Selasa, 22 Januari 2008

Refleksi tentang bid'ah

Bismilla-hirrahma-nirrahi-m

MEMBONGKAR SYUBHAT

Disusun untuk mengungkap dan menjawab berbagai syubhat yang biasa beredar dan diatur secara dialogis dengan harapan dapat memperluas cakupan bahasan[1] dan menimbulkan minat untuk mengungkap lebih jauh cara beragama yang benar

Santri:Gus! Film atau sinetron sekarang banyak berbau mistis, menurut anda bagaimana?

Gus : Sinetron “astaghfirullah[2]’, punya misi politik, lebih jelas politik orang –orang partai x dan Ruqyah itu identik dengan pedukunan.

Santri: Kalau saya lihat sinetron itu bermaksud mengajak ummat untuk meninggalkan pedukunan ke amaliyah syar’i, dan background politik tidak mengurangi tujuan itu, serta Ruqyah tidak dapat disamakan dengan pedukunan selama-lamanya

Gus : “Identik “ itu tidak sama dengan “sama” .

Santri : Biasa orang paham “identik” itu “sama”.Coba lihat kamus!

Gus: Ini air dalam botol aqua, apakah sama dengan air sumur, sedangkan keduanya identik air

Santri: Anda bermaksud bersilat lidah saja, yang jelas kedua macam air itu sama dan identik betul dalam hukum, yaitu suci adanya.

Ruqyah Syar’i ada dicontohkan dalam hadits, dimana salah seorang shahabat meruqyah kepala suku yang tersengat, kemudian diruqyah dengan bacaan Al Fatihah. Bedakan dengan dukun yang menggunakan tulisan-tulisan bid’ah dan atas pertolongan jin

Jadi, Ruqyah syar’iyah itu ada dalil syar’i-nya, sedangkan pedukunan diharamkan. Ruqyah syar’iyah diajarkan oleh Nabi dan diamalkan para shahabat, sedangkan pedukunan tidak pernah dilakukan oleh para shahabat ,tetapi dilariskan oleh kaum bid’ah. Ruqyah minta pertolongan kepada Allah sedangkan perdukunan dilakukan secara syirik. Jadi, tidak sama dan tidak pula identik

Gus : [3]Aku tetap tidak setuju dengan ruqyah. Orang bisa amalkan “Syamsul Ma’arif”, “ Khazinatul Asrar “

Santri : Orang bicara agama , seharusnya mengerti dalil, bukan membelokkan ke politik. Orang bisa sentimen politik, tetapi agama itu dalil dan hujjah.Orang yang baru belajar syariat dengan shahih dengan mudah mengatakan , dalil agama itu adalah Al Qur’an dan Al Hadits yang shahih, dengan pemahaman generasi terbaik .Dan semata-mata putusan atau dilakukan oleh organisasi tertentu, tidak dapat dijadikan dalil untuk menolak atau menerima perkara syariat, karena organisasi itu bukanlah hujjah syari’at. Bahkan setiap muslim seharusnya mendukung ‘amal yang syar’i siapapun pelakunya

Sedangkan Syamsul Ma’arif atau Khazinatul Asrar karena sama-sekali tidak didukung hadits, jadi bid’ah dan itu salah satu ciri pedukunan /kahanah . [4]

Gus : Aku baru saja menghadiri munas alim ‘ulama , rasanya ngomong sama orang yang nggak kelas, ya repot!

Santri :Bahwa seseorang itu mengeluarkan apa isi hatinya: Seorang ulama itu jika membicarakan agama akan mengeluarkan dalilnya, sedangkan orang busuk hatinya tentu yang keluar adalah omongan kotor, suka memaki dan melaknat. Anda ini macam yang mana? Kelas, sih ada yang kelas ahlus sunnah ada yang kelas ahlul bid’ah!

Sekarang, makin banyak orang mengkaji Al Qur’an dan mereka mengikuti fatwa ‘ulama serta mengamalkannya.

Gus : Tetapi mereka tidak paham .

Santri ; Aku tidak sekedar bela mereka, kalau ada yang salah dari mereka dalam pelaksanaan ruqyah , ya tunjukkan disertai dalil, sehingga dapat diperbaiki. Tapi bukan karena beberapa kesalahan, terus dikatakan ruqyah itu identik dengan pedukunan. Saya kira anda ini kurang membaca hadits!

Gus: Mereka berkata; Innal Qur’ana li ruqyah. Mana hadits yang shahih seperti itu?

Santri:Anda jangan buat-buat dalil atas nama mereka, kemudian dalil yang anda buat-buat itu dengan pintar anda bantah sendiri, dengan begitukah anda merasa pintar? Itu tidak jujur namanya. Anda pinter membuat-buat, hingga tidak ada satupun dalil yang shahih sekalipun, kecuali akan ditambah-tambah atau dikurang-kurangi!Hingga nggak repot anda sebenarnya berwatak bid’iyyi-n bukan ahlus sunnah.

Gus: O… begitu?

Santri: Nanti aku tunjukkan buktinya.

Gus:ya………bolehlah!.Kritik adakalanya bermanfa’at.

Santri : Syukur kalau begitu! Anda sepertinya sangat keberatan sebutan “ Akbar “ untuk selain Allah ?

Gus : Akbar adalah sifat Allah, maka tidak boleh digunakan untuk selain Allah.

Santri : Betul “ sifat Akbar “ itu sifat Allah, tetapi sebutan “ Akbar” tidak ada larangan digunakan untuk selain Allah .

Sebutan Akbar jika disandingkan dengan Allah, maka itu adalah sifat Allah, tetapi jika disandingkan dengan selain Allah, tentulah bukan sifat Allah.

Karena secara umum Akbar itu artinya “yang lebih besar “, Ada ayat” wa ladzikrulla-hi akbar[5] bahwa Adzab Allah itu Akbar , baca” Fa yu’adzdzibuhulla-hul ‘adza-bal akbar[6]

Dan biasa kita dengar “ Waladzikrul la-hi akbar”,“ Akbar” yang dimaksud adalah sifat yang bersambung dengan“sebutan dzikir kepada Allah “ Jadi, sesungguhnya dzikir kepada Allah adalah yang lebih besar (pentingnya, manfaatnya,dll)

Dan “ Akbar ‘ jika disandingkan dengan Allah, maka “ Akbar “ adalah sifat Allah, jadi biasa diartikan dengan “ maha” besar , karena sebutan “maha” adalah hanya tepat kepada Allah.

Gus : (kemudian bergaya sebagai seorang ahli bahasa Arab beranalisa tentang wala dzikrullahi akbar, yang kesimpulannya “ Akbar “ itu mensifatkan Allah, bukan “dzikir kepada Allah”, jadi artinya “dan bahwasanya dzikir menyebut Allahu Akbar “[7]

Santri:” arti seperti ini akan saya chek lagi”….sepertinya anda begitu yakin atas arti seperti ini .Tetapi terhadap arti Fayu’adzdzibuhulla-hul ‘adzabal akbar , anda akan mengartikan bagaimana?

Sebutan “Akbar” disitu mensifatkan yang mana?

Saya bisa unjukkan beberapa ayat bila perlu, bahwa sebutan “akbar ‘ itu dapat digunakan untuk selain Allah, jika bermaksud ” yang lebih besar”[8]

Gus:Coba teruskan !

Santri : Sebutan “Akbar” biasa juga disandingkan dengan kata “Syirik”, sebagaimana dikenal dalam kitab-kitab Aqidah. Pada waktu bahasan macam-macam syirik., ada syirik ashghar, syirik Akbar, syirik rububiyah,dll .

Gus : Aku tidak pernah tahu adanya sebutan “Syirik Akbar”, yang saya tahu “Syirik Kubra”[9]

Santri :.Aneh anda ini katanya sudah bisa baca kitab, apakah tidak pernah baca kitab-kitab Aqidah? Bahkan aku belum dengar syirik kubra, di kitab apa sebutan itu? [10]. Syirik Akbar adalah syirik yang akibatnya paling fatal, yaitu mengeluarkan dia dari Islam. Apakah belum ngerti juga?

Bukankah kalian sudah sangat terbiasa gunakan “ tabligh akbar”, ataupun “ istighotsah akbar “ atau juga “ istighotsah kubra”

Gus: Istighatsah dengan bacaan tertentu sekarang ada di mana-mana

Santri: Tentang syirik, tentu ajaran syaithan

Gus: Memang Syaithan itu makhluq yang selalu berusaha menyesatkan

Santri: Apakah “Syetan “ itu makhluq tersendiri atau sifat saja. ?

Gus : Syetan itu makhluk

Santri : Syetan itu sifat saja, karena syetan ada dua macam yaitu berupa jin dan manusia, jadi bukan makhluq tersendiri.

Gus :Ya, sifat yang jelek, tetapi bukan sifat , setan itu makhluq tersendiri karena bisa bergerak menggoda manusia dan menimbulkan was-was pada orang shalat. Baca surat QS An Na-s!

Santri: Setelah menyebut setan itu sifat, tapi anda tetap mengatakan dia itu makhluq tersendiri, anda ini kacau!Baiklah, mengapa bisa bergerak? Ya, tentu karena sifat itu bisa menjadi sifat menempel pada yang bergerak, misalnya jin atau manusia. Kiranya cukup jelas! Baca QS An Na-s dengan lebih baik! [11]

Gus : Penciptaan Setan di Surat Tha-ha, sedangkan di surat Jin itu penciptaan jin

Santri : [12] Bisa tunjukkan sekarang, yang mana?

Gus:E… Anda punya kitab ?

Santri ; Punya. Semua buku adalah kitab ! [13]

Gus: Kitab itu bukan terjemahan, bukan cuplikan hadits, comot sana sini!

Santri: Oh ini kitabnya, mana kitab haditsnya?

Gus: Ini kitabnya,(sambil menunjukkan kitab Ihya Ulumuddin)

Santri:Mana haditsnya?

Gus :Ini haditsnya (sambil menunjuk tulisan hadits di kitab Ihya)” [14]

Santri: Semua buku agama ada haditsnya, seperti ini. Bedanya keterangan di buku yang disusun ulama ahlu sunnah keterangannya dengan bahasa Indonesia, haditsnya ditulis Arab dan diterjemahkan, sedangkan di Ihya dan lainnya ditulis bahasa Arab seluruhnya. Bagi saya, yang penting amanat, karena ulama itu menterjemahkan kitab dengan maksud mendekatkan umat dengan kitab aslinya dengan bahasa yang dimengerti, hal ini sesuai tujuan dakwah, jadi bisa dijadikan pegangan dan diamalkan , kalau memang shahih..

Gus : Kami, para kyahi sudah terbiasa dengan kitab kuning.

Santri:Betul, kalian terbiasa dengan kitab kuning. Tapi ingat yang kalian bawa biasanya disertai arti bahasa jawa yang ditulis huruf Arab. Jadi, seolah-olah kalian itu fasih bahasa Arab, padahal tidak ! dan dalam waktu bersamaan kalian lecehkan orang baca kitab dengan keterangan yang shahih dan arti bahasa Indonesia.

Gus: Kitab itu yang begini, maka harus dingajikan ke guru [15]

Santri ; Kitab Ihya itu walaupun terkenal, itu bukan kitab hadits, yang dimaksud kitab hadits itu Kitab Bukhari, Muslim, An Nasa-i dan lainnya disertai sanad, atau ringkasannya sesuai tema biasanya tanpa sanad, semacam Riya-dlush sha-lihi-n , Bulu-ghul Mara-m . Sedangkan kitab Ihya’ seperti kitab lainnya adalah kitab makalah / risalah sesuai tema tertentu sebagaimana banyak kitab yang lainnya.. Ini sangat nyata, bagi orang yang mau berpikir[16].

Gus: Kitab ini kitab standard dunia, siapa tak kenal kitab Ihya’

Santri:Ya, terkenal pula beberapa kekurangannya, utamanya dalam hadits!

Gus:Tidak benar itu, justru banyak sekali haditsnya.

Santri:Khusus tentang kitab Ihya, anda tidak perlu pura-pura tidak tahu di hampir seluruh halaman kitab Ihya’ itu hadits-haditsnya banyak yang dinyatakan dla’if ataupun dinyatakan tidak ada asalnya (-maudlu’) oleh pakar hadits, lihat catatan kaki di setiap halaman kitab itu.[17] Apakah anda punya kitab – kitab hadits sebagaimana saya maksud?

Gus:Ada beberapa, ada kitab Shahih Al Bukhari, Kitab Shahih Muslim, Kitab Sunan Nasa-i, Kitab Ibnu Majah

Santri: Syukur kalau begitu.Kitab-kitab itu seharusnya jadi pegangan.

Gus : Buku-buku terjemahan itu baik untuk baca-baca saja ,tapi tidak untuk pegangan.

Santri :Tidak begitu, yang penting amanat di dalam menterjemahkan[18]. Kalau seorang muslim mengerti syariat ketika baca keterangan Shahih Al Bukhari,susunan salah seorang murid Al Imam Ahmad , maka dengan pedoman itu dia sudah bisa, bahkan wajib meyakini dan beramal dengannya[19], kecuali beberapa hal yang perlu tambahan penjelasan, karena semua ulama ahli hadits sepakat bahwa seluruh haditsnya shahih dan wajib diterima.Sebaliknya memang dari terjemahan buku yang seribu dapat 3 yang biasa di jual di bis kota yang isinya bid’ah memang tidak bisa dipakai untuk pedoman, bahkan perlu dibakar saja.

Gus : Kalau salah memang pantas! Tapi, ingat belajar kitab itu harus dingajikan ke guru

Santri : Yang menterjemahkan kitab haruslah jauh lebih pinter, saya kira, mereka belajar dengan kesungguhan dan mengamalkannya, terus belajar berbagai kitab, tanpa fanatik madzhab, belajar dimanapun ahlu sunnah berada, bahkan berangkat ke Saudi, Madinah dan lainnya, tidak cukup duduk manis sarungan berdzikir dengan bergeleng-geleng kepala dan teklekan mengkhayal sambil menikmati cigarette di pondok –pondok yang selepas dari pondok pimpin tahlilan, mauludan, istghatsah bid’ah, pimpin diba’an yang jelas bid’ahnya dan “ngaku” salaf, atau “ngaku salafiyah syafi’iyah” tetapi jauh dari kitab-kitab salaf , amalnya jauh dari sunnah Nabi dan jauh dari akhlaq para salaf. Pengakuan “Salafiyah Syafi’iyah” juga jauh dari fatwa dan akhlaq Al Imam Ahlus Sunnah Asy Syafi’i. Sikap fanatik tradisi dan tidak suka mengkaji hadits shahih ,disertai pelecehan terhadap karya tulis para ulama ahlu sunnah itu merupakan bukti kejahilan yang nyata, untuk menutupi ketidak-mampuannya menterjemahkan , apalagi mensyarah kitab aslinya dengan hujjah yang kuat..

Gus: Apa buktinya ?

Santri : Sebentar! Belajar dari terjemahan, atau kitab dengan bahasa Indonesia yang disusun ulama sejati, ulama ahlu sunnah, itu tidak tercela sedikitpun, asalkan isinya shahih , ini namanya juga berguru, bukankah berguru itu tidak mesti berhadapan langsung. Seseorang yang mengkaji banyak kitab yang disusun oleh para ulama ahlu sunnah, kemudian jika ada yang kurang paham atau minta tambahan bukti, ia kirim surat ke penulisnya dan alhamdulillah, diapun terima jawaban secara tertulis pula. Apakah begini bukan men-kaji namanya. karena memang karya ilmiyah ‘ulama seharusnya bisa dibaca dipelajari , dan itu mestilah dengan bahasa yang dipahami dan tentu saja untuk diamalkan, dan para ‘ulama itu sangat ridla ilmunya diamalkan orang dengan pengertian, bukan diamalkan tetapi dengan taqlid. Begitulah yang diajarkan para Imam pendahulunya.

Al Imam Asy Syafi’i punya banyak ilmu dari tulisan dan kitab kitab banyak ulama sebelum dan yang sejaman, beliau pelajari dan bahkan menghafal kitab Al Muwatha’ karya Imam Malik. Semua ulama adalah penuntut ilmu yang hebat, bukan sekedar pengakuan.

Ini sangat nyata,! Kita dapati penuntut ‘ilmu para santri ahlus sunnah suka mengamalkan sunnah:Mereka tegakkan shalat jama’ah dengan merapatkan shaf. Mereka hafalkan beberapa surat kemudian dibacakan dalam shalat mereka. Mereka suka berpakaian muslim /muslimah dan bersungguh –sungguh menutup aurat, hampir seluruh ikhwan tidak isbal dan tidak ikut-ikutan membiasakan hisap cigarette.Sebagian ini saja sangat nyata merupakan amal nyata dan amalan khas yang ikhlash dari mereka , padahal mereka baru pemula penuntut ilmu, walaupun ilmunya dari terjemahan kitab-kitab yang disusun oleh ahli fiqih atau ahli hadits. Bandingkan dengan perilaku ahli bid’ah yang hanya ngaku salaf, tentang hal itu saja,sangat jauh dari praktik, berasyik ria dengan cigarette,nawaitu ini itu, shalawatan dengan lagu tanjung perak, perahu layar atau kuc kuc tahe, atau shalawat SMS ,shalat jama’ahnya tidak bisa rapat, …jaauh dari kitab salaf.Apa perlu dibuktikan ? Duduk-duduk di depan kios VCD bajakan, akan terdengar juga, mungkin..!

Meskipun ngaji kitab itu mesti di gurukan, tetapi terhadap kitab yang berisi kebid’ahan , baik itu bahasa arab atau bukan, maka tidak ada yang perlu dipelajari dan bahkan semua kitab itu harus ditinggalkan dan dibakar[20]. Begitulah seharusnya kita bersikap terhadap apasaja atau siapapun yang mengotori agama ini. Sedangkan kitab kuning atau kitab merah sekalipun jika tidak berdasar dengan dalil-dalil yang benar, maka tidak terpuji sedikitpun. Dan tentu sebaliknya kitab kuning yang berisi petunjuk Al Qur’an dan Al Hadits yang shahih serta contoh pengamalan para salaf wajib dijadikan pedoman dan diamalkan.

Terhadap kitab yang jelas shahih isinya, tentu patut digurukan, dengan megkaji syarah yang telah disusun oleh para ulama yang terpercaya. Demikian cukup jelas bagi yang mau berfikir.

Gus: Anda kelihatannya cukup banyak membaca

Santri : Dan saya setuju, memang perlu mengajikan ilmu ke guru, itu betul, tetapi seharusnya kualitas guru tersebut benar dapat dijamin!

Gus : Ya, kalau disebut guru, memang seharusnya begitu.

Santri: Maksudnya begini, guru mestilah yang amanat ilmiyah dan amaliyahnya. Jangan sampai kita ngaji hadits yang berkata A, tetapi setelah dingajikan kok malah yang keluar C ! Bukankah ngaji begitu buang waktu saja, tak bermanfa’at.!

Seharusnya kalau mengaji itu, jika hadits bicara A yang kurang terang, setelah disyarah dengan berbagai keterangan maka menjadi jelas A itu dan terang pula faidah-faidahnya, ini ibarat saja, ngertikan maksudnya?

Gus : Sepertinya anda meragukan para kyahi.

Santri : Coba perhatikan 2 hadits saja, Innamal a’ma-lu bin niyya-ti, dan Shallu- kama ra aitumu-niy ushalli-,tetapi apa yang keluar dari fatwa para kyahi ? mereka mengatakan shalat itu perlu ushalli.., wudlu’ perlu nawaitu, mandi junub perlu nawaitu…,puasa perlu nawaitu , padahal tidak satupun hadits yang mendukungnya dan …….anehnya pula mereka tidak sekalian kerjakan itu nawaitu untuk adzan, tidak pula kerjakan nawaitu ketika dengan pinter mengajar orang mati untuk menjawab pertanyaan malaikat ? Nyata tidak konsisten !

Padahal mengaku salafiyah , coba tunjukkan riwayatnya Rasulullah kerjakan, atau para shahabat kerjakan atau para imam ahlus sunnah terdahulu ! Rasul perintahkan baca “Bismillah” ketika wudlu, tapi kyahi bilang baca “ Nawaitu…”, meskipun ada juga yang membaca “ Bismillah” kemudian tambahi nawaitu juga, memang meninggalkan bid’ah itu berat, ya? Buat alasan lagi, inikan bid’ah hasanah! Apakah Rasul perintahkan ummatnya untuk tambah-tambah atau kurang-kurangi agama ini?.

Perlunya ngaji itu kan untuk meneladani Rasulullah dan para shahabatnya, itu artinya para kyahi itu mesti dan wajib bicarakan hadits, itu baru ahlu sunnah sejati. Anda kan ngerti apa makna As Sunnah, kalau ngaku sebagai seorang ahlu sunnah!.

Gus:Melafazhkan niat hanyalah sunnat hukumnya, karena untuk menguatkan atau mengokohkan apa yang diniatkan di hati

Santri:Beri tahu saya alasan mengapa sunnat hukumnya!

Gus:Bukankah sudah saya sampaikan ,itu karena untuk menguatkan atau mengokohkan yang tergores di hati.

Santri:Semua hukum ditegakkan dari keterangan dari Allah dan Rasul. Sudah pasti, Rasulullah selalu kerjakan shalat fardlu selalu berjama’ah dengan para shahabatnya, maka kalau Rasulullah baca ushalli….dan seterusnya,tentulah para shahabatnya mengetahuinya dan pasti akan sampai pada kita hadits tentang lafazh tersebut.[21]

Gus:Memang tidak ada hadits tentang itu, betul Rasul atau para shahabatnya tidak kerjakan itu,tetapi itu hanya untuk menguatkan apa yang tergores di hati.

Santri:Jadi hukum sunnat yang anda katakan itu hanya berdiri atas sangkaan akal-akalan dan takhayul belaka. Al Imam yang empat tidak ajarkan begitu.Betapa rusaknya agama ini jika berdasarkan hanya sangka-sangka ini itu!

Gus: Alasan seperti itu ada dalam kitab!

Santri : Benar!. Betapa rapuhnya dasar akal-akalan itu, coba anda pikirkan dengan akal-akalan pula mungkinkah anda lafazhkan niat ini itu dengan baik sebelum mantap niat di dalam hati?

Gus:Tidak mungkin, jadi niat di hati mantap kemudian dikokohkan dengan lisan, itu baru yang teranggap.

Santri:Kalau di hati niat sudah mantap, maka otomatis melafazhkan niat itu menjadi si-sia tidak diperlukan.Yang dituntut hanyalah niat dengan mantap, selesai, sehingga sia-sia saja pengokohan dengan lisan, karena dengan pasti tidak menambah kokoh bahkan memberi ruang bagi syaithan untuk menghembuskan was-was .

Gus:Seharusnya bertambah mantap.

Santri:Tidak sekali-kali, bahkan akan muncul penyakit was-was .

Buktinya: Orang –orang yang mengaku sunnah hukumnya melafazhkan niat seringkali melafazhkan berulang-ulang dengan was-was, bahkan untuk menghilangkan was-was itu talafuzh itu dikeraskan sehingga mengganggu orang di sampingnya, karena was-was pula maka berulang-ulang pula ia kerjakan, dan kadang seorang yang sudah datang ke masjid untuk shalat datang lebih awwal, tetapi karena muncul was-was terus menerus itu ketika setelah imam membaca surah , sehingga ia merasa perlu membatalkan shalatnya untuk memulai dari awal lagi, jadilah ia masbuq. Setiap penyimpangan, rasakan itu! [22]

Gus:Tetapi begitulah madzhab Syafi’i

Santri: Insya Allah , sama sekali tidak! Itu hanyalah madzhab “orang yang mengaku” mengikuti madzhab beliau. Anda pernah baca di mana Al Imam Asy Syafi’i mengatakan seperti itu?

Gus: Aku tidak tahu, begitulah yang diajarkan kyahi-kyahiku !

Santri:Apakah anda pernah dengar keterangan ulama ahlus sunnah yang terkenal bermadzhab syafi’i tentang masalah ini, semisal Al Imam An Nawawiy?

Gus:Tidak pernah. Apa ya keterangannya?

Santri:Kalian sangka, bahwa melafadzkan niat itu madzhab Al Imam Asy Syafi’i, padahal bukan![23]

Orang yang melafazhkan niat itu karena salah memahami perkataan Al imam, jadi misunderstanding saja!

Gus: Aku tidak tahu kitab yang dimaksud susunan An Nawawiy. Saya tawadlu ‘pada ulama, toh ilmu dan amal saya, ada kyahi yang bertanggung jawab

Santri: Ini pula, anda termakan takhayyul belaka, mana ada tanggung menanggung amalan itu, tiap orang bertanggung jawab terhadap amalannya sendiri, baca Qur’an…..!. Memang orang yang mengajarkan ilmu secara salah, mengajarkan berbagai bid’ah, ada menanggung dosa amalan orang yang mengikutinya, tetapi orang yang mengikuti secara taqlid itu sendiri juga bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri…. Anda berlebihan dalam husnuzh zhan hingga seolah mereka itu ma’shum, sementara banyak omongannya tidak berdasar sama-sekali, sayang sekali anda tidak suka periksa, percaya saja!! Itu taqlid namanya.Taqlid pula yang membutakan ‘aqal di dalam melihat yang shahih.

Gus: Anda bicara begitu , apakah sudah pernah mengkaji kitab kuning?”

Santri: Mau kitab itu merah, putih berdebu itu bukan soal dalam hal ini, karena kitab itu walaupun dikeramatkan oleh banyak orang jahil, tidak pernah patut dikaji, kecuali kitab yang berisi ajaran Rasul, Al qur’an dan Al hadits disertai keterangan yang sesuai.Kalau tidak begitu, patutnya dibakar saja agar tidak menyesatkan ummat.

Gus: Saya tidak ingin menentang waliyullah

Santri:Anda jangan lupa kaidah ini, tidak mungkin seorang waliyullah seorang ahli bid’ah, seorang waliyyullah itu mestilah seorang ahlu sunnah[24].Seorang ulama sejati itu adalah orang yang sangat takut melanggar syariat. Apakah anda sudah periksa keadaannya. Dan……… apakah kalau dia waliyullah kemudian memiliki sifat ma’shum, sehingga semua perkataannya wajib diterima?

Alhamdulillah, orang yang pernah belajar ushul fiqih, tentu mengetahui pedoman ‘iba-dah adalah tetap Al Qur’an dan Al Hadits yang shah, sebagaimana pula dipahami para shahabat yang mengikuti dan para tabi’i-n terus meneladaninya.

Gus: :Masalah ini masalah kajian yang tidak gampang orang bicarakan

Santri : Memang ! Anda begitu rupa ternyata taqlid saja.

Gus: Wajib taqlid pada salah satu imam yang empat .

Santri : Apa dalilnya ?

Gus: Begitulah yang dikatakan kyahiku dulu dan sekarang, dan kyahi-kyahi tentu sudah pelajari dalil-dalilnya!

Santri: Apakah ada perkataan Rasulullah terhadap hal itu?

Gus: Memang tidak ada, tapi semua kyahiku mengatakan begitu.. Saya tawadlu pada mereka dan mengikuti saja, karena mereka tentu sudah tahu dalilnya!

Santri: Anda kelihatannya mengaku bermadzhab Syafi’i

Gus: Ya

Santri: Kalau begitu apa kata Al Imam anda ikuti?

Gus: Aku tidak tahu apa perkataannya.Tapi semua kitab yang aku pelajari mengaku bermadzhab syafi’i

Santri: Apakah Al Imam memerintahkan ummat mengikuti madzhabnya?

Gus: Aku tidak tahu, saya kira Al Imam tidak akan mengatakan itu , karena tawadlu ‘ saja

Santri: Apa buktinya? Apakah anda pura –pura tidak tahu bahwa Al Imam “bermadzhab hadits shahih”?

Gus: Ya saya pernah dengar, tapi saya tidak tahu di kitab apa nukilan itu

Santri: Tak apalah anda tidak tahu dimana ada ucapan itu. Tapi apakah Al Imam tidak bermadzhab hadits shahih?

Gus: Ya, tentu beliau seorang Imam yang shalih dan tafaqquh, maka dengan pasti beliau bermadzhab hadits shahih.

Santri: Bagus

Gus:Karena itulah, kami bermadzhab kepada beliau

Santri: Berarti anda telah melakukan sesuatu yang berlawanan dengan Al Imam

Gus: Tetapi kyahiku bilang begitu, sedang kyahiku mengaku mengikuti beliau, aku ikuti saja. Tentu para kyahi itu punya alasan, kalau anda tanyakan hal itu pada kyahi tentu mereka akan dapat jelaskan dalilnya

Santri: Kasihan! Tidak begitu halnya, karena betapa banyak omongan kyahi itu ternyata tidak terbukti ada dalilnya yang shah! Jadi berpikir silogisme , jika A maka B, Jika B maka C, berarti jika A maka C, dalam hal ini jelas tidak bisa dipakai.Tasalsul begini hanya benar jika dari orang-orang yang sangat teguh amanat ‘ilmiyyah, sebagaimana dikenal dalam ilmu hadits, sanad dan matannya.

Jadi omongan kalian, “ aku mengikuti kyahi dan kyahi tentu telah mempelajari dalil-dalinya” adalah ucapan silogisme seperti ini dalam hal ini tidak terbukti kebenarannya, tetapi herannya ucapan seperti ini sangat laris di kalangan kalian..Masalah ini, Saya sudah pernah baca dalil-dalilnya dari dokumen debat kyahi hizbiy dengan seorang ahlu sunnah [25], tapi tidak ada satupun yang kena. Dan para imam sendiri tidak setuju diikuti, hingga diketahui dalilnya dengan shah.

Anda mengaku bermadzhab Syafi’i, tentunya mengikuti apa yang dikatakan Al Imam Asy Syafi’i, betulkah begitu? Mengapa?

Gus: Ya, karena kita terlalu kecil terhadap beliau.

Santri Bagus kalau begitu, Sebagai seorang ahlu sunnah, Al Imam Asy Syafi’i mengatakan aku mengikuti sunnah Nabi yang shah , baik ketika aku hidup maupun setelah mati.

Mengapa kalian tidak peduli hadits Nabi dan lebih suka bid’ah dan tidak mempedulikan keterangan ahli sunnah? Kalau mengaku mengikuti beliau, mengapa kitab Al Imam kok tidak dikaji dengan baik. Diterjemahkan, sekali lagi diterjemahkan!, jangan biarkan tetap menguning saja, agar diamalkan oleh ummat, karena disitu beliau tebarkan ayat-ayat dan hadits- hadits yang shahih sebagai bukti begitulah ajaran Rasulullah ? Dan mengapa kitab-kitab Al Imam tidak tersebar dengan baik dalam kelompok anda ?

Gus: Mengapa anda bisa tuduh kami begitu?

Santri:Nanti akan saya tunjukkan. Kalau seorang mengaku pengikut setia atau bermadzhab pada beliau, maka seharusnya sangat peduli dengan apa yang diajarkan beliau

Gus: Ya tentu begitu, dong!

Santri: Anda membaca diba’ dengan cara begini dan begitu dengan tidak mengerti artinya pula, coba tunjukkan siapa yang mengajarkan seperti itu? Anda bacakan shalawat dengan lafazh yang dibuat sendiri dengan keras di awal adzan, coba tunjukkan siapa ajarkan seperti itu? Anda selalu menoleh bersalaman kiri dan kanan setelah salam shalat, bahkan sering pula kita dapati bersalaman pula dengan orang yang di belakangnya, tak peduli orang di samping atau di belakangnya itu sedang asyik berdzikir kepada Allah, suatu ibadat yang tidak sepatutnya diganggu atau dipotong oleh juluran tangan kalian yang tanpa ilmu. Anda ganggu konsentrasi seorang yang sedang asyik shalat dengan menyentuhnya karena ingin menunjukkan anda akan bermakmum padanya kemudian mundur sedikit darinya[26]. Dan kalian jika berdua shalat berjama’ah. mundurkan sedikit seorang makmum di belakang imam, coba tunjukkan siapa yang ajarkan demikian? Kalian pimpin “ila asyrafil Anbiya- wal mursali-n-…. Al Fatihah!”,atau “ Ila- hadlrati Syekh Abdul Qadir Jaelani… Al Fa-tihah, coba tunjukkan siapa ajarkan demikian?

Gus: Aku yaqin 100 % amalan itu bukan ajaran Al Imam Asy Syafi’iy. Aku sendiri merasa ada keanehan amalan itu. Aku tidak tahu siapa yang mula-mula ajarkan itu. Hal itu hanya adat yang dibiasakan para kyahi.

Santri:Dari mana anda bisa yakin demikian?

Gus:Ya, sepanjang yang saya tahu, karena tidak pernah saya temui ada hadits yang mengajarkan amalan demikian. Sedangkan Al Imam adalah salah seorang ahli hadits bahkan termasuk rawi hadits. Shalat dan dzikir adalah perkara yang tentu sering Rasul dan Shahabat kerjakan, shalat berjama’ah pula, tapi tidak satupun diriwayatkan para makmum shalat bersalaman kiri dan kanan itu setelah shalat, dan tidak pula ada riwayat Nabi berdo’a menghadap qiblat atau menghadap makmum dengan diamini amin-amin… para makmum

Santri: Hal itu berarti benar bahwa Al Imam tidak akan mengajarkan apa yang tidak sesuai dengan hadits. Jadi beliau bermadzhab dengan hadits yang shahih. Beliau sangat fanatik untuk berittiba’ kepada Rasulullah, karena itu beliau mencari dan menkaji hadits, beliau termasuk rawi hadits, bahkan beliau berhasil mewariskan bagi kita kitab Musnad Asy Syafi’i. Kalau begitu yang ajarkan amalan tersebut siapa?

Gus: Saya kira orang belakangan yang mengaku mengikuti beliau

Santri:Ya betul, berarti yang amalkan amalan amalan itu bukanlah bermadzhab Syafi’i. Sehingga orang yang mengaku mengikuti Al Imam , ternyata tidak benar-benar mengikuti manhaj Al Imam. Orang yang amalkan itu berarti tidak bermadzhab kepada beliau.Tetapi mengapa masih diikuti dengan kejahilan!

Gus: Para kyahi tentu tidak jahil

Santri: Betul, para kyahi tidak jahil, tetapi persoalannya mengapa dibiarkan dan bahkan diajarkan amalan ibadat yang tidak bersumber pada hadits yang shahih. Padahal para santri yang banyak itu ingin selamat dunia akhirat, ya seharusnya diajarkan Al kitab dan As Sunnah yang shahih yang tentu akan menyelamatkan

Gus:Anda bicara begitu karena anda tidak bermadzhab!

Santri: Itu tidak benar, anda kurang mengerti masalahnya sehingga tuduh begitu.Yang benar adalah, kalau mau disebut madzhab juga, bermadzhab pada Al Imam Ahlus Sunnah yang seluruhnya bermadzhab Al Qur’an dan Al Hadits disertai pemahaman salaf.

Anda mengaku bermadzhab Syafi’i, tetapi hanya pengakuan kosong,ma’af. Dan anda lebih tepat disebut” bermadzhab kepada Adat Syafi’iyyah”, yaitu bertaqlid pada amalan orang belakangan yang “mengaku” mengikuti Imam Syafi’i.

Gus:E..kok bisa?

Santri: Anda tentu hafal bacaan iftitah” wajjahtu….’ Tolong bacakan, saya akan dengarkan!

Gus:Baiklah”inni wajjahtu…wa ana minal muslimin”

Santri: Anda sudah lama kerjakan shalat, anda kan kyahi, sudah pernah periksa di kitab apa bacaan itu ada? Dan apa kata Asy Syafi’i tentang bacaan itu?

Gus: Aku tidak sempat periksa, aku percaya kyahi ajarkan begitu. Aku heran dengan perkataan anda. Tapi, anda sepertinya ingin menyampaikan sesuatu!

Santri: Tidak selayaknya anda tidak pernah periksa di kitab apa bacaan itu, sementara anda mampu baca kitab, sedangkan bacaan itu anda baca terus di tiap-tiap shalat!. Anda seorang kyahi sepatutnya periksa, dan apa kata Al Imam Asy Syafi’i tentang hal itu, bukankah ini garapan anda!

Gus:Insya Allah, akan segera saya periksa.

Santri:Anda mungkin juga memiliki kitab Sunan Abu Da-ud, yang relatip tidak terlalu tebal, coba cari bab “Apa yang dibaca ketika iftitah shalat-“[27]. Bandingkan berapa persen panjang bacaan wajjahtu kalian itu dengan lafazh aslinya seperti dalam kitab itu!.Boleh juga periksa kitab-kitab hadits yang lain! Di Sunan Nasa-‘i juga ada[28]

Gus:Rupanya anda sudah periksa…

Santri: Taqlid saja itulah sumber masalahnya! Sehingga lafazh yang seharusnya begini, menjadi hanya separuhnya saja, 50 % nya yang diajarkan para kyahi dan para santripun percaya saja, diamalkan saja, pembohongan public jalan terus! sementara komentar Al Imam Asy Syafi’i dalam kitab Al Umm terhadap hadits itu para kyahi tidak pernah menyampaikan .[29]

Gus: Ah, bacaan iftitah hanya sunnat hukumnya, tidak perlu ribut, baca separuh saja tidak masalah.

Santri:Yang benar bacaan iftitah bukan rukun shalat, tapi menyebut hanya sunnat hukumnya, belum tentu benar karena “ Shallu- kama- raaitumu-ni ushalli”, dan Rasul baca iftitah di dalam tiap shalatnya, jadi wajib hukumnya, dan hukum wajib itu tidak otomatis jadi rukun shalat, sebagaimana diketahui dalam ushul fiqih. Anggap hukumnya sunnat misalnya,tetapi melakukan yang hukumnya sunnat, tetap tidak boleh dipotong seenaknya sendiri. Coba anda pikirkan, apakah kalau kita kerjakan puasa sunnat, kemudian kita akan berbuka pada waktu zhuhur, dengan alasan puasa sunnat ?

Gus:Ya tidak boleh,E…masalah ini, Insya Allah akan saya periksa lagi, tapi anda seolah menuduh banyak amalan kami tidak berdasar hadits yang shahih

Santri: Itu perlunya selidik,silahkan selidiki sendiri dengan jujur! Saya tunjukkan sebagian perilaku kalian, adalah:

a.Baca Ushalli…. Untuk shalat ini dan itu, nawaitu untuk wudlu…puasa ramadlan. Tapi anehnya kalian tidak baca nawaitu untuk mengajar orang mati untuk menjawab berbagai soal malaikat di alam qubur / talqin !

b.Baca inni wajjahtu …sampai wa ana minal muslimin, setelah takbiratul ihram

c.Sedekapkan tangan agak ke kiri

d.Baca do’a sebelum dan setelah adzan tidak sesuai hadits, ada tambahan ini itu dengan keras pula!.

e.Baca shalawat dengan “suara keras” sebelum adzan [30], maupun sesudah beradzan

f.Tidak konsisten mengangkat tangan pada 4 tempat dalam shalat (padahal haditsnya mutawattir)

g.Baca tambahan sayyidina dalam tasyahhud, padahal Rasul tidak ajarkan begitu.

h.Membuka telapak tangan kanan setelah salam ke kanan, demikian pula untuk salam ke kiri dengan membuka telapak tangan kiri. Cukup banyak yang suka lakukan ini..

i.Berdzikir bersama-sama dengan keras dalam satu komando setelah shalat.

j. Adakan do’ a bersama ,, A-min Ami-n……setelah shalat fardlu

k.Tambahkan “ Wa’ fu ‘anni “ di dalam do’a Rabbighfirli warhamni……..ketika duduk antara dua sujud, padahal haditsnya tidak begitu!.

l. Baca dzikir dengan keras bersama-sama La ilaha illalla-h 33 kali setelah shalat, dengan geleng kapala dan anggukan segala.[31]

m. Adakan perayaan maulid Nabi [32] dengan baca diba’ dengan meyakini ruh Nabi datang pada saat dibacakan diba ‘waktu ucapan”mahalul qiyam”.

n.Tidak cukup begitu, kalian juga suka main-main ibadah, Adakan shalawatan versi tanjung perak atau kuck kuch tahe, dengan musik qasidah dangdut.[33]

o.Adakan shalawat Nariyah atau shalawat badar atau lainnya, disertai keterangan , jika dibaca sekian kali akan dapat begini atau terjadi begini, dst

p.Baca Yasin fadlilah, dengan ayat pertama baca beberapa kali .

qTeriak-teriak dengan shalawat yang dibuat-buat sendiri pula di sela-sela terawih

r.Bergoyang-goyang menggeleng dan mengangguk kepala ketika berdzikir La ila-ha illalla-h setelah shalat dengan sendiri atau bersama-sama.

s.Bangun kubah kubur , kabarnya ini termasuk pengaruh syi’ar kaum syi’ah.

t.Adakan sujud 1x setelah shalat sesaat sebelum keluar dari masjid, biasanya setelah dzikiran jama’ah

u.Kirim pahala bacaan Al Fa-tihah atau Surat ya-sin untuk orang mati dari pihak keluarga atau umumnya kaum muslimin [34]

v.Adakan kumpul-kumpul di rumah kematian [35]

w. Membolak- balikkan telapak tangan waktu baca qunuth shubuh

x.Biasakan pakai butiran tasbih waktu berdzikir setelah shalat[36]

Seratus persen tidak sesuai dengan sunnah, dan tidak dilakukan oleh para shahabatnya dan tidak pula diajarkan oleh Al Imam dalam kitabnya yang terkenal, jadi bukan madzhab beliau, sedangkan kalian mengaku mengikuti beliau. Tanggunglah dosa kedustaan kalian terhadap Al Imam.[37]

Kalian juga baca kitab mauled dibai dengan bernyanyi berjama’ah disertai dengan bacaan solawat yang dibuat-buat, apakah Al Imam mengajarkan demikian? Coba di chek hadits hadits yang terdapat dalam kitab Diba’i itu, apakah ada di dalam kitab-kitab hadits shahih? , karena Al Imam hanya berpaham hadits yang shahih ?

Kitab Al Imam terasa asing di kalangan kalian sendiri, karena kalian lebih suka bid’ah daripada sunnah, rupanya takut kalau kebid’ahan kalian terbuka kesesatannya, yaitu ternyata sangat berlawanan dengan apa yang diajarkan oleh Al Imam yang memang ahlus sunnah sejati !

Atau memang kalian tidak mampu menterjemahkan secara terbuka, sebab dengan secara lisan menterjemahkan, kan lebih aman ? Bila ada yang menyanggah terjemahan kalian, maka kalian tinggal mengatakan: “ Bukan begitu maksudku, maksudku ya seperti itu!”. Ah...konyol.! [38]. Kalian juga tidak bisa membedakan mana sunnah, mana bid’ah, mana ahlus sunnah, mana ahlu bid’ah, ya …akibatnya kalian suka melecehkan orang yang meninggalkan bid’ah!

Gus: Coba kamu terangkan lebih jelas, mengapa orang muhammadiyah, persis atau wahhabiy menolak tahlilan kematian!

Santri: Banyak ulama yang telah membahasnya dengan tuntas, maka tidak perlu pura-pura tidak tahu. Lagi pula meninggalkan tahlilan kematian itu sudah pas sesuai fatwa Al Imam Asy Syafi’i. Semestinya kalian yang menjelaskan mengapa kalian meninggalkan perkataan Al Imam, yang kalian sendiri mengaku bermadzhab kepada beliau.

Gus: Perkataan beliau yang mana?

Santri:….Buka kitab Al Umm jilid 1.

Amalan-amalan yang lain bagaimana?

Gus: Hal itu berjalan begitu saja, dan tidaklah semuanya itu sesuai dengan fatwa resmi organisasi. Tapi, Semua itu maksudnya baik, niatnya baik, niat beribadah, kan bid’ah ada yang hasanah.

Santri : Dalam urusan agama, tidak ada satupun terbilang bid’ah hasanah, dan semua bid’ah itu semuanya sesat, walaupun niatnya baik dan neraka telah disiapkan untuk kesesatan., inilah yang disebut dalam hadits yang shahih. Kalian sebut itu bid’ah hasanah dengan pertimbangan akal kalian / takhayyul , sedangkan kalian tidak paham kedudukan akal dalam syariat.

Gus : Hadits itu maksudnya tidak begitu. Anda kan punya HP, kitab-kitab Fiqih, radio, kipas angin, pergi haji dengan pesawat terbang, padahal dulunya tidak ada di zaman Nabi dan tidak ada seorang ulama’pun yang mengharamkannya. Jadi bid’ah ada yang hasanah , jika ada manfaatnya!

Santri:Anda tidak paham hadits itu, dan saya kira, anda tidak pernah mengkaji hadits itu dari keterangan ulama syafi’iyah sendiri, kan ? yang dicontohkan itu masalah keduniaan, jadi memang tidak ada ‘ulama yang mengharamkan [39], sedangkan yang dilarang Nabi dalam hadits adalah dalam masalah keagamaan (Aqidah dan Syariah). Pelajari masalah ini. Jadi semua bid’ah dalam keagamaan yang dilakukan itu tidak dapat dibenarkan sedikitpun.

Sedangkan penisbatan bid’ah hasanah ada diriwayatkan dari Al Imam, ini telah ada penjelasannya bagi orang yang mau mempelajarinya. Karena Rasulullah telah menegaskan semua kesesatan di neraka., setelah mengatakan semua bid’ah itu sesat. Mengapa kata “ semua “ mau diartikan yang pertama “ sebagian” dan yang kedua diartikan” semua”, padahal itu dalam satu susunan kalimat yang utuh[40].?

Gus: Tapi begitulah paham yang terkenal dalam kalangan kyahi

Santri:Bolehkan orang bacakan takbir 200 kali di awwal adzan?Bolehkah atur bacaan,misalnya adakan sujud 1 kali dengan baca tahlil 500 kali, tasbih 40 kali,tahmid 20 kali baca Alfatihah 6 kali, ditutup dengan 1000 salam sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, dengan niat baik yaitu ingin dapat pahala lebih banyak ?

Gus: Tentu tidak boleh , itu termasuk bid’ah dlala-lah!

Santri:Mengapa dlala-lah, padahal baca dzikir takbir , dzkr tasbih, baca Al Fatihah itukan baik dan lebih banyak lebih baik?

Gus:Karena Rasul tidak ajarkan dan para shahabat tidak kerjakan

Santri:Betul dzikir takbir, tasbih, sujud ,…itu baik, tetapi membuat-buat acara ibadat itulah bid’ah dlala-lah,walaupun berniat baik, tetap saja haram dan dilarang oleh Nabi yang mulia..Ya .., karena itu di dalam urusan syariat, akidah dan ‘amalan ‘ibadah.[41]

Gus:Benar!

Santri:Sebenarnya anda ini mengerti, tapi mengapa kalian masih suka ikuti acara atau ikut adakan kebid’ahan di dalam urusan agama.

Para imam yang ‘ilmu dan ‘amaliyah paling jempol, sama sekali tidak suka berbuat bid’ah. Maka sangat konyol perilaku orang yang sangat jauh kedudukannya dari beliau justru dengan bangga dan berani berbuat bid’ah.

Orang macam kaum tradisi, kalau tidak bisa menunjukkan haditsnya, biasanya berpindah alasan ke bid’ah hasanah atau buat hadits palsu, dengan cukup mengatakan ‘ Al Hadits” inilah kelakuan ahli bid’ah. Kalian mengaku ahli sunnah, seharusnya bisa bedakan sunnah dan bid’ah , ahlu sunnah dan ahlu bid’ah !

Gus : Anda kok bisa berkata begitu!

Santri: Ya! Dari semua yang telah saya sampaikan tadi, anda kan tidak lupa.! Dan anda tidak perlu marah. Bukankah kebid’ahan yang kalian kerjakan itu tidak didasari Al Hadits yang shah ? Dan bukankah sebutan ahli bid’ah tidak ada jeleknya, bukankah anda berkata ada bid’ah hasanah? Dan anda banyak menyetujui amalan bid’ah, sebentar-sebentar dengan alasan dianggap hasanah! Dan anda ridla pengangguran dan penyanyi buat bid’ah dengan berbagai lagu dan goyang shalawatan, dilakukan di dalam masjid , dengan musik pula, bahkan di beberapa masjid kalian takbiran malam hari raya dilakukan di dalam masjid dengan lafazh takbiran yang ditambah-tambah, diatur-atur sendiri lafazhnya, disisipi dengan ayat-ayat al Qur’an, dengan musik terbangan pula! Bagitukah amalan ahlus sunnah wal jama’ah?

Gus: Dzikir -dzikir memuji Nabi kan baik, beliau benar panutan kita!

Santri: Benar, kita disuruh meneladani beliau, otomatis karena beliau itu tentulah karena beliau mulia, memiliki banyak keistimewaan di dunia dan di akhirat [42]sehingga layak dipuji . Allah memberitahu kita[43] bahwa Nabi Muhammad berakhlaq yang tinggi, tetapi tidak dibenarkan berlebih-lebihan di dalam memuji dan menyanjung beliau, dan tidak ada perintah memuji –muji beliau dengan bacaan dan jumlah tertentu dengan dijanjikan pahala begini-begitu, atau akan mendapat begini begitu. Yang ada, kita disuruh membaca shalawat kepada beliau sebagaimana yang beliau ajarkan, perintah mengikuti beliau dengan menta’ati perintah dan menjauhi larangannya[44].

Coba anda bayangkan, sekelompok orang datang kepada Nabi dengan memuji-muji beliau dengan pujian yang meninggi dan semarak , tetapi keadaan orang-orang itu tidak menta’ati perintah-perintahnya dan justru larangan-larangannya dilanggar, sedangkan Allah perintahkan untuk mentaatinya. Kira-kira bagaimana sikap Nabi kepada orang itu?

Gus:Tentu beliau tidak ridla, dan merasa dipermainkan

Santri:Dan semua bid’ah dalam keagamaan termasuk di antara yang dilarang. Rasulullah hampir selalu di setiap kesempatan memberi pengajaran kepada para shahabatnya berulang-ulang mengingatkan tentang bahaya bid’ah dan perintahkan agar jangan sekali-kali berbuat bid’ah, padahal di zaman itu belum ada bid’ah, seluruh ummatnya waktu itu begitu ada masalah, selalu dikembalikan kepada keputusan Rasulullah.

Gus:…..Tapi bagaimanapun, tetap ada bid’ah hasanah, karena Sayyidina Umar bin Khoththob yang mengatakan demikian!

Santri:Ya, supaya tidak bertentangan dengan hadits, maka mesti dicari maksud haqiqi dari ucapan Sayyidina Umar tersebut, sebab dengan pasti, tidak mungkin beliau berani mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan hadits Rasul.

Gus:Benar begitu, coba teruskan!

Santri: Jadi bid’ah hasanah yang dimaksud adalah mengangkat kembali apa yang sudah pernah dikerjakan Rasul, tetapi sekian lama sempat tidak dikerjakan oleh ummatnya. Jadi bid’ah hasanah itu sendiri haruslah perkara yang memang sudah ada haditsnya. Rasulullah pernah kerjakan beberapa malam shalat tarawaih berjamaah dengan satu imam, yaitu Rasulullah sendiri, dalam suatu masjid, tetapi kemudian setelah Rasulullah tidak shalat tarawaih bersama para shahabat[45],para shahabat shalat tarawaih dengan terpencar beberapa kelompok jama’ah tarawaih dalam satu masjid, kemudian Sayyidina Umar memandang sebaiknya kembali sesuai amalan Rasul terdahulu. Kiranya cukup jelas, penyebutan bid’ah hasanah itu adanya secara lughawi saja, sedang haqiqinya adalah haruslah perkara yang ada sunnah Nabi padanya. Orang yang tidak meneliti sunnah, dengan pasti akan terjerumus dalam kebid’ahan bersama ahli bid’ah [46]

Gus : Kok bisanya anda bicara banyak hal dalam syariat ini?

Santri: Al hamdulillah, seseorang mestilah menyadari siapa dirinya, maka seseorang mestilah terus mencari keterangan ulama dalam banyak hal untuk dapat dijadikan pegangan untuk menjaga diri dan keluarga. Saya heran ,anda kok tidak tanya, kalau tidak tahu kitab apa yang membahas bid’ah dengan banyak segi dan contohnya oleh ulama syafi’iyah ,yang namanya sering disebut oleh kalian? ….Seseorang wajiblah mencintai ‘ulama, insya Allah, yang dengan ikhlash mengajarkan segala sesuatunya bagi ummatnya yang belum punya kesempatan mempelajari agama dengan sempurna, dengan bahasa yang mudah dipahami dan disertai rujukan yang telah ditelitinya. Maka bagi seorang muslim wajiblah memperhatikan keterangannya dan tidak meremehkannya sedikitpun. Jadi sekali-kali bukan dengan kedangkalan ilmu terus ikut-ikutan berfatwa, ini wilayah para ‘ulama.

Memang benar, satu kebodohan yang besar jika seseorang yang hanya baca terjemahan hadits terus keluarkan suatu fatwa hukum.

Dan sebaik-baiknya seseorang belajar itu dari kitab kajian masalah yang telah disusun oleh para ulama ahlu sunnah, yang ciri khas kitab mereka adalah setiap perkataannya ditunjukkan ayat atau haditsnya yang shah dan kaidah fiqih yang digunakan. Jadi kita orang awam ini mengerti dan mengamalkannya dengan paham, mengamalkan qur’an dan haditsnya, bukan semata-mata perkataan ulama.

Kalaupun diantara orang awam ini berdalil itupun setelah mengetahui kajian para ulama, bukan mengambil langkah sendiri, ini anda salah paham!. Mereka itu loyal pada keterangan yang shah, tak heran mereka bela keyakinannya sebisa yang mereka bisa lakukan.

Gus: Anda tidak menyebut diri anda Muhammadiyah. Tapi,menurutku, Orang –orang Muhammadiyah , Al Irsyad dan Persis jahil !

Santri : Aku belum pernah mendengar kyahi bicara begitu secara terbuka, maka anda termasuk seorang pemberani.

Gus: Bukan sok berani begitu, karena banyak orang Muhammadiyah baca Safinatun Naja saja tidak bisa.

Santri:Anda memang nyata sangat pemberani, lebih tepatnya ngawur! Betapa tidak para kyahi di atas anda saja tidak pernah bicara begitu (entah kalau bicara begitu di kalangan sendiri ?). Semestinya sesuai kaidah anda pula mestinya anda taqlid pada ucapan kyahi di atas anda yang tidak memaki-maki secara terbuka .

Orang Muhammadiyah banyak yang tidak bisa baca Safinah, apakah karena itu dia bodoh?

Gus:( Dengan yakin jawab) ya itu cukup jadi bukti, karena kitab itu termasuk kitab dasar yang tidak jlimet dan mudah dipahami

Santri: Anda sekarang bawa kitabnya yang asli?

Gus: Aku tidak bawa, lain kali saya bawa.

Santri: Anggaplah sekarang ada kitab safinah itu, kira-kira kalau saya bawa ke kumpulan malam jum’ah di kampung, yakinkah mereka dapat membaca dan menterjemahkan?

Gus: Saya kira tidak

Santri : Aku yakin mereka 100 % dan bukan hanya 95%, tidak ada yang mampu.Jadi tidak salahkan, bahwa mereka juga tidak kalah bodohnya!

Kalau berpikir agama ya mesti dengan dalil, jangan asal memaki-maki, kalau salah makian itu nanti kembali ke orang yang memaki. Tentu saja kalau kitab semacam itu dibawa ke orang awam manapun golongannya tentu tidak akan mampu, dan sebaliknya kalau dibawakan ke orang yang punya kemapuan bahasa golongan apapun tentu bisa baca dengan baik, begitu saja anda tidak proporsional dalam beranalogi! Orang di golongan manapun tentu berlapis-lapis kemampuannya, ini sangat nyata.

Gus: Maksudnya apa anda ngomong begitu?

Santri: Anda sudah lama kenal kitab Safinatun Naja,kan? Coba terangkan, siapa penyusunnya dan sedikit biografinya semisal lahir di mana, siapa saja gurunya, dan kitab apa saja karangannya, atau apa sajalah sehingga layak kitab itu jadi pegangan!

Gus : Pengarangnya aku tahu, tapi biografinya selebihnya aku tak tahu… tapi begitulah kitab itu terkenal begitu saja diajarkan kalangan kiyahi

Santri: Berpuluh tahun mengkajinya, tapi terhadap identitas pengarangnya tidak tahu. Kata orang, Mencintai orang yang tidak dikenal, termasuk bagian kebodohan.

Gus : bisa saja anda !

Santri: Betul, sekarang ini, terlalu banyak baik simpatisan An Nahdliyah maupun Muhammadiyah atau lainnya sama saja keadaannya, yaitu sangat lemah dalam kemampuan membaca dan memahami kitab kitab-kitab standard pegangan para ulama. Tetapi, masih ada baiknya ,yaitu mereka tidak mempelajari kitab tersebut karena bahasanya tidak dikuasai dan didalamnya tidak ada dalilnya , kemudian mereka beralih belajar buku-buku yang ditunjukkan keterangannya dari Al Qur’an dan Hadits yang shah. Semacam “Pengajaran shalat, Pedoman shalat, Pedoman Hajji,.. “ Itulah ittiba’ namanya.

Kalau percaya saja omongan orang, walaupun ulama, tidak perduli ada atau tidaknya dalil , tidak peduli shah atau tidak dalilnya, itulah taqlid namanya. Para Imam sendiri juga melarang sikap taqlid., tetapi kalian malah mewajibkan taqlid., sadarkah anda pada penyimpangan terhadap para Imam ahlus sunnah yang mulia?

Gus: Kitab ulama itu tentu ada dalilnya, makanya perlu dingajikan.

Santri:Betul, semestinya kalian terjemahkan dan beri keterangan dari Al Qur’an dan Al Hadits yang shah, cetak dan sebarkan. Itu baru jujur. Tetapi terus terang saya menilai anda tidak mampu melakukannya! Anda kan tidak punya kitab-kitab hadits dan anda memang tidak kompeten terhadap hal itu, karena baru menterjemahkan “wa ladzikrullahi akbar” saja tidak pas.

Gus: Wah repot ngomong dengan anda, anda baru pemula saja sudah sok!

Santri Anda punya ma’had, semestinya hal itu mudah tetapi terhadap yang sederhana begitu saja sudah salah! Orang itu harus tahu kemampuannya, kalau belum pantas sebagai ulama ya tidak perlu mengambil kursi ulama! Anda sendiri memang nyata jahil dalam lughah! Maka jangan melangkah terlalu jauh, bisa jadi anda menyesatkan banyak orang atau mem- propagandakan sikap melecehkan para ulama ahlu sunnah di Muhammadiyah atau Persis atau Salafy atau lainnya, anda tidak lupa kan siapa yang memimpin MUI dalam waktu yang cukup lama itu? Dari golongan manakah dia?

Gus: Ya, maksud saya tidak begitu?

Santri: Anda beberapa kali katakan orang muhammadiyyah bodoh, sepertinya anda sudah pikirkan banyak segi! Karena setiap omongan itu ada pertanggung jawabannya di hadapan Allah.

Gus: Ya tentu!

Santri: Apakah anda sudah meneliti fatwa-fatwa yang beredar di kalangan Muhammadiyyah atau di persis?

Gus:Tidak, saya tahunya mereka tidak kerjakan qunut shubuh, padahal para kyahi selalu mengajarkan dan kerjakan begitu dengan konsisten , padahal para kyahi tentu tahu dalilnya

Santri: Hanya itu alasannya?..Sebentar saya ingat sesuatu!, Bukankah beredar di kalangan kalian foto-foto para wali di kalangan kalian, yang di antaranya juga ada ulama Muhammadiyah di situ. Bagaimana anda ini?

Baiklah….Apakah Nabi selalu kerjakan qunuth shubuh? Apakah kalau Nabi shalat shubuh secara tetap dan jahar pakai qunuth , kemudian para shahabat yang jadi makmum tidak mengetahuinya? Apakah kalau Nabi berqunuth dengan bacaan tertentu kemudian para shahabat yang mengamini itupun dengan tidak mendengar bacaannya. Aneh….?

Padahal hadits-hadits tentang pelaksanaan shalat itu sangat-sangatlah terperinci dan banyak sekali haditsnya, maka kalau memang disyariatkan qunuth dengan bacaan tertentu dengan jahar secara tetap pada shalat shubuh, tentulah dengan mudah haditsnya akan kita dapatkan, sebagaimana kaifiyat shalat yang lainnya.. Jadi mana yang benar?. Semua riwayat Nabi qunuth secara tetap dalam shalat shubuh adalah dla’if secara ilmu hadits, begitu kata pakar hadits.

Gus: Tetapi aku tetap pakai qunuth shubuh, karena begitulah kyahi khash ajarkan. Andakan juga taqlid pada ahli hadits !

Santri: Anda pernah tahu apa kata Al Imam Asy Syafi’i dalam hal ini? Di kitab apa ?

Gus:E…belum, aku tidak tahu keterangan beliau sebenarnya, aku hanya ikut saja kata kyahi dalam hal ini.

Santri : Mestinya para kyahi bisa tunjukkan bukti kebenaran amalannya. Belajar itu mestinya, jangan hanya percaya saja, jangan hanya terima instan (produk). Tetapi mulai dengan beberapa ilmu alatnya (ushul fiqih ). Mestinya kyahi bisa buktikan keshahihan hadits qunuth shubuh secara tetap. Sampai sekarang kan tidak ada satupun kyahi yang mampu buktikan secara ilmu hadits, padahal kyahi kalian itu sangat banyak!.Ini saja sudah cukup jadi bukti ketidakberesan kalian, padahal perkaranya sudah puluhan tahun kalian kerjakan

Satu lagi, anda katakan saya taqlid pada ahli hadits dalam mengatakan hadits itu dla’if itu, apa yang aneh? Seseorang mestilah mengikuti sesuatu itu secara proporsioanal, kalau anda tanya fiqih mestilah pada ahli fiqih sejati yang telah terbukti mampu menjabarkan alasan alasan fikih atau hadits dengan baik.Ketika seseorang awam mengikuti ahli hadits mestilah di dalam perkara derajat hadits, dan itu memang bidang ahlinya, yang begini bukan taqlid, ittiba’ namanya, karena semua keterangannya bisa dicek ulang dari kitab-kitab sumbernya. Ini pula yang dinasihatkan oleh Al Imam Asy Syafi’i, Al Imam Asy Syafi’i berkata: “ Kullu mas ‘a latin idza shahhal khabara ‘an Rasu-lilla-h ‘inda ahli naql bi khilafy ma qultu, Fa inna- ra-ji’u ilaiha fi- hayati wa ba’da mama-ti…” Dari sini, Al Imam Asy Syafi’i setuju mengikuti “ketetapan keshahihan” suatu hadits hasil kajian ulama ahli hadits, karena itu memang bidang garapan para ahli hadits, hendaklah anda paham! Begitulah bukan taqlid sebagaimana anda paham !

Gus: Kita kan perlu segera beramal,…

Santri : E..kalau begitu kita perlu segera meng-ilmui persoalannya! …Kelihatannya shalat anda dengan madzhab syafi’i, apakah boleh seseorang shalat dengan berbagai madzhab?

Gus: Tidak boleh itu talfiq namanya, biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mengambil enaknya saja.

Santri:Jangan main tuduh begitu!, sedangkan anda sendiri tidak mampu melakukan shalat semata-mata hanya menurut satu madzhab Al Imam Asy Syafi’i, sebagaimana yang anda katakan. Betapa tidak, Al Imam tidak baca ushalli-…kalian justru melakukan ; Al Imam tidak ajarkan sedekapkan tangan agak ke kiri di dalam shalat,.. kalian justru melakukan dengan alasan thariqat; Al Imam ajarkan wajjahtu….sampai akhir, tetapi kalian malah memotongnya hingga separuh saja, Al Imam tidak ajarkan “sayyidina “ di dalam shalawat ketika baca at tahiyat, kalian justru sangat bersemangat; Al Imam ajarkan dzikir setelah shalat itu tidak dikeraskan, kecuali sesekali-sesekali untuk mengajarkan atau mengingatkan bacaan dzikir, kalian justru lakukan keras-keras berjama’ah pula dengan terus-menerus. Al Imam bermadzhab hadits yang shahih, tetapi kalian tetap saja taqlid dan ta’ashshub madzhab, bahkan kepada beliau sendiri, padahal beliau melarangnya.

Gus: Tapi begitulah yang diajarkan kyahi, saya tawadlu’ saja, ikut saja.[47].

Santri:Apakah anda sudah baca buku-buku Dr Hamka, Prof Hasbi as Shiddiqi atau apakah anda sudah baca buku kumpulan fatwa Al Ustadz Umar Hubeisy atau Syaikh A Hassan ?

Gus: Tidak, aku tidak mengenal karya-karya Hasbi atau Umar Hubeisy, apalagi A Hassan. Kitab kuning sudah cukup menjawab soal-soal agama.

Santri: Anda selalu membanggakan kitab kuning, seolah anda sudah bisa baca dengan benar kitab kuning dan mengartikan dengan tepat. Padahal saya kira tidak begitu keadaannya….Anda mengenal Hamka-kan? Apakah sudah dipelajari dengan baik apa fatwa-fatwanya sebagaimana tersebar di majalah-majalah di Malaysia dan di Indonesia?

Gus: ?……

Santri:’Kok bisanya anda sembrono, Gus !…Tidak mengenal, tapi sudah antipati..Ini bukti nyata kejahilan anda!. Dengan dasar apa ,anda maki orang Muhammadiyah sebagai orang bodoh?… tidak ada lain karena kalian dengki kepada ulama ahlu sunnah yang biasa bicara hadits, dan mengamalkannya, sedangkan kalian bicara madzhab itupun bukan madzhab Al Imam sendiri. Kalian katakan itu untuk menjauhkan ummat dari Hadits yang shah. Karena yang dicari oleh ulama Muhammadiyyah, Persis , al Irsyad dan lainnya adalah keterangan yang shah dari Al Qur’an dan Al Hadits, bukan sekedar pendapat atau madzhab!

Anda maki orang yang tunduk pada sunnah nabi sebagai bodoh, ya .. biasa saja, Nabi saja dimaki-maki orang kafir, jadi itu bukan ukuran.

Ada perkataan begini,: “Ala – innahum humus sufaha-u wa la kin la yasy ‘urun. Ngerti kan? Jadi apa yang kalian tuduhkan kepada orang yang mengikuti sunnah Nabi, itu sudah pernah dikatakan orang kafir, kok ditiru? Jadi, Caci maki itu dapat kembali kepada pelontarnya, sadarlah dan tobatlah !

Seseorang yang menjalankan sunnah Nabi, walaupun belum tingkat fa-qih, sama sekali tidak patut disebut “ jahil”, bahkan haqiqinya dia itu cerdas. Bahkan sebaliknya, orang yang melakukan yang berlawanan dengan sunnah, walaupun doctor , sangat pas disebut “ jahil”, jahil dalam perkara ad di-n.

Gus: Wah, pinter baca ayat!?

Santri Dalam agama itu kalau seseorang itu taat itulah pinter dan selamat, walaupun ilmunya masih pemula dan terus belajar. Mereka yang terus mengikuti kajian ulama ahlu sunnah dan mengamalkannya itulah yang selamat dan itulah pinter, bukan jahil, karena amalnya sesuai sunnah dan jauh dari amal jahiliyah. Sedangkan orang ahli bid’ah itulah hakekat kebodohan! Amalannya jauh dari sunnah , walaupun pintar bicara memukau atau ahli provokator![48]

Anda katakan saya baca ayat? Ini lagi kejahilan anda, itu semua karena anda suka meremehkan orang yang menghafalkan ayat-ayat al Qur’an dengan kata-kata “ tetapi mereka tak paham”, tetapi dalam waktu bersamaan anda sendiri sangat kosong dari hafalan Al Qur’an, sehingga yang “seperti” ayatpun anda katakan sebagai “ ayat”, kasihan anda ini !

Anda sebut-sebut juga Persis sebagai bodoh, apakah anda sudah pernah meneliti?

Gus: ……..E….

Santri: Payah! , kenal saja tidak…… Supaya bisa diperiksa, belum lagi periksa,anda “sudah” katakan apa yang dilakukan oleh Zainudin MZ, dan Aa Gym itu bukan kajian. [49] Kalau belum kenal Syaikh A Hassan atau Persis, dan perlu data! Walau tidak banyak, tetapi aku lebih paham daripada ente dalam hal ini .

Gus:Wah!?

Santri: Anda memang terbiasa meremehkan orang. Apakah anda sudah mempelajari kitab Syekh ?

Gus: Syekh yang mana?

Santri: Aku tidak bertanya, apakah anda sudah mempelajari kitab-kitab Asy Syaikh Al Imam Ahlus sunnah Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah, yang kalian sebut “Sulthanul auliya-“mungkin terlalu jauh, dan sangat mungkin anda tidak punya kitab-kitab beliau, tetapi apakah anda sudah mempelajari tulisan-tulisan Syekh Al ‘Allamah K H Hasyim Asy’ari?

Gus: Kitab yang mana?

Santri: Sebelum saya jawab, coba sebutkan kitab atau risalah apa saja karangan beliau.

Gus:Aku tidak tahu kitab apa saja yang telah beliau tulis, ma’af aku tak bisa jawab !Ya, naluriku mengatakan aku cinta organisasi ini, selesai!

Santri: Kasihan anda ini? Anda bukan pecinta sejati beliau. Padahal anda inikan sebagai kiyahi dan punya pesantren!. Aku pernah baca sebagian tulisannya, memang sangat baik yang beliau tulis dalam bahasa arab itu[50], dan sangat berbeda dengan akidah kalian!

Gus: Anda bicara begitu rupa karena anda Muhammadiyah, walau tidak dikatakan!

Santri: Anda tidak tahu kitab karangan beliau, kalau tidak tahu mestinya tanya……. Tidak mengapa anda ingin bicarakan yang lain?.. Baiklah, apapun sebutannya , asal sebutan itu dinisbatkan pada Rasulullah, atau manhajnya, biarin saja! Seseorang semestinya ingin menapaki sunnah Rasulullah sebagaimana diamalkan para shahabat dan para ulama salafus Shalih, dan menjauhi semua bid’ah. selesai. Apakah itu wahhabi, ahlu sunnah wal Jama’ah , Muhammadiyah, Persis, atau salafy, terserah ente mau sebut! Dengan begitu, seseorang tidak perlu menjadi penganjur sujud setelah shalat, tanpa sebab dan juga bukan penganjur shalawat Nariyyah yang bid’ah itu, anda kan tahu apa arti Na- riyyah ??

Gus: Menurut bahasa yang saya tahu,Na-riyyah artinya sesuatu yang berhubungan dengan An Na-r

Santri: Itu sudah sangat jelas, anda tidaklah bernasabkan pada keselamatan

Gus: Baca shalawat Na-riyah banyak khasiatnya dengan membaca 4444 kali. Banyak yang berhasil!

Santri:Shalawat Nariyyah bukan shalawat dari Nabi, tetapi shalawatan buatan orang yang tidak ma’shum artinya bisa diterima dan bisa ditolak dengan alasan yang tepat

Gus:Dari segi apa anda meragukan?

Santri:Pertama, dari sisi shalawat nariyah bukan dari nabi, sedangkan shalawat adalah ibadat yang hanya patut berdasar pada petunjuk Al Haq ,dan ke dua dilihat dari sisi tauhid

Gus:Kalau baik , kan boleh diamalkan? Daripada main kartu atau lainnya, bukankah lebih baik baca nyanyian shalawatan

Santri:Anda sepertinya kurang paham ilmu ushul fiqih. Baiklah kata kuncinya apa artinya kalian baca tiap tahlilan dengan ucapan “ Laqad ka-na lakum fi rasu-lilla-hi uswatun hasanatun” …tetapi tidak menjadikan Rasul sebagai kunci penyelesaian masalah, malah suka-suka berbuat bid’ah dengan alasan bid’ah hasanah. Shalawat yang sesuai dengan ajaran Nabi, tentulah tidak bermasalah. Tetapi baca shalawatan di waktu beribadah yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi, pastilah bermasalah, walaupun niatnya baik.

Gus: Mereka hanya bermaksud baik saja. Biarkan saja ber’amal, toh diterima atau tidak itu urusan Allah, kita tidak berhak menentukan.

Santri: Itu ungkapan bid’ah, bathil, jahil tentang ad di-n dan menunjukkan rusaknya akal.

Gus:kok bisa? Bukankah diterima atau tidak itu memang urusan Allah?

Santri: Coba pikirkan!, untuk apa Rasululla-h mengajarkan ibadah dengan caranya begini begitu, kalau dapat dibenarkan setiap orang punya anggapan, biar saja orang beramal sembarang , karena diterima atau tidak itu urusan Allah?

Betul, diterima atau tidak amal di hadapan Allah adalah hak Allah yang maha mengetahui lahir dan bathin seseorang, tetapi Allah dan Rasul telah mensyariatkan / mengajarkan bagaimana agar amal itu bisa diterima oleh Allah

Bukankah para shahabat mengikuti Rasulullah dalam beramal ibadah, dengan meniru dengan teliti sekali atau bertanya kepada beliau.

Hal itu menunjukkan bahwa” beramal ibadah itu mestilah harus sesuai dengan yang Rasulullah ajarkan, tidak sekedar berniat baik

Gus:Itu akal-akalanmu!

Santri:Bukan akal-akalan, tetapi akal yang sehat. Berapa kali anda dengar, ungkapan” afala- tatafakkaru-n,…afala- tadzakkaru-n”?…

Akal sehat seorang muslim tunduk pada dalil naqli.

Gus:Dalil naqli yang mana?.

Santri: Allah berfirman:“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.[51]

Rasulullah bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُ نَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa melakukan suatu amalan (dalam rangka ibadat) yang tidak aku perintahkan, maka amalan itu tertolak” [52]

Jadi, “Semua perkara yang diterima atau diridlai Allah, telah sempurna Allah dan Rasululla-h ajarkan, tidak satupun terlupakan”.

Syarat diterima suatu ‘amalan adalah harus terpenuhi dua hal sekaligus, yaitu 1. niat ikhlash kepada Allah, 2. Ittiba’ kepada Rasu-lulla-h . Dan tidak akan diterima suatu amal yang hanya terpenuhi salah satunya.[53]

Gus:Baik,....maksud ada masalah di sisi tauhid?

Santri: Kalau anda bisa artikan tepat, nyata kalian telah berwasilah kepada Rasulullah yang telah meninggal di dalam berdo’a, Rasul tidak ajarkan , para shahabat tidak ajarkan, para Imam termasuk Al Imam Asy Syafi’i tidak ajarkan, karena memang syirik adanya, sedangkan merekalah yang paling faham agama ini.

Gus:…..E…. hati-hati! dalam Al Qur’an, kita disuruh untuk berwasilah ?

Santri:Karena kyahi yang sampaikan dengan tidak meneliti tafsirnya, maka banyak orang awam yang terkecoh. Betul ada perintahnya, tapi apakah anda pernah mengkaji penjelasannya dalam tafsir kalian? Anda biasa baca tafsir yang mana?

Gus: Tafsir Jala-lain

Santri: Apa kata Al Imam , dua imam penyusun kitab itu?

Gus: Aku belum periksa…!.

Santri:Mari kita buka kitab Tafsir Jalalain. Baiklah, coba buka QS Al Ma-idah , coba artikan!

Gus:ya..saya paham[54], tetapi para kyahi biasa pakai dalil itu untuk berwasilah kepada Rasulullah, dan bukankah kalau kita menghadap presiden, tentu melalui wakil atau staf bawahan kepercayaannya, karena menyadari kedudukan kita yang begini rupa rendahnya. Begitulah madzhab Syafi’iyah

Santri:Maka terbukti, kalian berwasilah kepada Rasulullah , para malaikat, Jibril atau Mikail ternyata tidaklah berdasar pada ayat , bahkan hanya bertumpu pada akal-akalan / takhayul belaka, dimana kalian bayangkan menghadap kepada Allah dengan beribadah kepadaNya semacam kalau kita menghadap kepada kepala negara, melalui wakil dan staf. Ini qiyas yang ba-thil, sesuatu yang sangat bertentangan dengan petunjuk Al Qur’an dan Al Hadits. Menyembah, berdo’a dan beribadah kepada Allah dengan berbagai bentuk peribadatan mestilah dengan langsung kepadaNya[55], karena memang Allah sendiri perintah begitu[56]. Lagi-lagi alasan madzhab Al Imam, padahal Al Imam Asy Syafi’i tidak amalkan tawassul macam begitu dan tidak ajarkan begitu, Al Imam hanya berpegang pada petunjuk Al Qur’an dan Al Hadits yang Shahih[57]

Gus:….

Santri:Kalau meminta atau beribadah kepada Allah perlu melalui wasilah(perantara), maka tentulah Allah turunkan ayat siapa yang patut dijadikan perantara untuk menghadap berdo’a dan beribadah kepadaNya, karena masalah ini penting, semua makhluq berhajat mengetahuinya . Ternyata tidak ada ,maka alhamdulillah cukup bagi kita ayat Al Qur’an, Al Hadits dan amalan para shahabat yang mendapat pengajaran dari Rasul sendiri.

Gus:…

Santri:Semestinya bermadzhab itu yang benar, yang paham…! Al Imam An Nawawi maupun Al Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dua ulama ahlus sunnah yang terkenal dalam madzhab Syafi’i sangat jempolan dalam hadits dan keterangannya dengan pasti dijadikan kajian lebih lanjut oleh ulama ahlus sunnah yang shalih di seluruh dunia dulu, sekarang maupun yang akan datang, Insya Allah

Gus: Anda keberatan adanya sujud setelah shalat, apa alasannya, padahal sujud itukan baik ?

Santri:.Sujud yang baik tentulah dalam shalat, sedang sujud dan berdo’a di dalamnya setelah shalat yang dibuat-buat tanpa dalil, otomatis qabi-h, jelek dan bid’ah Sedangkan sujud sahwi ada dalilnya, sujud tilawat ada dalilnya, sujud syukur ada dalilnya, bedakan!

Orang yang mengingkari, tentulah karena tidak ada dalil adanya ibadat sujud setelah shalat dengan tanpa sebab syar’i itu,otomatis bid’ah dan haram, jadi tidak perlu secara khusus saya tunjukkan hadits yang melarang amalan itu, karena sudah secara umum Rasulullah sudah melarang ummatnya berbuat bid’ah dalam urusan agama. Jadi, yang mengingkari sesuatu amalan bid’ah tidak perlu membuktikan dengan dalil khusus.. Sedangkan yang mengamalkan suatu perkara ibadat, mestilah harus mampu menunjukkan dalil kebenarannya

Jadi pertanyaan itu sepatutnya kembali kepada anda.

Gus:Baiklah,menurut kyahi, kita shalat tentulah ada kelalaiannya dalam konsentrasi atau pelaksanaannya yang disebabkan oleh was-was dari syaithan, maka untuk menambal kekurangan itu tentulah dengan amalan yang syaithan lari dari padanya, yaitu sujud!

Santri: Alasannya kelihatannya ilmiyah, tetapi ini suatu takhayul belaka! Benar, saat yang baik untuk berdo’a adalah ketika sujud, tetapi itu di dalam shalat, bukan sujud di luar shalat. Kalau yang melakukan itu mengaku sebagai ahlus sunnah, tunjukkan sunnah Nabi yang perintah demikian!

Gus: Tidak ada hadits, tidak pula atsar para shahabat,tapi saya kira,mungkin itulah akal atau pemahaman atau mungkin kasyaf para kyahi khash

Santri:Tidak ada hadits, berarti itu bid’ah dan takhayyul belaka. Agama oleh Allah dan Rasul telah disempurnakan dan Nyata Rasul tidak perintah amalan itu, tetapi sebagian orang telah perintahkan amalan itu, logika iman yang mana untuk membenarkan mengikuti takhayyul shufiyah itu? Kalau pakai alasan madzhab juga, tunjukkan Imam yang mana ajarkan sujud setelah shalat itu.

Gus:Kelihatannya itu hanya muncul belakangan! Bukan dari hadits dan juga bukan dari fatwa Al Imam

Santri:Mestinya dicari dalilnya sampai ada, bila ditemukan diamalkan dan bila tidak ada tidak dikerjakan. Tidak cukup hanya dengan memperkuat identitas hizbiy dengan rokok, beberapa kali saya temui acara pentas akhir tahun madrasah dengan sponsor perusahaan rokok, bahkan kadang budaya merokok dilakukan di masjid yang seharusnya diwangikan, bersih dari bau tidak sedap.

Rasul dan para shahabatnya diikuti para muridnya , diikuti pula oleh para Imam ahlus sunnah, seluruhnya tidak ada satupun yang merokok, dan merokok, memang banyak madlaratnya dari segi kesehatan[58], maupun syar’i, bahkan itu kebiasaan orang kafir barat dan sekarang jadi kenikmatan tanpa risih orang fasiq di warung-warung dan di mana-mana tempat, serta ulama telah menegaskan keharamannya, meskipun diakui ada yang memandang hanya makruh saja, tetapi tidak satupun dari ulama, yang saya ketahui, berkata sunnat hukumnya[59]

Gus: Anda sebut-sebut salafiy, apakah anda mengerti apa salafiy itu?

Santri:Sebagian dari beberapa dialog akan saya tulis, dengan harapan bisa menjadi catatan pribadi dan bahan muhasabah cara beragama kita ini[60]. Semoga tidak keberatan. Tentang salafiyah, dengan membaca beberapa risalah tentang makna salafy yang ringkasnya sudah saya katakan, jadi bukan golongan organisasi tertentu [61]. Ukurannya aqidah dan amalan Nabi, para shahabat, dan para ulama generasi setelahnya dan para ulama yang mengikuti mereka semua, itulah salafiyah sejati. Kalau mau disebut golongan, atau hizbiy, bolehlah, maka sebutlah “ hizbulla-h,” atau “tha-ifah al manshu-rah” atau “ahlus sunnah wal jama-‘ah”atau “Ahlul Hadits” atau “Ahlul Atsar” , tetapi bukan organisasi tertentu.

Sebaiknya kalau ada waktu baca risalah- risalah itu

Seseorang mesti proporsional, ketika seseorang belum layak sebagai ‘ulama yang membicarakan hukum, maka yang wajib dilakukan adalah mengikuti kajian ‘ulama yang shalih. Dan orang yang mengikuti dan menyebar luaskan fatwa ulama dengan keterangan,tidak perlu memposisikan sebagai ulama. Orang tidak perlu malu dalam kedudukan sebagai orang awam yang suka menuntut ilmu. Karena masing-masing ada kemuliaannya, sesuai dengan amalnya

Gus:Betul salafiyah seharusnya begitu!

Santri:Dan salafiyah pasti tidak akan bermesra dengan segala bentuk takhayyul, bid’ah dan khurafat

Gus: E….begitulah yang selalu dipertanyakan kaum modernis. Kami sendiri selalu bernisbat kepada salafiyyah atau salafiyyah as syafi’iyyah

Santri: Seharusnya jadi bahan instrospeksi. Kaum modernis, sebagaimana disebut orang, adalah gerakan pemurnian tauhid dan amaliah ummat , setelah cukup lama ummat diselimuti dengan bid’ah, takhayyul dan khurafat. Jadi, semangatnya salafiyyah. Dari sisi ini, kita perlu instropeksi siapakah yang ternyata lebih salafiyyah?

Gus:…

Santri:Tetapi kaum yang suka bernisbat pada salafiyyah asy Syafi’iyyah, ternyata tidak keberatan disebut kaum tradisionalis.

Gus:Tradisionalis yang dimaksud adalah salafiyyah

Santri: Bagus kalau begitu!, tetapi sepanjang yang saya tahu, salafiyyah kalian ternyata lebih lengket dengan tradisi kedaerahan semata.

Gus: Kalau baik , patut dipertahankan.Bagi kami terkenal kaidah” Al muha-fazhatu ‘alal qadi-mish sha-lih, wal akhdzu bil jadi-dil ashlah”

Santri:Saya setuju!,Baik dan buruk, ukurannya adalah Al Qur’an dan Al Hadits yang shahih.

Gus:Anda sepertinya ingin menyampaikan sesuatu

Santri:Kalau tradisi itu bersumber dari petunjuk yang benar, maka otomatis bisa diterima.Tetapi, semata-mata berorientasi pada tradisi semata, maka yang demikian itu tercela.[62] Jadi, sepatutnya kita mentradisikan As Sunnah

Gus:Kita perlu sama-sama belajar,

Santri:Belajar mesti serius, dari ulama yang serius dan tekun belajar dan beramal

Gus: dakwah itu harus membuat orang senang, agar tertarik untuk mengikuti.

Santri:Dakwah itu mesti sebagaimana Rasul berdakwah, adakalanya Rasulullah bicarakan surga dan adakalanya bicarakan neraka,dan mestilah dengan benar, bukan dengan dusta. Bukan ngebanyol hingga para jama’ah terpingkal-pingkal, semacam “wak kaji show”[63]. Bagaimana bisa dibenarkan cara begitu?, sedangkan Rasulullah terima wahyu, sampai-sampai gemetar badannya, kemudian beliau bertafakkur, mengajarkan ,dan para shahabat diam serius memperhatikan keterangan beliau , dengan begitu bertambah ilmu, iman dan amal shalihnya, serta terus menerus muhasabah dan taubat

Gus:Ya, begitulah yang tersebut di hadits-hadits

Santri:Semoga kita tidak ikut-ikutan menyebar luaskan hadits-hadits yang dla’if atau maudlu’[64], lain kali bolehlah anda terangkan dengan ‘ilmiyyah hakekat “Apakah benar Syaikh Abd Qadir Al Jailani adalah sulthanul auliya “?.dan sedikit biografinya !

Begitulah yang saya ketahui, kalau ada yang salah, harap beritahu saya. Allahummaghfirlana-.Semoga Allah membuka jalan kepada kita untuk ta’at dengan sebenar-benarnya.

Subhanakalla-humma wa bihamdika, Asyhadu An La-ila-ha illa Anta Astaghfiruka Wa atu-bu ilaik.

Batu, 1428 H, Asmadi as Sabiq


[1] Kami angkat beberapa perkara yang mesti ditinjau dengan dalil dari hal semut hingga gajah,yaitu dari beberapa perkataan yang mungkin sekedar celotehan yang dianggap ringan saja, tetapi menjadi sangat besar perkaranya, karena jika ditelusuri ternyata muncul dari pemahaman yang keliru tentang ad di-n. Marilah berhati-hati dalam hidup ini, karena :”Wa man ya’mal mitsqa-la dzarratin syarran yarah”

[2] SCTV th 2005 dengan isi: mengangkat bentuk bentuk pedukunan –jimat-jimat di masyarakat

[3] Dalil tidak dibahas, dan tidak muncul satu dalil pun darinya tetapi berulang-ulang dikatakan pelaku ruqyah itu bodoh.Kalau memang faqih, tidak bisa tidak mesti tahu dan faham tentang ruqyah!

[4] Ruqyah justru sangat ma’ruf di kalangan ‘ulama, sebagaimana terangnya matahari di siang hari di mata orang yang dapat melihat, karena memang nyata dalam kutubul hadi-ts, antara lain: Shahih al Bukhari , Shahih Muslim ,Al Muwaththa-‘, At Tirmidzi, Sunan Abu- Da-wud. Bukan 1 atau 2 hadits, bahkan berupa “ba-b” yang khushush membahasnya.(Baca juga kitab” At Tibya-nu “lil Imam An Nawa-wi )

[5] QS Al ‘Ankabut :45

[6] QS Al Ghasyiyah :24

[7] Arti seperti ini aneh ?? Bagaimana bisa dipahami, arti begitu bukan jumlah mufidah

[8] Tapi tentu saja jika disandingkan dengan yang lain, tetapi dengan maksud merendahkan atau menghinakan Allah, maka bukan saja haram bahkan kufur dengan pasti

[9] kok tidak tahu ?

[10] Lagi-lagi dia tidak sebutkan nama kitab nya, terlihat sekali ternyata asban,” asal- bantah” .Tidak pernahkah dengar ucapan: haji akbar, ungkapan “ raja’na min al jihadil ashghar ila al jihadil akbar” ,tetapi hadits ini dlo’if”.

Memang masalah ini masalah kajian.

[11] Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim. (QS Al Kahfi 50)

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS Al A’rof 179

[12]. Nyata sekali, Sudah tidak hafal surat Jin (saya kira!) , sedangkan yang dikatakan ada dalam surat Thaha itu belum periksa, pantas diduga,jangan-jangan juga tidak ada di sana masalah penciptaan syetan itu. Pernyataan itu maunya ingin menunjukkan syetan itu makhluk tersendiri.

[13] Asal jawab saja, karena memang secara lughah/ qamus, “kitab “ artinya “buku”

[14] Kalau hanya begitu, …tentu bukan ini yang saya tanyakan

[15] Dengan bergaya sebagai seorang mengerti hadits, dia menyebut hadits yang intinya ilmu itu harus dingajikan disertai sanad, tetapi tidak disebutkan kitab apa ?

[16] Betul, kitab Ihya dalam satu sisi sangat mengagumkan, tetapi seseorang perlu membaca kritik tajam terhadap Al Ghazali dan Ihya’nya. Karena, bagaimanapun Al Ghazali sendiri tidaklah ma’shum dan di salah satu kitabnya Al Ghazali sendiri mengakui kekurangannya di dalam ilmu hadits

[17] Menyadari banyaknya hadits yang dla’if,bahkan maudlu’ itulah maka salah seorang ulama, yaitu Al Imam Ibnul Jauziy mentashfiyah dan meringkas kitab Ihya ‘ itu dengan memilih hadits-hadits yang shahih saja dengan judul “Minha-jul Qa-shidi-n”, kemudian Al Imam Ibnu Quda-mah melanjutkan mentashfiyah dan meringkas karya Al Imam Ibnul Jauzi tersebut dengan judul “Mukhtashar Minhajul qa-shidi-n”. maka jadilah satu kitab ringkasan terhadap kitab ringkasan yang agung. Alhamdulillah.

[18].Jahil sekali orang belajar dengan hanya untuk baca-baca saja, sekedar untuk memperluas wawasan dan tidak untuk diamalkan.

[19] Tidak perlu menunggu putusan organisasi setiap 4 tahunan.

[20] Semacam kitab Mujarabat , Syamsul ma’a-rif, Mujarabat kubra, Betaljemur adamakna, maupun Durratun nashihi-n. Dikatakan, hampir seluruh hadits yang ada dalam kitab durratun nashihi-n berkisar hadits-hadits yang tidak ada asal usulnya, hadits palsu, hadits yang sangat lemah dan hadits yang lemah

[21] Kalau memang baca ushalli.. ..itu baik, tentulah para shahabatlah yang pertama kali mengamalkannya dan riwayatnya akan sampai kepada kita Tersebut salah satu kaidah:” Law ka-na khairan lasabaqu-na ilaihi”

[22] Al Imam Asy Syafi’i berkata “orang yang was was di dalam shalat sebagai orang yang ja-hil tentang agamanya dan kacau ‘aqalnya”,sebagaimana terdapat dalam Al Amru bil ittiba’ wa nahyu ‘anil ibtida-‘ oleh Al Imam Jala-luddi-n as Suyuthiy salah seorang ulama’ syafi-‘iyyah.Terdapat pula dalam Al Qaulul Mubi-n fi- akhtho’il mushalli-n, halaman 93 )

[23] Al Imam Asy Syafi’i dikenal sebagai seorang mujaddid ,sangat faqih dan sangat ketat di dalam hadits, maka aqal yang mana yang dapat membenarkan berita beliau ada ajarkan lafazh ushalli.., karena tentu beliau sebagai seorang ahli hadits sangat tahu bahwa Rasulullah tiada membaca sesuatupun selain takbiratul ihram ketika mengawali shalatnya, para shahabat juga tiada membacanya, para tabi’in juga tiada satupun yang membacanya hingga para imam yang terkenal tiada membacanya dan tiada mengajarkan, dan seluruhnya mengajarkan bacaan takbiratul ihram dan tanpa diawali dengan ushalli atau lafazh lainnya. Kalau bid’ah dalam perkara syari’at dan ‘aqidah itu bisa hasanah, tentulah para imam ahlu hadits tidak perlu repot jauh-jauh dan bertahun-tahun mencari hadits dan tentulah para ahli hadits tidak perlu menghapal dan meneliti hadits-hadits!Bukankah, Aqal mestilah digunakan untuk mentadabbur mana yang benar?.

[24] Loyal pada Islam dan kaum muslimin, amalnya tidak meresahkan kaum muslimin, bukan seorang yang ketertarikan dan keterikatannya pada kelompok non muslim, juga bukan orang yang melecehkan syi’ar-syi’ar Islam.

[25] Baca Taqlid,Ittiba’, ijtihad, Qiyas dan Ijma’(kumpulan risalah) oleh Syaikh A. Hassan.

[26] Seharusnya langsung bersanding rapat lurus dengannya seperti shaf. Dengan begitu sudah otomatis mengingatkan bahwa dia menjadi imam berjama’ah berdua dengannya. Demikian yang ditunjukkan dalam sunnah Nabi

[27] Hadits no 760

[28] Hadits no 897.Di kitab-kitab hadits yang lain juga dimuat, dan terdapat juga dalam kitab” Musnad” , yang di susun oleh Al Imam Asy Syafi’i. Dalam kitab Ad Dura-ru fi- takhri-j al muharrar, disebutkan bahwa hadits itu diriwayatkan oleh Muslim 1/ 543, Abu Dawud 760, An Nasa-‘I 2/ 129-130, Ibnu Ma-jah 1054, Ad Darimi 1/ 282, Ibnu Khuzaimah 1/ 236, Al Baihaqiy 2/ 33, Al Baghawi dalam Syarhu Sunnah. Selengkapnya bacaan iftitah tersebut , silahkan lihat di kitab-kitab tersebut.!

[29] Al Imam Asy Syafi’i berkata:” wa biha-dza- kullihi aqu-lu wa a-muruhu wa uhibbu an ya’tiya bihi kama- yurwa- ‘an rasu-lilla-hi shallalla-hu ‘alaihi wa sallam la yugha-diru minhu syay-an”( Dan dengan ini semua aku berpegang dan aku perintahkan dan aku suka orang mengerjakannya sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah, dan tidak boleh orang meninggalkan sedikitpun daripadanya).

Al Um juz 1 halaman 92

[30] Lafazhnyapun dibuat-buat.

[31] Tidak terdapat satu haditspun yang perintah baca tahlil 33 kali setelah shalat atau di waktu lain dan tidak pula ada petunjuk yang shah dengan cara geleng (terhadap sunnah!?) dan anggukan (terhadap bid’ah!?)ketika baca tahlil. Itu hanyalah bualan khurafat orang thariqah yang memang biasa tidak puas dengan hadits dari Rasu-lullah dan memang tidak satupun di antara mereka yang ahli hadits, bahkan keadaan mereka sebaliknya.

[32] Dalil yang mereka katakan sebagai hadits “ Siapa yang merayakan maulidku, akan bersamaku di surga”, adalah hadits maudlu’, maudlu’ /palsu. Jadi, bukan hadits, bukan hadits yang shahih dan tidak boleh jadi sandaran hukum.

[33] Sering saya dengar, lebih baik baca shalawat daripada ngrumpi atau main kartu. Sayang sekali, sepatutnya baca shalawat yang syar’iy, bukan yang bid’ah atau kalau seandainya mau “bertafakkur saja “tentu bermanfa’at, lebih baik daripada berbuat bid’ah.

[34] Al Imam syafi’i telah menegaskan “tidak sampainya “ sebagaimana dikutip Al Imam An Nawawi dari golongan syafi’iyyah: “Adapun bacaan al-Qur’an yang pahalanya dikirimkan kepada mayit, maka yang masyhur dalam madzhab Asy Syafi’i,“ Annahu la- yashilu tsawa-buha- ilal mayyiti “( tidak sampai kepada mayit yang dikirimi.. )sedang dalil Al Imam As Syafi’i, dan pengikutnya yaitu firman Allah Wa an laisa lil insa-ni illa- ma- sa’a dan Rasulullah bersabda: idza ma-tabnu A-dama inqatha’a ‘amaluhu illa min tsalatsin , shadaqatin ja-riyatin aw ‘ilmin yuntafa’u bihi aw waladin sha-lihin yad’u- lahu (Syarah Muslim juz 1 halaman 90).

Al Imam An Nawawi mengulang-ulang hal itu di dalam Syarah Muslim. (lihat Takmilatul majmu’, syarah muhadzdzab juz 10).

Al Imam Muzanni juga berkata demikian dalam hamisy / tepian kitab Al Umm Asy Syafi’i, juz 7 hal 269:

Tafsir Jala-lain (halaman 436), terhadap QS An Najm 39 tersebut:”Fa laisa lahu min sa’yi ghairihi l khaira syai-‘un “ (maka seseorang tidak memperoleh pahala sedikitpun dari hasil usaha orang lain);

Tafsir Al Imam Ibnu Katsir , terhadap QS An Najm ayat 39. Disebutkan pula dengan jelas kesimpulan madzhab Al Imam Asy Syafi’I dan pengikutnya.

Tafsir Shafwatul baya-n, terhadap QS An Najm 39 :Seseorang tidak dibalas, kecuali semata-mata ‘amal perbuatannya.

Kebenaran lebih berhak diikuti, siapapun yang mengatakannya.

[35] Al Imam Asy Syafi’i berkata:” wa akrahu al ma’tama wahiyal jama-‘atu wa in lam yakun lahum buka-un Fainna dza-lika yujaddidul huzna” (Aku tidak menyukai ma’tam, yaitu berkumpul di rumah kematian, meskipun disitu tidak ada tangisan, karena hal itu akan menimbulkan kesedihan baru). Kitab Al Umm juz 1 hal 248.

Dalam kitab I’anatuth Tha-libi-n, syarah fathul mu’in juz 2, hal 145: “ Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan untuk itu, adalah termasuk bid’ah munkara-t( bid’ah yang diingkari agama), yang bagi orang yang memberantasnya akan diberi pahala.”

Beberapa kitab Syafi’iyah juga menyebutkan demikian.

Baca juga “ Al Qur’an bukan untuk orang mati” oleh Ustadz Qasim K.

[36] Rasulullah bersabda:” Hendaklah kamu bertahli-l, bertasbi-h,bertaqdi-s, jangan kamu lupakan(untuk mengerjakannya). Kalau kamu lupakan, dilupakan kamu dari rahmat dan hitungkanlah akan dia dengan ana-mili =anak-anak jarimu, karena semua anak-anak jari itu kelak akan ditanyai dan disuruh menuturkannya”. HR Ahmad, Abu Dawud, dan At Turmudzi. Asy Syauka-niy berkata:” As Suyuthiy menshahihkan sanad hadits ini”.(Al Ahka-mun Nabawiyyah, Koleksi hadits-hadits hukum ,hadits: 808. Prof. Dr TM Hasbie Ash Shiddieqiy)

Lebih utama dengan asha-bi’ (anak-anak jari tangan) yang kanan, dengan dasar riwayat dari ‘Abdullah bin Umar yang melihat Rasululla-h menghitung (bacaan dzikiran) tasbih dengan tangan kanannya=bi yami-nihi

HR Abu Dawud 1502, At Tirmidzi dalam Al Ja-mi’ no 3486, Al Hakim dalam Al Mustadrak no 547/ 1, Al Baihaqiy dalam Sunanul kubra 253 /2 . At Turmudzi menghasankan, dan Adz Dzahabiy menshahihkannya. (Al Qaulul Mubi-n 299).

Rasulullah perintahkan dan amalkan, maka demikian pulalah yang patut diamalkan oleh ummatnya. Tidak patut seorang muslim yang thayyib untuk berpaling kepada cara lain nya.

[37] Di antara pendorong saya tulis risalah ini, adalah wajib bagi yang mengaku ahlus sunnah untuk membela para ‘ulama ahlus sunnah dan kehormatannya dari tingkah orang-orang yang menyimpang

[38] Sekarang telah dengan mudah kita peroleh terjemah kitab Al Umm, maka dengan nyata beliau adalah seorang Ahlus Sunnah sejati yang benar bermadzhab Hadits-hadits yang shahih

[39] Ada ucapan menarik dari salah satu perusahaan, jargon “ Inovasi tiada henti” .Perhatikan ! Itu ucapan yang baik , bid’ah hasanah ,secara fiqih, itu hanya berlaku dalam masalah keduniaan saja. Sedangkan dalam urusan aqidah dan syariah berlaku: “Asal suatu ‘ibadah adalah Ittiba’ kepada Rasulullah “

[40] Hadits:”Kullu bid’atin dlala-lah wa kullu dlala-latin fin na-r”

[41] Sering orang jahil menyindir begini,”baca dzikir kok dilarang”. Banyak orang awam terkecoh dengan ucapan itu. Padahal masalahnya bukan dzikirnya (jika memang shahih lafazhnya), tetapi bid’ahnya (mengatur-atur, menambah atau mengurangi) yang Rasulullah sendiri berulang kali melarangnya.

[42] Baca”Bida-yatus sul fi tafdli-lir rasu-l” oleh Al Imam ‘Izzuddi-n bin Abdus Salam dengan tahqiq oleh Al Imam Muhammad Nashiruddi-n Al Ba-ni.

(buku terjemah:Mengenal keutamaan Rasulullah )

[43] Innaka la’ala- khuluqin ‘azhi-m.

[44] Baca shalawat yang syar’i banyak sekali fadlilahnya.

[45] HR Bukhari dan Beliau bersabda;”Tidak ada yang menghalangi saya untuk menuju kalian (untuk shalat tarawaih berjama’ah), kecuali saya khawatir akan difardlukan (shalat tarawaih berjamaah) atas kalian. Dan yang demikian itu pada bulan Ramadlan”

[46] Baca keterangan tuntas masalah bid’ah oleh Al Imam Jala-luddi-n as Suyuthiy, dengan kitabnya” Al Amru bil ittiba’ wa n nahyu ‘anil ibtida-‘”. Tentu saja penulis kitab itu sangat dikenal di kalangan syafi’iyyah.. Baca juga “ Al I’tisha-m“ oleh Al Imam Asy Syathibi.

[47] Kalau dibawakan dari keterangan Al Qur’an atau Al Hadits, orang ta’ashshub madzhab tetap saja berpegang dengan katanya ulama ini itu, atau berkata ini kan warisan para wali, yang pernah ia dengar turun temurun, walaupun jelas tidak berdasar atau bahkan berlawanan dengan nash yang jelas sekalipun.

[48] Perhatikan bagaimana pembelaannya yang hebat ketika kursi amanat yang diduduki tokoh golongannya digoyang, hingga banyak sekolah ,masjid, panti asuhan yang dikelola bukan golongannya dirusak. Memang ta’ashshub madzhabiy selalu diiringi dengan ta’ashshub hizbiy.

[49] Tentu ada plus dan minusnya, wajar saja.

[50] Tentang “ta’ash shub madzhab” dan “pengalaman beliau mengingkari orang-orang yang mengadakan mauludan”

[51] QS Al Bayyinah 5

[52] H R Bukhari dan Muslim

[53] Terlalu banyak risalah yang menyebutkan hal ini

[54]Tafsir Jala-lain, Halaman 100, ditafsirkan”Apa-apa yang mendekatkan kalian kepadaNya dari keta’atan kepadaNya”(ma yuqarribukum ilaihi min tha-‘atihi)

[55] dengan cara yang Rasul ajarkan,diantaranya yang dibolehkan adalah dengan berwasilah (perantara) dengan amal shalih, termasuk baca “shalawat” kepada Rasul ( yang disyariatkan) di dalam do’a

[56] Ud’u-niy astajiblakum dan perhatikan QS Az Zumar 3:” Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar

[57] Terkenal perkataan Al Imam : “Idza shahhal hadi-ts fahuwa madzhabiy” (Jika hadits itu shahih, maka itulah itulah madzhabku)

[58] Sepakat dokter seluruh dunia dan ditulis pula di setiap bungkus.Ini patut diperhatikan.Jadi, cigarette itu sesuatu yang madlarat dan jelek dan Allah mengharamkan yang jelek.

[59] Pernah saya dengar, merokok ‘sunnah hukumnya, jika untuk menghilangkan kantuk waktu darusan baca al Qur’an di bulan ramadlan’. ?..ya, sambil ngobrol !. Jahil dipelihara!

[60] Semua kritik selalu disertai fakta atau alasan dan fakta, dengan harapan sebagai bahan introspeksi, untuk diperiksa lagi dari sumber aslinya. Sikap lurus seorang mukmin adalah “ alladzi-na yastami’u-nal qaula, fayattabi’u-na ahsanah” (orang-orang yang mendengar keterangan, kemudian mereka memilih yang terbaik).

Kebenaran lebih berhaq diikuti! Walla-hu a’lam

[61]Bermanhaj salaf atau salafiyah, dan menisbatkan diri secara hakiki ke manhaj salaf merupakan suatu yang perlu, bahkan wajib hukumnya Perhatikan dalil-dalilnya secara khusush masalah ini, antara lain dalam kitab” Li ma-dza ikhtartu manhaj as salaf”oleh Syaikh Abu Usamah bin ‘ied al hila-li, “mala-mih rai-siyyah lil manhaj as sala-fy”oleh Syaikh Ala’ Bakar.,dan “ Al Ghuraba- “oleh Al Imam Ibnu Taimiyyah

Terdapat berita-berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam penentuan sifat-sifat golongan yang selamat dan kelompok yang dimenangkan baik secara manhaj atau kondisinya.
Adapun tentang manhaj mereka terdapat tiga lafadz yang menjelaskan bentuknya :
[1]. Ma anaa 'alaihi alyauma wa ashaabii (siapa saja yang mengikuti aku dan sahabatku sekarang) sebagaimana dalam hadits Abdillah bin 'Amr bin Al-Ash Radhiyallahu 'anhu.
[2]. Al-Jama'ah Sebagaimana dalam hadits Anas dan Sa'ad Radhiyallahu 'anhuma
[3]. As-sawaadul A'dzam (kelompok paling besar) sebagaimana dalam hadits Abi Umamah Radhiyallahu 'anhu.
Lafadz-lafadz hadits yang shahih ini maknanya satu dan tidak berbeda, sinonim dan tidak berselisih, segaris dan tidak bertolak belakang, sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Ajuuriy dalam kitabnya Asy-Syariat hal.13-15, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya : Siapakah An-Najiyah (golongan yang selamat) ? dan menjawab salam satu hadits Maa anaa 'alaihi al-yauma wa ashaabii (siapa saja yang mengikuti aku dan sahabatku sekarang) dan dalam hadits yang kedua Al-Jama'ah serta dalam hadits yang ketiga As-Sawaadul A'dzam (kelompok paling benar) dan dalam hadits keempat Kuluhaa fii an-naari ila waahidah wa hiyaa al-jama'ah (semuanya di dalam neraka kecuali satu yaitu al-Jama'ah).
Saya Al-Ajuuriy berpendapat : Maknanya satu -Insya Allah-

Kabarnya, sebagian orang-orang organisasi pergerakan ada yang tidak suka gerakan dakwah salafiyyah. Hal itu terjadi karena mereka salah sangka dengan mengira, bahwa gerakan salafiy merupakan gerakan tandingan, gerakan hizbiy baru,gerakan organisasi baru, atau karena memang kejahilan mereka sendiri terhadap syariat ini, karena hakekatnya dakwah salafiyah adalah dakwah islam sejati dan merupakan manhaj seluruh para Imam, bahkan dakwah salafiyah inilah yang mula-mula sekali,yang kemudian disambut oleh para imam ahlus sunnah dan terus menyebar disambut berbagai ulama di seluruh dunia, sehingga muncullah gerakan dakwah yang berpegang pada Al Qur’an dan Al Hadits .. Bagaimana mungkin seorang tidak menyukai, padahal seluruh ustadz mereka mengambil manfa’at dari kitab-kitab para Imam Ahlus sunnah salafush sha-lih dan dari para ulama ahlus sunnah, dan seluruhnya berdiri atas manhaj yang sama, yaitu manhaj salafiyah, manhaj ahlus sunnah wal jama-‘ah di setiap masalah ‘aqidah dan syari’ah, dan manhaj ini tentulah menembus seluruh sekat-sekat organisasi, bahkan menjadi perekat berbagai organisasi dakwah.

Memang akhir-akhir ini (setelah munculnya berbagai partai politik, dan banyak ustadznya masuk arena politik praktis negeri ini ) muncul ungkapan ghuluw fanatik hizbiy dari beberapa da’i hizbiy, semisal perkataan “Ahlus sunnah wal jama’ah sejati, Muhammadiyah ini”, atau ungkapan ”Muhammadiyah akan mengantarkan ummat ini menuju pintu surga”, atau ungkapan “firqah ahlus sunnah wal jama-‘ah sejati hanya NU”.Ketahuilah, ini benar-benar ghuluw!hizbiyyah!, tahun berapa organisasi ini dibentuk? untuk menyebutkan beberapa nama saja ahli tafsir atau ahli hadits sejati yang ilmunya mengalir dengan kitab-kitabnya saja kesulitan, bagaimana bisa bicara begitu? Lalu dari siapakah dia mengetahui kedudukan masing-masing hadits, yang ini dlo’if, ini yang shahih, dan tafsir ayatnya begini? Hal itu karena hati dan pikirannya telah tertutup dengan fanatik hizbiy, jahil terhadap manhaj hingga tidak tahu siapakah yang telah berhasil mentashfiyah kitab-kitab hadits dan telah diakui kekuatan hujjahnya oleh seluruh ulama seluruh dunia. Ungkapan ghuluw itu muncul karena pemahaman yang kacau dan campur-baurnya hakekat agama dan makna organisasi. Sadarlah, bahwa yang mengantarkan ummat masuk surga adalah Allah dan Rasulullah dengan manhajnya yang ma’shum, manhaj salafiyah, manhaj ahlus sunnah wal jama’ah, yaitu manhaj yang Rasul dan para shahabatnya ada di atasnya, yang diikuti oleh para tabi’i-n dan seterusnya, bukan manhaj belakangan yang bid’ah Hakikinya, yang penting adalah amal nyata, bukan sekedar pengakuan. Siapapun yang bermanhaj ahlus sunnah wal jama’ah tidak ada ketentuan harus masuk organisasi tertentu. Dan para ‘ulama memang setelah mengetahui kebenaran (‘ilmu) kemudian men- da’wah-kan kepada kebenaran itu, bukan kepada diri atau kelompoknya. Syaikh A Hassan guru besar Persis juga pernah masuk bidang fatwa Al Irsyad al Islamiyyah, dan ada keterangan banyak warga Muhammadiyah merangkap keanggotaan di Persis, dan banyak pula ulama di Muhammadiyah juga lulusan Pesantren Persis (baca” A Hassan, wajah dan wijhah seorang Mujtahid”). Perhatikan sikap teladan ulama dan pendahulu kita. Ahlus sunnah bukanlah hizbiyyu-n. Semoga seluruh organisasi dakwah dan simpatisannya konsisten berpegang manhaj ini, bukan sekedar pengakuan kosong,karena inilah firqah ahlus sunnah wal jama’ah, firqah an na-jiyah, Hizbullah, tha-ifah al manshurah, atau al ghuraba yang Rasululla-h dan para shahabatnya ada padanya.

[62] Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.(QS Al Isra’ 36)

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?"(QS Al Baqarah 170)

(Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya."(QS Az Zukhruf 24)

[63] Salah satu acara JTV waktu bulan ramadlan yang lalu. Tidak lebih dari sekedar versi baru lawakan

[64] Hadits-hadits dla’if ataupun maudlu’, antara lain:

1.“Ikhtila-fu ummatiy rahmatun”, (perselisihan ummatku adalah rahmat)

2.“La shala-ta li ja-ril masjid illa- fil masjid”(tidak sah shalat orang yang bertetangga dengan masjid, kecuali shalat di masjid itu),

3.“Jannibu- masa-jidakum shibya-nukum”(jauhkan anak-anak kalian dari masjid),

4.”sha-fahu- ba’dal ‘ashri tu’jaru- bi rahmati wal ghufra-n”(bersalaman tangan setelah shalat ashar diberi rahmat dan ampunan),

5.”Man ahya- lailatal fithri wal adlha- lam yamut qalbuhu yauma tamu-tul qulu-b” (Barang siapa yang menghidupkan malam iedul fithri dan malam idul adlha ,tidak akan mati hatinya pada suatu hari yang hati-hati menjadi mati)

6.”La- yahillu lirajulin yu’minu billa-hi wal yaumil a-khir…an yakhushshu nafsahu bida’watin du-nahum”(Tidak halal seseorang beriman kepada Allah dan hari akhir ,..mengkhususkan untuk dirinya sendiri dalam do’a, tanpa mendo’akan selainnya).

7. ucapan ketika mendengar “Ashshala-tu khairun minan naum” dengan ucapan “ Shadaqta wa bararta”,

8. “ Al Kala-mul muba-hin fil masjid, ya’kulul hasana-ti kama ta’kulun na-rul hathab”(Perkataan yang mubah di dalam masjid akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar)

9.“Man adzdzana fahuwa yuqi-mu”(Barang siapa yang adzan, maka dialah yang ber-iqamat”,

10. Ucapan ketika mendengar iqamat” qad qa-matish shala-h” dengan ucapan “Aqa-mahalla-hu wa ada-maha-”

Seluruhnya terkena dla’if ataupun maudlu-‘. Lihat keterangan dalam Al Qaulul Mubi-n fi- akhtha-il mushalli-n.