “Allah memiliki sifat-sifat dzatiyah dan fi’liyah. Sifat-sifat dzatiyah Allah adalah hayah (hidup), qudrah (mampu), ‘ilm (mengetahui), sama’ (mendengar), bashar (melihat), dan iradah (kehendak). Sedangkan sifat-sifat fi’liyah Allah adalah menciptakan, memberi rizki, membuat, dan lain-lain yang berkaitang dengan sifat-sifat perbuatan. Allah tetap dan selalu memiliki asma’-asma’, dan sifat-sifat-Nya.[5]

[12]. Beliau juga berkata: “Allah tetap melakukan (berbuat) sesuatu. Dan melakukan (berbuat) itu merupakan sifat azali. Yang melakukan (berbuat) adalah Allahyang dilakukan (obyeknya) adalah makhluk danperbuatan Allah bukanlah makhluk.” [6]

[13]. Beliau juga berkata: “Siapa yang berkata, ‘saya tidak tahu Tuhanku itu di mana, di langit atau di bumi, maka orang tersebut telah menjadikafir. Demikian pula orang yang berkata: “Tuhanku itu di atas ‘Arsy. Tetapi saya tidak tahu ’arsy itu di langit atau di bumi.” [7]

[14]. Ketika ada seorang wanita bertanya kepada beliau: “Di mana Tuhan anda yang Anda sembah itu?”. Beliau menjawab: “Allah Subhanahu wa Ta'ala ada di langit, tidak di bumi.” Kemudian ada seseorang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman "wahuwa ma'akum" (Allah itu bersama kamu)?” [8] Beliau menjawab: “Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang, “Saya akan selalu bersamamu”, padahal kamu jauh darinya.”[9]

[15]. Beliau juga berkata: “Demikian pula tentang tangan Allah di atas tangan-tangan mereka yang menyatakanjanji setia kepada Rasul, tangan Allah tidak sama dengan tangan makhluk.” [10]

[16]. Beliau juga berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala ada di langit, tidak di bumi.” Kemudian ada orang yang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfiman, “Allah itu bersamamu. [11] ” Beliau menjawab: “Ungkapan itu seperti kamu menulis suratkepada seseorang, “saya akan selalu bersamamu”, padahal kamu jauh darinya.” [12]

[17]. “Beliau juga berkata: “Bahwa Allah itu mempunyai sifat kalam (berfirman) sebelum Allah berfirman kepada Nabi Musa Alaihis salam.” [13]

[18]. Kata beliau: “Allah berfirman dengan kalam-Nya, dan kalam adalah sifat azali.” [14]

[19]. Beliau berkata lagi: “Allah itu berbicara, tetapi tidak sepertibicaranya kita.”[15]

[20]. Kata beliau: “Nabi Musa Alaihi salam mendengar kalam Allah, sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Allha: “ Dan Allah telah berfirman langsung kepada Nabi Musa" [16]. Allah telah berfirman dan tetap akan berfirman, Allah tidak hanya berfirman kepada Nabi Musa saja.” [17]

[21]. Beliau berkata: “al-Qur’an itu kalam Allah, tertulis dalam mushaf dan tersimpan (terjaga) di dalam hati, terbaca oleh lisan, dan diturunkan kepada Nabi Muhammad.” [18]

[22]. Kata beliau lagi: “al-Qur’an itu bukan makhluk.” [19]


[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1] Al-Fiqh Al-Akbar, hal.301
[2] Al-Fiqh Al-Akbar, hal.302
[3] Al-Fiqh Al-Absath, hal.56
[4] Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, dengan komentar Al-Albani, hal.25
[5] Al-Fiqh Al-Akhbar, hal.301
[6] Ibid
[7] Al-Fiqh Al-Absath, hal.46. Pernyataan seperti ini juga dinukil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Al-Fatawa V/48. Ibnu Al-Qayyim dalam Ijtima Al-Juyusy Al-Islamiyah, hal.139. Adz-Dzahabi dalam Al-Uluw, hal.101-102, Ibnu Qudamah dalam Al-Uluw, hal.116. Dan Ibnu Abi Al-Izz dalam Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hal.301
[8] Surah Al-Hadid, ayat 4
[9] Al-Asma wa Ash-Shifat, hal.429
[10] Al-Fiqh Al-Absath, hal.56
[11} Surah Al-Hadis, ayat 4
[12] Al-Asma Ash-Sifat, II/170
[13] Al-Fiqh Al-Akbar, hal.302
[14] Ibid, hal.301
[15] Ibid, hal.302
[16] Surah An-Nisa, ayat 164
[17] Al-Fiqh Al-Akbar, hal.302
[18] Ibid, hal.301
[19] Ibid

KESAMAAN AQIDAH IMAM EMPAT
Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

Aqidah imam Empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Adalah yang dituturkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat dan tabi’in. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.

Mereka juga mengingkari para ahli kalam, seperti kelompok Jahmiyyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat Yunani dan aliran-aliran kalam. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah menuturkan, “… Namun rahmat Allah kepada hamba-Nya menghendaki, bahwa para imam yang menjadi panutan umat, seperti imam madzhab empat dan lain-lain, mereka mengingkari para ahli kalam seperti kelompok Jahmiyyah dalam masalah al-Qur’an, dan tentang beriman kepada sifat-sifat Allah.

Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat, al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan[1]

Imam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan, para imam yang masyhur itu juga menetapkan tentang adanya sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk. Dan bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat. Inilah madzhab para Sahabat dan Tabi’in, baik yang termasuk Ahlul Bait dan yang lain. Dan ini juga madzhab para imam yang banyak penganutnya, seperti Imam Malik bin Anas, Imam ats-Tsauri, Imam al-Laits bin Sa’ad, Imam al-Auza’i, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad [2]

Imam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang aqidah Imam Syafi’i. Jawab beliau, “Aqidah Imam Syafi’i dan aqidah para ulama salaf seperti Imam Malik, Imam ats-Tsauri, Imam al-Auza’i, Imam Ibnu al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih adalah seperti aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam al-Fudhal bin ‘Iyadh, Imam Abu Sulaiman ad-Darani, Sahl bin Abdullah at-Tusturi, dan lain-lain. Mereka tidak berbeda penddapat dalam Ushuluddin (masalah aqidah). Begitu pula Imam Abu Hanifah, aqidah tetap beliau dalam masalah tauhid, qadar dan sebagainya adalah sama dengan aqidah para imam tersebut di atas. Dan aqidah para imam itu adalah sama dengan aqidah para sahabat dan tabi’in, yaitu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah[3]

Aqidah inilah yang dipilih oleh al-Allamah Shidq Hasan Khan, dimana beliau berkata : “ Madzhab kami adalaha mazhab ulama salaf, yaitu menetapkan adanya sifat-sifat Allah tanpa menyerupakan-Nya dengan sifat makhluk dan menjadikan Allah dari sifat-sifat kekurangan, tanpa ta’thil (meniadakannya makna dari ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah). Mazdhab tersebut adalah madzhab imam-imam dalam Islam, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam Ats-Tsauri, Imam Ibnu Al Mubarak, Imam Ahmad dan, lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat mengenai ushuludin. Begitu pula Imam Abu Hanifah, beliau sama aqidahnya dengan para imam diatas, yaitu aqidah yang sesuai dengan apa yang dituturkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.”[4]


[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad) oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Kitab al-Imam, hal. 350-351, Dar ath-Thiba’ah al-Muhammadiyyah, Ta’liq Muhammad
[2]. Manhaj As-Sunah, II/106
[3]. Majmu’al-Fatawa, V/256
[4]. Qathf ats-Tsamar, hal. 47-48

Rabu, 31 Januari 2006 - 19:19:36, Penulis : Al-Ustadz Abu AbdillahMuhammad Al-Makassari

HUKUM MENCACI ALLAH

Ada seorang muslim yang sering mengalami kegagalan dan ditimpa berbagai persoalan hidup. Ia kemudian merasa kecewa dan marah kepada Allah k, dan mulai mencacimaki Allah k, serta berburuk sangka kepada-Nya. Namun setelah amarahnya mereda, timbul rasa penyesalan atas tindakan tercela yang telah ia lakukan itu.
Pertanyaan:
1. Apakah tindakan orang tersebut termasuk kufur akbar?
2. Apakah ia perlu memperbaharui keIslamannya dengan cara mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan ulama dan saksi-saksi?
3. Bagaimanakah cara bertaubat bagi orang tersebut?
4. Bagaimanakah caranya agar orang tersebut tidak lagi mengalami kegagalan dan tidak ditimpa kesulitan hidup?
5. Bagaimanakah seharusnya orang tersebut menyikapi segala kegagalan dan kesulitan hidup yang dihadapinya?
6. Bagaimanakah cara mengatasi rasa kecewa dan amarah yang timbul, jika ditimpa kegagalan dan kesulitan hidup?
Mawardi, Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Jawab:
Alhamdulillah wabihi nasta’in. Mencaci Allah k adalah perbuatan haram yang merupakan kekufuran (kufur akbar), dan ini adalah ijma’ di kalangan ulama. Asy-Syaikh Ibnu Baz v memiliki pembahasan tentang ini, menukilkan penjelasan para ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v dan yang lainnya. Lihat Fatawa Ibnu Baz (1/91-94).
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/270, terbitan Darul Atsar): “Aku berlindung kepada Allah k. Mencaci Allah k atau menyifati-Nya dengan aib/celaan, dan celaan yang paling keji adalah melaknat Allah k atau memprotes/mengkritik hukum-hukum Allah k berupa kejadian-kejadian yang Allah k taqdirkan atau aturan-aturan syariat yang Allah k tetapkan, meskipun kritikan itu dalam bentuk isyarat dan sindiran, maka sesungguhnya pelakunya kafir, karena ini merupakan penghinaan terhadap kedudukan Allah k sebagai satu-satunya Rabb, Penguasa yang mencipta, memberi rizki dan mengatur alam ini. Dan ini adalah perkara besar. Barangsiapa mencaci Allah k, sama saja baik dengan ucapan atau dengan isyarat, baik melakukannya dengan serius atau hanya bercanda –bahkan dengan bercanda lebih keji, karena menjadikan Allah k sebagai bahan candaan dan ejekan– lalu mencari alasan agar tidak disalahkan, maka dia kafir berdasarkan firman Allah k:


Demikian pula, karena mencaci Allah k berarti merendahkan Allah k. Jadi setiap yang merendahkan Allah k dengan ucapannya, perbuatannya, atau kalbunya, maka dia kafir. Karena, iman itu adalah beriman kepada Allah k dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna dan rububiyah-Nya (bahwa Allah k berkuasa, mencipta, memberi rizki, dan mengatur alam) yang sempurna.”
Mengingat bahwa dia menyesal setelah amarahnya mereda, menunjukkan bahwa dia telah mengetahui haramnya perbuatan tersebut, dan itu cukup untuk menghukumi bahwa dia kafir (murtad), meskipun dia tidak tahu kalau perkara itu adalah kekufuran1. Oleh karena itu, wajib baginya untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya dan bersyahadat kembali. Apabila tidak ada orang lain yang mengetahuinya maka cukup dengan bertaubat dan bersyahadat sendiri, dan hendaklah dia merahasiakan kesalahan itu yang merupakan aib pada dirinya.2 Adapun bila sudah diketahui oleh kaum muslimin maka dia harus mempersaksikan taubatnya dan syahadatnya kembali di hadapan hakim dan kaum muslimin untuk kemudian diberi muamalah sebagai seorang muslim, karena menurut pendapat yang rajih (paling kuat) bahwa taubatnya diterima.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin v berkata setelah menyebutkan pendapat yang mengatakan bahwa taubatnya tidak diterima: “Dan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa taubatnya diterima jika dia benar-benar jujur bertaubat kepada Allah k dan mengakui kesalahan yang dilakukannya, serta mensifati Allah k dengan sifat-sifat pengagungan yang pantas bagi (keagungan dan kesempurnaan) Allah k. Hal itu berdasar keumuman dalil-dalil tentang diterimanya taubat secara umum (tanpa kecuali) seperti firman Allah k:

Wajib bagi kita untuk mengimani hal tersebut dan menyadari bahwa kita tidak akan meraih apa yang kita dambakan, begitu pula kita tidak akan mampu mengelak dari apa yang kita khawatirkan kecuali sebatas apa yang telah Allah k takdirkan. Meskipun seluruh manusia dan jin bersatu-padu membantu kita, sebagaimana sabda Rasulullah n dalam hadits Ibnu Abbas c yang diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi.3
Ketahuilah, bahwa setiap hukum yang Allah k tetapkan, baik berupa hukum syariat maupun kejadian-kejadian yang Allah k takdirkan, mesti dengan suatu hikmah yang menunjukkan kebijaksaan Allah k menetapkan sesuatu sebagaimana mestinya. Oleh karena itu Allah k berfirman:

Di antara hikmah Allah k menimpakan musibah dan cobaan hidup kepada seseorang adalah agar dia mengoreksi diri dan mengoreksi maksiat-maksiat yang telah dilakukannya berupa kelalaian dalam menunaikan kewajiban-kewajiban syariat yang dibebankan kepadanya atau kelancangan melanggar larangan-larangan Allah k. Hal ini sebagai hukuman dan pelajaran baginya agar dia bertaubat, kembali ke jalan Allah k dan memperbaiki kembali agamanya yang selama ini telah dia sepelekan. Allah k berfirman:

Jadi seharusnya kita mengoreksi diri, apakah kita telah mensyukuri nikmat-nikmat Allah k yang tidak terhitung banyaknya, yang telah kita rasakan dan sedang kita rasakan?
Ingatlah firman Allah k:

“Hendaklah engkau memandang kepada orang yang diberi nikmat yang lebih sedikit darimu dan janganlah engkau memandang kepada orang yang diberi nikmat lebih darimu. Hal itu akan lebih menjadikan kamu tidak meremehkan nikmat Allah atasmu.”
Wallahu a’lam.

1 Sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v ketika ditanya: “Jika seseorang mengetahui bahwa perkara itu haram, akan tetapi tidak tahu bahwa itu kekufuran, apakah dia dihukumi kafir?”
Beliau menjawab: “Ya.” (Kaset Pelajaran Al-Qawa’idul Mutsla pada pembahasan hukum Ahli Ta’wil)
2 Dalam hal ini ada beberapa ayat dan hadits tentang menutupi aib (kesalahan) selama tidak ada maslahat untuk membukanya. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin v berkata: “Sepantasnya setiap orang merahasiakan aibnya (kesalahannya) serta memuji Allah k atas keselamatan yang Allah k anugerahkan padanya dan bertaubat kepada Allah k antara dia dan Rabbnya, (karena) jika dia telah bertaubat maka Allah k mengampuninya dan menutupi kesalahannya di dunia dan akhirat.” (Syarah Riyadhus Shalihin Bab Menutupi Aib Sesama Muslim)
3 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v karena syawahidnya pada bab ta’liq Syarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 266. Demikian pula Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi v dalam Ash-Shahihul Musnad (1/474)



[1] Dari Asma' binti Abi Bakar, menceritakan : Artinya: ....Lalu Nabi SAW memuji Allah dan menyanjungnya, kemudian beliau berkata : Am-ma ba'du..... (shahih riwayat : Bukhari I/29, 221 dan lain-lain).

Kemudian Imam Muslim di kitab shahihnya (juz 3 halaman 12) meriwayatkan juga dari jalan Ibnu Abbas yang lafadznya sebagai berikut:
Artinya : "Dari Ibnu Abbas :.........Lalu Rasulullah SAW mengucapkan : IN-NAL HAMDA LILLAHI...... (arti bagi lafadz ini telah ada di riwayat Ibnu Mas'ud).

[2] Dari Jabir bin Abdullah, ia menceritakan. Artinya: Adalah Rasulullah SAW berkhotbah kepada manusia, beliau memuji Allah dan menyanjung atas-Nya yang memang Dia (Allah) pemilik (puji-pujian dan sanjungan) dan beliau mengucapkan : Barangsiapa yang Allah pimpin dia, maka tidak ada satupun yang menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan (Allah), maka tidak ada satupun yang akan bisa menunjukinya,... Kemudian beliau mengucapkan : Am-ma ba'du, maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan itu ialah Kitabullah (Al-Qur'an) dan sebaik-baik pimpinan itu ialah pimpinan Muhammad, dan sejelek-jelek urusan ialah yang diada-adakan (di dalam perkara ibadah), dan tiap-tiap bid'ah itu sesat, dan tiap-tiap kesesatan itu tempatnya di neraka, (dalam satu riwayat disebutkan : Beliau mengucapkan di dalam khotbahnya sesudah bertasyahhud : Sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitabullah.......). (shahih riwayat : Muslim 2/11, Ahmad dan Nasa'i).

Khuthbah Hajah yang diajarkan Nabi, sebagaimana tersebut di atas selengkapnya telah disusun oleh Syaikh Muhaddits Muhammad Nashiruddin al Al Ba-ni dalam satu risalah berjudul “ Khuthbah Hajah”.Lihat pula keterangan Al Ustadz Abdul Hakim Abdat dalam Khuthbah Hajah (www.salafyoon.net)

Menurut pandangan saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat), lafadz khotbatul hajat itu, boleh kita baca dengan tiga cara :

  1. Kita baca lafadz Ibnu Mas'ud sekaligus membaca ayat-ayatnya sebagaimana tersebut diatas.
  2. Kita baca lafadz Ibnu Mas'ud, dengan tidak membaca ayat-ayatnya, saya katakan demikian, karena di riwayat Ibnu Abbas Nabi SAW tidak membaca ayat-ayat Qur'an, seperti yang tersebut di riwayat Ibnu Mas'ud. Jadi kita cukup membaca riwayat Ibnu Mas'ud hanya sampai di kalimat : Was-asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa Rasuuluhu.
  3. Kita baca riwayat Ibnu Abbas sebagaimana tersebut di atas, dan boleh juga kita baca sekaligus ayat-ayat Qur'an yang tersebut di riwayat Ibnu Mas'ud dan boleh juga tidak.

Ketiga cara ini boleh kita baca salah satunya mana yang kita suka, dan sunnah ditambah dengan hadits INNA KHAIRAL HADITS ..........dst.

Kemudian sebagai penutup risalah ini, saya tuliskan bacaan yang sunnah bila dibaca di akhir/penutup majlis, baik oleh yang memberikan ceramah/pengajar maupun oleh para hadirin.

Artinya : "Dari Abi Barzah, ia berkata : Rasulullah SAW mengucapkan diakhir urusannya apabila hendak berdiri (sudah selesai) dari satu majlis : SUBHANAKALLAHUMMA WABI HAMDIKA, ASYAHDU ALLAA ILAAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA-ATUBU ILAIKA" (artinya : Maha Suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu, aku mengakui bahwa tidak ada Tuhan (yang boleh disembah) melainkan Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertobat kepada-Mu).
Lalu seseorang bertanya : Ya Rasulullah ! sesungguhnya Engkau tadi mengucapkan satu perkataan yang belum pernah Engkau ucapkan sebelumnya.
Beliau menjawab : "(bacaan) itu sebagai kaffarat (penebus kesalahan/dosa yang terjadi di dalam majlis (tadi)". (Hadits shahih riwayat Abu Dawud No. 4859)

Hadits ini juga diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah dan Tirmidzi berkata : Hasan-shahih ! Kemudian Imam Hakim meriwayatkan juga dari Aisyah dan ia berkata : Shahihul isnad !. (Baca kitab : Al-Adzkar halaman 204-205 oleh Imam Nawawi).

Sampai disini saya cukupkan risalah tentang Khotbatul Hajat ini, mudah-mudahan tulisan ini mendapat keridlaan Allah 'Azza Wa Jala dalam rangka menghidupkan kembali sunnah Nabi-Nya, yang kini penulis bersama kawan-kawan tercinta pendukung-pendukung sunnah sedang berusaha keras untuk itu. Dan apabila ada kesalahan dalam tulisan ini semata-mata datangnya dari penulis, sedang kebenaran itu tidak lain datangnya dari Allah 'Azza Wa-Jala.

"SUBHANAKALLAHUMMA WABI HAMDIKA, ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA-ATUBU ILAIKA"

Tidak ada komentar: