Selasa, 22 Januari 2008

Kumpulan Risalah 4

Bismilla-hirrahma-nirrahi-m


1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1].

[1] Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.

الحَمْدُ لِلَّهِ (نَحْمَدُ هُ ) نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُ هُ وَ نَعُوْ ذُ بِا للَّهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا ( وَ سَيِّئَا تِ أَعْمَا لِنَا ) مَنْ يَهْدِ هِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِل فَلاَ هَا دِ يَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إلاّ اللَّهُ ( وَ حْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ) وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ هُ وَرَسُوْ لُهُ

102. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam. .(QS Al Imran 102 )

1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

(QS An Nisa 1 )

[263] Maksud dari padanya menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.

[264] Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.

70. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar, (QS Al Ahzab 70 )Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (QS Al Ahzab 71)

اَ مَّ بَعْدُ

Amma ba’du [1]

فَإِ نَّ أَ صْدَ قَ الْحَدِ يْثِ كِتَا بُ اللَّهِ وَ خَيْرَ الْهَدْ يِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلّى اللّه عليه و سلّم وَشَرَّ اْلأُمُوْ رِ مُحْدَ ثَا تُهَا وَكُلَّ مُحْدَ ثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّا رِ

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabulla-h, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallalla-hu ‘alaihi wa sallam, sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka” [2]

Alhamdulillah, telah selesai saya susun berbagai risalah yang bermanfaat dalam masalah Ushul fiqih, tafsir,Takhrij Hadits dan berbagai kajian masalah hukum fiqih serta masalah waqi’iy yang diambil cyber islam, antara lain al manhaj, al shofwa, asy syariah, dan salafyoon

Semoga Allah memberi kemanfa’atan yang besar dengan taufiq dan hidayahNya bagi kita semua atas seluruh risalah ini untuk tetap berdiri pada originalitas dan manhaj yang haq

( Asmadi as Sabiq)

===============================***=====================================

Apakah Semua Orang Boleh Berijtihad Dan Berfatwa?

Pertanyaan:
Kapan seorang pemuda berhak untuk berijtihad dan memberi fatwa?
Jawaban:
Berijtihad dalam berbagai masalah ada syarat-syaratnya. Tidak setiap orang berhak untuk memberi fatwa dan berbicara tentang berbagai masalah kecuali berdasarkan ilmu dan mengua-sainya, mampu mengetahui dalil-dalilnya, baik berupa nash maupun realita, yang shahih dan dha’if (lemah), nasikh (penghapus) dan mansukh (terhapus), manthuq (tersurat) dan mafhum (tersirat), khusus dan umum, mutlaq dan terikat, yang global dan terperinci. Di sam-ping itu, harus melalui pengkajian yang matang, mengetahui pem-bagian-pembagian fikih dan topik-topik bahasan, juga pendapat-pendapat ulama dan fuqaha serta hafal nash-nash dan mema-haminya.

Tidak diragukan lagi, bahwa pengacauan fatwa tanpa penguasaan adalah dosa besar, juga berbicara tanpa berdasarkan ilmu. Allah SWT telah menyerukan,
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta 'ini halal dan ini haram', untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah berun-tung." (an-Nahl: 116)

Dalam hadits pun disebutkan,

مَنْ أُفْتِيَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلىَ مَنْ أَفْتَاهُ

"Barangsiapa diberi fatwa yang tidak berdasarkan ilmu, maka dosanya menjadi tanggungan yang memberi fatwa”. (HR. Ahmad (2/321), Abu Dawud dalam Al-‘Ilm (3657), Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah(53)

Hendaknya penuntut ilmu tidak tergesa-gesa dalam mem-berikan fatwa dan tidak berbicara tentang suatu masalah kecuali setelah mengetahui sumber ucapannya beserta dalilnya dan orang yang berpedapat seperti itu sebelumnya. Jika belum menguasai, maka hendaklah ia menahan dirinya dan membatasi pada masa-lah yang diketahuinya saja serta melaksanakan apa yang telah dicapainya dan melanjutkan belajar dan memahami hingga mencapai tingkat yang layak untuk berijtihad. Hanya Allah-lah yang mampu memberi petunjuk kepada kebenaran. (SUMBER: al-Lu’lu’ al-Makiin, dari fatwa Syaikh Ibnu Jibrin, hal. 72-73. Lihat, Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit DARUL HAQ, Telp.021-4701616)

Berhati-hati Dalam Memberi Fatwa

1. Pertanyaan:
Sebagian ilmuwan dari kalangan para praktisi dakwah dan sebagian penuntut ilmu (thalib 'ilm), berbicara tentang masalah-masalah syari'at padahal mereka bukan ahlinya. Fenomena ini telah memasyarakat di kalangan kaum muslimin sehingga perma-salahannya menjadi campur baur. Kami mengharap kepada Syaikh yang mulia untuk menjelaskan fenomena ini, semoga Allah me-melihara Syaikh.

Jawaban:
Seorang muslim wajib memelihara agamanya dan hendaknya tidak meminta fatwa dari yang asal-asalan dan tidak berkompeten, tidak secara tertulis dan tidak juga lewat siaran yang dapat dide-ngar dan tidak dari jalan apa pun, baik yang berbicara itu seorang pakar maupun seorang ahli, karena yang memberikan fatwa harus mantap dalam memberikan fatwa, karena tidak setiap yang mem-beri fatwa itu berkompeten untuk memberi fatwa, maka harus waspada.
Maksudnya, seorang muslim harus menjaga agamanya sehingga tidak terburu-buru dalam segala hal dan tidak menerima fatwa dari yang bukan ahlinya, tapi harus jeli sehingga bersikap hati-hati dalam kebenaran, bertanya kepada ahlul ilmi yang dike-nal konsisten dan dikenal dengan keutamaan ilmunya sehingga memelihara agamanya, Allah SWT telah berfirman,
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."(An-Nahl: 43).
Ahludz dzikr adalah ahlul ilmi yang menguasai ilmu dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Tidak boleh bertanya kepada orang yang agamanya diragukan atau keilmuannya tidak diketahui atau orang yang diketahuinya berpaling dari faham ahlus sunnah.
(SUMBER: Majalah Al-Buhuts, edisi 36, hal. 121, Syaikh Ibnu Baz)

2. Pertanyaan:
Saya seorang penuntut ilmu, sering ditujukan kepada saya berbagai pertanyaan tentang macam-macam perkara, baik itu berupa ibadah ataupun lainnya. Saya tahu jawabannya dengan pasti, baik itu saya pernah mendengarnya dari seorang Syaikh atau dari fatwa-fatwa, tapi saya kesulitan menemukan dalilnya yang shahih, saya kesulitan mentarjihnya. Apa saran Syaikh untuk para penuntut ilmu dalam masalah ini?

Jawaban:
Jangan memberi fatwa kecuali berdasarkan ilmu, alihkan mereka kepada selain anda, yaitu kepada yang anda perkirakan lebih baik dari anda di negeri ini dan lebih mengetahui al-haq. Jika tidak, maka katakanlah, "Beri saya waktu untuk mengkaji dalil-dalilnya dan menganalisa masalahnya." Setelah anda merasa mantap dengan kebenaran dalil-dalilnya, barulah anda beri mereka fatwa yang anda pandang benar.

Saya juga sarankan kepada para pengajar, sehubungan dengan pertanyaan ini dan lainnya; Hendaknya mereka peduli dengan membimbing pada mahasiswa dalam masalah yang besar ini, me-ngarahkan mereka untuk jeli dalam berbagai perkara dan tidak terburu-buru dalam memberi fatwa serta tidak memastikan suatu perkara kecuali berdasarkan ilmu. Hendaknya para pengajar menjadi teladan bagi mereka dalam sikap tawaqquf (tidak berko-mentar) dalam masalah yang sulit dan janji untuk mengkajinya dalam satu atau dua hari atau pada waktu pelajaran berikutnya, sehingga dengan begitu para mahasiswa terbiasa dari ustadznya dengan sikap tidak tergesa-gesa dalam memberi fatwa dan menetapkan hukum, kecuali setelah memastikan dan menganalisa dalilnya serta merasa mantap bahwa yang benar adalah yang diucapkan ustadznya. Tidak ada salahnya untuk menangguhkan pada waktu lain sehingga punya kesempatan untuk mengkaji dalilnya dan menganalisa ucapan-ucapan para ahlul ilmi dalam masalah yang bersangkutan.

Adalah Imam Malik, beliau hanya memberi fatwa tentang sedikit permasalahan dan menolak banyak pertanyaan, beliau me-ngatakan, "Saya tidak tahu" Demikian juga para ahlul ilmi lainnya.

Seorang penuntut ilmu, di antara etikanya adalah tidak ter-gesa-gesa dan hendaknya mengatakan, "Saya tidak tahu" tentang masalah yang memang tidak diketahuinya.

Sementara para pengajar, mereka mempunyai kewajiban besar, yaitu menjadi teladan yang baik bagi para muridnya, baik dalam segi akhlak maupun perbuatan. Di antara akhlak yang mulia adalah membiasakan murid mengatakan "saya tidak tahu" dan menang-guhkan pertanyaan hingga memahami dalilnya dan mengetahui hukumnya yang disertai dengan kewaspadaan memberi fatwa tanpa ilmu dan menggampangkannya. Wallahu a’lamHukum Ijtihad Dalam Islam Dan Syarat-Syarat Mujtahid
Rabu, 15 Februari 06

Pertanyaan:

Apa hukum ijtihad dalam Islam? Dan apa syarat-syarat mujtahid (orang yang berijtihad)?

Jawaban:

Ijtihad dalam Islam adalah mengerahkan kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i dari dalil-dalil syari’atnya. Hukumnya wajib atas setiap orang yang mampu melakukannya karena Allah r telah berfirman,
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl: 43, Al-Anbiya’: 7)

Orang yang mampu berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui yang haq dengan sendirinya, namun demikian ia harus memiliki ilmu yang luas dan mengkaji nash-nash syari’at, dasar-dasar syari’at dan pendapat-pendapat para ahlul ilmi agar tidak menyelisihi itu semua. Di antara manusia, ada golongan para penuntut ilmu (Thalib ‘ilm) yang hanya mengetahui sedikit ilmu tapi telah menganggap dirinya mujtahid (mampu berijtihad), akibatnya ia menggunakan hadits-hadits umum yang sebenarnya ada hadits-hadits lain yang mengkhususkannya, atau menggunakan hadits-hadits yang Mansukh (dihapus) karena tidak mengetahui hadits-hadits Nasikh-nya (yang menghapusnya), atau mengguna-kan hadits-hadits yang telah disepakati ulama bahwa hadits-hadits tersebut bertolak belakang dengan zhahirnya, atau tidak mengetahui kesepakatan para ulama.

Fenomena semacam ini tentu sangat berbahaya, maka seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang dalil-dalil syari’at dan dasar-dasarnya. Jika ia mengetahuinya, tentu bisa menyimpulkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Di samping itu, ia pun harus mengetahui ijma’ para ulama sehingga tidak menyelelisihi ijma’ tanpa disadarinya. Jika syarat-syarat ini telah terpatri dalam dirinya, maka ia bisa berijtihad. Ijtihad bisa juga dilakukan seseorang dalam suatu masalah saja, yang mana ia mengkaji dan menganalisa sehingga menjadi seorang mujtahid dalam masalah tersebut, atau dalam suatu bab ilmu, misalnya bab thaharah saja, ia mengkaji dan menganalisanya sehingga menjadi seorang mujtahid dalam masalah tersebut.

(SUMBER: Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani, FATWA-FATWA TERKINI, penerbit DARUL HAQ)

Bilakah Diakuinya Perbedaan Pendapat?

Pertanyaan:

Kapan diakuinya perbedaan pendapat dalam masalah agama? Apakah perbedaan pendapat terjadi pada setiap masalah atau hanya pada masalah-masalah tertentu? Kami mohon penjelasan.

Jawaban:

Pertama-tama perlu diketahui, bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama umat Islam ini adalah yang terlahir dari ijtihad, karena itu, tidak membahayakan bagi yang tidak mencapai ke-benaran. Nabi a telah bersabda,

إِذَا حَكَمَ اْلحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.

"Jika seorang hakim memutuskan lalu berijtihad, kemudian ia be-nar, maka ia mendapat dua pahala. Dan jika ia memutuskan lalu berijtihad kemudian salah, maka ia mendapat satu pahala." (HR. Al-Bukhari dalam Al-I’tisham (7325))

Maka, bagi yang telah jelas baginya yang benar, maka ia wajib mengikutinya.
Perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama umat Islam tidak boleh menyebabkan perbedaan hati, karena perbedaan hati bisa menimbulkan kerusakan besar, sebagaimana firman Allah,
"Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguh-nya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Anfal: 46).

Perbedaan pendapat yang diakui oleh para ulama, yang kadang dinukil (dikutip) dan diungkapkan, adalah perbedaan pendapat yang kredibel dalam pandangan. Adapun perbedaan pendapat di kalangan orang-orang awam yang tidak mengerti dan tidak memahami, tidak diakui. Karena itu, hendaknya orang awam merujuk kepada ahlul ilmi, sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah SWT,
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl: 43)

Kemudian pertanyaan penanya, apakah perbedaan ini ter-jadi dalam setiap masalah? Jawabnya: Tidak demikian. Perbedaan ini hanya pada sebagian masalah. Sebagian masalah disepakati, tidak ada perbedaan, alhamdulillah, tapi sebagian lainnya ada perbedaan pendapat karena hasil ijtihad, atau sebagian orang lebih tahu dari yang lainnya dalam menganalisa nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah. Di sinilah terjadinya perbedaan pendapat. Adapun dalam masalah-masalah pokok, sedikit sekali terjadi perbedaan pendapat.

(Dari fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani. Silahkan baca di: Fatwa-Fatwa Terkini, terbitan DARUL HAQ)

Hukum Ijtihad Dalam Islam Dan Syarat-Syarat Mujtahid

Pertanyaan:

Apa hukum ijtihad dalam Islam? Dan apa syarat-syarat mujtahid (orang yang berijtihad)?

Jawaban:

Ijtihad dalam Islam adalah mengerahkan kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i dari dalil-dalil syari’atnya. Hukumnya wajib atas setiap orang yang mampu melakukannya karena Allah r telah berfirman,
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl: 43, Al-Anbiya’: 7)

Orang yang mampu berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui yang haq dengan sendirinya, namun demikian ia harus memiliki ilmu yang luas dan mengkaji nash-nash syari’at, dasar-dasar syari’at dan pendapat-pendapat para ahlul ilmi agar tidak menyelisihi itu semua. Di antara manusia, ada golongan para penuntut ilmu (Thalib ‘ilm) yang hanya mengetahui sedikit ilmu tapi telah menganggap dirinya mujtahid (mampu berijtihad), akibatnya ia menggunakan hadits-hadits umum yang sebenarnya ada hadits-hadits lain yang mengkhususkannya, atau menggunakan hadits-hadits yang Mansukh (dihapus) karena tidak mengetahui hadits-hadits Nasikh-nya (yang menghapusnya), atau mengguna-kan hadits-hadits yang telah disepakati ulama bahwa hadits-hadits tersebut bertolak belakang dengan zhahirnya, atau tidak mengetahui kesepakatan para ulama.

Fenomena semacam ini tentu sangat berbahaya, maka seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang dalil-dalil syari’at dan dasar-dasarnya. Jika ia mengetahuinya, tentu bisa menyimpulkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Di samping itu, ia pun harus mengetahui ijma’ para ulama sehingga tidak menyelelisihi ijma’ tanpa disadarinya. Jika syarat-syarat ini telah terpatri dalam dirinya, maka ia bisa berijtihad. Ijtihad bisa juga dilakukan seseorang dalam suatu masalah saja, yang mana ia mengkaji dan menganalisa sehingga menjadi seorang mujtahid dalam masalah tersebut, atau dalam suatu bab ilmu, misalnya bab thaharah saja, ia mengkaji dan menganalisanya sehingga menjadi seorang mujtahid dalam masalah tersebut.

(SUMBER: Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani, FATWA-FATWA TERKINI, penerbit DARUL HAQ)

MASALAH KHILAFIYAH (APA DAN BAGAIMANA MENYIKAPI)
Kamis, 01 April 04

Tanya :

Apakah masalah-malasah yang boleh terjadi perbedaan pendapat ? dan apa permasalahan yang harus kita jauhi perselisihan di dalamnya ? dan apa kewajiban kaum muslimin terhadap agamanya. ?
Jawab :

Perbedaan pendapat/perselisihan ada dua bagian : Perbedaan pendapat dalam hal-hal aqidah, maka yang sedemikian ini tidak boleh, karena sudah menjadi kewajiban bagi kaum muslimin untuk berkeyakinan dengan segala yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan tidak boleh masuk ke dalam hal-hal itu dengan akal dan ijtihad ( pendapat ), karena urusan aqidah adalah tauqifiyyah ( didapat melalui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ) dan tidak ada tempat untuk berijtihad ( menggunakan pendapat ) dan tidak ada tempat untuk berselisih di dalamnya. Perbedaan pendapat dalam masalah-masalah fiqh yang diistimbath ( disimpulkan dengan mengeluarkan segala upaya dari al-Qur'an dan Sunnah ) dari nushush, maka hal ini pasti terjadi, karena kemampuan pemahaman manusia ( dalam mengambil hukum ) berbeda-beda, akan tetapi harus mengambil pendapat yang kuat dari pendapat-penddapat yang berbeda tersebut berdasarkan dalil, dan inilah jalan keluar dari perselisihan/perbedaan pendapat tersebut. Dan wajib atas setiap muslim untuk memberikan perhatian yang penuh terhadap urusan agamanya, berusaha memelihara agar dapat terus melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah Ta'ala dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, serta menghias dirinya dengan akhlaq yang mulia ketika bermasyarakat dengan saudara-saudaranya, dan hendaknya dia selalu jujur dalam bermu'amalah dengan mereka, memelihara amanat yang diberikan kepadanya, dan menjadi suri teladan bagi orang lain. Dan wajib bagi seitap muslim untuk selalu berpegang teguh kepada agamanya, akhlaq yang mulia dan menjauhi akhlaq yang tercela, dan menjauhi teman-teman yang tidak baik perangainya, dan memperhatikan apa yang bermanfaat baginya dalam urusan agama dan dunia, dan hendaknya menjadi kekuatan untuk kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin. Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan dalam kitab Muntaqa Fatawa Syaikh Al-Fauzan, jld. I Hal. 407 fatwa no. 241

BOLEHKAH HADITS DHA’IF DIAMALKAN DAN DIPAKAI UNTUK FADHAA-ILUL A’MAAL [KEUTAMAAN AMAL] ?

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan 1/3

Para ulama Ahli Hadits berusaha mengumpulkan dan membukukan hadits-hadits lemah dan palsu dengan tujuan agar kaum Muslimin berhati-hati dalam membawakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agar tidak menyebarluaskan hadits-hadits itu hingga orang menyangkanya sebagai sesuatu yang shahih padahal tidak, bahkan ada maudhu’ (palsu). Kendatipun sudah sering dimuat dan dijelaskan tentang kelemahan dan kepalsuan hadits-hadits itu, akan tetapi masih saja kita lihat dan kita dengar para da’i, muballigh, ustadz, ulama, kyai membawakan dan menyampaikan hadits-hadits tersebut, bahkan banyak pula yang ditulis dalam kitab atau majalah, hingga kebanyakan kaum Mus-limin menyangkanya sebagai sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih.

Oleh karena itu, saya awali tulisan ini dengan ancaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang berdusta atas nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian diikuti dengan pendapat-pendapat para ulama tentang penggunaan hadits-hadits dha’if.

ANCAMAN BERDUSTA ATAS NAMA RASULULLAH SHALALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

[1] “Artinya : Barangsiapa berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka.”

Hadits ini berderajat MUTAWATIR, karena menurut penyelidikan hadits ini diriwayatkan lebih dari 60 (enam puluh) orang Shahabat ridhwanullahi ‘alaihim jami’an, di antaranya adalah:
1. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
2. Anas radhiyallahu ‘anhu.
3. Zubair radhiyallahu ‘anhu.
4. ‘Ali radhiyallahu ‘anhu.
5. Jabir radhiyallahu ‘anhuma.
6. Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu.
7. Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu dan lainnya.

Dan hadits di atas pun telah dicatat oleh lebih dari 20 (dua puluh) Ahli Hadits, di antaranya: Imam Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimy, dan lainnya.

Di antara hadits-hadits tersebut adalah:

[2]. Dari ‘Ali, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah j, ‘Janganlah kamu berdusta atas (nama)ku, karena se-sungguhnya barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka pasti ia masuk Neraka.’” [HSR. Ahmad (I/83), al-Bukhari (no. 106), Muslim (I/9) dan at-Tirmidzi (no. 2660)]

[3]. Dari Mughirah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Se-sungguhnya berdusta atas (nama)ku tidaklah sama seperti berdusta atas nama orang lain. Barangsiapa berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendak-lah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka.” [ HSR. Al-Bukhari (no. 1291) dan Muslim (I/10), diri-wayatkan pula semakna dengan hadits ini oleh Abu Ya’la (I/414 no. 962), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah dari Sa’id bin Zaid.)]

Maksud berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ialah: “Membuat-buat omongan atau cerita dengan sengaja yang disandarkan atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mengatakan: ‘Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda atau mengerjakan begini dan tidak mengerjakan hal yang demikian.’”

Orang yang berdusta dengan sengaja atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan masuk api Neraka.

Oleh karena itu, wajib atas kaum Muslimin untuk ber-hati-hati jangan sampai terjatuh dalam dusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para ulama telah sepakat tentang haramnya memba-wakan hadits-hadits maudhu’ (palsu), yakni hadits yang dibuat orang atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan sengaja maupun tidak sengaja. Bolehnya mem-bawakan hadits maudhu’ itu hanya ketika menerangkan kepalsuannya kepada ummat, agar ummat selamat dari berdusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

HADITS DHAIF (LEMAH)

Hadits dha’if itu ada dua macam:

a. Hadits yang sangat dha’if.
b. Hadits yang tidak terlalu dha’if.

Tidak ada perselisihan di antara para ulama dalam menolak hadits yang terlalu dha’if. Hanya ada perselisihan di antara ulama tentang membawakan/memakai hadits yang tidak terlalu dha’if untuk:

1. Fadhaa-ilul A’maal (keutamaan amal), maksudnya hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan- keuta-maan amal.
2. At-Targhiib (memotivasi), yakni hadits-hadits yang berisi pemberian semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji pahala dan Surga.
3. At-Tarhiib (menakuti), yakni hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan.
4. Kisah-kisah tentang para Nabi ‘alaihimush Shalatu wa sallam dan orang-orang shalih.
5. Do’a dan dzikir, yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir.

ANCAMAN BAGI ORANG YANG MEMBAWAKAN HADITS DHAIF

Para ulama yang masih membawakan hadits-hadits dha’if dan menyandarkannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tergolong sebagai pendusta, kecuali apabila mereka tidak tahu.

Tentang masalah ini, Syaikh Abu Syammah berkata: “Perbuatan ulama yang membawakan hadits-hadits dha’if adalah suatu kesalahan yang nyata bagi orang-orang yang mengerti hadits, ulama’-ulama’ ushul dan pakar-pakar fiqih, bahkan wajib atas mereka untuk menerangkannya jika ia mampu. Jika ulama’ tidak mampu menerangkan-nya, maka ia termasuk orang-orang yang diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya:

[4]. Dari Samurah, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Barangsiapa yang menyam-paikan hadits dariku, dia tahu bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah seorang pendusta.’” [HR. Muslim (I/9).]

Syaikh Abu Syammah berpendapat bahwa tidak boleh menyebutkan suatu hadits dha’if melainkan ia wajib me-nerangkan kelemahannya. [Lihat al-Baits ‘ala Inkari Bida’ wal Hawadits (hal. 54) dan Tamaamul Minnah fiit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hal. 32-33.]

Penjelasan:

Menurut hadits di atas seorang dianggap dusta apa-bila ia membawakan hadits-hadits yang diketahuinya dusta (tidak benar).

Ada dua golongan ulama yang terkena ancaman hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, yaitu: Ulama yang tahu ke-dha’if-an hadits dan yang tidak tahu. Dalam masalah ini ada dua hukum:

Pertama : jika ulama, ustadz atau kyai tersebut tahu tentang lemahnya hadits-hadits yang dibawakan itu, te-tapi ia tidak menerangkan kelemahannya, maka ia ter-masuk pendusta (curang) terhadap kaum Muslimin dan termasuk yang diancam oleh hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.

Imam Ibnu Hibban berkata: “Di dalam kabar ini (hadits Samurah di atas), ada dalil yang menunjukkan bahwa seseorang yang menyampaikan hadits atau meriwayat-kannya yang tidak sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu menyampaikan atau meriwayatkan hadits yang lemah atau yang diada-adakan oleh manusia sedang dia tahu bahwa itu dusta, maka dia termasuk pendusta, hal ini lebih keras lagi apabila ulama (ustadz, kyai-pent) tersebut yakin bahwa itu dusta tapi masih disampaikan juga. Hadits ini juga terkena kepada orang yang masih meragukan ke-shahih-an atau kelemahan apa-apa yang ia sampaikan atau riwayatkan.” [Lihat adh-Dhua’faa oleh Ibnu Hibban (I/7-8).]

Imam Ibnu Abdil Hadi menukil perkataan Ibnu Hibban ini dalam kitab ash-Sharimul Mankiy (hal. 165-166) dan beliau menyetujuinya.

Kedua : jika si ulama, ustadz atau kyai tidak mengetahui kelemahan hadits (riwayat), tetapi dia masih menyampai-kan (meriwayatkan) juga, maka dia termasuk orang-orang yang berdosa, karena dia telah berani menisbatkan (me-nyandarkan) hadits atau riwayat kepada Nabi j tanpa ia mengetahui sumber hadits (riwayat) itu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

[5]. Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Telah bersabda Ra-sulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Cukuplah seo-rang dikatakan berdusta apabila ia menyampaikan tiap-tiap apa yang ia dengar.’” [HSR. Muslim (I/10).]

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

“Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mem-punyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-an jawabnya.” [Al-Israa’: 36]

Imam Ibnu Hibban berkata dalam kitab adh- Dhu’afa’ (I/9): “Di dalam hadits ini (no. 5) ada ancaman bagi se-seorang yang menyampaikan setiap apa yang dia dengar sehingga ia tahu dengan seyakin-yakinnya bahwa hadits atau riwayat itu shahih.” [Lihat Tamaamul Minnah fii Ta’liq ‘alaa Fiqhis Sunnah hal. 33.]

Imam an-Nawawi pernah berkata: “Bahwa tidak halal berhujjah bagi orang yang mengerti hadits hingga jika ia tidak tahu, dia harus bertanya kepada orang yang ahli.” [Lihat Qawaaidut Tahdits min Fununi Musthalahil Hadits hal. 115 oleh Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, tahqiq dan ta’liq Muhammad Bahjah al-Baithar]

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]

BOLEHKAH HADITS DHA’IF DIAMALKAN DAN DIPAKAI UNTUK FADHAA-ILUL A’MAAL [KEUTAMAAN AMAL] ?

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan 2/3

PENDAPAT BEBERAPA ULAMA TENTANG HADITS-HADITS DHAIF UNTUK FADHAA-ILUL A'MAAL [KEUTAMAAN AMAL]

Di kalangan ulama, ustadz dan kyai sudah tersebar bahwa hadits-hadits dha’if boleh dipakai untuk fadhaa-ilul a’maal. Mereka menyangka tentang bolehnya itu tidak ada khilaf di antara ulama. Mereka berpegang kepada perka-taan Imam an-Nawawi yang menyatakan bahwa bolehnya hal itu sudah disepakati oleh ahli ilmu.

Apa yang dinyatakan Imam an-Nawawi rahimahullah tentang adanya kesepakatan ulama yang membolehkan memakai hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal ini merupakan satu kekeliruan yang nyata. Sebab, ada ulama yang tidak sepakat dan tidak setuju digunakannya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal. Ada beberapa pakar hadits dan ulama-ulama ahli tahqiq yang berpendapat bahwa hadits dha’if tidak boleh dipakai secara mutlak, baik hal itu dalam masalah ahkam (hukum-hukum) maupun fadha-il.

[a]. Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi menyebutkan dalam kitabnya, Qawaaidut Tahdits: “Hadits-hadits dha’if tidak bisa dipakai secara mutlak untuk ahkaam maupun untuk fadhaa-ilul a’maal, hal ini disebutkan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam kitabnya, ‘Uyunul Atsar, dari Yahya bin Ma’in dan disebutkan juga di dalam kitab Fat-hul Mughits. Ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar Ibnul Araby, Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Imam Ibnu Hazm. [Qawaaidut Tahdits min Fununi Musthalahil Hadits, hal. 113, tahqiq: Muhammad Bahjah al-Baithar]

[b]. Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany rahimahullah (Ahli Hadits zaman sekarang ini), ia berpendapat: “Pendapat Imam al-Bukhari inilah yang benar dan aku tidak meragukan tentang kebenarannya.” [Tamaamul Minnah fii Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hal. 34, cet. Daarur Rayah, th. 1409 H]

Menurut para ulama, hadits dha’if tidak boleh diamalkan, karena:

Pertama.
Hadits dha’if hanyalah mendatangkan sangkaan yang sangat lemah, orang mengamalkan sesuatu dengan prasangka, bukan sesuatu yang pasti diyakini.
Firman Allah:

“Artinya : Sesungguhnya sangka-sangka itu sedikit pun tidak bisa mengalahkan kebenaran.” [Yunus: 36]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Jöauhkanlah dirimu dari sangka-sangka, karena sesungguhnya sangka-sangka itu sedusta-dusta perkataan.” [HR. Al-Bukhari (no. 5143, 6066) dan Muslim (no. 2563) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Kedua.
Kata-kata fadhaa-ilul a’maal menunjukkan bahwa amal-amal tersebut harus sudah ada nashnya yang shahih. Adapun hadits dha’if itu sekedar penambah semangat (targhib), atau untuk mengancam (tarhiib) dari amalan yang sudah diperintahkan atau dilarang dalam hadits atau riwayat yang shahih.

Ketiga.
Hadits dha’if itu masih meragukan, apakah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau bukan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu (menuju) kepada yang tidak meragukan.” [HR. Ahmad (I/200), at-Tirmidzi (no. 2518) dan an-Nasa-i (VIII/327-328), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (no. 2708, 2711), dan at-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”]

Keempat.
Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang perkataan Imam Ahmad, “Apabila kami meriwayatkan masalah yang halal dan haram, kami sangat keras (harus hadits yang shahih), tetapi apabila kami meriwayatkan masalah fadhaa-il, targhiib wat tarhiib, kami tasaahul (bermudah-mudah).” Kata Syaikhul Islam: “Maksud perkataan ini bukanlah menyunnahkan suatu amalan dengan hadits dha’if yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena masalah sunnah adalah masalah syar’i, maka yang harus dipakai pun haruslah dalil syar’i. Barangsiapa yang mengabarkan bahwa Allah cinta pada suatu amalan, tetapi dia tidak bawakan dalil syar’i (hadits yang shahih), maka sesungguhnya dia telah mengadakan syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah, sebagaimana dia menetapkan hukum wajib dan haram.[ Majmuu’ Fataawaa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XVIII/65).]

Kelima.
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menerangkan tentang maksud perkataan Imam Ahmad, Abdurahman bin Mahdi dan ‘Abdullah Ibnul Mubarak tersebut, beliau berkata, “Bahwa yang dimaksud tasaahul (bermudah-mudah) di sini ialah mereka mengambil hadits-hadits hasan yang tidak sampai ke derajat shahih untuk masalah fadhaa-il. Karena istilah untuk membedakan antara hadits shahih dengan hadits hasan belum terkenal pada masa itu. Bahkan kebanyakan dari ulama mutaqadimin (ulama terdahulu) hanyalah membagi derajat hadits itu kepada shahih atau dha’if saja. (Sedang yang dimaksud dha’if itu sebagiannya adalah hadits hasan yang bisa dipakai untuk fadhaa-ilul a’maal-pen). [Baaitsul Hatsits Syarah Ikhtishaar Uluumil Hadiits, oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (hal 87), cet. III Maktabah Daarut Turats, th. 1979 M/1399 H atau cet. I Daarul ‘Ashimah, ta’liq: Syaikh al-Albany]

Sebagai tambahan dan penguat pendapat ulama yang tidak membolehkan dipakainya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal. Saya bawakan pendapat Dr. Subhi Shalih, ia berkata: “Menurut pendapat agama yang tidak diragukan lagi bahwa riwayat lemah tidak mungkin untuk dijadikan sumber dalam masalah ahkam syar’i dan tidak juga untuk fadhilah akhlaq (targhib wat tarhib), karena sesungguhnya zhan atau persangkaan tidak bisa mengalahkan yang haq sedikit pun. Dalam masalah fadhaa-il sama seperti ahkam, ia termasuk pondasi agama yang pokok, dan tidak boleh sama sekali bangunan pondasi ini lemah yang berada di tepi jurang yang dalam. Oleh karena itu, kita tidak bisa selamat bila kita meriwayatkan hadits-hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal, meskipun sudah disebutkan syarat-syaratnya.” [ Lihat Uluumul Hadiits wa Musthalaahuhu (hal. 211), oleh Dr. Subhi Shalih, cet. 1982 M]


SYARAT-SYARAT DITERIMANYA HADITS DHA'IF UNTUK FADHAA-ILUL A'MAAL

Di atas sudah saya kemukakan bahwa pendapat yang terkuat adalah pendapat Imam al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazm tentang tidak diterimanya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal. Akan tetapi tentunya sejak dulu sampai hari ini masih saja ada ulama yang memakainya. Oleh karena itu, saya bawakan pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany tentang syarat-syarat diterimanya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal, beliau berkata: “Sudah masyhur di kalangan ulama bahwa ada di antara mereka orang-orang yang tasaahul (bermudah-mudah/menggampang-gampangkan) dalam membawakan hadits-hadits fadhaa-il kendatipun banyak di antaranya yang dha’if bahkan ada yang maudhu’ (palsu). Oleh karena itu wajiblah atas ulama untuk mengetahui syarat-syarat dibolehkannya beramal dengan hadits dha’if, yaitu ia (ulama) harus meyakini bahwa itu dha’if dan tidak boleh dimasyhurkan agar orang tidak mengamalkannya yakni tidak menjadikan hadits dha’if itu syari’at atau mungkin akan disangka oleh orang-orang jahil bahwa hadits dha’if itu mempunyai Sunnah (untuk diamalkan).” [Tamaamul Minnah hal. 36.]

Syaikh Muhammad bin Abdis Salam telah menjelaskan hal ini dan hendaklah seseorang berhati-hati terkena ancaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits Samurah di atas). Bila sudah ada ancaman ini bagaimana mungkin kita akan mengamalkan hadits dha’if?

Dalam hal ini (ancaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) terkena bagi orang yang mengamalkan hadits dha’if dalam masalah ahkam (hukum-hukum) ataupun fadhaa-ilul a’maal, karena semua ini termasuk syari’at. [Tabyiinul A’jab (hal. 3-4) dinukil oleh Syaikh al-Albany dalam Tamamul Minnah (hal. 36)]

Al-Hafizh as-Sakhawy, murid al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany t, beliau berkata: “Aku sering mendengar syaikhku (Ibnu Hajar) berkata: “Syarat-syarat bolehnya beramal dengan hadits dha’if:

[1]. Hadits itu tidak sangat lemah. Maksudnya, tidak boleh ada rawi pendusta, atau dituduh berdusta atau hal-hal yang sangat berat kekeliruannya.
[2]. Tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
[3]. Tidak boleh hadits itu dimasyhurkan, yang akan ber-akibat orang menyandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa-apa yang tidak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan.”

Imam as-Sakhawi berkata: “Syarat-syarat kedua dan ketiga dari Ibnu Abdis Salam dan dari shahabatnya Ibnu Daqiqiil ‘Ied.”

Imam ‘Alaiy berkata: “Syarat pertama sudah disepakati oleh para ulama hadits.” [ Lihat al-Qaulu Badi’ fii Fadhlish Shalah ‘alal Habibisy Syafi’i (hal. 255), oleh al-Hafizh as-Sakhawi, cet. Daarul Bayan Lit Turats]

Bila kita perhatikan syarat pertama saja, maka kewa-jiban bagi ulama dan orang yang mengerti hadits, untuk menjelaskan kepada ummat Islam dua hal yang penting:

Pertama.
Mereka harus dapat membedakan hadits-hadits dha’if dan yang shahih agar orang-orang yang menga-malkannya tidak meyakini bahwa itu shahih, hingga mereka tidak terjatuh ke dalam bahaya dusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua.
Mereka harus dapat membedakan hadits-hadits yang sangat lemah dengan hadits-hadits yang tidak sangat lemah.

Bagi para ulama, ustadz, dan kyai yang masih bersikeras bertahan untuk tetap memakai hadits-hadits dha’if untuk fadhaaa-ilul a’maal, saya ingin ajukan pertanyaan untuk mereka: “Sanggupkah mereka memenuhi syarat pertama, kedua dan ketiga itu?” Bila tidak, jangan mereka mengamalkannya. Kemudian apa sulitnya bagi mereka untuk mengambil dan membawakan hadits-hadits yang shahih saja yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya. Apalagi sekarang -alhamdulillah- Allah sudah mudahkan adanya kitab-kitab hadits yang sudah dipilah-pilah antara yang shahih dan yang dha’if. Dan kita berusaha untuk memiliki kitab-kitab itu, sehingga dapat membaca, memahami, mengamalkan dan menyampaikan yang benar kepada ummat Islam.


[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]

BOLEHKAH HADITS DHA’IF DIAMALKAN DAN DIPAKAI UNTUK FADHAA-ILUL A’MAAL [KEUTAMAAN AMAL] ?

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan 3/3

TIDAK BOLEH MENGATAKAN HADITS DHA'IF DENGAN LAFAZH JAZM (LAFAZH YANG MEMASTIKAN ATAU MENETAPKAN}


[a]. Ada (lafazh yang digunakan dalam menyampaikan (meriwayatkan) hadits
menurut pendapat Ibnush Shalah

Apabila orang menyampaikan (meriwayatkan) hadits dha’if, maka tidak boleh anda berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”

Atau lafazh jazm yang lain, yakni lafazh yang memastikan atau menetapkan, seperti: "Fa'ala, rawaya, qola".

Boleh membawakan hadits dha’if itu dengan lafazh: “Telah diriwayatkan atau telah sampai kepada kami be-gini dan begitu.”

Demikianlah seterusnya hukum hadits-hadits yang masih diragukan tentang shahih dan dha’ifnya. Tidak boleh kita berkata atau menulis: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

[b]. Pendapat Imam an-Nawawi rahimahullah
Telah berkata para ulama ahli tahqiq dari pakar-pakar hadits, “Apabila hadits-hadits itu dha’if tidak boleh kita katakan:

“Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” atau:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengerjakan,” atau:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan,” atau:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang,” atau:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukum.”

Dan lafazh-lafazh lain dari jenis lafazh jazm (pasti atau menetapkan).

Tidak boleh juga mengatakan:
“Telah meriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.” atau:
“Telah menyebutkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.”

Dan yang seperti itu dari shighat-shighat (bentuk-bentuk) jazm. Tidak boleh juga menyebutkan riwayat yang lemah dari tabi’in dan orang-orang yang sesudahnya dengan shighat-shighat jazm.

Seharusnya kita mengatakan hadits atau riwayat lemah dan hadits atau riwayat yang tidak kita ketahui derajat-nya dengan perkataan:

"Telah diriwayatkan.
"Telah dinukil darinya.
"Telah disebutkan.
"Telah diceritakan.

Dan yang seperti itu disebut shighat tamridh (bentuk lafazh yang berarti ada penyakitnya), dan tidak boleh dengan shighat jazm.

PERKATAAN PARA ULAMA AHLI HADITS

Shighat jazm seperti: "qola, rawaya"ó dan lainnya hanya digunakan untuk hadits-hadits shahih dan hasan saja. Sedangkan shighat-shighat tamridh, seperti: "ruwiya", atau "dukira"ó dan lainnya digunakan selain itu. Karena shighat jazm berarti menun-jukkan akan sahnya suatu khabar (berita) yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab itu tidak boleh dimutlakkan.

Jadi, bila ada ulama yang masih menggunakan shighat (lafazh) jazm untuk berita yang belum jelas, berarti ia telah berdusta atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adab meriwayatkan ini banyak dilanggar oleh para penulis kitab-kitab fiqh dan juga jumhur Fuqahaa’ dari madzhab Syafi’i, bahkan dilanggar pula oleh jumhur ahli ilmu, kecuali sebagian kecil dari ahli ilmu dari para Ahli Hadits yang mahir.

Perbuatan tasaahul (menggampang-gampangkan) dalam masalah yang hadits merupakan perbuatan yang jelek. Kebanyakan dari mereka menyebutkan hadits shahih dengan shighat tamridh:

“Diriwayatkan darinya.”

Sedangkan dalam menyebutkan hadits dha’if, maka mereka menyebutkan dengan shighat yang jazm: "rawaya fulanun" atau qola".

Hal ini sebenarnya telah menyimpang dari kebenaran yang telah disepakati oleh Ahli Hadits. [Lihat al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzhab, oleh Imam an-Nawawi (I/63), cet. Daarul Fikr.]


WAJIB MENJELASKAN HADITS-HADITS DHAI'F KEPADA UMAT ISLAM

[a]. Perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah
Ada yang perlu saya tambahkan dari perkataan Imam an-Nawawy di atas tentang penggunaan lafazh tamridh:"ruwiya, yuhkay, dzukira" dan yang seperti itu untuk hadits dha’if.

Zaman sekarang ini penggunaan lafazh-lafazh itu tidak-lah mencukupi, karena ummat Islam banyak yang tidak mengetahui hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan tidak faham pula kitab-kitab hadits sehu-bungan dengan masalah itu dan tidak mengerti pula apa maksud perkataan khatib di mimbar mengucapkan: “Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Bahwa yang dimaksud khatib yaitu hadits itu dha’if, sedangkan mereka banyak yang tidak faham. Maka, wa-jib bagi ulama untuk menjelaskan hal yang demikian itu sebagaimana yang disebutkan oleh Atsar dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata:

“Artinya : Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa-apa yang mereka ketahui, apakah kamu suka mereka itu dusta atas nama Allah dan Rasul-Nya?!” [HR. Al-Bukhari, Fat-hul Bari (I/225), lihat Shahih Targhib wat Tarhiib (hal. 52), cet. Maktabah al-Ma’arif th. 1421 dan Tamaamul Minnah (hal. 39-40) oleh Syaikh Mu-hammad Nashiruddin al-Albany]

[b]. Perkataan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir
Aku berpendapat (sekarang ini) wajib menerangkan hadits-hadits yang dha’if di dalam setiap keadaan (dan setiap waktu), karena bila tidak diterangkan kepada ummat Islam tentang hadits-hadits dha’if, maka orang yang mem-baca kitab (atau mendengarkan) akan menyangka bahwa hadits itu shahih, lebih-lebih bila yang menukilnya atau menyampaikannya itu dari kalangan ulama Ahli Hadits. Hal tersebut karena ummat Islam yang awam menjadikan kitab dan ucapan ulama itu sebagai pegangan bagi mereka. Kita wajib menerangkan hadits-hadits dha’if dan tidak boleh mengamalkannya baik dalam ahkam maupun dalam masalah fadhaa-ilul a’maal dan lain-lainnya. Tidak boleh bagi siapa pun berhujjah (berdalil) melainkan dengan apa-apa yang sah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits-hadits shahih atau hasan. [Lihat al-Ba’itsul Hadits Syarah Ikhtishar ‘Uluumil Hadits oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (hal. 76), cet. Maktabah Daarut Turats th. 1399 H atau I/278, ta’liq: Syaikh Imam al-Albany cet. I Daarul ‘Ashimah th. 1415 H]

AKIBAT TASAAHUL DALAM MERIWAYATKAN HADITS DHAIF

Tasaahul (bermudah-mudah)nya para ulama, ustadz, kyai, dalam menulis dan menyampaikan hadits dha’if tanpa disertai keterangan tentang kelemahannya merupakan faktor penyebab yang terkuat yang mendorong ummat Islam melakukan bid’ah-bid’ah di dalam agama dan ke-banyakan dalam masalah-masalah ibadah. Umumnya ummat Islam menjadikan pokok pegangan mereka dalam masalah ibadah dari hadits-hadits lemah dan bathil bahkan maudhu’ (palsu), seperti melaksanakan shalat dan puasa Raghaa-ib di awal bulan Rajab, malam pertengahan (nisfu Sya’ban), berpuasa di siang harinya, mengadakan perayaan maulud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Diba’an, baca Barzanji, Yasinan, malam Isra’ Mi’raj dan lain-lain. Akibat tasaahul-nya para ulama, ustadz dan kyai, maka banyak dari ummat Islam yang masih mempertahankan bid’ah-bid’ah itu dan menghidup-hidupkannya. Berarti ada dua bahaya besar yang akan menimpa ummat Islam dengan membawakan hadits-hadits dha’if:

Pertama.
Terkena ancaman berdusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diancam masuk Neraka.

Kedua
Timbulnya bid’ah yang berakibat sesat dan di-ancam masuk Neraka, na’udzubillah min dzaalik.

"Tiap-tiap bid’ah itu sesat dan tiap-tiap kesesatan di Neraka.” [Hadits shahih riwayat an-Nasa-i (III/189), lihat Shahih Sunan Nasa-i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51)]

KHATIMAH

Mudah-mudahan kita terpelihara dari berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari me-lakukan bid’ah yang telah membuat ummat mundur, terbelakang, berpecah belah dan jauh dari petunjuk al-Qur-an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Keadaan seperti merupakan kendala bangkitnya ummat Islam.

Wallaahu a’laam bish Shawaab.


[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
________
MARAAJI’
1. Shahih al-Bukhari.
2. Fat-hul Baari Syarah Shahiihil Bukhary, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar as-Asqalany.
3. Shahih Muslim.
4. Syarah Shahih Muslim, oleh Imam an-Nawawy.
5. Sunan Abi Dawud.
6. Sunan an-Nasa-i.
7. Sunan Ibnu Majah.
8. Jaami’ at-Tirmidzi.
9. Musnad Imam Ahmad.
10. Al-Jarh wat Ta’dil, oleh Ibnu Abi Hatim.
11. Majmu’ Fataawaa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
12. Manaarul Munif fis Shahih wad Dha’if, oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
13. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzhab, oleh Imam Nawawy.
14. Lisanul Mizaan, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany.
15. Al-Qaulul Badi’ fii Fadhilas Shalah ‘ala Habibisy Syafi’i, oleh al-Hafizh as-Sakhawy.
16. Tanzihusy Syari’ah al-Marfu’ah, oleh Ibnu ‘Araq.
17. Ad-Dhu’afa Ibnu Hibban.
18. Qawa’idut Tahdits, oleh Jamaluddin al-Qasimy.
19. Al-Ba’itsul Hatsits fii Ikhtishaari ‘Uluumil Hadiits, oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir.
20. Silsilah Ahaadits ad-Dha’ifah wal Maudhu’ah, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany.
21. Dha’iif Jami’ush Shaghiir, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany.
22. Shahiih Jami’ush Shaghiir oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany.
23. Tamaamul Minnah fii Takhriji Fiqhis Sunnah, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany.
24. Shahiih at-Targhib wat Tarhiib oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany.
25. ‘Uluumil Hadits wa Musthalahuhu oleh Dr. Subhi Shalih.
26. Al-Adzkaar, oleh Imam an-Nawawy.

CARA MENAFSIRKAN AL QUR’AN

Syaikh Al AlBani

Syaikh Al-Albani ditanya:

Apa yang harus kita lakukan untuk dapat menafsirkan Al-Qur'an ?

Jawaban:
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menurunkan Al-Qur'an ke dalam hati Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam agar beliau mengeluarkan manusia dari kekufuran dan kejahilan yang penuh dengan kegelapan menuju cahaya Islam. Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an surat Ibrahim ayat 1 yang artinya : "Alif, laam raa.(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. "

Allah Ta'ala juga menjadikan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam sebagai orang yang berhak menjelaskan, menerangkan dan menafsirkan isi Al-Qur'an. Firman Allah Ta'ala di dalam surat An-Nahl ayat 44 artinya : "keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan..."

Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas isi Al-Qur'an, dan sunnah ini juga merupakan wahyu karena yang diucapkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah bukan hasil pemikiran Rasulullah tetapi semuanya dari wahyu Allah Ta'ala. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur'an surat An-Najm ayat 3 dan 4: "dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)"

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur'an dan sesuatu yang hampir sama dengan Al-Qur'an. Ketahuilah, akan ada seorang lelaki kaya raya yang duduk di atas tempat duduk yang mewah dan dia berkata: "Berpeganglah kalian kepada Al-Qur'an. Apapun yang dikatakan halal di dalam Al-Qur'an, maka halalkanlah, sebaliknya apapun yang dikatakan haram di dalam Al-Qur'an, maka haramkanlah. Sesungguhnya apapun yang diharamkan oleh Rasulullah, Allah juga mengharamkannya."

Untuk itu cara menafsirkan Al-Qur'an adalah:

Cara Pertama adalah dengan sunnah. Sunnah ini berupa : ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan diamnya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.

Cara Kedua adalah dengan penafsirannya para sahabat. Dalam hal ini pelopor mereka adalah Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas Radliyallahu 'anhum. Ibnu Mas'ud termasuk sahabat yang menemani Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam sejak dari awal dan dia selalu memperhatikan dan bertanya tentang Al-Qur'an serta cara menafsirkannya, sedangkan mengani Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud pernah berkata: "Dia adalah penterjemah Al-Qur'an." Oleh karena itu tafsir yang berasal dari seorang sahabat harus kita terima dengan lapang dada, dengan syarat tafsir tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran sahabat yang lain.

Cara Ketiga yaitu apabila suatu ayat tidak kita temukan tafsirnya dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat, maka kita cari tafsirannya dari para tabi'in yang merupakan murid-murid para sahabat, terutama murid Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas seperti : Sa'ad bin Jubair, Thawus, Mujahid dan lain-lain.

Sangat disayangkan, sampai hari ini banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang tidak ditafsirkan dengan ketiga cara di atas, tetapi hanya ditafsirkan dengan ra'yu (pendapat/akal) atau ditafsirkan berdasarkan madzhab yang tidak ada keterangannya dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam secara langsung. Ini adalah masalah yang sangat mengkhawatirkan apabila ayat-ayat Al-Qur'an ditafsirkan hanya untuk memperkuat dan membela suatu madzhab, yang hasil tafsirnya bertentangan dengan tafsiran para ulama tafsir.

Untuk menjelaskan betapa bahayanya tafsir yang hanya berdasarkan madzhab, akan kami kemukakan satu contoh sebagai bahan renungan yaitu tafsir Al-Qur'an surat Al-Muzammil 20 artinya : "Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an."

Berdasarkan ayat ini, sebagian penganut madzhab berpendapat bahwa yang wajib dibaca oleh seseorang yang berdiri sholat adalah ayat-ayat Al-Qur'an mana saja. Boleh ayat-ayat yang sangat panjang atau boleh hanya tiga ayat pendek saja. Yang penting membaca ayat Al-Qur'an (tidak harus membaca Al-Fatihah).

Betapa anehnya mereka berpendapat seperti ini, padahal Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca pembuka Al-Kitab (Surat Al-Fatihah)."

Dan di hadits lain Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang sholat tidak membaca Surat Al-Fatihah, maka sholatnya kurang, sholatnya kurang, sholatnya kurang, tidak sempurna."

Berdasarkan tafsir di atas, berarti mereka telah menolak dua hadits shahih tersebut, karena menurut mereka tidak boleh menafsirkan Al-Qur'an kecuali dengan hadits yang mutawatir. Dengan kata lain mereka mengatakan, "Tidak boleh menafsirkan yang mutawatit kecuali dengan yang mutawatir pula." Akhirnya mereka menolak dua hadits tersebut karena sudah terlanjur mempercayai tafsiran mereka yang berdasarkan ra'yu (akal-akalan) dan madzhab (kelompok/golongan).

Padahal semua ulama ahli tafsir, baik ulama yang mutaqaddimin (terdahulu) atau ulama yang mutaakhirin (sekarang), semuanya berpendapat bahwa maksud "bacalah" dalam ayat di atas adalah "sholatlah". Jadi ayat tersebut maksudnya adalah: "Maka sholatlah qiyamul lail (sholat malam) dengan bilangan raka'at yang kalian sanggupi."

Tafsir ini akan lebih jelas apabila kita perhatikan seluruh ayat tersebut, yaitu: "Sesungguhnya Rabbmu mengetahui bahwasannya kamu berdiri (sholat) kurang dari dua pertiga malam atau perdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah yang mudah (bagimu) dari Al-Qir'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari bagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang."

Ayat tersebut jelas tidak ada hubungannya dengan apa yang wajib dibaca di dalam sholat. Ayat tersebut mengandung maksud bahwa Allah Ta'ala telah memberi kemudahan kepada kaum muslimin untuk sholat malam dengan jumlah rakaat kurang dari yang dilakukan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam yaitu sebelas rakaat. Inilah maksud sebenarnya dari ayat tersebut. Hal ini dapat diketahui oleh orang-orang yang mengetahui uslub (gaya/kaidah bahasa) dalam bahasa Arab.

Dalam uslub bahasa Arab ada gaya bahasa yang sifatnya "menyebut sebagian" tetapi yang dimaksud adalah "keseluruhan."

Sebagaimana kita tahu bahwa membaca Al-Qur'an adalah bagian dari sholat. Allah sering menyebut kata "bacaan/membaca" padahal yang dimaksud adalah sholat. Ini untuk menunjukkan bahwa membaca Al-Qur'an itu merupakan bagian penting dari sholat. Contohnya adalah dalam surat Al-Isra' ayat 78: artinya : "Dirikanlah sholat dari tergelincir matahari (tengah hari) sampai gelap malam (Dzuhur sampai Isya). Dan dirikan pada bacaan fajar. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). " Dalam ayat ini Allah Ta'ala menyebut "bacaan fajar" tetapi yang dimaksud adalah sholat fajar (sholat Shubuh). Demikianlah salah satu uslub dalam bahasa Arab.

Dengan tafsiran yang sudah disepakati oleh para ulama ini (baik ulama salaf maupun ulama khalaf), maka batallah pendapat sebagaian penganut madzhab yang menolak dua hadits shahih di atas yang mewajibkan membaca Al-Fatihah dalam sholat. Dan batal juga pendapat mereka yang mengatakan hadits ahad tidak boleh dipakai untuk menafsirkan Al-Qur'an. Kedua pendapat tersebut tertolak karena dua hal yaitu :

1.Tafsiran ayat di atas (QS. Al-Muzammil : 20) datang dari para ulama ahli tafsir yang semuanya faham dan menguasai kaidah bahasa Al-Qur'an

2. Tidak mungkin perkataan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bertentangan dengan Al-Qur'an. Justru perkataan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam itu menafsirkan dan menjelaskan isi Al-Qur'an.

Jadi sekali lagi, ayat di atas bukan merupakan ayat yang menerangkan apa yang wajib dibaca oleh seorang muslim di dalam sholatnya. Sama sekali tidak. Baik sholat fardlu ataupun sholat sunat. Adapun dua hadits di atas kedudukannya sangat jelas, yaitu menjelaskan bahwa tidak sah sholat kecuali dengan membaca Al-Fatihah.

Sekarang hal ini sudah jelas bagi kita. Oleh karena itu seharusnya hati kita merasa tentram dan yakin ketika kita menerima hadits-hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan dlam kitab-kitab sunnah atau kitab-kitab hadits yang sana-sanadnya shahih.

Jangan sekali-kali kita bimbang dan ragu untuk menerima hadits-hadits shahih karena omongan sebagian orang yang hidup pada hari ini, dimana mereka berkata, "Kita tidak menolak hadits-hadits ahad selama hadits-hadits tersebut hanya berisi tentang hukum-hukum dan bukan tentang aqidah. Adapun masalah aqidah tidak bisa hanya mengambil berdasarkan hadits-hadits ahad saja."

Demikianlah sangkaan mereka, padahal kita tahu bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus Mu'adz bin Jabal untuk berdakwah, mengajak orang-orang ahli kitab untuk berpegang kepada aqidah tauhid , padahal Mu'adz ketika itu diutus hanya seorang diri (berarti yang disampaikan oleh Mu'adz adalah hadits ahad, padahal yang disampaikannya adalah menyangkut masalah aqidah).

[Dinukil dari : Kaifa yajibu 'alaina annufasirral qur'anil karim, edisi bahasa Indonesia: Tanya Jawab dalam Memahami Isi Al-Qur'an, Syaikh Al AlBani]

SEPUTAR DAKWAAN DALAM PERADILAN ISLAM

MUKADDIMAH

Melihat fenomena peradilan yang berkembang di tanah air dan maraknya praktik yang kurang sehat di dalamnya bahkan ada sementara kalangan yang mensinyalir munculnya ‘mafia peradilan’, tentunya membuat hati kita tergugah sekaligus ikut teriris-iris.

Betapa tidak, umat Islam adalah mayoritas di negeri ini tetapi -hampir- tidak memiliki lembaga yang dapat melindungi dan memberikan putusan hukum yang adil terhadap mereka sesuai dengan tuntunan agama mereka.

Belum lagi, fenomena yang mengesankan adanya segolongan ‘etnis’ tertentu yang –seakan- menguasai lembaga peradilan dan hukum nasional.

Lembaga yang ada yang seharusnya menjadi tempat berteduh dan berlindung umat mayoritas, justeru amat dijauhi. Masyarakat seakan takut bila urusan atau perkara mereka sampai ke tangan lembaga ini. Ketakutan ini bukan karena takut ‘divonis’ bersalah bila memang ternyata bersalah tetapi lebih dari itu, mereka sudah ‘kadung’ alergi terlebih dahulu. Dalam pandangan mereka, bahwa urusan siapa yang benar dan bersalah tidak ditentukan lagi oleh lembaga ini. Yang menentukannya adalah ‘kekuatan luar’ yang bersembunyi di balik itu. ‘Kekuatan luar’ ini bisa berupa uang, kekuasaan dan sebagainya. Realitas yang terjadi saat ini merupakan bukti atas statement ini tanpa harus disebut satu per-satu.

Maka, tidak heran bila yang seharusnya berada di pihak yang benar bisa menjadi bersalah dan sebaliknya. Pihak yang memiliki ‘kekuatan’ tersebut dapat membolak-balikkan kondisi dan posisi sehingga rakyat biasa yang tak berdaya dan papa tidak dapat berbuat apa-apa selain pasrah.

Pihak yang memiliki ‘kekuatan’ tersebut dengan seenaknya dan leluasanya dapat ‘mendakwa’ bila merasa diri mereka difitnah, dicemari nama baiknya -meskipun dari sudut logika sudah pantas untuk itu- dan sebagainya. Demikian pula, bila mereka ‘didakwa’ maka dengan mudah pula melalui ‘kekuatan’ itu mendatangkan ‘sekian bukti’ atas ketidakbersalahan mereka. Mereka juga bisa ‘merangkul’ para ‘pembela’ (baca: advokat) kelas kakap yang siap berjuang mati-matian demi kepentingan ‘kliennya’ –menurut peristilahan yang mereka gunakan-.

Dalam hal ini, kami tidak hendak menyinggungnya dari persfektif ‘aqidah tentang ‘produk peradilan’ yang dibuat oleh manusia karena hal ini sebenarnya sudah jelas bagi mereka yang memahaminya. Disamping, pembicaraan seputar hal ini telah dibahas di dalam kajian khusus.

Yang ingin kami sampaikan dalam kesempatan kajian hadits kali ini adalah menyajikan hadits seputar satu aspek penting dari sekian banyak aspek di dalam ‘al-Qadla al-Islâmy’ alias Peradilan Islam. Yaitu masalah ‘dakwaan’ yang mencakup ‘al-Bayyinah’ (semua hal yang dapat menjelaskan dan menyingkap kebenaran) dan ‘al-Yamîn’ (sumpah).

Namun sebelum itu, perlu kami tekankan bahwa pembahasan tentang aspek ini bukanlah spesialisasi kami dan –sebenarnya- tidak banyak yang kami mengerti mengenai peristilahan di dalam ‘peradilan’ itu sendiri di negeri ini.

Oleh karena itu, bilamana terdapat beberapa kesalahan dan kekeliruan di dalam peristilahan yang digunakan maka kami berharap dapat dimaklumi.

Kami hanya ingin memberikan sedikit ‘sumbangsih pemikiran’ seputar masalah yang amat urgen sekali ini, semoga dapat pula memberikan sedikit pencerahan bagi kita serta membelalakkan mata kita terhadap ‘Peradilan Islam’ yang haqiqi bahwa ia adalah memang penuh dengan keadilan.

Semoga bermanfa’at bagi kita semua dan tidak hanya ada dalam angan-angan kita tetapi kelak dapat direalisasikan sehingga keadilan yang didamba-dambakan oleh umat dapat diraih.

Tidak lupa, bahwa bilamana suatu ketika kelak terdapat kekeliruan tertentu di dalam tulisan ini, baik menyangkut peristilahan dan sebagainya; maka sudilah kiranya memberikan saran dan kritik membangunnya kepada kami guna perbaikan lebih lanjut di kemudian harinya. Wallahu a’lam

NASKAH HADITS

عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ أَنّ النّبِيّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " لَوْ يُعْطَى النّاسُ بِدَعْوَاهُمْ , لاَدّعَىَ نَاسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ وَأَمْوَالَهُمْ, وَلَكِنّ الْيَمِينَ عَلَى الْمُدّعَىَ عَلَيْه ". متفق عليه، وللبيهقي بإسناد صحيح: "الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ".

Dari Ibnu ‘Abbas –radliallâhu 'anhuma- bahwasanya Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Andaikata (semua) manusia diberi (kebebasan) dengan dakwaan masing-masing, niscaya (ada saja) manusia yang mendakwa darah orang-orang (bahwa mereka membunuh) dan harta benda mereka (bahwa itu adalah hartanya), akan tetapi (pembuktiannnya adalah dengan cara) bersumpah oleh orang yang mengingkarinya (si terdakwa)”. (Muttafaqun ‘alaih)… Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqy dengan sanad yang shahih disebutkan: “(Mendatangkan) ‘bayyinah’ (wajib) atas pendakwa dan (mengucapkan) sumpah (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si terdakwa)”.

MAKNA HADITS SECARA GLOBAL

Maksud hadits tersebut adalah bahwa Rasulullah memberitakan tentang tingkah laku manusia yang bila dibiarkan tanpa hukum yang mengatur dan dibebaskan untuk mendakwa (menuduh, mengaku-ngaku) secara sembarangan bahwa seseorang telah membunuh atau seseorang telah mengambil hartanya, maka tentu setiap orang akan melakukan hal itu tanpa haq. Oleh karena itu, beliau mewajibkan kepada orang yang didakwa/terdakwa pada hadits pertama untuk bersumpah sebagai bukti bahwa dia tidak bersalah dan tidak melakukan hal yang dituduhkan kepadanya. Sedangkan di dalam hadits kedua, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam memberikan hak masing-masing; si pendakwa agar mendatangkan ‘al-Bayyinah’ sedangkan si terdakwa yang mengingkarinya agar mengucapkan ‘al-Yamîn’.

PENJELASAN HADITS

Definisi

Kata ‘Dakwa’ atau ‘Dakwaan’ asalnya dari bahasa Arab, yaitu dari kata ‘Da’wâ’ (bentuk jamaknya ‘ad-Da-‘âwâ), yaitu “menyandarkan (mengklaim) kepemilikan sesuatu yang berada di tangan orang lain atau di bawah tanggungjawab orang tersebut kepada dirinya”.

Sedangkan kata ‘al-Mudda’iy’ (Pendakwa) adalah orang yang menuntut haknya kepada orang lain dengan mengklaim kepemilikannya terhadap hal yang dituntutnya tersebut …

Adapun kata ‘Bayyinah’, terdapat perbedaan pendapat mengenai definisinya;

  • Ia adalah tanda/bukti yang jelas, seperti adanya seorang saksi menurut madzhab Imam Ahmad.
  • Ibnu al-Qayyim tidak membatasi makna ‘Bayyinah’ pada ‘saksi’ saja tetapi lebih umum dari itu; ia adalah sebutan untuk segala sesuatu yang dapat menjelaskan dan mengungkap kebenaran (al-Haq). Beliau menyatakan bahwa pihak yang hanya memfokuskan pada makna ‘dua orang saksi’, ‘empat saksi’ atau ‘seorang saksi’, berarti mereka belum memberikan definisi yang semestinya terhadap penamaannya sebagai ‘bayyinah’. Di dalam al-Qur’an, ‘al-Bayyinah’ tidak pernah sama sekali dimaksudkan sebagai ‘dua orang saksi (asy-Syâhidân)’ tetapi dimaksudkan sebagai ‘al-Hujjah’ ‘ad-Dalîl’ dan ‘al-Burhan’, baik dalam bentuk mufrad (singular) ataupun jama’ (plural).

    Memang ‘asy-Syâhidân’ (dua orang saksi) merupakan bagian dari ‘al-Bayyinah’ tetapi hal ini tidak menafikan selain keduanya sebagai jenis lain darinya dimana bisa jadi yang selainnya tersebut justeru lebih kuat dan akurat untuk menunjukkan secara kondisional kebenaran si pendakwa. Petunjuk kondisional ini adalah lebih kuat dari pada petunjuk yang di dapat melalui berita seorang saksi. Kata al-Bayyinah, ad-Dilâlah, al-Hujjah, al-Burhân, al-‘Alâmah dan al-Amârah dari sisi maknanya mirip satu sama lainnya.

    Allah Ta’ala, asy-Syâri’ tidak pernah meniadakan al-Qarâ-in (bukti), al-Amârât (tanda-tanda) dan petunjuk yang bersifat kondisional. Bagi orang yang sudah melakukan analisis terhadap sumber-sumber asli syari’at, akan mendapatkan bahwa ia (syari’at) mempertegas eksistensi hal-hal tersebut dan mengatur hukum-hukum yang terkait dengannya.

Kualitas Hadits

Tambahan riwayat al-Baihaqy yang disebutkan diatas, sanadnya adalah shahih, dihasankan oleh Imam an-Nawawy di dalam kitabnya ‘al-Arba’în’. Ia juga dihasankan oleh Ibnu ash-Shalah.

Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini dijadikan dalil oleh Imam Ahmad dan Abu ‘Ubaid. Tentunya, ketika orang sekapasitas dan sekapabilitas mereka berdua menjadikannya sebagai dalil, maka itu berarti menurut mereka berdua kualitasnya adalah shahih dan dapat dijadikan hujjah…Banyak sekali hadits yang semakna dengannya”.

Kosakata Hadits

Kata ‘al-Yamîn’ secara bahasa (etimologis) memiliki arti yang banyak, diantaranya; al-Quwwah (kekuatan) dan al-Yad al-Yumna (tangan kanan).

Menurut istilah (terminologis) maknanya adalah “Mengokohkan sumpah dengan menyebut lafazh yang diagungkan berdasarkan niat khusus”. Ia dikatakan ‘Yamîn’ karena orang yang bersumpah memberikan Yamîn (tangan kanan) nya untuk memukul tangan kanan orang lain.

Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari Hadits

  • Di dalam hadits diatas, Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa siapa saja yang mendakwa dengan suatu dakwaan terhadap seseorang, maka wajib baginya untuk menghadirkan al-Bayyinah dan memperkuat dakwaannya tersebut. Jika dia tidak memiliki al-Bayyinah tersebut, maka si terdakwalah yang harus mengucapkan al-Yamîn untuk menafikan dirinya dari dakwaan tersebut.
  • Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam menyebutkan hikmah dari kenapa pendakwa harus menghadirkan al-Bayyinah, sementara si terdakwa harus mengucapkan al-Yamîn. Yaitu, agar jangan sampai setiap orang dengan seenaknya melakukan dakwaan terhadap orang lain sebab bila hal itu dibiarkan bebas, niscaya orang-orang yang tidak membiasakan dirinya selalu di bawah pengawasan Allah Ta’ala dengan entengnya akan melayangkan dakwaan secara dusta terhadap darah atau harta orang-orang yang tidak bersalah/berdosa. Akan tetapi Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui telah memberikan batasan dan hukum untuk hal tersebut sehingga tindakan kejahatan, kezhaliman serta kerusakan dapat diminimalisir.
    Syaikh Ibnu Daqîq al-‘Îed berkata: “Hadits tersebut menunjukkan bahwa tidak boleh melakukan tindakan hukum kecuali dengan hukum syari’at yang telah diatur, meskipun ada perkiraan yang lebih berat untuk membenarkan pendakwa”.
  • al-Yamîn harus diucapkan oleh si terdakwa dan al-Bayyinah harus dihadirkan oleh si pendakwa sebagaimana terdapat di dalam riwayat al-Baihaqy. Kenapa demikian? Karena al-Yamîn menempati posisi terkuat dari dua orang yang mengajukan gugatan, dan pihak terdakwa merupakan orang yang kuat bilamana dari pihak pendakwa tidak menghadirkan al-Bayyinah sebab hukum asalnya adalah terlepasnya diri si terdakwa dari semua dakwaan tersebut sehingga darinya cukup mengucapkan al-Yamîn.

    Syaikh Ibnu al-Qayyim berkata: “Yang ada di dalam syari’at bahwa al-Yamîn disyari’atkan dari pihak yang terkuat dari dua pihak yang saling menggugat. Siapa saja pihak yang dirasa lebih kuat dari kedua orang yang bersengketa, maka al-Yamîn diambil dari sisinya. Ini adalah pendapat Jumhur ulama seperti Ahli Madinah dan Fuqaha’ Ahli Hadits semacam Imam Ahmad, asy-Syafi’i, Malik dan selain mereka.
  • Yang dimaksud dengan al-Bayyinah menurut kebanyakan para ulama adalah para saksi (asy-Syuhûd), sumpah (al-Aymân) dan pencabutan gugatan (an-Nukûl). Sedangkan menurut al-Muhaqqiqun (para ulama kritikus) al-Bayyinah adalah sebutan bagi setiap sesuatu yang dapat menjelaskan dan mengungkap kebenaran, baik berupa para saksi, bukti-bukti secara langsung/kondisionil ataupun penyebutan kriteria oleh pendakwa seperti halnya di dalam penyebutan kriteria al-Luqathah (barang temuan/hilang).
    Syaikh Ibnu Rajab berkata: “Setiap barang yang tidak diklaim lagi oleh pemiliknya, kemudian ada orang yang mampu menyebutkan kriteria dan ciri-cirinya yang masih samar, maka barang tersebut adalah miliknya. Jika ada orang yang mempersengketakan apa yang sudah ada di tangannya, maka ia masih tetap miliknya bila mengucapkan al-Yamîn (sumpah) selama pendakwa tidak dapat menghadirkan al-Bayyinah yang lebih kuat darinya”.
    Syaikh Ibnu al-Qayyim berkata: “al-Bayyinah di dalam kalam Allah, sabda Rasul-Nya dan ucapan para shahabat adalah sebutan bagi setiap sesuatu yang dapat menjelaskan al-Haq. Jadi ia lebih bersifat umum bila dibanding dengan terminologi al-Bayyinah yang digunakan oleh kalangan para Fuqaha’ dimana mereka mengkhususkan maknanya pada seorang saksi atau seorang saksi dan al-Yamîn saja. Terminologi tersebut tidak dapat dijadikan acuan selama tidak mencakup Kalam Allah dan sabda Rasul-Nya. Terminologi yang semacam itu dapat menjerumuskan kepada kekeliruan di dalam memahami nash-nash bahkan mengarahkannya kepada selain makna yang diinginkan”.
  • Hadits diatas merupakan prinsip yang agung dan merupakan salah satu prinsip di dalam al-Qadla’ (mahkamah/peradilan). Kebanyakan produk-produk hukum yang lain berporos pada prinsip yang agung ini.
  • Hadits tersebut memiliki kedudukan yang tinggi dan merupakan salah satu prinsip utama di dalam al-Qadla’ dan hukum-hukum. Menerapkan al-Qadla’ di tengah manusia dapat dilakukan ketika terjadi perselisihan dimana satu pihak mendakwa haknya terhadap pihak yang lain dan pihak yang lain ini menolak dan berlepas diri darinya.
  • Barangsiapa yang mendakwa orang lain dalam hal yang berupa barang, agama atau hak sementara dakwaan itu diingkari oleh si terdakwa, maka pada prinsipnya kebenaran berada di pihak si terdakwa yang mengingkari ini karena hukum asalnya adalah bahwa dirinya terlepas dari semua tuntutan; Jika pendakwa menghadirkan al-Bayyinah yang menguatkan haknya maka ia adalah miliknya dan jika tidak menghadirkannya, maka yang dituntut dari si terdakwa terhadapnya hanyalah mengucapkan al-Yamîn untuk menafikan dakwaan tersebut.
  • Hadits diatas mendukung pendapat Jumhur ulama, diantaranya ulama madzhab Syafi’i dan Hanbaly yang menyatakan bahwa al-Yamîn diarahkan kepada si terdakwa baik antara dirinya dan si pendakwa pernah saling mengenal ataupun tidak.
    Sedangkan menurut madzhab ulama Maliky dan Ahli Madinah, diantaranya tujuh fuqaha’-nya (al-Fuqahâ’ as-Sab’ah) bahwa al-Yamîn tidak dapat diarahkan kepada orang yang diantaranya dan si pendakwa pernah saling mengenal. Ini dimaksudkan agar orang-orang yang iseng tidak dengan seenaknya dapat memaksakan orang-orang yang dihormati (tokoh atau ulama) untuk bersumpah.
  • Orang yang memiliki hutang atau hak yang permanen dan legitimit terhadap sesuatu sedangkan dia dituntut untuk membuktikannya, lalu kemudian ada orang lain yang mendakwa bahwa hak/tanggungannya tersebut dapat lepas dari dirinya (pemilik asal) dengan banyak cara seperti memenuhi janji yang telah disetujuinya, menggugurkannya, jalan damai atau lainnya; maka hukum asalnya adalah bahwa apa yang menjadi hak/tanggungan pemilik asal tetap berlaku. Jika si pendakwa tersebut tidak menghadirkan al-Bayyinah atas telah dipenuhinya janji tersebut atau terlepasnya tanggungan tersebut dari diri terdakwa (pemilik asal), maka yang dituntut dari pemilik asal (terdakwa) untuk menyanggah pendakwa adalah mengucapkan al-Yamîn bahwa hak/tanggungannya tersebut masih tetap berlaku dan legitimit karena hukum asalnya adalah masih berlakunya sesuatu seperti sediakala.
  • Demikian juga halnya dengan dakwaan terhadap ‘Uyûb (cacat suatu barang), asy-Syurûth (syarat sesuatu), al-Âjâl (masa waktu sesuatu) dan al-Watsâ-iq (bukti penguat sesuatu). Hukum asal semuanya adalah bahwa hal tersebut tidak pernah ada dan terjadi sehingga tidak perlu menanggapinya. Barangsiapa yang mendakwanya, maka hendaknya dia menguatkannya dengan al-Bayyinah ; jika tidak ada, maka orang yang mengingkarinya (si terdakwa) harus mengucapkan al-Yamîn.
  • Hadits ini merupakan prinsip utama di dalam proses ‘al-Murâfa’ât’ (code of procedure/hukum acara). Manhaj yang telah digariskan oleh prinsip ini di dalam menyelesaikan dakwaan merupakan solusi yang jitu guna mencegah merajalelanya dakwaan-dakwaan bathil yang tidak beralasan serta dapat mengokohkan suatu hak kepada pemiliknya.
  • Para Ulama Kritikus mengatakan: “Sesungguhnya syari’at ini menjadikan al-Yamîn sebagai aspek yang paling kuat dari sisi hukum baik ia bersumber dari pendakwa ataupun si terdakwa”. Wallahu a’lam.
    Ibnu al-Mundzir berkata: “Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa al-Bayyinah harus dihadirkan oleh si pendakwa dan al-Yamîn harus diucapkan oleh orang yang mengingkari (si terdakwa)”.
  • Syaikh Ibnu Rajab di dalam syarahnya terhadap hadits al-Arba’în berkata: “Makna sabda beliau (artinya): “(Menghadirkan) ‘al-Bayyinah’ (wajib) atas pendakwa”, yakni bahwa dengan al-Bayyinah tersebut dia berhak terhadap dakwaannya karena ia adalah suatu kewajiban atasnya yang harus dipegang. Sedangkan makna sabda beliau: “(mengucapkan) ‘al-Yamîn’ (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si terdakwa)”, yakni dengan al-Yamîn tersebut, dia terbebas dari segala dakwaan karena ia wajib atasnya dan harus dipegang dalam kondisi apapun.
  • Ibnu Rajab juga mengatakan: “Bila si pendakwa menghadirkan seorang saksi, maka ini akan memperkuat posisinya dan bila ditambah dengan sumpah, maka putusan berpihak padanya”.
  • Beliau juga menambahkan: “al-Bayyinah adalah setiap sesuatu yang dapat menjelaskan kebenaran dakwaan si pendakwa dan menjadi saksi atas kejujurannya sedangkan al-Lawts * dan jenis-jenisnya adalah juga termasuk al-Bayyinah. Dan saksi (asy-Syahid) bila diperkuat dengan al-Yamîn juga menjadi al-Bayyinah. * al-Lawts adalah sesuatu yang menunjukkan atas kejadian sesuatu, seperti adanya ceceran darah di tempat kejadian, dsb…semacam ‘alibi’. Ia bisa dikategorikan sebagai ‘bukti pendukung’, wallahu a’lam-red.
  • Beliau juga mengatakan: “Dan sabda beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam (artinya): “Andaikata (semua) manusia diberi (kebebasan) dengan dakwaan-dakwaan mereka…” menunjukkan bahwa si pendakwa atas darah dan harta seseorang harus menghadirkan al-Bayyinah yang menunjukkan kebenaran dakwaannya. Termasuk juga di dalam keumuman makna hadits tersebut adalah kondisi dimana si terdakwa yang didakwa oleh seseorang telah membunuh muwarrits -nya (muwarrits adalah orang mati yang meninggalkan warisan sehingga menyebabkan dirinya menjadi ahli waris seperti ayah, dst) sedangkan dia hanya memiliki al-Bayyinah yang berupa ucapan orang yang terbunuh tersebut (muwarrits); “si fulan-lah yang telah melukaiku”. Kondisi al-Bayyinah seperti ini tidak cukup baginya dan al-Lawts tidak dapat terjadi hanya karena itu. Ini adalah pendapat Jumhur ulama. Berbeda dengan pendapat madzhab Maliky yang menjadikan ucapan muwarrits tersebut sebagai bentuk al-Lawts yang harus dibarengi dengan sumpah para walinya sehingga pendakwa berhak atas dakwaannya terhadap darah tersebut.
  • Beliau juga mengatakan: “Dan sabdanya shallallâhu 'alaihi wa sallam : “(mengucapkan) ‘al-Yamîn’ (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si terdakwa)” menunjukkan bahwa setiap orang yang didakwa dengan suatu dakwaan, lalu dia mengingkarinya, maka wajib atasnya mengucapkan al-Yamîn. Ini adalah pendapat mayoritas Fuqaha’. Sedangkan Imam Malik mengatakan: “Orang yang mengingkari (si terdakwa) wajib mengucapkan al-Yamîn bilamana antara kedua orang yang saling menggugat pernah ada semacam percampuran (antara satu sama lain pernah saling mengenal). Sebab bila tidak, dikhawatirkan ada sementara orang-orang yang iseng dengan seenaknya mempermainkan al-Yamîn di hadapan para pemimpin seperti yang pernah terjadi terhadap Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah.
    Beliau mengisahkan: “Suatu ketika kami berhadapan dengan wakil seorang Sultan dan posisiku berada di sampingnya, tiba-tiba ada sebagian hadirin yang mendakwa diriku bahwa aku masih memegang barang titipannya, lalu dia meminta agar aku didudukkan bersamanya dan bersumpah. Lalu aku berkata kepada Qadli/Hakim madzhab Maliky yang waktu itu juga hadir:
    “Apakah dakwaan semacam ini berlaku dan dapat didengar?”.
    Dia menjawab: “Tidak”.
    Aku berkata lagi: “Lalu apa putusan di dalam madzhabmu terhadap hal seperti ini?”.
    Dia menjawab: “Si pendakwa harus dita’zir”. (diberi sanksi oleh sultan/penguasa-red).
    Aku berkata: “Kalau begitu, berilah putusan seperti di dalam madzhabmu itu!”.
    Lalu si pendakwa itu disuruh berdiri dan ditarik keluar dari majlis itu.
  • asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’dy rahimahullah berkata - mengomentari sabda beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam (artinya) -: ‘(Menghadirkan) ‘al-Bayyinah’ (wajib) atas pendakwa dan (mengucapkan) ‘al-Yamîn’ (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si terdakwa)’ “Sungguh ini merupakan ucapan yang amat menyentuh dan komplit. Ia melingkupi seluruh peristiwa dan bagian-bagiannya yang terjadi di tengah umat manusia dalam segala hak mereka. Ucapan ini merupakan suatu prinsip yang melandasi seluruh problematika yang timbul. Ia dapat mencakup beberapa kondisi berikut :
    Pertama, kondisi orang yang mendakwa hak orang lain sedangkan si terdakwa mengingkarinya.
    Kedua, kondisi orang yang telah mantap haknya (permanen/legitimit) lalu mendakwa berlepas diri darinya sementara pemilik hak (asli) tersebut mengingkarinya.
    Ketiga, kondisi orang yang telah mantap di tangannya kepemilikan terhadap sesuatu lalu ada orang lain yang mendakwa kepemilikannya terhadap sesuatu tersebut sedangkan pemiliknya ini mengingkarinya.
    Keempat, kondisi dua orang yang telah bersepakat dengan suatu ‘aqad lalu salah satu dari keduanya mendakwa bahwa ‘aqad itu cacat karena ada syarat yang tertinggal atau semisalnya sementara yang seorang lagi mengingkari hal itu; maka ucapan yang harus dipegang (menjadi acuan) adalah ucapan yang mendakwa tidak adanya cacat tersebut.
    Kelima, kondisi orang yang mendakwa terhadap suatu syarat, cacat, tenggang waktu tertentu dan semisalnya sementara yang lainnya mengingkari hal itu, maka ucapan yang harus dipegang (menjadi acuan) adalah ucapan orang yang mengingkarinya (si terdakwa).
    Dan banyak lagi kondisi lainnya yang masuk ke dalam cakupan kaidah diatas”.

(Diambil dari buku ‘Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm’ karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, jld. VI, hal. 162-166)

APAKAH TEPAT PERTANYAAN YANG DISAMPAIKAN : MANA DALILNYA ?? DAN MENGAPA BEGINI ?!

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menjelaskan tentang hukum tarian perempuan di depan anak-anak perempuan sejenisnya

Mengenai hal ini, kami sampaikan, jika yang dimaksud tari modern maka tidak boleh. Kalau ditanya, apa dalilnya ?

Jawabannya.
Meluruskan masalah-masalah itu sulit sekali. Mungkin ada yang berlebih-lebihan atau meremehkan dalam menanggapinya. Khususnya orang yang hidup dalam waktu yang lama dalam amalan tertetntu. Bagi mereka telah tampak bahwa perkara itu ada penyimpangan dan syara’ menolak, tetapi mereka tetap berpaling dan kembali berbuat yang lebih parah dari yang lalu

Hal ini sebagai pelajaran bagi kita sekarang dan yang akan datang, bila membahas suatu masalah dituntut adanya dalil dalam rangka membersihkan taqlid.

Kaum muslimin hidup dalam waktu yang panjang. Mereka tidak mengenal selain madzhab Fulan dan madzhab Fulan, madzhab empat, madzhab ahlus sunnah wal jama’ah dan atau madzhab yang menyimpang dari ahlus sunnah wal jama’ah. Adapun yang bersandar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah generasi yang telah disaksikan kebaikannya (Salafush Shalih). Kemudian berlalu masa tersebut, sampai zaman Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya. Mereka menyeru kaum muslimin kepada keharusan untuk kembali kepada pemahaman Salafush Shalih dalam hal bersandar kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Tidak diragukan bahwa da’wah Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya mempunyai pengaruh yang bagus. Tetapi pada masa itu peranannya sangat kecil dan kejumudan berfikir menguasai beberapa orang terutama orang-orang awam.

Setelah generasi yang dibangunkan oleh Ibnu Taimiyah kaum muslimin kembali kepada kejumudan dalam memahami fiqih, kecuali pada akhir-akhir ini. Banyak sekali ulama yang memperbaharui da’wahnya untuk menggerakkan dan membangunkan manusia untuk kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Diantara ulama yang telah mendahului kita dalam hal ini adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Beliau telah menyeru untuk ittiba’ (mengikuti) kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Melihat keadaan penduduk Nejd yang aqidah keberhalaannya telah menguasai negeri mereka maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berusaha dengan gigih memeperbaiki tauhid mereka.

Tabiat manusia kemampuannya terbatas. Mereka tidak sanggup memerangi semua kehinaan sebagaimana yang mereka katakan. Karena itu da’wah beliau bertumpu pada da’wah penyebaran tauhid dan memerangi kesyirikan serta keberhalaan. Sehingga sampailah da’wah yang bagus ke dunia Islam. Walaupun antara beliau dan lawannya terjadi peperangan yang sangat disesalkan. Ini adalah sunnatullah pada makhlukNya dan kamu tidak akan dapat menemui perubahan sunatullah.

Pada saat ini telah banyak ulama yang memperbaharui da’wahnya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Banyak sekali kebangkitan yang nampak dari bebagai kalangan di negeri-negeri Arab. Tetapi sangat disesalkan sekali negara-negara ajam (non Arab) masih nyenyak dalam tidurnya.

Kelemahan bangsa Arab sebagaimana saya tunjukkan tadi, adalah bahwa sebagian mereka masih sepotong-sepotong dalam memahami Islam. Ada yang mengetahui sebagian tetapi bodoh pada bagian yang lain. Maka kita lihat seorang laki-laki umum, yang tidak faham sesuatu sedikitpun apabila bertanya kepada orang alim tentang suatu masalah, dia berkata apa hukumnya ? Sama saja, apakah jawabannya tidak ada atau larangan, dia tergesa-gesa menuntut apa dalilnya ?

Tidak selalu orang alim itu dapat memberikan dalil. Suatu dalil bisa diambil dengan cara istimbat (mengeluarkan dari sumbernya melalui ijtihad untuk menetapkan suatu hukum) dan iqtibas (mengambil faidah dari sumbernya), belum tentu secara jelas dan lugas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seperti masalah ini, penanya hendak mengetahui sedalam-dalamnya dengan menanyakan “Apa Dalilnya ?” Seharusnya penanya tahu diri, apakah dia itu ahli dalil atau tidak ? Apa dia telah mempunyai pengenalan dalil yang maknanya umum dan khusus, mutlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh ? Sedang dia tidak faham sedikitpun terhadap pengenalan tersebut. Apakah tepat pertanyaan yang disampaikan.. ”Apa Dalilnya ??!! Dan mengapa begini ?!”. Kami katakan tentang hukum tarian perempuan di depan suaminya, atau di depan saudara perempuannya sesama muslimah, bisa jadi boleh, bisa jadi dilarang ! Dan juga tarian laki-laki, dia menghendaki dalil diatas itu. Pada hakekatnya kami tidak menemukan dalil yang jelas dan gamblang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dasar tersebut ditemukan dengan istimbat, penelitian dan pemahaman. Karena itu kami katakan, tidaklah setiap masalah harus dijelaskan dalilnya secara rinci, sehingga mudah dipahami oleh setiap muslim. Baik itu orang umum yang buta baca tulis, atau penuntut ilmu. Tidak harus begitu untuk setiap pertanyaan. Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Bertanyalah kepada Ahlul ilmi jika kalian tidak tahu” [An-Nahl : 43]

Diantara contoh ekstrim yang telah saya tunjukan tadi, manusia yang paling jahil akan menjadi penentang dalil. Kebanyakan manusia yang menisbatkan dirinya dalam da’wah kepada Al-Kitab dan As-Sunnah menyangka, bahwa orang yang berilmu itu apabila ditanya suatu masalah, dia harus menjawab dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah).

Aku (Al-Albani) menjawab bahwa ini tidak wajib. Hal ini merupakan salah satu dari faedah-faedah berintima (cenderung) kepada Salafus Shalih. Jalan mereka dan fatwa-fatwa mereka merupakan dalil bagi perbuatan yang telah saya jelaskan. Jadi wajib menyebutkan dalil ketika masalah itu menuntut adanya dalil. Tapi tidak wajib bagi setiap pertanyan harus dijawab dengan : “Kata Allah Subhanahu wa Ta’ala begini atau kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam begini” . Terlebih masalah ini merupakan masalah hukum yang rumit dan penuh perselisihan di dalamnya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Bertanyalah kepada Ahlul ilmi jika kalian tidak tahu” [An-Nahl : 43]

Ini adalah secara umum. Tidak ada kewajiban kecuali bertanya kepada orang yang kalian duga ahli ilmu. Jika telah dijawab, wajib bagi kalian untuk mengikutinya. Kecuali bila engkau dengan jawaban yang syubhat dari seorang ahli ilmu lainnya, sebaiknya engkau jelaskan yang syubhat itu. Sedangkan orang alim tersebut wajib berusaha dengan kemampuan ilmunya untuk menghilangkan kesyubhatan yang telah tampak pada penanya.

Ringkasnya tarian wanita di depan suaminya dengan batasan yang telah disebut adalah boleh. Adapun tarian wanita di depan anak-anak perempuan, maka ada dua kemungkinan juga, sebagaimana tariian perempuan di depan suaminya. Jika tariannya tidak diiringi dengan kegemaran dan hanya merupakan bagian dari lambaian tangannya, dimana tidak disertai gerakan/ayunan pantat atau sejenisnya yang bisa menggerakkan syahwat atau menimbulkan syubhat. Tarian ini tidak apa-apa, jika memang benar namanya tarian. Apabila terdapat hal-hal selain yang disyaratkan di atas, maka larangan merupakan hukum asal


[Disunting dari sebagian jawaban dari pertanyaan Tarian Seorang Wanita dan Laki-laki kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Majalah Al-Ashalah 8/15 Jumadil Akhir 1414H hal. 73. Edisi Indonesia 25 Fatwa Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Muhaimin Abu Najiah, Semarang 1955, dan judul artikel oleh admin]

APA YANG DIMAKSUD MASHALIH AL MURSALAH, MASLAHAT DAKWAH DAN HAKIKAT HIZBIYYAH

Syaikh Abu Ubaidah Masyhurah bin Hasan Salman

Pertanyaan
Syaikh Abu Ubaidah Masyhurah bin Hasan Salman ditanya : Apa yang dimaksud dengan masalih mursalah, maslahat dakwah dan hakikat hizbiyyah?

Jawaban
Permasalahan usul lainnya yaitu tentang maslahat mursalah, banyak orang mencampur adukkan antara maslahat mursalah dengan bid'ah. Bid'ah digolongkan menjadi dua : Bid'ah Hakikiyyah dan Bid'ah Idofiyyah. Jika sesuatu masalah mungkin berlaku dan terjadi di masa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, tetapi ditinggalkan Rasulullah dan tidak pernah diperbuat para sahabat setelah wafatnya, maka dia digolongkan kedalam bid'ah idofiyyah dan bukan maslahat mursalah, seperti dzikir-dzikir yang banyak kita dengar diucapkan di negeri ini setelah atau sebelum adzan dikumandangkan, sebab adzan sendiri dimulai dengan sesuatu lafazd tertentu dan diakhiri dengan sesuatu lafazd tertentu pula, dan tidak diperlukan adanya tambahan lagi, karena jika memang dzikir-dzikir ini baik dan boleh dilaksanakan tentulah mereka dapat melaksanakannya.

Adapun maslahat mursalah maka harus memiliki beberapa kriteria tertentu, diantaranya :

Pertama : Kemaslahatan itu sendiri hendaklah maslahat hakikikiyyah (masalah yang sebenarnya) bukan kemaslahatan yang masih wahahamiyyah (diragukan).

Kedua : Harus benar-benar merupakan kemaslahatan yang mursalah atau mutlaqoh dimana perkara ini secara tekhnis tidak bertentangan dengan syariat dan tidak mungkin terjadi dizaman shahabat, seperti penggunaan mikrofon dalam adzan, ini bukan bid'ah tetapi merupakan contoh dari maslahat mursalah. karena alat-alat seperti ini tidak pernah ada sebelumnya.

Jika sekiranya hal ini mungkin terjadi dizaman Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam namun ditinggalkannya pastilah penggunaan mikrofon seperti ini dianggap bid'ah. Sebab kita tahu bahwa adzan disyariatkan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat dan mikrofon ini benar-benar sangat penting digunakan untuk fungsi ini demi kemaslahatan agar orang dapat mendengarnya, sementara mustahil hal ini terjadi pada zaman Rasul dan mereka tidak mengenal ataupun mempelajarinya. Maka hukumnya sama dengan hukum menggunakan kaca mata sebagai alat melihat dan membaca bagi orang-orang yang kabur penglihatannya, inilah dia maslahat, tetapi maslahat harus diletakkan sesuai dengan porsinya dan tidak terlampau dibesar-besarkan. Jika dikatakan bahwa membaca Al-Quran dengna memakai kaca mata adalah sunnah, tentulah hal ini berlebihan, namun banyak yang beranggapan bahwa orang-orang Salaf tidak biasa membedakan antara maslahat dengan bid'ah, sebenarnya ini merupakan kezaliman yang nyata terhadap dakwah Salaf.

Ungkapan bid'ah yang diucapkan oleh ulama Salaf sebenarnya berdasarkan kriteria dan persyaratan tertentu yang diambil berdasarkan istiqra (pemahaman) terhadap nas-nas dan kaidah-kaidah yang mereka susun. Literatur yang sangat relevan dalam hal ini aku sarankan agar membaca dua literatur penting :

Pertama : Karya Imam Syatibi "Al-I'tishom" dimana di dalamnya ada cara membuat kaidah dasar mengenai ahli bid'ah. Penuntut ilmu syar'i dapat mengambil banyak manfaat dari buku ini.

Kedua : Karya Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah" Iqtido' sirat al-mustaqim.

Adapun maslahat dakwah, banyak orang yang menggunakannya sebagai pembenaran atas berbagai kepentingan dan keingginan mereka, padahal maslahat dakwah harus dipandang dengan kacamata maslahat yang syar'i. Didalam menyikapi berbagai masalah baru dan problematika besar yang berkembang, seseorang harus meruju' kepada alim ulama, jika terdapat sesuatu hal yang dianggap dapat dijadikan sebagai kemaslahatan dakwah, maka harus ditanyakan terlebih dahulu kepada para ulama agar mereka yang dapat menghukuminya.

Adapun maslahat yang bertentangan dengan nas syar'i seperti berbuat kebohongan, mendahulukan kepentingan pribadi dengan mengatas namakan kepentingan agama tentulah tidak benar, oleh karena itu pastilah berbeda antara orang yang selalu berjalan dan beputar di atas poros agama dengan orang yang memutar balikkan agama, tentu berbeda antara seseorang yang paham dengan kemaslahatan mendesak yang harus diperbuat dalam suatu waktu tertentu dan diperkuat dengan nas-nas syar'i maupun dalil, dengan seseorang yang menjadikan agama laksana gudang agar dapat mengambil agama untuk kepentingan hawa nafsunya. Ahlus-Sunnah sebagaimana yang dikatakan Imam Waki' :"Menyebutkan apa-apa kelebihan dan kekurangan mereka". Sementara ahlu bid'ah hanya menyebutkan kelebihan-kelebihan mereka saja dan menyembunyikan kekurangan mereka.

Terakhir adalah hakikat hizbiyyah, al-wala (loyaliitas) dan al-baro', sikap cinta ataupun benci haruslah berdasarkan agama. Kita dituntut untuk mencintai seseorang, membencinya wala maupun bara' atasnya haruslah karena agama. Pernah terjadi antara seorang Muhajirin dengan seorang Anshar bertengkar, sehingga keduanya berteriak minta bantuan kepada kaumnya masing-masing" Wahai Anshar, Wahai Muhajirin!!". Seketika Rasulullah datang menghampiri mereka dan bersabda :

"Kenapa kalian masih menyerukan fanatisme kejahiliyyah sementara aku ada ditengah-tengah kalian".

Hakikat Hizbiyyah yakni al-wala' dan al-baro' serta berkelompok yang mereka lakukan bukan berlandaskan syariat. Agama kita sebenaranya sangat lengkap dan sangat munazzam (teratur rapi) kita diatur melaksanakan ibadah haji dalam satu waktu dan satu tempat, shalat berjamaah ditempat yang ditentukan, berpuasa pada waktu yang sama, segala sesuatu diatur lengkap dalam agama kita. Barang siapa yang tidak rela dengan agama ini semoga dijauhkan Allah. Cukuplah bagi kita untuk berkumpul dibawah satu panji, melaksanakan ketaatan dan ibadah. Inilah yang dapat kusampaikan.


[Seri Soal Jawab DaurAh Syar'iyah Surabaya 17-21 Maret 2002. Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan , Lc]

Penulis : Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsari

Kategori : Hadits

MENGENAL BID'AH
[Print View] [kirim ke Teman]

Al Allamah Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa`di rahimahullah memaparkan tentang bid`ah : "Bid`ah adalah perkara yang diada-adakan dalam agama. Sesungguhnya agama itu adalah apa yang datangnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana termaktub dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Dengan demikian apa yang ditunjukkan oleh Al Qur'an dan As Sunnah itulah agama dan apa yang menyelisihi Al Qur'an dan As Sunnah berarti perkara itu adalah bid`ah. Ini merupakan defenisi yang mencakup dalam penjabaran arti bid`ah. Sementara bid`ah itu dari sisi keadaannya terbagi dua :

Pertama : Bid`ah I'tiqad (bid`ah yang bersangkutan dengan keyakinan)
Bid`ah ini juga diistilahkan bid`ah qauliyah (bid`ah dalam hal pendapat) dan yang menjadi patokannya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan dalam kitab sunan :
"Umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya berada dalam neraka kecuali satu golongan".
Para shahabat bertanya : "Siapa golongan yang satu itu wahai Rasulullah ?.
Beliau menjawab : "Mereka yang berpegang dengan apa yang aku berada di atasnya pada hari ini dan juga para shahabatku".


Yang selamat dari perbuatan bid`ah ini hanyalah ahlus sunnah wal jama`ah yang mereka itu berpegang dengan ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan apa yang dipegangi oleh para shahabat radliallahu anhum dalam perkara ushul (pokok) secara keseluruhannya, pokok-pokok tauhid , masalah kerasulan (kenabian), takdir, masalah-masalah iman dan selainnya.

Sementara yang selain mereka dari kelompok sempalan (yang menyempal/keluar dari jalan yang benar) seperti Khawarij, Mu`tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, Rafidhah, Murji`ah dan pecahan dari kelompok-kelompok ini , semuanya merupakan ahlul bid`ah dalam perkara i`tiqad. Dan hukum yang dijatuhkan kepada mereka berbeda-beda, sesuai dengan jauh dekatnya mereka dari pokok-pokok agama, sesuai dengan keyakinan atau penafsiran mereka, dan sesuai dengan selamat tidaknya ahlus sunnah dari kejelekan pendapat dan perbuatan mereka. Dan perincian dalam permasalahan ini sangatlah panjang untuk dibawakan di sini.

Kedua : Bid`ah Amaliyah (bid`ah yang bersangkutan dengan amalan ibadah)
Bid`ah amaliyah adalah penetapan satu ibadah dalam agama ini padahal ibadah tersebut tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan perlu diketahui bahwasanya setiap ibadah yang tidak diperintahkan oleh Penetap syariat (yakni Allah ta`ala) baik perintah itu wajib ataupun mustahab (sunnah) maka itu adalah bid`ah amaliyah dan masuk dalam sabda nabi shallallahu alaihi wasallam :
"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak".
Karena itulah termasuk kaidah yang dipegangi oleh para imam termasuk Imam Ahmad rahimahullah dan selain beliau menyatakan :
"Ibadah itu pada asalnya terlarang (tidak boleh dikerjakan)"

Yakni tidak boleh menetapkan/mensyariatkan satu ibadah kecuali apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dan mereka menyatakan pula :
"Muamalah dan adat (kebiasaan) itu pada asalnya dibolehkan (tidak dilarang)"

Oleh karena itu tidak boleh mengharamkan sesuatu dari muamalah dan adat tersebut kecuali apa yang Allah ta`ala dan rasul-Nya haramkan. Sehingga termasuk dari kebodohan bila mengklaim sebagian adat yang bukan ibadah sebagai bid`ah yang tidak boleh dikerjakan, padahal perkaranya sebaliknya (yakni adat bisa dilakukan) maka yang menghukumi adat itu dengan larangan dan pengharaman dia adalah ahlu bid`ah (mubtadi). Dengan demikian, tidak boleh mengharamkan satu adat kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dan adat itu sendiri terbagi tiga :
Pertama : yang membantu mewujudkan perkara kebaikan dan ketaatan maka adat seperti ini termasuk amalan qurbah (yang mendekatkan diri kepada Allah).
Kedua : yang membantu/mengantarkan kepada perbuatan dosa dan permusuhan maka adat seperti ini termasuk perkara yang diharamkan.
Ketiga : adat yang tidak masuk dalam bagian pertama dan kedua (yakni tidak masuk dalam amalan qurbah dan tidak pula masuk dalam perkara yang diharamkan) maka adat seperti ini mubah (boleh dikerjakan). Wallahu a`lam.*****
(Al Fatawa As Sa`diyah, hal. 63-64 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al Mar'ah Al Muslimah

Penulis : Al Ustadz Qomar Suaidi

PRINSIP PRINSIP MENGKAJI AGAMA
[Print View] [kirim ke Teman]

Menuntut ilmu agama tidak cukup bermodal semangat saja. Harus tahu pula rambu-rambu yang telah digariskan syariat. Tujuannya agar tidak bingung menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Dan yang paling penting, tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang!

Dewasa ini banyak sekali ‘jalan’ yang ditawarkan untuk mempelajari dienul Islam. Masing-masing pihak sudah pasti mengklaim jalannya sebagai yang terbaik dan benar. Melalui berbagai cara mereka berusaha meraih pengikut sebanyak-banyaknya. Lihatlah sekeliling kita. Ada yang menawarkan jalan dengan memenej qalbunya, ada yang mengajak untuk ikut hura-huranya politik, ada yang menyeru umat untuk segera mendirikan Khilafah Islamiyah, ada pula yang berkelana dari daerah satu ke daerah lain mengajak manusia ramai-ramai ke masjid.

Namun lihat pula sekeliling kita. Kondisi umat Islam masih begini-begini saja. Kebodohan dan ketidakberdayaan masih menyelimuti. Bahkan sepertinya makin bertambah parah.
Adakah yang salah dari tindakan mereka? Ya, bila melihat kondisi umat yang semakin jatuh dalam kegelapan, sudah pasti ada yang salah. Mengapa mereka tidak mengajak umat untuk kembali mempelajari agamanya saja? Mengapa mereka justru menyibukkan umat dengan sesuatu yang berujung kesia-siaan?

Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pewaris Nabi selalu berusaha mengamalkan apa yang diwasiatkan Rasulullah untuk mengajak umat kembali mempelajari agamanya. Dalam berbagai hal, Ahlussunnah tidak akan pernah keluar dari jalan . Lebih-lebih dalam mengambil dan memahamiyang telah digariskan oleh Nabi agama di mana hal itu merupakan sesuatu yang sangat asasi pada kehidupan. Inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan umat.

Berikut kami akan menguraikan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam mengkaji agama, namun kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang sangat pokok dan mendesak untuk diungkapkan. Tidak mungkin kita menyebut semuanya karena banyaknya sementara ruang yang ada terbatas.

Makna Manhaj

Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah:

“Dan kami jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj.” (Al-Maidah: 48)

Kata minhaj , sama dengan kata manhaj . Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh Imam ahli tafsir Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah. Sedang sunnah artinya jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula Ibnu Katsir menjelaskan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu’jamul Wasith).

Yang diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh Ahlussunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Inilah rambu-rambu yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama:

1. Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah berfirman:. Allah
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan jangan kalian mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya.” (Al-A’raf: 3)
bersabda:Dan Rasulullah
“Ketahuilah bahwasanya aku diberi Al Qur’an dan yang serupa dengannya bersamanya.” (Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam bin Ma’di Karib. Lihat Shahihul Jami’ N0. 2643)

2. Memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih yakni para sahabat dan yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in :dan tabi’ut tabi’in. Sebagaimana sabda Nabi
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian yang setelah mereka kemudian yang setelah mereka.” (Shahih, HR Bukhari dan Muslim)

Kebaikan yang berada pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan dan dakwah.

Ibnul Qayyim berkata: “Nabi mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya secara mutlak. Itu berarti bahwa merekalah yang paling utama dalam segala pintu-pintu kebaikan. Kalau tidak demikian, yakni mereka baik dalam sebagian sisi saja maka mereka bukan sebaik-baik generasi secara mutlak.” (lihat Bashair Dzawis Syaraf: 62)
Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap agama ini sudah dijamin oleh Nabi. Sehingga, kita tidak meragukannya lagi bahwa kebenaran itu pasti bersama mereka dan itu sangat wajar karena mereka adalah orang yang paling tahu setelah Nabi. Mereka menyaksikan di mana dan kapan turunnya wahyu dan mengucapkan hadits. Keadaan yang semacam inimereka tahu di saat apa Nabi tentu sangat mendukung terhadap pemahaman agama. Oleh karenanya, para ulama mengatakan bahwa ketika para shahabat bersepakat terhadap sesuatu, kita tidak boleh menyelisihi mereka. Dan tatkala mereka berselisih, maka tidak boleh kita keluar dari perselisihan mereka. Artinya kita harus memilih salah satu dari pendapat mereka dan tidak boleh membuat pendapat baru di luar pendapat mereka.

Imam Syafi’i mengatakan: “Mereka (para shahabat) di atas kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara’ (sikap hati-hati), akal dan pada perkara yang mendatangkan ilmu atau diambil darinya ilmu. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama buat kita dari pendapat kita sendiri -wallahu a’lam- … Demikian kami katakan. Jika mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika seorang dari mereka memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain maka kita mengambil pendapatnya dan jika mereka berbeda pendapat maka kami mengambil sebagian pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan.” (Al-Madkhal Ilas Sunan Al-Kubra: 110 dari Intishar li Ahlil Hadits: 78].

Begitu pula Muhammad bin Al Hasan mengatakan: “Ilmu itu empat macam, pertama apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya, kedua apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah atau yang semacamnya, ketiga apa yang disepakati oleh para shahabat Nabi atau yang serupa dengannya dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka …, keempat apa yang diangap baik oleh para ahli fikih atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.” (Intishar li Ahlil Hadits: 31)

Oleh karenanya Ibnu Taimiyyah berkata: “Setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup di masa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun yang terdahulu, maka itu salah.”

Imam Ahmad mengatakan: “Jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak punya pendahulu padanya.” (Majmu’ Fatawa: 21/291)

Hal itu -wallahu a’lam- karena Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Allah melindungi umatku untuk berkumpul di atas kesesatan.” (Hasan, HR Abu Dawud no:4253, Ibnu Majah:395, dan Ibnu Abi Ashim dari Ka’b bin Ashim no:82, 83 dihasankan oleh As Syaikh al Albani dalam Silsilah As- Shahihah:1331]
Jadi tidak mungkin dalam sebuah perkara agama yang diperselisihkan oleh mereka, semua pendapat adalah salah. Karena jika demikian berarti mereka telah berkumpul di atas kesalahan. Karenanya pasti kebenaran itu ada pada salah satu pendapat mereka, sehingga kita tidak boleh keluar dari pendapat mereka. Kalau kita keluar dari pendapat mereka, maka dipastikan salah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di atas.

3. Tidak melakukan taqlid atau ta’ashshub (fanatik) madzhab. Allah berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (Al-A’raf: 3)

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)

Dengan jelas ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah baik berupa Al Qur’an atau hadits. Maka ucapan siapapun yang tidak sesuai dengan keduanya berarti harus ditinggalkan. Imam Syafi’i mengatakan: “Kaum muslimin bersepakat bahwa siapapun yang telah jelas baginya Sunnah Nabi maka dia tidak boleh berpaling darinya kepada ucapan seseorang, siapapun dia.” (Sifat Shalat Nabi: 50)

Demikian pula kebenaran itu tidak terbatas pada pendapat salah satu dari Imam madzhab yang empat. Selain mereka, masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dulu dari mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya tidak seorangpun dari ahlussunnah mengatakan bahwa kesepakatan empat Imam itu adalah hujjah yang tidak mungkin salah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas padanya dan bahwa yang keluar darinya berarti batil. Bahkan jika seorang yang bukan dari pengikut Imam-imam itu seperti Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Sa’ad dan yang sebelum mereka atau Ahlul Ijtihadyang setelah mereka mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat Imam-imam dan Rasul-Nya, danitu, maka perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil.” (Minhajus Sunnah: 3/412 dari Al Iqna’: 95).

Sebaliknya, ta’ashshub (fanatik) pada madzhab akan menghalangi seseorang untuk sampai kepada kebenaran. Tak heran kalau sampai ada dari kalangan ulama madzhab mengatakan: “Setiap hadits yang menyelisihi madzhab kami maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni diarahkan kepada makna yang lain).”

Akhirnya madzhablah yang menjadi ukuran kebenaran bukan ayat atau hadits. Bahkan ta’ashub semacam itu membuat kesan jelek terhadap agama Islam sehingga menghalangi masuk Islamnya seseorang sebagaimana terjadi di Tokyo ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan ditunjukkan kepada orang-orang India maka mereka menyarankan untuk memilih madzhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia mereka menyarankan untuk memilih madzhab Syafi’i. Mendengar jawaban-jawaban itu mereka sangat keheranan dan bingung sehingga sempat menghambat dari jalan Islam [Lihat Muqaddimah Sifat Shalat Nabi hal: 68 edisi bahasa Arab)

4.
Waspada dari para da’i jahat. Jahat yang dimaksud bukan dari sisi kriminal tapi lebih khusus adalah dari tinjauan keagamaan. Artinya mereka yang membawa ajaran-ajaran yang menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, sedikit atau banyak. Di antara ciri-ciri mereka adalah yang suka berdalil dengan ayat-ayat yang belum begitu jelas maknanya untuk bisa mereka tafsirkan semau mereka. Dengan itu mereka maksudkan menebar fitnah yakni menyesatkan para pengikutnya.

Allah berfirman:
“Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka) inginkan dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (Ali-Imran: 7)

Ibnu Katsir mengatakan: “Menginginkan fitnah artinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan mengesankan bahwa mereka berhujjah dengan Al Qur’an untuk (membela) bid’ah mereka padahal Al Qur’an itu sendiri menyelisihinya. Ingin mentakwilkannya artinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan.” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/353]

5.
Memilih guru yang dikenal berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dalam berakidah, beribadah, berakhlak dan mu’amalah. Hal itu karena urusan ilmu adalah urusan agama sehingga tidak bisa seseorang sembarangan atau asal comot dalam mengambilnya tanpa peduli dari siapa dia dapatkan karena ini akan berakibat fatal sampai di akhirat kelak. Maka ia harus tahu siapa yang akan ia ambil ilmu agamanya.

Jangan sampai dia ambil agamanya dari orang yang memusuhi Sunnah atau memusuhi Ahlussunnah atau tidak pernah diketahui belajar akidah yang benar karena selama ini yang dipelajari adalah akidah-akidah yang salah atau mendapat ilmu hanya sekedar hasil bacaan tanpa bimbingan para ulama Ahlussunnah. Sangat dikhawatirkan, ia memiliki pemahaman-pemahaman yang salah karena hal tersebut.

Seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” Beliau juga berkata: “Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para rawi yang meriwayatkan) hadits, maka tatkala terjadi fitnah mereka mengatakan: sebutkan kepada kami sanad kalian, sehingga mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima haditsnya dan melihat kepada ahlul bid’ah lalu menolak haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)

bersabda:Nabi
“Keberkahan itu berada pada orang-orang besar kalian.” (Shahih, HR. Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas, dalam kitab Jami’ Bayanul Ilm hal:614 dengan tahqiq Abul Asybal, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’:2887 dan As Shahihah:1778)

Dalam ucapan Abdullah bin Mas’ud:
“Manusia tetap akan baik selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar mereka, jika mereka mengambilnya dari orang-orang kecil dan jahat di antara mereka, maka mereka akan binasa.” Diriwayatkan pula yang semakna dengannya dari shahabat Umar bin Khattab. (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilm hal: 615 dan 616, tahqiq Abul Asybal dan dishahihkan olehnya)

Ibnu Abdil Bar menukilkan dari sebagian ahlul ilmi (ulama) maksud dari hadits di atas: “Bahwa yang dimaksud dengan orang-orang kecil dalam hadits Umar dan hadits-hadits yang semakna dengannya adalah orang yang dimintai fatwa padahal tidak punya ilmu. Dan orang yang besar artinya yang berilmu tentang segala hal. Atau yang mengambil ilmu dari para shahabat.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilm: 617).

6.
Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio, karena agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal.

Allah berkata kepada Nabi-Nya:
“Katakanlah (Ya, Muhammad): ‘sesungguhnya aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu.’.” (Al-Anbiya: 45)
“Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan, dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkannya pun lemah.

Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadits yang shahih karena tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akalnya di hadapan keduanya.

Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bagian bawah khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit) lebih utama untuk diusap (pada saat berwudhu-red) daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.” (shahih, HR Abu Dawud dishahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no:162).
Pada ucapan beliau ada keterangan bahwa dibolehkan seseorang mengusap bagian atas khuf-nya atau kaos kaki atau sepatunya ketika berwudhu dan tidak perlu mencopotnya jika terpenuhi syaratnya sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih. Yang jadi bahasan kita disini adalah ternyata yang diusap justru bagian atasnya, bukan bagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak diusap adalah bagian bawahnya karena itulah yang kotor.

Ini menunjukkan bahwa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat dan fitrah yang selamat. Masalahnya, terkadang akal tidak memahami hikmahnya, seperti dalam masalah ini. Bisa jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita mengerti.

Jangan sampai ketidakmengertian kita menjadikan kita menolak hadits yang shahih atau ayat Al Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendaknya kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib di atas.

Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah, katanya: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka, mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah memperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya mereka meninggalkannya dan mengambil Kitab dan Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits: 99)

Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
a. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
b. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, serta memahami dan mengambil hukum darinya.
c. Pendapat akal yang berakibat menolak asma’ (nama) Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
d. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah.
e. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik dan prasangka.
Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. (lihat, I’lam Muwaqqi’in: 1/104-106, Al- Intishar: 21,24, dan Al Aql wa Manzilatuhu)

7. Menghindari perdebatan dalam agama

Nabi bersabda:
“Tidaklah sebuah kaum sesat setelah mereka berada di atas petunjuk kecuali mereka akan diberi sifat jadal (berdebat). Lalu beliau membaca ayat, artinya: ‘Bahkan mereka adalah kaum yang suka berbantah-bantahan’.” (Hasan, HR Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahili, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no: 5633)

Ibnu Rajab mengatakan: “Di antara sesuatu yang diingkari para Imam salafus shalih adalah perdebatan, berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Itu bukan jalannya para Imam agama ini.” (Fadl Ilm Salaf 57 dari Al-Intishar: 94).

Ibnu Abil Izz menerangkan makna mira’ (berbantah-bantahan) dalam agama Allah adalah membantah ahlul haq (pemegang kebenaran) dengan menyebutkan syubhat-syubhat ahlul bathil, dengan tujuan membuat keraguan padanya dan menyimpangkannya. Karena perbuatan yang demikian ini mengandung ajakan kepada kebatilan dan menyamarkan yang hak serta merusak agama Islam. (Syarh Aqidah Thahawiyah: 313)

Oleh karenanya Allah memerintahkan berdebat dengan yang paling baik.

Firman-Nya: “Ajaklah kepada jalan Rabb-Mu dengan hikmah, mau’idhah (nasihat) yang baik dan berdebatlah dengan yang paling baik.” (An-Nahl: 125).

Para ulama menerangkan bahwa perdebatan yang paling baik bisa terwujud jika niat masing-masing dari dua belah pihak baik. Masalah yang diperdebatkan juga baik dan mungkin dicapai kebenarannya dengan diskusi. Masing-masing beradab dengan adab yang baik, dan memang punya kemampuan ilmu serta siap menerima yang haq jika kebenaran itu muncul dari hasil perdebatan mereka. Juga bersikap adil serta menerima kembalinya orang yang kembali kepada kebenaran. (lihat rinciannya dalam Mauqif Ahlussunnah 2/587-611 dan Ar-Rad ‘Alal Mukhalif hal:56-62).

Perdebatan para shahabat dalam sebuah masalah adalah perdebatan musyawarah dan nasehat. Bisa jadi mereka berselisih dalam sebuah masalah ilmiah atau amaliah dengan tetap bersatu dan berukhuwwah. (Majmu’ Fatawa 24/172)

Inilah beberapa rambu-rambu dalam mengambil ilmu agama sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an maupun hadits yang shahih serta keterangan para ulama. Kiranya itu bisa menjadi titik perhatian kita dalam kehidupan beragama ini, sehingga kita berharap bisa beragama sesuai yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

APAKAH QIYAS TERMASUK SUMBER SELAIN AL-QUR ‘AN DAN AS-SUNNAH ?

Syaikh Abu Ubaidah Masyhurah bin Hasan Salman

Pertanyaan.
Syaikh Abu Ubaidah Masyhurah bin Hasan Salman ditanya : Apa pendapat anda dalam menanggapi masalah qiyas, apakah dia termasuk salah satu sumber selain Al-Quran dan As-Sunnah?

Jawaban
Masalah ini adalah permasalahan yang banyak membuat sesorang keliru pemahamannya dan tergelincir, namun jawaban yang rajih bahwa syariat ini memiliki illat (sebab dibuatnya hukum-pent) yang mu'tabarah (dianggap). Sebagaimana yang tertulis dalam surat Umar kepada Abu Musa Al-As'ari yang berbunyi :" Kenalilah sesuatu dengan hal-hal yang serupa dengannya maka engkau akan mengetahui kebenaran".

Tetapi Qiyas bukan sumber yang independen layaknya Al-Quran dan As-Sunnah, dia hanyalah sebuah masdar taba'i (dasar yang mengikut) dibawah cakupan Al-Quran dan As-Sunnah. Kita paham dari Al-Quran dan As-Sunnah adanya kaedah-kaedah umum dan ketentuan-ketentuan dasar, maupun kaedah-kaedah fikih. Dengan itulah kita berusaha menyesuaikan hukum-hukum dengan menganalogikannya kepada kasus-kasus yang serupa.

Dalam menyikapi Qiyas, manusia yang keliru terbagi menjadi dua kelompok yang bersebrangan :

Pertama : Kelompok yang menolak qiyas secara total dan tidak manganggap bahwa syariat ini memililiki illat, memiliki hikmah bahkan mengingkari bahwa syariat ini ada yang ma'qulatul makna (dapat dirasionalkan -pent). Kelompok ini adalah keliru.

Kedua : Kelompok yang terlalu luas dalam penggunaan qiyas sehingga meremehkan nas-nas, bahkan bukan sekedar menjadikannya dasar hukum ketiga saja, lebih dari itu dia mendahulukannya dari nas-nas, walaupun pada dasarnya sepakat menerima nas. Kelompok ini juga keliru sebagaimana yang pertama.

Jawaban yang benar bahwa qiyas mu'tabar (dianggap sebagai salah satu rujukan -pent). Ketika Ahmad bertemu dengan Syafii, Ahmad sangat mencintai Syafii. Dia pernah menukil sebuah perkatan Syafii ketika ditanya mengenai kehujjahan qiyas : "Qiyas dapat dipakai hanya pada kondisi darurat”. Inilah yang diperkuat Imam Ibn Qoyyim dalam keterangannya dan penjelasannya yang sangat tepat dan sempurna hingga tidak perlu lagi ditambahi dalam kitabnya : "I'lam Al-Muwaqqi'in 'an Rabbi al-'alamin. Kemudian masalah ini turut diperbincangkan oleh Jabariyyah dan Qodariyyah sehingga terseret kedalam pemahaman aqidah yang rusak. Pendapat yang paling benar dan pertengahan adalah yang kusebutkan tadi, namun kalimat yang kusampaikan ini tentu tidak cukup untuk menerangkan secara rinci permasalahan ini dari apa yang diterangkan Ibn Qoyyim.


[Seri Soal Jawab DaurAh Syar'iyah Surabaya 17-21 Maret 2002. Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan , Lc

ILMU HADITS

Yang Perlu Anda Ketahui Dari Hadits-1

Mukaddimah

Dalam kajian ini kami ketengahkan beberapa hal yang berkenaan dengan ilmu hadits, yang kirannya perlu kita ketahui untuk menambah wawasan dan kami kemas dalam bentuk tanya jawab sehingga lebih mudah untuk dipahami.

(1)- TANYA: Kenapa kita harus menuntut ilmu Hadits?

JAWAB:

1. Karena ia merupakan ilmu yang paling mulia
2. Karena para penuntutnya adalah orang-orang yang menjadi lentera kegelapan. Kalau kita melihat keempat imam madzhab, tiga orang dari mereka (selain Abu Hanifah) dikenal sebagai ahli hadits.
Imam Malik memiliki kitab al-Muwaththa` yang berisi banyak hadits. Imam asy-Syafi’i memiliki kitab al-Umm yang banyak berisi hadits-hadits yang beliau ketengahkan sendiri dengan sanadnya, demikian juga dengan bukunya yang terkenal ar-Risalah. Bahkan salah seorang muridnya mengarang Musnad Imam asy-Syafi’i yang diringkasnya dari hadits-hadits yang diriwayatkan beliau di dalam kitab-kitabnya sehingga kitab tersebut lebih dikenal dengan nama Musnad asy-Syafi’i, begitu pula kitab as-Sunnan.

Sedangkan Imam Ahmad memang dikenal sebagai tokoh utama Ahli hadits dan justeru tidak diketahui kalau beliau ada mengarang buku dalam masalah fiqih. Hanya saja perlu diketahui, bahwa beliau juga terhitung sebagai Ahli fiqih. Beliau melarang para muridnya menulis sesuatu dengan hanya berpedoman pada akal semata dan menganjurkan mereka menulis hadits.

(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Dr. Sa’d bin ‘Abdullah al-Humaid, hal.5)


(2)- TANYA: Apa perbedaan antara ungkapan “Haddatsana” ([Fulan] telah menceritakan kepada kami) dan “Akhbarana” ([Fulan] telah memberitahukan kepada kami)?

JAWAB:

Di dalam tata cara Talaqqi (mentransfer, menerima) hadits, para ulama hadits membedakan antara lafazh yang ditransfer langsung dari Syaikh (Guru) dan yang dibacakan kepada syaikh. Bila Syaikh menceritakan tentang hadits, baik dari hafalannya atau pun dari kitab (tulisan)-nya dan membacakan kepada para murid sementara mereka menyalin hadits-hadits yang dibicarakan Syaikh tersebut; maka ini dinamakan dengan as-Samaa’ yang sering diungkapkan dengan kalimat “Yuhadditsuni” atau “Haddatsani.” Bila seorang penuntut ilmu mentransfer hadits tersebut di majlis seperti ini, maka ia harus menggunakan bentuk plural (jamak), yaitu “Haddatsanaa” karena berarti ia mentrasfer hadits itu bersama peserta yang lainnya. Dan jika ia mentransfernya secara pribadi (sendirian) dari Syaikh langsung, maka ia mengungkapkannya dengan “Hadtsani” yakni secara sendirian.

Adapun bila hadits tersebut dibacakan kepada Syaikh (dengan metode Qiraa`ah), seperti misalnya, Imam Malik menyerahkan kitabnya “al-Muwaththa`” kepada salah seorang muridnya, lalu ia (si murid) membaca dan beliau mendengar; jika si murid ini salah, maka ia menjawab dan meluruskan kesalahannya, bila tidak ada yang salah, ia terus mendengar. Metode ini dinamai oleh para ulama hadits dengan metode “al-‘Ardh” (pemaparan) dan “Qiraa`ah ‘Ala asy-Syaikh” (membaca kepada Syaikh). Mereka (para ulama hadits) mengungkap dengan lafazh seperti ini secara lebih detail manakala seseorang ingin menceritakan (meriwayatkan) hadits, maka ia harus mengungkapkan dengan “Akhbarani” bukan dengan “Haddatsani” . Maksudnya bahwa ia menerima (Mentransfer) hadits tersebut bukan dari lafazh Syaikh secara langsung tetapi melalui murid yang membacakannya kepada Syaikh tersebut.

Inilah sebabnya kenapa mereka membedakan antara penggunaan lafazh “Haddatsana” dan lafazh “Akhbarana.” Sebagian Ahli Hadits mengatakan bahwa keduanya sama saja, baik dibacakan kepada Syaikh atau Syaikh sendiri yang membacakannya, semua itu sama saja. Akan tetapi Imam Muslim Rahimahullah tidak menilai hal itu sama saja. Beliau membedakan antara keduanya. Karena itu, dalam banyak haditsnya, kita menemukan beliau memuat hal tersebut. Beliau selalu mengatakan, “Haddatsana….Wa Qaala Fulan, ‘Akhbarana” ([Si fulan menceritakan begini….Dan si Fulan [periwayat lain] mengatakan, ‘telah memberitahu kami’ [Akhbarana] , demikian seterusnya.

(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Dr. Sa’d bin ‘Abdullah al-Humaid, hal.61-62)

====================================================================

Yang Perlu Anda Ketahui Dari Hadits-2 (Mana Yang Paling Shahih Antara Sunan Abi Daud Dan Sunan an-Nasa`iy)
Jumat, 13 Mei 05

TANYA: Dari aspek keshahihan, mana yang diunggulkan; Sunan Abi Daud atau kah Sunan an-Nasa`iy?

JAWAB:
Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy dengan maksud ia adalah as-Sunan al-Kubra, maka Sunan Abi Daud lebih shahih daripadanya. Sedangkan bila yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy di sini adalah kitab al-Mujtaba, di sini perlu didiskusikan kembali pendapat tadi.

Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy, maka akan jelas bagi kita bahwa ia (Sunan an-Nasa`iy) yang dinamakan dengan al-Mujtaba sekarang ini –yang nampak bagi saya- bukanlah karangan Imam an-Nasa`iy sendiri. Ia merupakan karangan Ibn as-Sunny yang tidak lain adalah salah seorang periwayat kitab Sunan an-Nasa`iy. Secara umum, yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy adalah as-Sunan al-Kubra. Karena itu, sebagian orang dari satu sisi, menilai sisi kebagusan hadits-haditsnya atau membuang hadits-hadits Mawdlu’ (palsu) dan Munkar yang ada pada Sunan an-Nasa`iy yang disebut al-Mujtaba alias as-Sunan ash-Shughra sebagaimana yang dikatakan sebagian orang, karena mengira ia merupakan karangan Imam an-Nasa`iy.

Yang menjadi indikasi untuk semua itu, bahwa kitab al-Mujtaba (artinya, ringkasan, intisari-red.,) dari sisi hadits-haditsnya memang lebih bagus (mengesankan) daripada as-Sunan al-Kubra akan tetapi apakah benar Imam an-Nasa`iy yang meringkas/mengintisarinya dari hadits-hadits tersebut (sehingga dinamai al-Mujtaba-red.,) atau orang selain dia?. Hal ini akan kami jelaskan sebentar lagi, insya Allah.

Yang jelas, bila kita membanding-bandingkan antara al-Mujtaba dan Sunan Abi Daud, maka pembandingan ini –menurut saya- butuh kajian yang serius dan teliti. Sebab, sementara orang ada yang langsung saja menyatakan bahwa Sunan Abi Daud lebih unggul. Sikap seperti ini banyak diambil oleh para ulama terdahulu. Setiap orang yang membicarakan Sunan Abi Daud, pasti ia akan mengunggulkannya atas kitab-kitab lainnya bahkan sebagian mereka ada yang mengunggulkannya atas Shahih Muslim akan tetapi pendapat ini tidak benar. Sebagian orang lagi, khususnya di zaman sekarang ini, kita menemukan ada orang yang berusaha mengunggulkan Sunan an-Nasa`iy atas Sunan Abi Daud.

Menurut saya, bila ijtihad-ijtihad seperti ini keluar dari seseorang yang ingin agar ucapannya tepat, maka hendaknya berpijak pada ucapan yang ilmiah atau metode ilmiah yang komprehensif dengan cara melakukan penelitian terhadap Sunan Abi Dauddan Sunan an-Nasa`iyyang bernama al-Mujtaba itu, kemudian melihat jumlah hadits-hadits yang dimuat di masing-masing kitab tersebut, lalu jumlah hadits yang dikritisi dari masing-masingnya; berapa persentasenya secara keseluruhan untuk masing-masing kitab. Dari situ, akan kita dapatkan persentase hadits-hadits yang dikritisi di dalam kitab Sunan Abi Dauddan juga di dalam kitab Sunan an-Nasa`iy.

Selain itu, hadits-hadits yang dikritisi ini juga bisa diklasifikasi lagi antara yang Dla’if, Dla’if Sekali dan Kemungkinan Dla’if (masih fity-fifty). Masing-masingnya perlu dibubuhkan berapa persentasenya.

Di samping itu, perlu juga dilihat; apakah pengarang kitab menjelaskan dan mengomentari hadits-hadits yang dikritisi tersebut atau kah tidak? Sebab, Abu Daud dan an-Nasa`iy ada mengomentari sebagian hadits. Kemudian, dilihat pula berapa persentase komentar yang dikeluarkan masing-masing pengarang kitab terhadap hadits-hadits yang dikritisi tersebut. Setelah itu, barulah kita dapat mengeluarkan gambaran yang jelas melalui penelitian yang seksama, apakah Sunan Abi Daudyang lebih bagus (mengesankan) atau kah sebaliknya? Inilah pendapat saya mengenai hal ini.

(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Al Humaid, Juz.I, h.106-107)

=========================================================================

Yang Perlu Anda Ketahui Dari Hadits-3 (Definisi Sanad Dan Matan)
Kamis, 21 Juli 05

TANYA: Apa makna ‘Thariiq’ (Sanad)? Dan apa pula makna matan? Tolong berikan contohnya

JAWAB:

Makna Thariiq (Sanad) adalah mata rantai (jalur) para periwayat yang menghubungkan matan.
Sedangkan Matan adalah ucapan (teks) setelah sanad.
Contohnya, hadits yang dikeluarkan al-Bukhary, Muslim dan Abu Daud (lafaznya diambil dari Abu Daud);
Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami, (ia berkata), Hammad menceritakan kepada kami, (ia berkata), dari Ayyub, dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu larang para wanita hamba Allah untuk (memasuki) masjid-masjid Allah.”

(Mata rantai orang-orang yang meriwayatkan mulai dari Sulaiman hingga Ibn ‘Umar dinamakan sanad/thariiq sedangkan ucapan Rasulllah SAW setelah itu dinamakan ‘matan’.-red)

(SUMBER: As’ilah Wa Ajwibah Fi Mushthalah al-Hadiits karya Syaikh Mushthafa al-‘Adawy, hal.7)

=========================================================

YANG PERLU ANDA KETAHUI DARI HADITS-4 (Berapa Jumlah Hadits Shahih al-Bukhari Dan Muslim Yang Dikritik?)

TANYA: Berapa jumlah hadits di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim Yang Dikritik Imam ad-Daaruquthni?

JAWAB:

Secara global ada sekitar dua ratusan hadits. Terhadap Shahih al-Bukhari sebanyak 110 hadits, termasuk 32 hadits yang juga dikeluarkan oleh Imam Muslim. Dan terhadap Shahih Muslim sebanyak 95 hadits termasuk di dalamnya hadits yang dikeluarkan juga oleh Imam al-Bukhari. Silahkan lihat, mukaddimah kitab Fat-hul Bari karya al-Hafizh Ibn Hajar dan Risaalah Bayna al-Imaamain; Muslim Wa ad-Daaruquthni karya Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali serta Risaalah al-Ilzaamaat Wa at-Tatabbu’ karya Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’iy.

TANYA: Apakah Imam ad-Daaruquthni mengeritik seluruh aspek?

JAWAB:

Kritikannya tidak meliputi semua aspek, sebagian yang dinyatakannya ada benarnya dan sebagian lagi keliru. Terkadang –bahkan seringkali- ia hanya mengeritik sisi sanad (jalur transmisi) hadits tanpa matan (teks)-nya.

NB:

Sekalipun demikian, adanya kritik ini tidak mengurangi atau pun mempengaruhi kesepakatan umat Islam untuk menerima hadits-hadits dalam shahih al-Bukhari dan Muslim dan penilaian bahwa keduanya adalah yang paling benar setelah al-Qur’an al-Karim-red.

(SUMBER: As’ilah Wa Ajwibah Fi Mushthalah al-Hadiits karya Syaikh Mushthafa al-‘Adawy, hal.37)

====================================================================

Beberapa Pendapat Imam Madzhab Tentang Mengikuti Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam

Pada kesempatan ini, kami akan menyebutkan pendapat beberapa Imam tentang mengikuti hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan meninggalkan perkataan selainnya jika bertentangan dengan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

Imam Abu Hanifah yang meninggal pada tahun 150 H, dan termasuk salah satu imam yang empat yang tertua yang pendapatnya banyak diikuti orang :

§ Tidak boleh seseorang mengikuti pendapat kami sebelum mengetahui dari mana kami mengambilnya.

§ Haram bagi yang tidak mengetahui dalil saya kemudian memberi fatwa dengan kata-kata saya, karena saya adalah manusia biasa yang sekarang bicara sesuatu dan besok tidak bicara itu lagi.

§ Jika saya mengucapakan pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka tinggalkanlah perkataan saya.

§ Ibnu Abidin berkata dalam bukunya : " Jika hadits itu shahih dan bertentangan dengan madzhab, maka hadits-lah yang dipakai dan itulah madzhabnya ( imam Abu Hanifah), dan dengan mengikuti hadits itu, tidak berarti penganutnya telah keluar dari pengikut hanafi. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau pernah berkata : " Jika hadits itu benar, maka itulah madzhab saya."

Imam Malik adalah salah satu imam empat yang wafat pada tahun 179 H dan dia adalah imam darul hijrah ( Madinah ) di zamannya, beliau berkata :

§ Sesungguhnya saya adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Maka perhatikan secara kritis pendapatku, yang sesuai dengan kitab dan sunnah ambillah, dan setiap pendapata yang tidak sesuai dengan kitab dan sunnah tinggalkanlah.

§ Setiap orang sesudah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bisa diambil ucapannya dan bisa ditinggalkan, kecuali Nabi shallallahu 'alaihi wasallam

Imam Syafi'I adalah pendiri madzhab syafi'I yang pendapat-pendapatnya sampai saat ini banyak diikuti oleh orang-orang di Indonesi dan telah meninggal pada tahun 204 H dia berkata :

§ Seitap orang ada yang pendapatnya sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan ada yang tidak sesuai. Jika sya berkata dengan suatu pendapata atau berdasarkan sesuatu pendapat dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tapi kenyataannya bertentangan dengan ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka pendapat yang benar adalah ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan itulah pendapat saya.

§ Orang-orang Islam telah melakukan Ijma' bahwa barangsiapa yang jelas mempunyai dalil berupa sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka tidak dihalalkan bagi seorangpun untuk meninggalkannya karena ucapan orang lain.

§ Jika kamu mendapatkan hal-hal yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam buku saya maka ikutilah ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan itu adalah pendapat saya juga.

§ Jika suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhab saya.

§ Beliau berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal : " Anda lebih pandai dari sya tentan ghadits dan keadaan para periwayatnya, jika ana tahu bahwa sesuatu hadits shahih maka berithaukanlah kepada sya sehingga saya akan berpendapt dengan hadits itu."

§ Setiap masalah, yang mempunyai dasar hadits shahih menurut para ahli hadits, dan bertentangan dengan pendapat saya maka saya akan kembali pada hadits tersebut selama hidup saya atau sesudah mati.

Imam Ahmad bin Hambal, berkata ;

§ Jangan engkau bertaklid ( ikut-ikutan ) kepadaku atau Imam Malik atau Imam Syafi'I atau Imam Auza'y atau Imam Ats-Tsauri tapi ambillah dari mana asal mereka mengambil.

§ Barangsiapa menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia berada di tepi kehancuran.

Demikian pendapat para Ulama tentang kewajiban mengikuti dan mengambil ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan meninggalkan pendapat siapapun juga yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

=========================================================================

PARA MUTAHID BERPEGANG PADA HADITS

Setiap imam empat rahimallah melakukan ijtihad sesuai dengan hadits yang telah sampai kepadanya. Maka terjadinya perbedaan pendapat antara mereka, adalah karena ada imam yang telah mendengar hadits tertentu, sementara imam lain belum mendengarnya, hal itu disebabkan karena hadits-hadits waktu itu belum ditulis dan para penghafal hadits telah berpencar-pencar. Ada yang di Hijaz, Syam, Irak, Mesir dan negeri-negeri Islam lainnya. Mereka hidup di suatu zaman di mana transprotasi sangat sulit. Untuk itu kita lihat Imam Syafi'i telah meninggalkan pendapatnya yang lama ketika pindah ke Mesir dari Irak dan memperhatikan hadits-hadits yang baru didengar.

Ketika kita melihat Imam Syafi'i berpendapat bahwa wudhu' bisa batal karena menyentuh wanita sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkannya, maka kita harus kembali kepada hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sesuai dengan firman Allah :

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)

Karena kebenaran tidak mungkin lebih dari satu, sehingga tidak mungkin hukum menyentuh wanita itu mebatalkan wudhu' dan tidak membatalkan wudhu', padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan beliau adalah sebaik-baik penafsir Al-Qur'an pernah menepiskan Aisyah dengan tangannya dan memegang kakinya, padahal beliau sedang shalat. HR. Bukhari.

Jika Imam Syafi'I mendengar hadits tersebut atau jika hadits tersebut dianggap shahih, maka ia tidak akan mengatakan bahwa wudhu' batal karena menyentuh lain jenis, sebagaimana ia telah mengatakan : " Jika suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhab saya ".

Dan kita juga tidak diperintahkan kecuali mengikuti Al-Qur'an yang diturunkan olelh Allah dan keterangan-keterangan Rasululllah dengan hadits-hadits shahihnya, sebagaimana firman Allah :

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya). (QS. 7:3)

Maka seorang muslim yang mendengarkan hadits shahih tidak boleh menolaknya, karena hal itu bertentangan dengan madzhab Imam Syafi'i. Para Imam Madzhab telah melakukan ijma' ( kesepakatan ) untuk mengambil hadits shahih dan meninggalkan setiap pendapat yang bertentangan dengan hadits shahih tersebut.

Akibat dari fanatisme madzhab tentang batalnya wudhu' karena menyentuh wanita telah menyebabkan orang asing mengambil gambaran yang jelek tentang Islam. Salah seorang penduduk Makkah menceritkan kepada saya bahwa ia pernah membaca suatu majalah di Jerman yang menulis suatu judul dengan tulisan yang menyolok : " Islam menganggap wanita sebagai sesuatu yang najis seprti halnya anjing." Mereka mengatakan demikian setelah mendengar bahwa orang-0rang Islam mencuci tangannya jika menyentuh wanita, sehingga mereka memahami bahwa wanita adalah najis. Padahal jika mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mencium seorang istrinya kemudian langsung shalat tanpa wudhu' tentu tidak akan mengatakan perkataan pedas tersebut yang justru bukan dari islam. Fanatisme madzhab yang serupa telah membuat tabir antara orang kafir dan Islam yang tidak dapat mereka masuki, dan menganggap bahwa Islam melihat wanita sebagai sesuatu yang najis seperti najisnya anjing.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan dalam bukunya " Raf'ul malaam 'anil Aimmatil a'laam" hal-hal yang baik tentang para Imam tersebut dan barangsiapa yang salah di anatara mereka akan mendapat satu pahala dan jika benar akan mendapat dua pahala, dan itu dilakukan setelah berijtihad. Semoga Allah merahmati para Imam dan memberinya pahala.

=========================================================================

AGAMA ISLAM
oleh : Syaikh Utsaimin

Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad n. Dengan Islam Allah mengakhiri serta menyempurnakan agama-agama lain untuk para hamba-Nya. Dengan Islam pula, Allah menyempurnakan kenikmatan-Nya dan meridhai Islam sebagai dien-Nya. Oleh karena itu tidak ada lain yang patut diterima, selain Islam.

Allah berfirman, yang artinya:

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…” (Al Ahzab 19)

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (Al Maidah 3)

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Al Imran 19)

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Al Imran 85)

Allah telah mewajibkan seluruh umat manusia agar memeluk agama Islam karena Allah. Hal ini sebagaimana telah difirmankan-Nya kepada Rasul-Nya:

“Katakanlah: Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (Al A’raf 158)

Dari Abu Hurairah dikatakan bahwa Rasulullah bersabda:

“Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorang pun dari umat ini, Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar tentang aku, kemudian mati tidak mengimani sesuatu yang aku diutus karenanya kecuali dia termasuk penghuni Neraka.” (HR. Muslim)

Mengimani Nabi SAW artinya, membenarkan dengan penuh penerimaan dan kepatuhan terhadap segala yang dibawanya, bukan hanya membenarkan semata. Oleh karena itulah Abu Thalib (paman Nabi) dikatakan bukan orang yang mengimani Nabi, walaupun ia membenarkan apa yang dibawa oleh keponakannya itu dan dia juga mengakui bahwa Islam adalah agama terbaik.

Agama Islam mencakup seluruh kemaslahatan yang dikandung oleh agama-agama terdahulu. Islam mempunyai keistimewaan, yaitu relevan untuk setiap masa, tempat, dan umat.

Allah berfirman kepada Rasul-Nya:

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (Al Maidah 48)

Islam dikatakan relevan untuk setiap masa, tempat dan umat, maksudnya adalah bahwa berpegang teguh pada Islam tidak akan menghilangkan kemaslahatan umat di setiap waktu dan tempat. Bahkan dengan Islam, umat akan menjadi baik. Tetapi bukan berarti Islam tunduk pada waktu, tempat dan umat, seperti yang dikehendaki sebagian orang.

Agama Islam adalah agama yang benar. Allah menjamin kemenangan kepada orang yang memegangnya dengan baik. Hal ini dikatakan-Nya dalam firman-Nya, yang artinya:

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (At Taubah 33)

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amalan-amalan yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji itu), maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An Nuur 55)

Agama Islam merupakan aqidah dan syariat. Islam adalah agama yang sempurna dalam aqidah dan syariat, karena:

1. Memerintahkan bertauhid dan melarang syirik.
2. Memerintahkan bersikap jujur dan melarang berbuat bohong/dusta.
3. Memerintahkan berbuat adil dan melarang perbuatan lalim.

Catatan:

Adil artinya menyamakan yang sama dan membedakan yang berbeda, bukan persamaan secara mutlak seperti yang dikatakan sebagian orang yang mengatakan bahwa Islam adalah agama persamaan yang mutlak. Menyamakan hal-hal yang berbeda merupakan kelaliman yang tidak dianjurkan oleh Islam, dan pelakunya pun tidak terpuji.

4. Memerintahkan untuk bersikap amanat dan melarang khianat.
5. Memerintahkan untuk menepati janji dan melarang ingkar janji.
6. Memerintahkan berbakti kepada ibu-bapak serta melarang menyakitinya.
7. Memerintahkan bersilaturahmi/menyambung hubungan dengan kerabat dekat, serta melarang memutuskannya.
8. Memerintahkan berbuat baik dengan tetangga melarang berbuat jahat kepada mereka.

Secara umum Islam memerintahkan agar bermoral baik dan melarang bermoral buruk. Islam juga memerintahkan setiap perbuatan baik, dan melarang perbuatan yang buruk.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An Nahl 90)

APAKAH PEMBERIAN SAKL (HARAKAT TANDA BACA) DAN TITIK DALAM AL-QUR’AN TERMASUK BID’AH ?

Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta

Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Sebagian ahli bid’ah berkata : “Bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat ? (Kalau semuanya sesat) lantas apa yang dapat kalian katakan dengan pemberian sakl (harakat tanda baca) dan titik-titik dalam Al-Qur’an yang semuanya itu terjadi setelah masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Bagaimana kita menjawab mereka ?

Jawaban
Umat Islam diperintahkan untuk menjaga Al-Qur’an, baik dalam penulisan maupun tilawah, dan membacanya sesuai dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sungguh dahulu bahasa para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah bahasa Arab yang salimah (baik dan benar) karena sangat sedikit orang dari luar Arab di antara mereka. Perhatian mereka dengan tilawah (bacaan) seperti yang diturunkan sangat luar biasa. Yang demikian itu berlangsung terus sampai masa Al-Khulafa Ar-Rasyidin dan belum dikhawatirkan terjadi lahn (kesalahan) dalam membaa Al-Qur’an.

Pada masa itu tulisan masih asli tanpa titik dan harakat dan bukan suatu yang sulit bagi mereka untuk membacanya. Akan tetapi, ketika sampai pada kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan dan semakin banyak kaum muslimin dari luar Arab maka mulai dikhawatirkan terjadi lahn dalam membaca. Begitu terasa berat membaa dari mushaf tanpa titik dan sakl (harakat). Maka Abdul Malik bin Marwan memerintahkan untuk memberi titik pada Al-Qur’an dan mengharakatinya. Tampillah Hasan Basri dan Yahya bin Ya’mur rahimahumallah yang termasuk orang-orang yang paling alim dan bertaqwa di antara tabi’in. Semua itu demi menjaga dan membentengi Al-Qur’an dari kecenderungan terjadinya perubahan, dan agar mudah dibaca, dipelajari, dan diajarkan sebagaimana yang telah tetap dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dengan demikian jelaslah bahwa semua titik dan sakl (harakat) Al-Qur’an –meskipun tidak ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- termasuk dalam keumuman perintah untuk menjaga, belajar, dan mengajarkan Al-Qur’an sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ummatnya demi menyempurnakan penyampaian dan meratakan pensyariatan. Dan ini terus berlangsung sampai hari kiamat. Jadi, bukan termasuk bid’ah, karena bid’ah adalah apa-apa yang baru yang tidak ada dalil khusus maupun umum yang menunjukkan atasnya baik untuknya maupun untuk selainnya.

Dalam masalah ini sebagian ulama yang mengkaji tentang sunnah dan bi’dah mengistilahkan dengan maslahat mursalah bukan bid’ah, dan terkadang juga dinamakan bid’ah dari segi bahasa karena tidak ada contoh sebelumnya, tetapi bukan dari segi syari’at, karena ia masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan atas wajibnya menjaga Al-Qur’an dan menyempurnakan dalam hal membaca, mempelajari dan mengajarkannya. Seperti perkataan Umar Radhiyallahu ‘anhu ketika mengumpulkan manusia di belakang satu imam dalam shalat tarawih, “Ini adalah sebaik-baik bid’ah”. Yang jelas penambahan titik dan sakl (harakat) masih masuk di dalam keumuman nas-nas yang menunjukkan atas wajibnya menjaga Al-Qur’an sebagaimana ketika diturunkan.

Shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan sahabat-shabatnya.

[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah Fatwa I/112-115 Pertanyaan ke 3 dari fatwa no 2263 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul Asimah Riyadh. Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 09/I/ 1424H – 2003M

KEDUDUKAN QUNUTH SHUBUH

Oleh Abu Ismail Muslim Al Atsari

Salah satu amalan yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang mengaku bermadzhab Syafi'i (termasuk sebagian besar muslimin di Indonesia) adalah qunut subuh. Diantara dalil-dalil yang digunakan adalah apa yang tercantum dalam kitab Al Adzkar An Nawawi sebagai berikut:

Imam An Nawawi berkata, Ketahuilah bahwa qunut shalat subuh adalah sunnah, karena ada hadits shahih di dalamnya, dari Anas radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan qunut di dalam (shalat) subuh hingga beliau meninggal dunia. (Hadits ini) diriwayatkan oleh al Hakim Abu Abdillah dalam kitab al Arba'in dan dia berkata shahih.

Setelah beliau (Imam Nawawi) menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa-i, Ibnu Majah dan Baihaqi tentang do'a qunut dalam witir -Allahummah dinii fii man hadait ...- beliau berkata, Dan dalam riwayat yang disebutkan al Baihaqi bahwa Muhammad bin al Hanafiyah yaitu Ibnu Ali bin Abi Thalib berkata, Sesungguhnya do'a ini (yaitu doa qunut witir) adalah do'a yang dibaca ayahku (Ali bin Abi Thalib) dalam shalat fajar di saat qunut.

Kemudian Imam Nawawi berkata, Telah berkata sahabat-sahabat kami, qunut dengan doa yang datang dari Umar bin Khaththab, maka itu baik juga, karena beliau (Umar) telah qunut di dalam shalat subuh setelah ruku' lalu berdoa -Allahumma inna nasta'inuka ...-.

Untuk menentukan suatu amalan itu bernilai wajib, sunnah atau bahkan bid'ah perlu diteliti dalil dan hujjah yang mendukungnya, shahih atau tidak, sebab tidak boleh berhujjah kecuali dengan riwayat yang shahih. Oleh karena perlu dibahas satu persatu dalil dan hujjah yang berkenaan dengan qunut subuh ini.

1. Hadits Pertama: Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam terus menerus melakukan qunut di dalam shalat subuh sampai meninggalkan dunia.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abdurrazaq di dalam Al Mushannaf (3/110/4964), Ibnu Abi Syaibah (2/312), Ath Thahawi di dalam Syarhul Ma'ani (1/143), Ad Daruquthni (hal 178), Al Hakim dalam Al Arba'in, Al baihaqi dari jalan Al Hakim (2/201), Al Baghawi di dalam Syarhus Sunnah (3/123/739), Ibnul Jauzi di dalam Al Wahiyah (1/444-445) dan Ahmad (3/162) dari jalan Abu Ja'far Ar Razi dari Rabi' bin Anas dari Anas bin Malik.

Al Baghawi menyatakan bahwa Al Hakim berkata, Isnadnya hasan. Al Baihaqi menyatakan bahwa Al Hakim berkata, Isnadnya shahih dan para perawinya terpercaya... dan dia meyetujuinya. An Nawawi menyatakan bahwa Al Hakim berkata, Hadits shahih.

Sebenarnya hadits ini tidak shahih karena perawi yang bernama Abu Ja'far Ar Razi dilemahkan oleh para ulama. Ibnu At Turkumani berkata dalam membantah Al Baihaqi, Bagaimana bisa sanandnya shahih padahal perawi dari Rabi' yang bernama Abu Ja'far Isa bin Mahan Ar Razi adalah seorang yang diperbincangkan. Ibnu Hambal dan An Nasa-i mengatakan bahwa dia (Abu Ja'far) tidak kuat, sedangkan Abu Zur'ah berkata bahwa dia (Abu Ja'far) sering keliru dan Al Fallas berkata bahwa hafalannya (Abu Ja'far) buruk, bahkan Ibnu Hibban berkata bahwa dia (Abu Ja'far) menceritakan riwayat-riwayat yang mungkar dari orang-orang yang terkenal.

Ibnul Qayyim berkata dalam Zadul Ma'ad (1/99), Adapun Abu Ja'far, dia telah dilemahkan oleh Ahmad dan lainnya. Ibnul Madini berkata bahwa dia (Abu Ja'far) sering kacau. Abu Zur'ah berkata bahwa dia (Abu Ja'far) sering keliru.

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata di dalam At Taqrib, Dia seorang yang jujur, tetapi hafalannya buruk, khususnya (riwayat) dari Mughirah.

Az Zaila-i berkata dalam Nashbur Rayah (2/132) setelah meriwayatkan hadits tersebut, Hadits ini telah dilemahkan oleh Ibnul Jauzi di dalam At Tahqiq dan di dalam Al Mutanahiyah, dan beliau berkata bahwa hadits ini tidak shahih karena Abu Ja'far yang namanya Isa bin Mahan telah dikatakan oleh Ibnul Madini bahwa dia sering kacau (hafalannya)...

Selain itu hadits tersebut Mungkar karena bertentangan dengan dua hadits yang shahih yaitu:

Dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam biasanya tidak melakukan qunut kecuali apabila mendo'akan kebaikan bagi suatu kaum atau mendo'akan kecelakaan atas satu kaum. Diriwayatkan oleh Al Khathib di dalam kitabnya dari jalan Muhammad bin Abdullah Al Anshari (yang berkata): Sa'id bin Abi 'Arubah telah menceritakan kepada kami dari Qatadah dari Anas bin Malik.

Dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam biasanya tidak melakukan qunut di dalam shalat subuh kecuali apabila mendo'akan kebaikan bagi suatu kaum atau mendo'akan kecelakaan atas satu kaum. Az Zaila-i (2/130) mengatakan: Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Ibrahim bin Sa'd dari Sa'id dan Abu Salamah dari Abu Hurairah.

Penulis kitab At Tanqih berkata, Dan sanad kedua hadits ini shahih, dan keduanya merupakan nash bahwa qunut (adalah) khusus pada nazilah.

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata di dalam Ad Dirayah (hal 117) setelah membawakan dua hadits itu, Isnad kedua hadits ini shahih.

2. Hadits Kedua: Bahwa Muhammad bin al Hanafiyah yaitu Ibnu Ali bin Abi Thalib berkata, Sesungguhnya do'a ini adalah do'a yang dibaca ayahku (Ali bin Abi Thalib) dalam shalat fajar di saat qunut.

Riwayat di atas dari Al Baihaqi adalah tidak shahih. Ada riwayat lain yang menyatakan bahwa doa tersebut adalah doa dalam qunut subuh, Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukan qunut di dalam shalat subuh dan witir malam dengan kalimat-kalimat ini. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Fakihi dan Al Baihaqi dari jalan Abdul Majid, yaitu Ibnu Abdul Aziz bin Abi Rawad dari Ibnu Juraij yang mengatakan, Abdurrahman bin Hurmuz telah menceritakan hadits ini kepadaku.

Hadits di atas juga tidak shahih karena Abdul Majid ini lemah dari sisi hafalannya, sedangkan Ibnu Hurmuz dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar bahwa: Keadaanya perlu untuk dibuka (diteliti).

Syaikh Al Albani mengatakan, Di dalam jalan menuju Buraid dari yang kedua, yang didalamnya disebutkan qunut shalat subuh, ada perawi yang bernama Ibnu Hurmuz yang telah engkau ketahui keadaanya. Padahal pada jalan lain yang shahih tidak disebutkan. Berdasarkan hal ini maka -menurutku- qunut di dalam shalat subuh dengan menggunakan do'a ini tidak sah. (Irwaul Ghalil II/172-175, hadits no. 429).

Adapun doa qunut witir tersebut (yakni -Allahummah dinii fii man hadait ...-) diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Nashr, Ibnul Jarud dan Ath Thabarani di dalam Al Mu'jamul Kabir dari Yunus bin Abi Ishaq dari Buraid bin Abi maryam As Saluli dari Abil Haura' dari Al Hasan bin Ali yang berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mengajariku beberapa kalimat yang aku ucapkan di dalam qunut witir. dan Isnadnya shahih.

3. Perkataan Imam Nawawi yang menyatakan bahwa doa Umar tersebut beliau ucapkan di saat qunut subuh itu memang benar. Akan tetapi sebenarnya doa tersebut adalah untuk qunut nazilah sebagaimana diketahui dari doa beliau yang memohon kecelakaan atas orang-orang kafir. Imam Nawawi berkata, Ketahuilah bahwa yang diriwayatkan dari Umar, Siksalah orang-orang kafir Ahli Kitab, karena peperangan para sahabat pada waktu itu melawan Ahli Kitab. Adapun sekarang yang dipilih hendaklah mengatakan, Siksalah orang-orang kafir, karena hal itu lebih umum. Dari sini jelaslah bahwa do'a Umar tersebut adalah doa qunut nazilah yang tidak menafikan hal itu dilakukan di saat shalat subuh.

Banyak para ulama yang berpendapat tidak disyari'atkannya qunut subuh terus menerus (sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang), di antaranya:

  1. Abu Malik Al Asyja'i, beliau berkata: Aku bertanya kepada bapakku, Wahai bapakku, sesungguhnya engkau telah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di sana, di Kuffah sekitar lima tahun. Apakah mereka semua melakukan qunut fajar? Bapakku menjawab, Hai anakku, itu perkara baru. (HSR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa-i, Ibnu Majah, Thahawi, Ibnu Abi Syaibah, Thayalisi dan Al Baihaqi dari beberapa jalan dari Abu Malik).
  2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Oleh karena inilah tatkala Ibnu Umar ditanya tentang qunut (subuh) terus menerus, beliau menjawab, Kami tidak pernah mendengar dan tidak pernah melihat. (Majmu' Fatawa XXIII/101).
  3. Ishaq Al Harbi berkata: Saya mendengar Abu Tsaur bertanya kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hambal, Bagaimana pendapat anda tentang qunut di waktu subuh? Abu Abdillah menjawab, Qunut itu hanyalah di waktu nawazil. (Ash Shalat wa Hukmu Tarikiha: 216 dinukil dari Al Qaulul Mubin:131).

Disebutkan di dalam biografi Abul Hasan Al Karji Asy Syafi'i yang wafat pada tahun 532 H bahwa beliau tidak melakukan qunut di dalam shalat subuh (padahal beliau bermadzhab Syafi'i). Dan beliau menyatakan, Di dalam bab itu tidak ada satu haditspun yang shahih.

Syeikh Al Albani berkata, Hal ini di antara yang menunjukkan ilmu dan keadilan beliau (Abul Hasan Al Karji Asy Syafi'i). Dan bahwa beliau termasuk orang-orang yang diselamatkan oleh Allah dari cacat-cacat ta'ashub madzhab. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita termasuk mereka dengan karunia-Nya dan kemurahan-Nya.

Wallahu a'lam bish shawwab.

Disarikan dari tulisan Abu Ismail Muslim Al Atsari pada Majalah As Sunnah Edisi 11/Th IV/1421 - 2000

========================================================================

HUKUM MEMBAWA MUSHHAF ALQUR’AN BAGI MAKMUM DALAM SHALAT TARAWAIH


Selasa, 3 Oktober 2006 16:19:55 WIB
Kategori : Al-Qur'an
function disabled
TIDAK MENGAPA MEMBACA AL-QUR’AN DENGAN MEMBACA MUSHAF KETIKA SHALAT TARAWIH RAMADHAN

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya melihat ketika bulan ramadhan di Mansharim –ini adalah untuk pertama kalinya saya shalat tarawih di Manthiqah Ha’il- ketika itu imam memegang mushaf dan membacanya, kemudian dia meletakkan di sampingnya dan mengulang-ngulang hal itu hingga selesai shalat tarawih, sebagaimana yang dia lakukan pula ketika shalat malam di sepuluh terakhir ramadhan. Pemandangan ini mengherankan saya karena kebiasaan itu tersebar di hampir seluruh masjid-masjid di Ha’il, padahal aku tidak pernah mendapatkannya di Madinah Al-Munawarah misalnya ketika saya shalat tahun yang lalu sebelum ini.

Yang menjadi ganjalan saya, apakah amal tersebut pernah dikerjakan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Jika tidak berarti termasuk bid’ah yang diada-adakan yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun di antara sahabat maupun tabi’in. Lagi pula bukankah lebih utama membaca surat pendek yang dihafal imam daripada membaca dengan melihar mushaf dengan target supaya dapat menghatamkan bersamaan dengan habisnya bulan, karena imam membaca setia harinya satu juz? Jika perbuatan tersebut diperbolehkan manakah dalil dari Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Jawaban
Tidak mengapa seorang imam membaca dengan melihat mushaf pada saat tarawih, agar para makmum kedapatan pernah mendengar seluruh (ayat) Al-Qur’an. Dalil-dalil syar’i dari Al-Kitab dan As-Sunnah telah menunjukkan disyariatkannya membaca Al-Qur’an ketika shalat, hal ini berlaku umum baik membaca dengan melihat mushaf ataupun dengan hafalan. Telah disebutkan pula dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa beliau memerintahkan budaknya Dzakwan untuk mengimaminya ketika shalat tarawih, ketika itu Dzakwan membaca dengan melihar mushaf. Riwayat ini disebutkan oleh Al-Bukhari rahimahullah di dalam shahihnya secara mu’allaq dan beliau memastikan

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal, Edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Abu Umar Abdillaj, Penerbit At-Tibyan Solo]


HUKUM MEMBAWA AL-QUR’AN BAGI MAKMUM DALAM SHALAT TARAWIH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum membawa Al-Qur’an bagi makmum dalam shalat tarawih di bulan Ramadhan dengan dalil untuk mengikuti bacaan imam?

Jawaban
Membawa mushaf dengan tujuan ini, menyelisihi sunnah berdasar beberapa hal yaitu :

Pertama : Hal ini menjadikan seseorang tidak meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.

Kedua : Menjadikan seseorang harus banyak bergerak seperti membuka mushaf, menutupnya, meletakannya di ketiak atau di saku dan sebagainya.

Ketiga : Menyibukkan orang tadi dengan gerakan-gerakan tersebut dalam shalat.

Keempat : Menghilangkan kesempatan untuk melihat ke arah tempat sujud, padahal sebagian besar ulama memandang bahwa melihat ke tempat sujud termasuk sunnah dan keutamaan.

Kelima : Orang ini mungkin tidak merasakan bahwa ia sedang shalat bila hatinya sedang tidak konsentrasi. Berbeda jika ia shalat dengan khudhu' dan tawadhu' dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, dengan kepala menunduk melihat tempat sujud. Hal ini lebih dekat kepada hadirnya perasaan bahwa ia sedang shalat di belakang imam.


MENCOBA UNTUK MENYENTUH HATI MANUSIA DENGAN CARA MERUBAH IRAMA SUARANYA DALAM SHALAT TARAWIH

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian imam masjid mencoba untuk menyentuh hati menusia dengan cara merubah irama suaranya dalam shalat tarawih. Sebagian orang mendengarkan hal ini dan mengingkarinya. Bagaimana pendapat anda tentang hal ini ?

Jawaban
Menurutku jika perbuatan ini masih dalam batas-batas syar’i dan tidak berlebih-lebihan maka tidaklah mengapa. Tentang ini Abu Musa Asy’ari berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Sekiranya aku tahu bahwa anda mendengarkan bacaanku, tentulah akan kuperbagus suaraku” [1]

Maka jika sebagian orang memperbagus suaranya, atau melagukan suara agar menyentuh hati manusia maka menurutku hal itu tidak mengapa. Tetapi berlebih-lebihan dalam masalah ini, yang mana bacaan Al-Qur’annya jadi tidak sesuai dengan aturan karena perbuatan itu, maka hal itu menurutku termasuk perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan), yang tidak layak untuk dikerjakan. Dan Allah lah yang tahu. Wallahu ‘alam


[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah]
__________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syahadat Bab Memperbagus suara dalam membaca Al-Qur’an 10/231, Abu Ya’la 13/266 (7279).

Kamis, 05 Oktober 2006 - 06:02:24, Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.

Kategori : Kajian Utama

MENELADANI NABI KETIKA BER’IDUL FITHRI
[Print View] [kirim ke Teman]

Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam “memaknainya”.

Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha. Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu.
Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat.
Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan juga melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi yang sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang dimaukan syariat.
Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian atau karena arus mudik mulai meningkat, serta berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri, belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang.
Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak diperlukan. Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia lihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang dimaukan syariat.
Demikian pula dengan Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak, tidak harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi, tidak harus mudik karena bersilaturahim dengan para saudara yang sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, dan sebagainya. Dengan tahu bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beridul Fitri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lebih mudah.
Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.

Definisi Id (Hari Raya)
Ibnu A’rabi mengatakan: “Id1 dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan atau bulanan.” (dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan)
Id dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha dan Hari Jum’at.

Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang kalian lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Hukum Shalat Id

Ibnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat:
Pertama: Shalat Id merupakan amalan Sunnah (ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adalah pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.
Kedua: Bahwa itu adalah fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.
Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” (Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)

Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut:
Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab: “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa)
Perhatikanlah perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk pergi menuju tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.
Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id adalah bahwa Shalat Id menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hal. 344)

Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?

Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang intinya: Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang mukim (tidak sedang bepergian)?
Beliau kemudian menjawab yang intinya: “Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan, disyaratkan mukim. Ada yang mengatakan, tidak disyaratkan mukim.”
Lalu beliau mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang pertama. Yaitu Shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan melakukan 3 kali umrah selain umrah haji, beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai beliau, serta beliau berperang lebih dari 20 peperangan, namun tidak seorangpun menukilkan bahwa dalam safarnya beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Id…” (Majmu’ Fatawa, 24/177-178)

Mandi Sebelum Melakukan Shalat Id

“Dari Malik dari Nafi’, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan).” (Shahih, HR. Malik dalam Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari jalannya dalam Al-Umm)
Dalam atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu 'anhu tentang mandi, maka ‘Ali berkata: “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia menjawab: “Tidak, mandi yang itu benar-benar mandi.” Ali radhiallahu 'anhu berkata: “Hari Jum’at, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR. Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa`, 1-176-177))


Memakai Wewangian

“Dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul fitri.” (Riwayat Al-Firyabi dan Abdurrazzaq)
Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan untuk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di hari Id, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia dapati serta agar memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)

Memakai Pakaian yang Bagus

Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Umar radhiallahu 'anhu berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata: “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat)….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah)
Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini perkara yang biasa di antara mereka.” (Fathul Bari)

Makan Sebelum Berangkat Shalat Id

Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak keluar di hari fitri sebelum beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘ berkata: Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya: “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj)
Ibnu Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Id, di antara mereka ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma.”
Di antara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:
a. Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.
b. Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
c. Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha) sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan Shalat Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/89)

Bertakbir Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat


“Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” (Shahih, Mursal Az-Zuhri, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dengan syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171)

Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yang diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan menuju tempat shalat walaupun banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah (ajaran) ini, sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita (apa yang dulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa malu untuk menampilkan sunnah serta terang-terangan dengannya. Dan dalam kesempatan ini, amat baik untuk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini tidak disyariatkan padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan sebagian manusia2…” (Ash-Shahihah: 1 bagian 1 hal. 331)

Lafadz Takbir
Tentang hal ini tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adalah dari shahabat, dan itu ada beberapa lafadz.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Telah shahih mengucapkan 2 kali takbir dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu:


Bahwa beliau bertakbir di hari-hari tasyriq:

(HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/2/2 dan sanadnya shahih)
Namun Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad yang sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan Al-Baihaqi (3/315) dan Yahya bin Sa’id dari Al-Hakam dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dengan tiga kali takbir.

Dalam salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas disebutkan:
ُ
(Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125)

Tempat Shalat Id
Banyak ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam shalat dua hari raya adalah beliau selalu melakukannya di mushalla.
Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini.

Dari Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Idul Adha ke Baqi’ lalu shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dengan wajahnya dan mengatakan: ‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah dimulai dengan shalat. Lalu kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa yang sesuai dengan itu berarti telah sesuai dengan sunnah…” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil ‘Id)

Ibnu Rajab berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shalatnya adalah di Baqi’, namun bukan yang dimaksud adalah Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud adalah bahwa beliau shalat di tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’ dan nama Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebutkan dengan sanadnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Id di luar Madinah sampai di lima tempat, sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk pelaksanaan Id, -pent.). Lalu orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau utus, atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan, lalu beliau pergi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim)
Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yang dimaksud dalam hadits adalah tempat yang telah dikenal, jarak antara tempat tersebut dengan masjid Nabawi sejauh 1.000 hasta.” Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di sebelah timur masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’…” (dinukil dari Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 16)

Waktu Pelaksanaan Shalat


“Yazid bin Khumair Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr, salah seorang shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi bersama orang-orang di Hari Idul Fitri atau Idhul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam. Iapun berkata: ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu ketika tasbih.” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara mua’llaq, Kitabul ‘Idain Bab At-Tabkir Ilal ‘Id, 2/456, Abu Dawud Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id: 1135, Ibnu Majah Kitab Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah. Dan itu adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam riwayat yang shahih riwayat Ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha.
Ibnu Baththal berkata: “Para ahli fiqih bersepakat bahwa Shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. (Al-Fath, 2/457)
Namun sebenarnya ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah bila terbit matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini pendapat Imam Malik. Adapun pendapat yang lalu, adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104)
Namun yang kuat adalah pendapat yang pertama, karena menurut Ibnu Rajab: “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi’ bin Khadij dan sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali bila matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)

Apakah Waktu Idul Fitri lebih Didahulukan daripada Idul Adha?


Ada dua pendapat:
Pertama, bahwa keduanya dilakukan dalam waktu yang sama.
Kedua, disunnahkan untuk diakhirkan waktu Shalat Idul Fitri dan disegerakan waktu Idul Adha. Itu adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini yang dikuatkan Ibnu Qayyim, dan beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melambatkan Shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Dan Ibnu ‘Umar dengan semangatnya untuk mengikuti sunnah tidak keluar sehingga telah terbit matahari dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad, 1/427, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Hikmahnya, dengan melambatkan Shalat Idul Fitri maka semakin meluas waktu yang disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dengan menyegerakan Shalat Idul Adha maka semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberatkan manusia untuk menahan dari makan sehingga memakan hasil qurban mereka. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105-106)

Tanpa Adzan dan Iqamah

Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya (yakni Idul Fitri dan Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali, tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan: “Tidak ada adzan dan iqamah di hari Fitri ketika keluarnya imam, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak ada panggilan dan tidak ada apapun, tidak pula iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu 'anhuma melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.”
Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)
Bagaimana dengan panggilan yang lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan: Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu Az-Zuhri.
Kedua: mengqiyaskannya dengan Shalat Kusuf (gerhana).
Namun pendapat yang kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun riwayat dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yang tentunya tergolong dha’if (lemah). Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah tepat, dan keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya bahwa pada Shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga perlu seruan semacam itu, sementara Shalat Id tidak. Bahkan orang-orang sudah menuju tempat shalat dan berkumpul padanya. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab, 6/95)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata: “Qiyas di sini tidak sah, karena adanya nash yang shahih yang menunjukkan bahwa di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk Shalat Id tidak ada adzan dan iqamah atau suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa panggilan untuk Shalat Id adalah bid’ah, dengan lafadz apapun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452)
Ibnu Qayyim berkata: Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat maka mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa ucapan “Ash-shalatu Jami’ah”, dan Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatupun dari (panggilan-panggilan) itu. (Zadul Ma’ad, 1/427)


Kaifiyah (Tata Cara) Shalat Id
Shalat Id dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama dengan shalat-shalat yang lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan ditambahnya takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal.
Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya:
Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR. Abu Dawud dalam Kitabush Shalat Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud, 4/10, Ibnu Majah no. 1280, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1149)

Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yang kedua dengan takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?


Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut selain takbiratul intiqal. (Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari Tanwirul ‘Ainain)
Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:
Pertama: Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178, Aunul Ma’bud, 4/6, Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)
Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)

Nampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena ada riwayat yang mendukungnya, yaitu:

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7 pada rakaat yang pertama dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2 takbir shalat.”(Ini lafadz Ath-Thahawi)
Adapun lafadz Ad-Daruquthni:

سِوَى تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ

“Selain takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no. 20)
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan Tanwirul ‘Ainain, hal. 158)

Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, semua surat yang ada boleh dan sah untuk dibaca. Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat yang pertama “Sabbihisma” (Surat Al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “Hal ataaka” (Surat Al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama Surat Qaf dam kedua Surat Al-Qamar (keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427-428)

Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.
Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan, kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113).
Tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih dalam hal ini.

Kapan Membaca Doa Istiftah?

Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hal. 149)

Khutbah Id
Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah.

Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama Rasulullah, Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum khutbah.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Id)

Dalam berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar, mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk banyak melakukan shadaqah, karena ternyata kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita.

Jamaah Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak,

berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
Dari ‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah Shalat Id, maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata: “Kami berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah duduklah dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155)
Namun alangkah baiknya untuk mendengarkannya bila itu berisi nasehat-nasehat untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berpegang teguh dengan agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah di masyarakat kecuali kekacauan. Wallahu a’lam.

Wanita yang Haid
Wanita yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id, walaupun tidak boleh melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yang lalu dalam pembahasan hukum Shalat Id.

Sutrah Bagi Imam
Sutrah adalah benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat atau yang lain yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya, panjangnya kurang lebih 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melewati orang yang shalat. Dengan sutrah ini, seseorang boleh melewati orang yang shalat dari belakang sutrah dan tidak boleh antara seorang yang shalat dengan sutrah. Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan makmum. Ini adalah Sunnah yang mayoritas orang meninggalkannya. Oleh karenanya, marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam Shalat Id.

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu apabila keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu ditancapkan di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya, sedang orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya dan dari situlah para pimpinan melakukannya juga.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id. Al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)

Bila Masbuq (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?

Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila tertinggal shalat Id maka shalat 2 rakaat, demikian pula wanita dan orang-orang yang di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adalah Id kita pemeluk Islam’.”
Adalah ‘Atha` (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat.
Bagaimana dengan takbirnya? Menurut Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat, shalat dengan takbir seperti takbir imam. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169)

Pulang dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat

Dari Jabir, ia berkata:” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila di hari Id, beliau mengambil jalan yang berbeda. (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a…, Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 2/472986, karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986)

Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang dari jalan yang lainnya. Dan itu adalah pendapat Al-Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan Ahmad… Dan seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.”
Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, di antaranya agar lebih banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433)

Bila Id Bertepatan dengan Hari Jum’at

Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah, dua Id berkumpul dalam satu hari?” Ia menjawab: “Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau lakukan?” Ia menjawab: “Beliau Shalat Id lalu memberikan keringanan pada Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan Shalat Jumat maka shalatlah’.”

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Id, maka barangsiapa yang berkehendak, (Shalat Id) telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami tetap melaksanakan Jum’at.” (Keduanya diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa yang ikut Shalat Id maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang yang ingin mengikuti Shalat Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)
Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur.
Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, di antaranya ‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat At-Tamhid, 10/270-271)

Ucapan Selamat Saat Hari Raya

bnu Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain:

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ

“Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Lihat pula masalah ini dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61, Majmu’ Fatawa, 24/253, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168)
Wallahu a’lam.

1 'Id artinya kembali.
2 Karena Nabi tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Lain halnya –wallahu a’lam– bila kebersamaan itu tanpa disengaja.

=

Selasa, 08 Agustus 2006 - 09:48:39, Penulis : Al-Ustadz Abdul Jabbar

MERUQYAH DENGAN AL MU’AWWIDZA-T

Dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha: “Bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu ketika beliau sakit yang membawa pada wafatnya, membaca Al-Mu’awwidzat (surat Al-Falaq dan An-Naas, –pent.). Kemudian beliau meludah disertai dengan tiupan pada kedua telapak tangannya, kemudian diusapkan ke wajah dan badannya. Ketika sakitnya bertambah parah, aku yang membacakan Al-Mu’awwidzat dan aku yang mengusapkan tangan beliau ke badannya untuk mencari barakah dari kedua telapak tangannya.” (HR. Al-Bukhari)

Faedah
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu membuat bab dalam kitab Shahih-nya sebelum membawakan hadits ini: Bab Meruqyah dengan Al-Qur`an dan Al-Mu’awwidzat. (Fathul Bari, 10/205)

Selasa, 03 Oktober 2006 - 02:33:47, Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.

Kategori : Kajian Utama

ZAKAT FITRHRAH PENSUCI JIWA
[Print View] [kirim ke Teman]

Zakat Fitri, atau yang lazim disebut zakat fitrah, sudah jamak diketahui sebagai penutup rangkaian ibadah bulan Ramadhan. Bisa jadi sudah banyak pembahasan seputar hal ini yang tersuguh untuk kaum muslimin. Namun tidak ada salahnya jika diulas kembali dengan dilengkapi dalil-dalilnya.

Telah menjadi kewajiban atas kaum muslimin untuk mengetahui hukum-hukum seputar zakat fitrah. Ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan atas mereka untuk menunaikannya usai melakukan kewajiban puasa Ramadhan. Tanpa mempelajari hukum-hukumnya, maka pelaksanaan syariat ini tidak akan sempurna. Sebaliknya, dengan mempelajarinya maka akan sempurna realisasi dari syariat tersebut.

Hikmah Zakat Fitrah
Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin.” (Hasan, HR. Abu Dawud Kitabul Zakat Bab. Zakatul Fitr: 17 no. 1609 Ibnu Majah: 2/395 K. Zakat Bab Shadaqah Fitri: 21 no: 1827 dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)

Mengapa disebut Zakat Fitrah?


Sebutan yang populer di kalangan masyarakat kita adalah zakat fitrah. Mengapa demikian? Karena maksud dari zakat ini adalah zakat jiwa, diambil dari kata fitrah, yaitu asal-usul penciptaan jiwa (manusia) sehingga wajib atas setiap jiwa (Fathul Bari, 3/367). Semakna dengan itu Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi menjelaskan bahwa ucapan para ulama “wajib fitrah” maksudnya wajib zakat fitrah. (Al-Mishbahul Munir: 476)
Namun yang lebih populer di kalangan para ulama –wallahu a’lam– disebut زَكَاةُ الْفِطْرِ zakat fithri atau صَدَقَةُ الْفِطْرِ shadaqah fithri. Kata Fithri di sini kembali kepada makna berbuka dari puasa Ramadhan, karena kewajiban tersebut ada setelah selesai menunaikan puasa bulan Ramadhan. Sebagian ulama seperti Ibnu Hajar Al-’Asqalani menerangkan bahwa sebutan yang kedua ini lebih jelas jika merujuk pada sebab musababnya dan pada sebagian penyebutannya dalam sebagian riwayat. (Lihat Fathul Bari, 3/367)

Hukum Zakat Fitrah


Pendapat yang terkuat, zakat fitrah hukumnya wajib. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, di antara mereka adalah Abul Aliyah, Atha’ dan Ibnu Sirin, sebagaimana disebutkan Al-Imam Al-Bukhari. Bahkan Ibnul Mundzir telah menukil ijma’ atas wajibnya fitrah, walaupun tidak benar jika dikatakan ijma’. Namun, ini cukup menunjukkan bahwa mayoritas para ulama berpandangan wajibnya zakat fitrah.
Dasar mereka adalah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menfardhukan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas budak sahaya, orang merdeka, laki-laki, wanita, kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi memerintahkan untuk ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (Id).” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Fardhu Shadaqatul Fithri 3/367, no. 1503 dan ini lafadznya. Diriwayatkan juga oleh Muslim)
Dalam lafadz Al-Bukhari yang lain:

Nabi memerintahkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR. Al-Bukhari no. 1507)

Dari dua lafadz hadits tersebut nampak jelas bagi kita bahwa Nabi menfardhukan dan memerintahkan, sehingga hukum zakat fitrah adalah wajib.
Dalam hal ini, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Adapula yang berpendapat, hukumnya adalah hanya sebuah amal kebaikan, yang dahulu diwajibkan namun kemudian kewajiban itu dihapus. Pendapat ini lemah karena hadits yang mereka pakai sebagai dasar lemah menurut Ibnu Hajar. Sebabnya, dalam sanadnya ada rawi yang tidak dikenal. Demikian pula pendapat yang sebelumnya juga lemah. (Lihat At-Tamhid, 14/321; Fathul Bari, 3/368, dan Rahmatul Ummah fikhtilafil A`immah hal. 82)

Siapa yang Wajib Berzakat Fitrah?


Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan dalam hadits sebelumnya bahwa kewajiban tersebut dikenakan atas semua orang, besar ataupun kecil, laki-laki ataupun perempuan, dan orang merdeka maupun budak hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil diwakili oleh walinya dalam mengeluarkan zakat. Ibnu Hajar mengatakan: “Yang nampak dari hadits itu bahwa kewajiban zakat dikenakan atas anak kecil, namun perintah tersebut tertuju kepada walinya. Dengan demikian, kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya, maka menjadi kewajiban yang memberinya nafkah, ini merupakan pendapat jumhur ulama.” (Al-Fath, 3/369; lihat At-Tamhid, 14/326-328, 335-336)
Nafi’ mengatakan:“Dahulu Ibnu ‘Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga dia dulu benar-benar menunaikan zakat anakku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77, no. 1511, Al-Fath, 3/375)
Demikian pula budak hamba sahaya diwakili oleh tuannya. (Al-Fath, 3/369)

Apakah selain Muslim terkena Kewajiban Zakat?


Sebagai contoh seorang anak yang kafir, apakah ayahnya (yang muslim) berkewajiban mengeluarkan zakatnya? Jawabnya: tidak. Karena Nabi memberikan catatan di akhir hadits bahwa kewajiban itu berlaku bagi kalangan muslimin (dari kalangan muslimin). Walaupun dalam hal ini ada pula yang berpendapat tetap dikeluarkan zakatnya. Namun pendapat tersebut tidak kuat, karena tidak sesuai dengan dzahir hadits Nabi.

Apakah Janin Wajib Dizakati?


Jawabnya: tidak. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat tersebut kepada (anak kecil), sedangkan janin tidak disebut (anak kecil) baik dari sisi bahasa maupun adat. Bahkan Ibnul Mundzir menukilkan ijma’ tentang tidak diwajibkannya zakat fitrah atas janin. Walaupun sebetulnya ada juga yang berpendapat wajibnya atas janin, yaitu sebagian riwayat dari Al-Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm dengan catatan –menurutnya– janin sudah berumur 120 hari. Pendapat lain dari Al-Imam Ahmad adalah sunnah. Namun dua pendapat terakhir ini lemah, karena tidak sesuai dengan hadits di atas.

Wajibkah bagi Orang yang Tidak Mampu?


Ibnul Qayyim mengatakan bahwa: “Bila kewajiban itu melekat ketika ia mampu melaksanakannya kemudian setelah itu ia tidak mampu, maka kewajiban tersebut tidak gugur darinya. Dan tidak menjadi kewajibannya (yakni gugur) jika ia tidak mampu semenjak kewajiban itu mengenainya.” (Bada`i’ul Fawa`id, 4/33)
Adapun kriteria tidak mampu dalam hal ini, maka Asy-Syaukani menjelaskan: “Barangsiapa yang tidak mendapatkan sisa dari makanan pokoknya untuk malam hari raya dan siangnya, maka tidak berkewajiban membayar fitrah. Apabila ia memiliki sisa dari makanan pokok hari itu, ia harus mengeluarkannya bila sisa itu mencapai ukurannya (zakat fitrah).” (Ad-Darari, 1/365, Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/553, lihat pula Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/369)

Dalam Bentuk Apa Zakat Fitrah dikeluarkan?


Hal ini telah dijelaskan dalam hadits yang lalu. Dan lebih jelas lagi dengan riwayat berikut:

Dari Abu Sa’id radhiallahu 'anhu, ia berkata: ‘Kami memberikan zakat fitrah di zaman Nabi sebanyak 1 sha’ dari makanan, 1 sha’ kurma, 1 sha’ gandum, ataupun 1 sha’ kismis (anggur kering)’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat no. 1508 dan 1506, dengan Bab Zakat Fitrah 1 sha’ dengan makanan. Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 2280)
Kata طَعَامٍ (makanan) maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu negeri baik berupa gandum, jagung, beras, atau lainnya.

Yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Sa’id yang lain:“Ia mengatakan: ‘Kami mengeluarkannya (zakat fitrah) berupa makanan di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Idul Fitri’. Abu Sa’id mengatakan lagi: ‘Dan makanan kami saat itu adalah gandum, kismis, susu kering, dan kurma’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Shadaqah Qablal Id, Al-Fath, 3/375 no. 1510)
Di sisi lain, zakat fitrah bertujuan untuk menyenangkan para fakir dan miskin. Sehingga seandainya diberi sesuatu yang bukan dari makanan pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang tepat sasaran.
Inilah pendapat yang kuat yang dipilih oleh mayoritas para ulama. Di antaranya Malik (At-Tamhid, 4/138), Asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah (Majmu’ Fatawa, 25/69), Ibnul Mundzir (Al-Fath, 3/373), Ibnul Qayyim (I’lamul Muwaqqi’in, 2/21, 3/23, Taqrib li Fiqhi Ibnil Qayyim hal. 234), Ibnu Baz dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (9/365, Fatawa Ramadhan, 2/914)
Juga ada pendapat lain yaitu zakat fitrah diwujudkan hanya dalam bentuk makanan yang disebutkan dalam hadits Nabi. Ini adalah salah satu pendapat Al-Imam Ahmad. Namun pendapat ini lemah. (Majmu’ Fatawa, 25/68)


Bolehkah Mengeluarkannya dalam Bentuk Uang?


Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.
Pendapat pertama: Tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang. Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Dawud. Alasannya, syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehingga tidak boleh menyelisihinya. Zakat sendiri juga tidak lepas dari nilai ibadah, maka yang seperti ini bentuknya harus mengikuti perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Selain itu, jika dengan uang maka akan membuka peluang untuk menentukan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jika menyelaraskan dengan apa yang disebut dalam hadits.
An-Nawawi mengatakan: “Ucapan-ucapan Asy-Syafi’i sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang).” (Al-Majmu’, 5/401)
Abu Dawud mengatakan: “Aku mendengar Al-Imam Ahmad ditanya: ‘Bolehkah saya memberi uang dirham -yakni dalam zakat fitrah-?’ Beliau menjawab: ‘Saya khawatir tidak sah, menyelisihi Sunnah Rasulullah’.”
Ibnu Qudamah mengatakan: “Yang tampak dari madzhab Ahmad bahwa tidak boleh mengeluarkan uang pada zakat.” (Al-Mughni, 4/295)
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (lihat Fatawa Ramadhan, 2/918-928)
Pendapat kedua: Boleh mengeluarkannya dalam bentuk uang yang senilai dengan apa yang wajib dia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada bedanya antara keduanya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (Al-Mughni, 4/295, Al-Majmu’, 5/402, Bada`i’ush-Shana`i’, 2/205, Tamamul Minnah, hal. 379)
Pendapat pertama itulah yang kuat.
Atas dasar itu bila seorang muzakki (yang mengeluarkan zakat) memberi uang pada amil, maka amil diperbolehkan menerimanya jika posisinya sebagai wakil dari muzakki. Selanjutnya, amil tersebut membelikan beras –misalnya– untuk muzakki dan menyalurkannya kepada fuqara dalam bentuk beras, bukan uang.
Namun sebagian ulama membolehkan mengganti harta zakat dalam bentuk uang dalam kondisi tertentu, tidak secara mutlak. Yaitu ketika yang demikian itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan lebih mempermudah bagi orang kaya.
Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah. Beliau rahimahullahu mengatakan: “Boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada kebutuhan dan maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun atau tanamannya. Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang dirhamnya maka sah. Ia tidak perlu membeli korma atau gandum terlebih dulu. Al-Imam Ahmad telah menyebutkan kebolehannya.” (Dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 380)
Beliau juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (25/82-83): “Yang kuat dalam masalah ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh …. Karena jika diperbolehkan mengeluarkan uang secara mutlak, maka bisa jadi si pemilik akan mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi pula dalam penentuan harga terjadi sesuatu yang merugikan… Adapun mengeluarkan uang karena kebutuhan dan maslahat atau untuk keadilan maka tidak mengapa….”
Pendapat ini dipilih oleh Asy-Syaikh Al-Albani sebagaimana disebutkan dalam kitab Tamamul Minnah (hal. 379-380)
Yang perlu diperhatikan, ketika memilih pendapat ini, harus sangat diperhatikan sisi maslahat yang disebutkan tadi dan tidak boleh sembarangan dalam menentukan, sehingga berakibat menggampangkan masalah ini.

Ukuran yang Dikeluarkan
Dari hadits-hadits yang lalu jelas sekali bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan ukuran zakat fitrah adalah 1 sha’. Tapi, berapa 1 sha’ itu?
Satu sha’ sama dengan 4 mud. Sedangkan 1 mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang.
Berapa bila diukur dengan kilogram (kg)? Tentu yang demikian ini tidak bisa tepat dan hanya bisa diukur dengan perkiraan. Oleh karenanya para ulama sekarangpun berbeda pendapat ketika mengukurnya dengan kilogram.
Dewan Fatwa Saudi Arabia atau Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, wakilnya Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi dan anggotanya Abdullah bin Ghudayyan memperkirakan 3 kg. (Fatawa Al-Lajnah, 9/371)
Adapun Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 kg. (Fatawa Arkanil Islam, hal. 429)

Tentang Al-Bur atau Al-Hinthah
Ada perbedaan pendapat tentang ukuran yang dikeluarkan dari jenis hinthah (salah satu jenis gandum). Sebagian shahabat berpendapat tetap 1 sha’, sementara yang lain berpendapat ½ sha’.
Nampaknya pendapat kedua itu yang lebih kuat berdasarkan riwayat:

Dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya bahwa Asma’ binti Abu Bakar dahulu di zaman Nabi dia mengeluarkan (zakat) untuk keluarganya yang merdeka atau yang sahaya dua mud hinthah atau satu sha’ kurma dengan ukuran mud atau sha’ yang mereka pakai untuk jual beli.” (Shahih, HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 2871, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Sanadnya shahih, sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim.” Lihat Tamamul Minnah hal. 387)
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, dan di masa sekarang Al-Albani.

Waktu Mengeluarkannya

Menurut sebagian ulama bahwa jatuhnya kewajiban fitrah itu dengan selesainya bulan Ramadhan. Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan bahwa waktu pengeluaran zakat fitrah itu sebelum shalat sebagaimana dalam hadits yang lalu.

Dan Nabi memerintahkan agar dilaksanakan sebelum orang-orang keluar menuju shalat.”
Dengan demikian, zakat tersebut harus tersalurkan kepada yang berhak sebelum shalat. Sehingga maksud dari zakat fitrah tersebut terwujud, yaitu untuk mencukupi mereka di hari itu.

Namun demikian, syariat memberikan kelonggaran kepada kita dalam penunaian zakat, di mana pelaksanaannya kepada amil zakat dapat dimajukan 2 atau 3 hari sebelum Id berdasarkan riwayat berikut ini:

Dulu Abdullah bin Umar memberikan zakat fitrah kepada yang menerimanya1. Dan dahulu mereka menunaikannya 1 atau 2 hari sebelum hari Id.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77 no. 1511 Al-Fath, 3/375)
Dalam riwayat Malik dari Nafi’:
Bahwasanya Abdullah bin Umar menyerahkan zakat fitrahnya kepada petugas yang zakat dikumpulkan kepadanya, 2 atau 3 hari sebelum Idul Fitri.” (Al-Muwaththa`, Kitabuz Zakat Bab Waqtu Irsal Zakatil Fithri, 1/285. Lihat pula Al-Irwa` no. 846)
Sehingga tidak boleh mendahulukan lebih cepat daripada itu, walaupun ada juga yang berpendapat itu boleh. Pendapat pertama itulah yang benar, karena demikianlah praktek para shahabat.

Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fitrah Setelah Shalat Id?
Hal ini telah dijelaskan oleh hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:
Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (Id) maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu hanya sekedar sedekah dari sedekah-sedekah yang ada.” (Hasan, HR. Abu Dawud Kitabuz Zakat Bab Zakatul Fithr, 17 no. 1609, Ibnu Majah, 2/395 Kitabuz Zakat Bab Shadaqah Fithri, 21 no. 1827, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Ibnul Qayyim mengatakan: “Konsekuensi dari dua2 hadits tersebut adalah tidak boleh menunda penunaian zakat sampai setelah Shalat Id; dan bahwa kewajiban zakat itu gugur dengan selesainya shalat. Inilah pendapat yang benar karena tiada yang menentang dua hadits ini dan tidak ada pula yang menghapus serta tidak ada ijma’ yang menghalangi untuk berpendapat dengan kandungan 2 hadits itu. Dan dahulu guru kami (Ibnu Taimiyyah) menguatkan pendapat ini serta membelanya.” (Zadul Ma’ad, 2/21)
Atas dasar itu, maka jangan sampai zakat fitrah diserahkan ke tangan fakir setelah Shalat Id, kecuali bila si fakir mewakilkan kepada yang lain untuk menerimanya.

Sasaran Zakat Fitrah
Yang kami maksud di sini adalah mashraf atau sasaran penyaluran zakat.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Sebagian ulama mengatakan sasaran penyalurannya adalah orang fakir miskin secara khusus.
Sebagian lagi mengatakan, sasaran penyalurannya adalah sebagaimana zakat yang lain, yaitu 8 golongan sebagaimana tertera dalam surat At-Taubah 60. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 4/314).
Dari dua pendapat yang ada, nampaknya yang kuat adalah pendapat yang pertama. Dengan dasar hadits Nabi yang lalu:
Dari Ibnu Abbas ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin.”
Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani dalam bukunya As-Sailul Jarrar3 dan di zaman ini Asy Syaikh Al-Albani, dan difatwakan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan lain-lain.

Ibnul Qayyim mengatakan: “Di antara petunjuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, zakat ini dikhususkan bagi orang-orang miskin dan tidak membagikannya kepada 8 golongan secomot-secomot. Beliau tidak pula memerintahkan untuk itu serta tidak seorangpun dari kalangan shahabat yang melakukannya. Demikian pula orang-orang yang setelah mereka.” (Zadul Ma’ad, 2/21, lihat pula Majmu’ Fatawa, 25/75, Tamamul Minnah, hal. 387, As-Sailul Jarrar, 2/86, Fatawa Ramadhan, 2/936)

Atas dasar itu, tidak diperkenankan menyalurkan zakat fitrah untuk pembangunan masjid, sekolah, atau sejenisnya. Demikian difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah (9/369).

Definisi Fakir

Para ulama banyak membicarakan hal ini. Terlebih, kata fakir ini sering bersanding dengan kata miskin, yang berarti masing-masing punya pengertian tersendiri. Pembahasan masalah ini cukup panjang dan membutuhkan pembahasan khusus. Namun di sini kami akan sebutkan secara ringkas pendapat yang nampaknya lebih kuat:
Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (8/168) menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal perbedaan antara fakir dan miskin sampai 9 pendapat.
Di antaranya, bahwa fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i dan jumhur sebagaimana dalam Fathul Bari. (Dinukil dari Imdadul Qari, 1/236-237)
Di antara alasannya adalah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih dahulu menyebut fakir daripada miskin dalam surat At-Taubah: 60.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat…”

Tentu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan dari yang terpenting. Juga dalam surat Al-Kahfi: 79, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera…”
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut mereka miskin padahal mereka memiliki kapal.
Jadi baik fakir maupun miskin sama-sama tidak punya kecukupan, walaupun fakir lebih kekurangan dari miskin.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam Tafsir-nya (341): “Fakir adalah orang yang tidak punya apa-apa atau punya sedikit kecukupan tapi kurang dari setengahnya. Sedangkan miskin adalah yang mendapatkan setengah kecukupan atau lebih tapi tidak memadai.”

Berapakah yang Diberikan kepada Mereka?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan (hal. 341): “Maka mereka diberi seukuran yang membuat hilangnya kefakiran dan kemiskinan mereka.”
Maka diupayakan jangan sampai setiap orang miskin diberi kurang dari ukuran zakat fitrah itu sendiri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang paling lemah adalah pendapat yang mengatakan wajib atas setiap muslim untuk membayarkan zakat fitrahnya kepada 12, 18, 24, 32, atau 28 orang, atau semacam itu. Karena ini menyelisihi apa yang dilakukan kaum muslimin dahulu di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para khalifahnya, serta seluruh shahabatnya. Tidak seorang muslimpun melakukan yang demikian di masa mereka. Bahkan dahulu setiap muslim membayar fitrahnya sendiri dan fitrah keluarganya kepada satu orang muslim.
Seandainya mereka melihat ada yang membagi satu sha’ untuk sekian belas jiwa di mana setiap orang diberi satu genggam, tentu mereka mengingkari itu dengan sekeras-kerasnya. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan kadar yang diperintahkan yaitu satu sha’ kurma, gandum, atau dari bur ½ atau 1 sha’, sesuai kadar yang cukup untuk satu orang miskin. Dan beliau jadikan ini sebagai makanan mereka di hari raya, yang mereka tercukupi dengan itu. Jika satu orang hanya memperoleh satu genggam, maka ia tidak mendapatkan manfaat dan tidak selaras dengan tujuannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/73-74)

Bagaimana Hukum Mendirikan Semacam Badan Amil Zakat?

Telah diajukan sebuah pertanyaan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah tentang sebuah organisasi yang bernama Jum’iyyatul Bir di Jeddah, Saudi Arabia yang mengelola anak yatim dan bantuan kepada keluarga yang membutuhkan, menerima zakat dan menyalurkannya kepada orang-orang yang membutuhkan.
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab: “Organisasi tersebut wajib untuk menyalurkan zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak sebelum diselenggarakan Shalat Id, tidak boleh menundanya dari waktu itu. Karena Nabi memerintahkan untuk disampaikan kepada orang-orang fakir sebelum Shalat Id. Organisasi itu kedudukannya sebagai wakil dari muzakki (pemberi zakat), dan organisasi tersebut tidak diperkenankan untuk menerima zakat fitrah kecuali seukuran yang ia mampu untuk menyalurkannya kepada orang-orang fakir sebelum Shalat Id. Dan tidak boleh pula membayar zakat fitrah dalam bentuk uang karena dalil-dalil syar’i menunjukkan wajibnya mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk makanan, juga tidak boleh berpaling dari dalil syar’i kepada pendapat seseorang manusia.
Apabila muzakki membayarkan kepada organisasi itu dalam bentuk uang untuk dibelikan makanan untuk orang-orang fakir, maka itu wajib dilaksanakan sebelum Shalat Id dan tidak boleh bagi organisasi itu untuk mengeluarkannya dalam bentuk uang.” (Fatawa Al-Lajnah, 9/379, ditandatangani Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan. Lihat pula 9/389)
Akan tetapi pada asalnya zakat fitrah langsung diberikan oleh muzakki kepada yang berhak. (Fatawa Lajnah, 9/389)
Bila ia memberikannya kepada badan amil zakat maka harus diperhatikan minimalnya dua hal:
1. Mereka benar-benar orang yang mengetahui hukum sehingga tahu seluk-beluk hukum zakat dan yang berhak menerimanya.
2. Mereka adalah orang yang amanah, benar-benar menyampaikannya kepada yang berhak, sesuai dengan aturan syar’i.
Hal ini kami tegaskan karena di masa ini banyak orang yang tidak tahu hukum, lebih-lebih tidak sedikit yang tidak amanah. Ada yang mengambilnya tanpa hak dan ada yang menyalurkannya tidak tepat sasaran. Justru zakat itu dikembangkan atau untuk kesejahteraan organisasi/partainya. Atau terkadang dia menundanya, yang berarti menunda pemberian kepada orang yang sangat membutuhkan, walaupun terkadang melegitimasi perbuatan mereka dengan alasan-alasan ‘syar’i’ yang dibuat-buat.

Bolehkah Zakat (Secara Umum) Dikembangkan oleh Badan Amil Zakat?
Pertanyaan tentang ini telah diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah, jawabnya:
Tidak boleh bagi wakil dari organisasi tersebut untuk mengembangkan harta zakat. Yang wajib dilakukan adalah menyalurkannya ke tempat-tempat yang syar’i yang telah disebut dalam nash (Al-Qur’an atau Hadits, -pent.) setelah mengecek (tempat) penyalurannya kepada orang-orang yang berhak. Karena tujuan zakat adalah memenuhi kebutuhan orang-orang fakir dan melunasi hutang orang-orang yang berhutang. Sementara pengembangan harta zakat bisa jadi justru menyebabkan hilangnya maslahat ini, atau menundanya dalam waktu yang lama dari orang-orang yang berhak (sangat membutuhkannya segera, ed.) (Fatawa Al-Lajnah, 9/454 ditandatangani oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud)

Tempat Ditunaikannya Zakat Fitrah

Sebuah pertanyaan ditujukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah:
“Apakah saya boleh menunaikan zakat untuk keluarga saya di mana saya puasa Ramadhan di (Saudi Arabia) bagian timur sementara keluarga saya di (Saudi Arabia) bagian utara?”
Jawab: Zakat fitrah itu dikeluarkan di tempat seseorang berada. Namun jika wakil atau walinya mengeluarkannya di daerah tempat yang bersangkutan tidak ada di sana, maka diperbolehkan. (Fatawa Al-Lajnah, 9/384, ditandatangani oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud. Lihat Fatawa Ramadhan, 2/943)
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Yang dimaksud adalah amil zakat, bukan fakir miskin. Lihat Fathul Bari (3/376) dan Al-Irwa` (3/335).
2 Sebelumnya beliau juga menyebutkan hadits lain yang semakna.
3 Lain halnya dalam bukunya Ad-Darari, di situ beliau berpendapat seperti Asy-Syafi’i.

Oleh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi

Kamis, 05 Februari 2004, 06:01:30 WIB

2041 klik

Send this story to a friend

Printable Version

ETIKA BERTETANGGA

Orang Muslim meyakini bahwa tetangga mempunyai hak-hak atas dirinya, dan etika-etika yang harus dijalankan seseorang terhadap tetangga mereka dengan sempurna, berdasarkan dalil-dalail berikut:

Firman Allah Ta'ala:

Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat den tetangga yang jauh. (An Nisa':36)

Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,

Jibril tidak henti-hentinya berwasiat kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga, hingga aku beranggapan bahwa ia akan mewarisi. (Mutafaq Alaih)

Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah memuliakan tetangganya. (Mutafaq Alaih)

Etika terhadap tetangga aadalah sebagai berikut:

1. Tidak menyakitinya dengan ucapan atau perbuatan, karena sabda-sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berikut:

Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari AKhir, maka janngan menyakiti tetangganya. (Mutafaq Alaih)

Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

Demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam , Siapakah orang yang tidak beriman, wahai Rasulullah ? Beliau bersabda, Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya. (Mutafaq Alaih)

Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

Wanita tersebut masuk neraka.

Sabda di atas ditujukan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada wanita yang konon berpuasa di siang hari dan qiyamul lail di malam hari, namun menyakiti tetangganya.

2. Berbuat baik kepadanya dengan menolongnya jika ia meminta pertolongan, membantunya jika ia meminta bantuan, menjenguknya jika ia sakit, mengucapkan selamat kepadanya jika ia bahagia, menghiburnya jika ia mendapat musibah, membantunya jika ia membutuhkan, memulai ucapan salam untuknya, berkata kepadanya dengan lemah lembut, santun ketika berbicara dengan ayah tetangganya, membimbingnya kepada apa yang di dalamnya terdapat kebaikan agama dan dunianya, melindungi area tanahnya, memaafkan kesalahannya, tidak mengintip auratnya, tidak menyusahkannya dengan bangunan rumah atau jalannya, tidak menyakiti dengan air yang mengenainya, atau kotoran yang dibuang di depan rumahnya.

Itu semua perbuatan baik yang diperintahkan dalam firman Allah Ta'ala, Tetangga dekat dan tetangga yang jauh. (An Nisa:36)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

Barangsipa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya. (Diriwayatkan Al-Bukhari)

3. Bersikap dermawan dengan memberikan kebaikan kepadanya, karena sabda-sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berikut:

Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ,

Hai wanita-wanita Muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan tetangganya yang lain, kendati hanya dengan ujung kuku kambing. (HR Al Bukhari)

Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu ,

Hai Abu Dzar, jika engkau memasak kuah maka perbanyaklah airnya, kemudia berikan kepada tetanggamu. (Diriwayatkan Al Bukhari)

Aisyah radhiyallahu 'anha bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Aku mempunyai dua tetangga, maka yang mana yang berhak akau beri hadiah? Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,

Kepada orang yang pintu rumahnya lebih dekat kepadamu. (Mutafaq Alaih)

4. Menghormati dan menghargainya dengan tidak melarangnya meletakkan kayu di temboknya, tidak menjual atau menyewakan apa saja yang menyatu dengan temboknya, dan tidak mendekat ke temboknya hingga ia bermusyawarah dengannya berdasarkan sabda-sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berikut:

Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ,

Salah seorang dari kalian jangan sekali-kali melarang tetangganya meletakkan kayu di dinding rumahnya. (Mutafaq Alaih)

Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ,

Barangsiapa mempunyai kebun bersama tetangga, atau mitra, maka ia tidak boleh menjualnya, hingga ia bermusyawarah dengannya. (Mutafaq Alaih)

Ada dua manfaat yang kita dapatkan dari etika-etika di atas:

Pertama: Seorang muslim mengenal dirinya jika ia telah berbuat baik kepada tetangganya, atau berbuat yang tidak baik terhadap mereka, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ,

Jika engkau mendengar mereka berkata bahwa engkau telah berbuat baik maka engkau memang telah berbuat baik, dan jika engkau mendengar mereka berkata bahwa engkau berbuat salah maka engkau memang telah berbuat salah. (Diriwayatkan Al Hakim dan ai meng-shahih-kannya).

Kedua: Jika seorang Muslim diuji dengan tetangga yang brengsek, hendaklah ia bersabar, karena kesabarannya akan menjadi penyebab pembebasan dirinya dari gangguan tetangganya. Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam guna mengeluhkan sikap tetangganya, kemudian beliau bersabda kepadanya, Sabarlah! Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, atau keempat kalinya kepada orang tersebut, Buanglah barangmu di jalan. Orang tersebut pun membuang barangnya di jalan. Akibatnya, orang-orang berjalan melewatinya sambil berkata,Apa yang terjadi denganmu? Orang tersebut berkata, Tetanggaku menyakitiku. Orang-orang pun mengutuk tetangga yang dimaksud orang tersebut hingga kemudian tetangga tersebut datang kepada orang tersebut dan berkata kepadanya, Kembalikan barangmu ke rumah, karena demi Allah, aku tidak akan mengulangi perbuatanku lagi. (Diriwayatkan Ahmad)

ditulis ulang dari Ensiklopedi Muslim(terjemah: Minhajul Muslim), Abu Bakr Jabir Al-Jazairi. Penerjemah: Fadhli Bahri, Lc. Penerbit: Darul Falah, Jakarta. Cetakan Pertama: Rajab 1421 H /Oktober 2000 M, hal. 148-151

HUKUM MEMAKAN DAGING IMPORT

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Apa hukumnya memakan daging import ?

Jawaban
Daging (import) ini ada dua kemungkinan yaitu hewan yang boleh dimakan dan tidak boleh dimakan. Hewan yang boleh dimakan terbagi menjadi dua kemungkinan :

[1]. Sembelihan ahli kitab, ini bisa berupa.

- Disembelih secara syari’at maka halal dimakan
- Dibunuh dengan cara (yang tidak syar’i), maka haram dimakan, karena kita tidak mengetahuinya dengan jelas. Nabi bersabda : “Tinggalkan apa yang meragukanmu, lakukan apa yang tidak meragukanmu”.

[2]. Bukan sembelihan ahli kitab, maka hukumnya haram.

Daging hewan yang tidak dimakan sembelihannya (hewan yang haram dimakan) maka ini hukumnya haram.


HUKUM MEMAKAN KEJU YANG DIPRODUKSI OLEH NEGARA-NEGARA KRISTEN

Pertanyaan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Sebagian keju yang diproduksi oleh negara-negara Kristen mencantumkan bahwa sebagian materi penyusunnya adalah senyawa yang diambil dari lambung sapi untuk proses fermentasi. Jika diduga kuat bahwa sapi tersebut tidak disembelih sesuai dengan syariat, maka apakah senyawa tadi juga menjadi haram karena ia mengikuti hukum sembelihannya (yaitu sapi yang tidak disembelih sesuai syari’at yang hukumnya haram,-pent)?

Jawaban
Tidak, karena para sahabat memakan keju yang mereka peroleh dari negeri Persia.

Dan senyawa penyusunan keju tersebut yang diambil dari hewan yang tidak disembelih secara Islami, maka senyawa tersebut najis dan haram. Dan di sini tidak ada bedanya apakah hewan tersebut disembelih atau tidak.

Mengenai perbuatan para sahabat yaitu memakan keju yang mereka peroleh dari Persia membukakan suatu pintu (bab) fiqih bagi kita yang jarang dibahas orang.

Lihatlah ! senyawa najis ini dalam prosesnya dicampur dalam susu yang jumlahnya sangat besar. Coba kita bandingkan dengan air suci yang turun dari langit dalam jumlah yang sangat banyak dalam suatu penampungan. Kemudian air tersebut kemasukan sedikit najis. Bolehkah kita meminum air ini dan bersuci dengannya ? Boleh, karena najis tersebut tidak mengalahkan kesucian air tersebut, dan sifat air itu tetap seperti semula yaitu suci dan mensucikan. Maka demikian pula dengan susu tersebut, ia suci dan boleh diminum.

Dan seandainya susu yang tercampur senyawa najis tersebut berubah menjadi keju, maka di sini aku sama sekali tidak dapat memberikan suatu pendapat. Akan tetapi jika ada sebagian ahli kimia yang meneliti bahwa keju dari susu yang tercampur senyawa najis tersebut telah berubah menjadi senyawa atau materi lain, maka masalah ini menjadi lebih mudah (ia menjadi halal –pent)

Adapun jika ternyata senyawa tersebut masih dalam hakikat semula, tetapi ia teramat kecil bila dibandingkan jumlah susu yang telah berubah menjadi keju, maka jawabnya adalah sebagaimana yang baru saja disebutkan (ia menjadi halal, -pent).

Perubahan materi sangat berpotensi merubah hukum-hukum syar’i. Dan perubahan materi termasuk sesuatu yang bisa mensucikan benda-benda yang najis dalam syariat Islamiyah.

Khamr diharamkan karena memabukkan. Tapi jika khamr tersebut mengalami perubahan dan menjadi cuka, maka cuka tersebut tidak lagi memabukkan dan hukumnyapun menjadi halal. Jadi cuka ini boleh diminum karena tidak memabukkan dan tidak pula najis.


[Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]

DI TENGAH PERPECAHAN UMMAT (IFTIRAQUL UMMAH)

Posted by admin

22/10/2005

1480 clicks

Printable Version

Mengapa umat Islam berpecah? Bukankah Islam agama yang haq? Bagaimana kita menyikapi perpecahan ummat? Apa yang harus kita lakukan? Berikut ulasannya

Beruntunglah orang-orang asing yang mereka memperbaiki apa-apa yang telah dirusak oleh manusia sesudahku dari sunnahku.” (HR At-Tirmidzi)

Iftiraqul ummah adalah takdir Allah
Iftiraqul ummah (perpecahan umat) adalah sebuah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala yang pasti terjadi. Sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa hadits yang mutawatir:
“Terpecah umat Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan, dan terpecah umat Nashrani menjadi tujuh puluh dua golongan, dan akan terpecah umat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (1)

Bukti kebenaran akan hadits ini, telah mulai tampak ketika munculnya pemahaman sesat akidah Saba’iyah (akidah Khawarij dan Syi’ah). Inilah hal pertama yang didengar kaum muslimin, dan didengar pula oleh para shahabat tentang akidah iftiraq dan benih-benih firqah di kalangan muslimin yang ditiupkan oleh para pemeluknya. Dan benih-benih iftiraq ini terus tumbuh dan berkembang hingga munculnya firqah-firqah Qadariyah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Dan sungguh, hal yang demikian ini terus menerus terjadi hingga masa sekarang. Hal ini semakin tampak nyata dengan lahirnya harakah-harakah dengan membawa fikrah masing-masing.

Mensikapi iftiraqul ummah
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mentakdirkan terjadinya iftiraqul ummah telah memberikan bimbingan agar umat tidak tenggelam dalam fitnah ini. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“ … Barangsiapa di antara kalian berumur panjang, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka tetaplah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. …”(2)

Maka sikap kita yang pertama adalah tetap bepegangan pada sunnah Rasulullah saw dan para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk.

Maka dalam memahami dien ini kita harus senantiasa meruju’ kepada apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw dengan pemahaman para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in. Walaupun pemahaman itu berbeda dan ditentang oleh kebanyakan manusia, maka tetaplah berpegangan kepadanya. Sungguh Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa Islam ini pada awal kedatangannya adalah asing dan pada suatu saat nanti akan kembali dianggap asing (diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya: (145) dari Abu Hurairah), sebuah keadaan dimana orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah seakan menggenggam bara api, barangsiapa beramal pada hari-hari semacam ini maka pahalanya seperti pahala amalan 50 orang shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits yang masyhur:
Akan suatu pada manusia suatu jaman, orang yang sabar (istiqamah) di atas agamanya pada jaman ini seperti memegang bara api.”(3)

Sesungguhnya di belakang kalian ada suatu hari, kesabaran di dalamnya seperti memegang bara api, orang yang beramal pada hari-hari semacam ini pahalanya seperti 50 orang yang beramal seperti amalnya kalian.”(4)

Berkata Ath-Thibi tentang hadits ini: “Maknanya sebagaimana tidak mampunya seorang pemegang bara api untuk sabar karena menghanguskan tangannya seperti itu pula keadaan seorang yang beragama, pada hari itu, tidak mampu untuk tetap di atas agamanya karena banyaknya pelaku maksiat dan pelaku maksiat, tersebarnya kafasikan dan lemahnya iman.”

Berkata pula Al Qari: “Yang jelas bahwa makna hadits adalah sebagaimana tidak mungkin bagi seseorang untuk memegang bara api kecuali dengan kesabaran yang besar dan menanggung banyak kesusahan. Demikian pula di jaman itu tidak akan tergambar dalam benak seseorang untuk menjaga agamanya dan cahaya imannya kecuali dengan kesabaran yang besar.”

Akan tetapi, walaupun demikian keadaannya, Allah yang Maha Berkuasa atas segala-galanya tidak akan membiarkan umat ini musnah dari muka bumi. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang terang-terangan di atas kebenaran, tidak mencelakakan mereka orang yang mencemoohnya sampai datang urusan Allah dan mereka dalam keadaan demikian”(5)

2. Hal kedua yang harus kita lakukan ketika fitnah ini terjadi adalah tinggalkan semua golongan (firqah) yang ada, sebagaimana diriwayatkan dari Hudzaifah:
“Bahwasanya ketika manusia bertanya kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan, karena khawatir akan menimpa diriku, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya kami dahulu dalam keadaan jahiliyah dan kejelekan, maka Allah datangkan kepada kami kebaikan, maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau menjawab, “Ya”. Maka aku berkata, “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau menjawab, “Ya, tapi padanya ada dakhan (kotoran)”. Aku berkata, “Apa dakhannya?”. Beliau menjawab, “Kaum yang mengerjakan sunnah bukan dengan sunnahku, dan memberi petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau kenali mereka tapi engkau ingkari”. Maka aku berkata, “Apakah setelah kebaikan tersebut akan muncul kejelekan lagi?” Beliau menjawab, “Ya, adanya dai-dai yang berada di atas pintu jahannam, barangsiapa yang memenuhi panggilannya akan dilemparkan ke neraka jahannam”. Aku berkata, “Wahai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam terangkan ciri-ciri mereka”. Beliau berkata, “Mereka adalah suatu kaum yang kulitnya sama dengan kulit kita, bahasanya juga sama dengan bahasa kita”. Aku berkata, “Apa yang engkau perintahkan jika aku mengalami jaman seperti itu?” Beliau berkata, “Berpeganglah dengan jama/ah muslimin dan imam mereka”. Aku bertanya, “Bagaimana jika tidak ada jama’ah dan imam?” Beliau menjawab, “Tinggalkan semua firqah, meskipun kamu harus menggigit akar pohon hingga kamu mati dan kamu dalam keadaan seperti itu .”(6)

3.Hal ketiga adalah senantiasa menyeru manusia kepada al haqq, saling bertawashaw bil haqq wa tawashaw bish-shabr (saling menasihati dengan kebenaran dan saling menasihati dengan kesabaran). Inilah kewajiban yang tetap ada pada diri kaum muslimin kepada sesama mereka sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla: Dan saling nasihat-menasihatilah engkau dengan kebenaran dan dengan kesabaran.’ (QS Al ‘Ashr: 4)

Dalam mensikapi perbedaan pemahaman yang ada, maka kewajiban ini tetap wajib diamalkan. Bukan seperti pendapat sebagian orang, “Kita bekerjasama terhadap apa-apa yang kita sepakati dan kita saling tasamuh (toleransi) terhadap perbedaan yang ada.” Perkataan ini benar jika perbedaan yang ada adalah hal-hal yang memang merupakan ikhtilaf tanawu’ yang bisa ditolerir, sedangkan untuk perkara yang telah menjadi ijma’ aimmah ahlus sunnah wal jama’ah dan kaum muslimin, maka tidak ada lagi kata tasamuh. Mereka harus diberi peringatan, ditegakkan hujjah kepada mereka (iqamatul hujjah) dan jika tetap tidak mau mengikuti pemahaman yang lurus, maka mereka wajib diberi sangsi dan umat harus ditahdzir akan kesesatan yang ada pada mereka serta bahayanya bergaul dengan mereka. Sebagaimana Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu telah memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat.

Sedangkan jika perbedaan pemahaman yang ada seputar masalah fiqih atau pun hal-hal yang lain sifatnya ijtihadiyah, maka wajib di antara muslimin untuk mempertemukan perbedaan itu dan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari yang lebih dekat kepada al-haqq. Jika upaya ini tetap tidak bisa mempersatukan pemahaman yang ada, maka hendaknya masing-masing memahami menurut keyakinan masing-masing tanpa saling cela, saling caci, dan tetap saling menghormati. Sebagaimana yang telah banyak dipraktekkan pada shahabat. Sebagai contoh: ketika dalam penyerangan Bani Quraidhah. Sewaktu hendak berangkat Nabi shalallaahu’alaihi wa sallam berpesan agar para shahabat tidak shalat kecuali setelah tiba di tujuan. Tapi ternyata sebelum sampai di perkampungan Bani Quraidhah waktu shalat Ashar sudah tiba. Maka sebagian shahabat mengerjakan shalat di tengah perjalanan, dengan alasan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh mengakhirkan shalat. Yang lain memegangi ucapan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, yakni tidak mengerjakan shalat hingga tiba di tujuan, walau sudah habis waktunya. Ketika yang demikian sampai kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam maka beliau tidak mencela satu pun dari keduanya.(7)

Demikian pula ketika Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Ubay bin Ka’ab tentang sahkah shalat dengan memakai satu baju? Maka ketika mendengar perdebatan mereka Umar keluar dengan marah dan berkata: “Dua orang dari Rasulullah saw telah berselisih, yaitu di antara orang-orang yang memperhatikan Rasul dan mengambil dari Rasul. Ubay benar dan Ibnu Mas’ud tidak lalai. Akan tetapi aku tidak mau mendengar ada orang yang berselisih tentang hal itu setelah ini, kecuali aku mengerjakannya begini dan begitu.”(8)

4.Hal keempat yang mesti kita lakukan di tengah iftiraqul ummah ini adalah tetap berupaya untuk menjaga persatuan di antara kaum muslimin. Walaupun iftiraqul ummah adalah sebuah kepastian dan bagaimana pun usaha kita untuk mencegahnya maka iftiraqul ummah ini tetap akan terjadi, akan tetapi hal ini tidaklah menafikan kewajiban kita untuk tetap berpegang teguh kepada tali Allah dan menjaga persatuan di kalangan umat Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan: “Dan berpegang teguhlah kalian kepada tali Allah seluruhnya, dan hangan berpecah belah.” (QS Ali Imran: 103)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud dengan tali Allah adalah janji Allah. Dikatakan pula bahwa tali Allah ialah Al Qur’an. Sedangkan lafazh walaa tafarraquu (jangan berpecah belah) menunjukkan perintah untup berjama’ah dan melarang perpecahan.(9)

Dan perintah bersatu di sini bukanlah persatuan telompok (firqah) tertentu yang kemudian saling membanggakan kelompoknya masing-masing. Dan menganggap yang di luar kelompoknya berarti bukan saudaranya dan lantas disikapi dengan sikap seperti orang kafir. Akan tetapi adalah kesatuan kaum muslimin yang berlandaskan aqidah dan manhaj ahlus sunnah wal jama’ah. Wallaahu a’lam bish shawab.

Penjelasan tentang haditsul iftiraq

Terkait masalah haditsul iftiraq, dimana umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan yang mereka semua berada di dalam neraka, kecuali satu yang selamat yakni Al Jama’ah. Maka jumhur ulama mengatakan, bahwa masuknya mereka ke dalam neraka ini tidaklah kekal, akan tetapi hanya sementara. Jadi, bid’ah-bid’ah yang ada pada diri mereka tidaklah menyebabkan mereka keluar dari Islam, bid’ah itu tidak sampai menjatuhkan mereka dalam kekufuran (bid’ah mukaffirah) akan tetapi hanya sampai pada tingkatan fusuq (bid’ah muharramah). Maka mereka tetaplah muslimin, sehingga tetap ada kewajiban untuk berwala’ terhadap mereka dan ada pula kewajiban bara’ terhadap meruka sesuai dengan tingkad penyimpangan yang ada pada mereka.

Panitia Tetap Al Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta yang terdiri dari: Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Bbz, Syaikh Abdurrazaq Al Afify, Syaikh Abdullah bin Ghadyan, dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud memfatwakan mengenai harakah-harakah yang ada saat ini, “… secara umum, setiap jama’ah mempunyai kesalahan dan kebenaran. Anda boleh bergaul dengan jama’ah manapun selagi di sana ada kebenaran dan menghindari jama’ah yang banyak kesalahannya. Tetapi tetap harus saling memberi nasihat, saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.”(10)

Maka para ulama menasihatkan kepada para ahlul ‘ilm untuk turut bersama mereka dan meluruskan mereka dari penyimpangan-penyimpangan yang ada. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz rahimahullaah, “…Jika manusia memiliki ilmu dan pemahaman keluar bersama mereka untuk menyampaikan ilmu dan pengingkaran dan nasihat kepada kebaikan serta mengajari mereka sampai mereka itu meninggalkan madzhab bathilnya dan meyakini madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah maka diperbolehkan.”

Dan sungguh, hanya Allahlah yang Maha Mengetahui siapajah di antara harakah-harakah yang ada yang paling dekat kepada kebenaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al Kahfi: 503-104)

Dan demi Allah, tidak ada jaminan bagi siapa pun bahwa dialah yang berada pada kebenaran. Kewajiban kita adalah berupaya semaksimal mungkin agar selalu berada dalam shiraathal mustaqiim.

Sebuah manhaj (metodologi) dalam memahani dien
Dalam meniti jalan ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi bimbingan:
“… yaitu mereka yang mendengarkan perkataan yang baik, dan mengikuti yang terbaik diantaranya.” (QS Az Zumar:18)

Maka mencari ilmu dari ahlul ilmi dari mana pun adalah sebuah kebaikan, karena hikmah itu adalah milik muslim yang hilang, maka ambillah ia dari mana pun engkau mendapatkannyu. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan: “… Terimalah kebenaran itu apamila engkau mendengarkannya, karena atas kebenaran itu ada cahaya.” (11)

Tolok ukur kita dalam menilai kebenaran, yang pertama adalah ada tidaknya dalil tentangnya karena Rasulullah saw mengatakan: “Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan ibu tertolak.” (HR Mutafaqun ‘alaih)

Kemudian yang kedua, sesuaikah dengan pemahaman para salafush-shalih yang Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengazakan tentang mereka: “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi orang-orang sesudahnya, dan kemudian orang-oyang yang sesudahnya.” (HR Arba’ah)

Allah Tabaraka Wa Ta’ala pun mengatakan tentang pemahaman para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in dengan firman-Nya: “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan.” (QS Al Baqarah: 137)

Seandainya apa yang kita pahami sesuai dengan pemahaman mereka maka itulah al-haqq, maka siapa pun yang berada di atas pemahaman ini maka merekalah yang disebut al-firqatun najiyah, merekalah fs-sawaadul a’zham, dan itulah al-jama’ah, sebagaimana dikatakan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Setiap yang mengikuti sunnahku dan para shahabatku.” ; “Kalian wajib berpegana teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaui rasyidin” (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu: “Al Jama’ah itu ialah setiap yang sesuai dengan al-haqq walau engkau seorang diri.” Dalam riwayat yang lain dikatakan: “Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah walaupun engkau sendirian.”

Ibnu Khallal rahimahullaah mengatakan: “Al Jama’ah ialah Jama’atul Muslimin, yaitu para shahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan sampai Hari Akhir. Mengikuti mereka adalah hidayah dan menyelisihi mereka adalah sesat.”

Maka barangsiapa yang mengatakan bahwa yang demikian (yakni mengambil ‘ilmu dari beberapa harakah yang ada) maka dia seperti pemulung, sungguh, dia adalah orang yang ‘sangat mengenal’ diennya sehingga dia berani menyamakan dien-nya sebagai sampah dan betapa dia sangat memuliakan harakahnya, yakni dengan menyamakannya dengan keranjang sampah yang para pemulung dapat mengambil sampah daripadanya. Allahu Ta’ala A’lamu Bish-shawab.

Semoga Allah senantiasa membimbing umat ini agar selalu bersatu di atas bendera sunnah, dan berdiri di atas landasan aqidah ash-shahihah, serta menyeru mqnusia dengan manhaj sunnah dan di atas jalan nubuwwah. Ushikum wa nafsi bitaqwallaah. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.

Foot note:
1. Hadits ini masyhur, diriwayatkan oleh sejumlah banyak shahabat, dikeluarkan oleh imam-imam yang adil, yang hafal hadits seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim, Ibnu Hibban, Abu Ya’la al Muushili, Ibnu Abi Ashim, Ibnu Bathah, al-Ajiri, ad-Darimi dan al-Lalikai. Juga dishahihkan oleh sejumlah besar ahli ilmu, seperti At-Tirmidzi, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, As-Suyuti, dan Asy-Syatibi.
2. HR Nasa’I dan Tirmidzi: HASAN SHAHIH. Lihat Kitab Firqah Najiyah oleh Syaikh Jamil Zainu.
3. Dikeluarkan oleh At Tirmidzi: (2260) dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah Al Kubra: (195) dari Anas radhiyallaahu ‘anhu..
4. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah: (XIV/344) dan dalam tafsir: (III/110) dengan lafazh yang panjang.
5. Dikeluarkan oleh Muslim dengan lafazh ini: (1920) dan Abu Dawud: (4252) dengan tambahan: “Tidak akan memadharatkan mereka orang-orang yang menyelisihinya.”, dan tambahan yang panjang di awalnya. Dikeluarkan pula oleh At Tirmidzi: (2229) secara ringkas dan dia fenshahihkannya, dan dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Al Muqaddimah: (10) dengan lafazx yang panjang dan dikeluarkan oleh Imam Ahmad: (V/276) dengan lafazh yang panjang dan dalam (V/247) secara ringkas, dll.
6. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, 3606, Muslim dalam Shahih-nya (1847), Imam Ahmad dengan panjang (V/386), 403 dan secara ringkas (V/391,396), dengan ringkas dengan lafazh-lafazh yang berbeda-beda (V/494), Abu Dawud As-Sijistani (3244), dengan lafazh berbeda (4246) dan An-Nasa’I dalam Al Kubra (V/17,18).
7. Lihat: Al Jami’ush Shahih Bukhari-Muslim.
8. Ibnu ‘Abdi ‘l-Bar di dalam Jami’u Bayani ‘l ‘Ilmi, 2/83-84
9. Lihat: Tafsir Ibnu Katsir Juz 1.
10. Lihat: Al jama’ah Menurut Ulama Salaf dan Khalaf oleh DR Abdur-Rahman bin Khalifah Asy-Syayaji. Terdapat dalam kaset Ta’qieb Samahatul ‘Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz ‘ala Nadwah (ad-Du’at), lihat kitab An-Nashrul ‘Aaiz hal 173 oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullaah.
11. Syaikh Al-‘Allamah Ay-Mujaddid Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan tentang hadits ini: “Shahih, sanadnya mauquf (yakni ucapan Mu’adz).” Terdapat dalam Shahih Abi Dawud, jilid 3, hal 872, hadits ke 3855.

Al faqiru ilallaah,
Abu Syifa ( Zaenal A. Syukur )
d.a.
Zaenal A. S.
1. Fakultas Teknik Jurusan Teknfk Sipil (Angkatan ’98) UNS Jl Ir Sutami No 36 A Kentingan Surakarta 97126
2. Ma’had Abu Bakar Ash-Shiddiq ‘Aliy Universitas Muhammadiyah Surakarta
3. Kleco Rt 02/I Kadipiro Surakarta 57136
4. E-mail: zaenal_as@eramuslim.com

“Ikhwah fillaah, segala koreksi atas kesalahan penulisan dan penyimpangan pemahaman yang ada mohon disampaikan kepada penulis. Jazaakumullaahu khairan katsiiran.”

[Kontributor : Abu Syifa, 22 Oktober 2005 ]

BIRRUL WALIDAIN (BERBUAT BAIK KEPADA ORANG TUA)

Oleh Cyber Muslim Salafy

Senin, 29 Maret 2004, 05:45:41 WIB

3262 klik

Send this story to a friend

Printable Version

Allah berfirman:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah pada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman: 14)

Hadits pertama:

Dari Abu Hurairoh ia berkata: Rasulullah bersabda: Seorang anak tidak dapat membalas ayahnya, kecuali anak tersebut mendapati ayahnya menjadi budak kemudian ia membelinya dan memerdekakannya. (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Makna hadits tersebut adalah bahwa seorang anak tidak dapat membalas jasa ayahnya, kecuali jika anak tersebut mendapati ayahnya sebagai budak yang dimiliki oleh orang lain kemudian ia memerdekakannya, yakni membebaskan dari perbudakan dan perhambaan dari orang lain (tuannya) sehingga ayahnya menjadi orang yang merdeka karena memerdekakan budak itu adalah pemberian yang paling utama yag diberikan oleh seseorang kepada yang lain.

Hadits kedua:

Dari Abdullah Bin Mas'ud berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah: Amalan apakah yang dicintai oleh Allah Beliau menjawab: Sholat pada waktunya. Aku bertanya lagi: Kemudian apa Beliau menjawab: Berbakti kepada kedua orang tua. Aku bertanya lagi: Kemudian apa Beliau menjawab: Jihad dijalan Allah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits ketiga:

Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda: Berbaktilah kepada bapak-bapak kamu niscaya anak-anak kamu akan berbakti kepada kamu. Hendaklah kamu menjaga kehormatan niscaya istri-istri kamu akan menjaga kehomatan. (HR. Ath-Thabrani dengan sanad hasan).

Hadits keempat:

Dari Asma binti Abu Bakar ia berkata: Ibuku mendatangiku, sedangkan ia seorang wanita musyrik di zaman Rasulullah . Maka aku meminta fatwa kepada Rasulullah dengan mengatakan: Ibuku mendatangiku dan dia menginginkan aku (berbuat baik kepadanya), apakah aku (boleh) menyambung (persaudaraan dengan) ibuku beliau bersabda: ya, sambunglah ibumu. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Imam Syafi'i Rahimahullah berkata: Menyambung persaudaraan itu bisa dengan harta, berbakti, berbuat adil, berkata lemah lembut, dan saling kirim surat berdasarkan hukum Allah. Tetapi tidak boleh dengan memberikan walayah (kecintaan dan pembelaan) kepada orang-orang yang terlarang untuk memberikan walayah kepada mereka (orang-orang kafir)....

Ibnu Hajar Rahimahullah bekata: Kemudian bahwa berbakti, menyambung persaudaraan dan berbuat baik itu tidak mesti dengan mencintai dan menyayangi (terhadap orang kafir walaupun orang tuanya) yang hal itu dilarang di dalam firman Allah : Kamu tidak akan menjumpai satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. (Al-Mujadilah: 22), karena sesungguhnya ayat ini umum untuk (orang-orang kafir) yang memerangi ataupun yang tidak memerangi. (Fathul Bari V/ 233).

Dalam kitabul 'Isyrah, Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Sa'ad bin Malik , dia berkata: Dahulu aku seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Setelah masuk Islam, ibuku berkata: Hai Sa'ad! Apa yang kulihat padamu telah mengubahmu, kamu harus meninggalkan agamamu ini atau aku tidak akan makan dan minum hingga aku mati, lalu kamu dipermalukan karenanya dan dikatakan: Hai pembunuh ibu! Aku menjawab: Hai Ibu! Jangan lakukan itu. Sungguh dia tidak makan, sehingga dia menjadi letih. Tindakannya berlanjut hingga tiga hari, sehingga tubuhnya menjadi letih sekali. Setelah aku melihatnya demikian aku berkata: Hai Ibuku! Ketahuilah, demi Allah, jika kamu punya seratus nyawa, lalu kamu menghembuskannya satu demi satu maka aku tidak akan meninggalkan agamaku ini karena apapun. Engkau dapat makan maupun tidak sesuai dengan kehendakmu. (Tafsir Ibnu Katsir III/791).

Hadits kelima:

Dari Abu Usaid Malik bin Rabi'ah As-Sa'idi berkata: Ketika kami sedang duduk dekat Rasulullah , tiba-tiba datang seorang laki-laki dari (suku) Bani Salamah lalu berkata: Wahai Rasulullah, apakah masih ada sesuatu yang aku dapat lakukan untuk berbakti kepada kedua orangtuaku setelah keduanya wafat Beliau bersabda: Ya, yaitu mendoakan keduanya, memintakan ampum untuk keduanya, menunaikan janji, menyambung persaudaraan yang tidak disambung kecuali karena keduanya, dan memuliakan kawan keduanya. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban di dalam sahihnya)

Hadits keenam:

Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kamu (dari perbuatan) durhaka kepada para ibu, mengubur anak perempuan hidup-hidup, menahan apa yang menjadi kewajibanmu untuk diberikan, dan menuntut apa yang tidak menjadi hakmu. Allah juga membenci tiga hal bagi kamu desas-desus, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta. (HR. Al-Bukhari dan lainnya)

Tentang cara berbakti kepada kedua orangtua yang masih hidup, secara ringkas adalah sebagai berikut:

  1. Mengajak masuk agama Islam jika belum Islam.
  2. Mengajarkannya kepada pemahaman yang benar (Ahlus Sunnah)
  3. Mentaati perintah mereka selama itu bukan maksiat.
  4. Mendahulukan kepentingan mereka daripada kepentingan sendiri, bahkan daripada ibadah yang sunnah.
  5. Membantu mereka dengan harta, membelikan kebutuhan mereka, dll.
  6. Berkata yang baik dan lemah lembut kepada mereka, tidak memanggil langsung dengan namanya, tidak bersuara tinggi dan ketus, dll.
  7. Mendoakan kebaikan untuk mereka, seperti mudah-mudahan mereka mendapatkan hidayah (Islam / sunnah) dan lainnya.
  8. Berbuat baik kepada mereka seperti: melayani kebutuhan mereka, datang jika mereka memanggil dan lain-lain.

Adapun berbakti kepada orang tua setelah mereka wafat, adalah sebagaimana yang tersebut pada hadits di atas yaitu:

  1. Memohonkan ampun untuk mereka jika semasa hidupnya mereka sebagai orang Islam.
  2. Menunaikan janji mereka.
  3. Memuliakan kawan-kawan mereka.
  4. Menyambung persaudaraan kepada kerabat mereka.

Maraji': As-Sunnah edisi: 08 / Th. IV / 1421 H - 2000 M dan berbagai sumber.

SYIRIK DAN MACAM-MACAMNYA[1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

DEFINISI SYIRIK

Syirik yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Umumnya menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah, yaitu hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, seperti berdo'a kepada selain Allah disamping berdo'a kepada Allah, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo'a dan sebagainya kepada selainNya.

Karena itu, barangsiapa menyembah selain Allah berarti ia meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak, dan itu merupakan kezhaliman yang paling besar.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar"[ Luqman: 13]

Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik kepadaNya, jika ia meninggal dunia dalam kemusyrikannya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar".[An-Nisaa': 48]

Surga-pun Diharamkan Atas Orang Musyrik.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan Surga kepadanya, dan tempatnya ialah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun"[ Al-Maa'idah: 72]


Syirik Menghapuskan Pahala Segala Amal Kebaikan.
Allah Azza wa Jalla berfirman.

"Artinya : Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan"[Al-An'aam: 88]

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi"[Az-Zumar: 65]

Orang Musyrik Itu Halal Darah Dan Hartanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : ...Maka bunuhlah orang-orang musyirikin dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian..."[At-Taubah: 5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq melainkan Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka telah melakukan hal tersebut, maka darah dan harta mereka aku lindungi kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka ada pada Allah Azza wa jalla"[2]

Syirik adalah dosa besar yang paling besar, kezhaliman yang paling zhalim dan kemungkaran yang paling mungkar.

JENIS-JENIS SYIRIK

Syirik Ada Dua Jenis : Syirik Besar dan Syirik Kecil.

[1]. Syirik Besar
Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia meninggal dunia dan belum bertaubat daripadanya.

Syirik besar adalah memalingkan sesuatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo'a kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin atau syaitan, atau mengharap sesuatu selain Allah, yang tidak kuasa memberikan manfaat maupun mudharat.

Syirik Besar Itu Ada Empat Macam.

[a]. Syirik Do'a, yaitu di samping dia berdo'a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, ia juga berdo'a kepada selainNya. [3]

[b]. Syirik Niat, Keinginan dan Tujuan, yaitu ia menunjukkan suatu ibadah untuk selain Allah Subhanahu wa Ta'ala [4]

[c]. Syirik Ketaatan, yaitu mentaati kepada selain Allah dalam hal maksiyat kepada Allah [5]

[d]. Syirik Mahabbah (Kecintaan), yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan. [6]

[2]. Syirik Kecil
Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (perantara) kepada syirik besar.

Syirik Kecil Ada Dua Macam.

[a]. Syirik Zhahir (Nyata), yaitu syirik kecil yang dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan nama selain Allah.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik"[7]

Qutailah Radhiyallahuma menuturkan bahwa ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik. Kamu mengucapkan: "Atas kehendak Allah dan kehendakmu" dan mengucapkan: "Demi Ka'bah". Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para Shahabat apabila hendak bersumpah supaya mengucapkan, "Demi Allah Pemilik Ka'bah" dan mengucapkan: "Atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu"[8]


Syirik dalam bentuk ucapan, yaitu perkataan.
"Kalau bukan karena kehendak Allah dan kehendak fulan"
Ucapan tersebut salah, dan yang benar adalah.
"Kalau bukan karena kehendak Allah, kemudian karena kehendak si fulan"

Kata (kemudian) menunjukkan tertib berurutan, yang berarti menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah.[9]

[b]. Syirik Khafi (Tersembunyi), yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya' (ingin dipuji orang) dan sum'ah (ingin didengar orang) dan lainnya.

Rasulullah Shallallahu ¡¥alaihi wa sallam bersabda.

"Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil. "Mereka (para Shahabat) bertanya: "Apakah syirik kecil itu, ya Rasulullah?" .Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Yaitu riya'"[10]


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 74-80) oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 25) dan Muslim (no. 22), dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma.
[3]. Lihat QS. Al-Ankabut: 65.
[4]. Lihat QS. Huud: 15-16.
[5]. Lihat QS. At-Taubah: 31.
[6]. Lihat QS. Al-Baqarah: 165.
[7]. HR. At-Tirmidzi (no. 1535) dan al-Hakim (I/18, IV/297), Ahmad (II/34, 69, 86) dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma. Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[8]. Lihat HR. An-Nasa'i (VII/6) dan Amalul Yaum wal Lailah no. 992, al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata dalam al-Ishaabah (IV/389): 'Hadits ini shahih, dari Qutailah Radhiyallahu 'anhuma, wanita dari Juhainah Radhiyallahu anha. Lihat Fat-hul Majiid Syarh Kitabit Tauhid (bab 41 dan 43), lihat juga di Silsilah al-Ahaadits as-Shahiihah (no. 2042).
[9]. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla dalam surat at-Takwir: 29.
[10].HR. Ahmad (V/428-429) dari Shahabat Mahmud bin Labid Radhiyallahu 'anhu. Berkata Imam al-Haitsami di dalam Majma'uz Zawaa'ij (I/102): "Rawi-rawinya shahih". Dan diriwayatkan juga oleh ath-Thabrani dalam Mu'jamul Kabiir (no. 4301), dari Shahabat Rafi¡' bin Khadiij Radhiyallahu 'anhu. Imam al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaa-ij (X/222) berkata: "Rawi-rawinya shahih" Dan hadits ini dihasankan oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Bulughul Maram. Dishahihkan juga oleh Syaikh Ahmad Muham-mad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad (no. 23521 dan 23526).

TALBIS IBLIS TERHADAP ULAMA

Posted by admin

21/10/2005

1381 clicks

Printable Version

Di antara manusia ada yang memiliki hasrat dan semangat yang tinggi, sehingga mereka bisa mendalami berbagai cabang ilmu syariat, berupa ilmu Al-Qur`an, hadits, fiqih dan sastra. Lalu Iblis mendatangi mereka dengan talbis-nya yang lembut, sambil membisikkan kesombongan kepada mereka, karena mereka bisa mendalami berbagai macam ilmu dan bisa mengulurkan manfaat kepada orang lain.

Di antara manusia ada yang memiliki hasrat dan semangat yang tinggi, sehingga mereka bisa mendalami berbagai cabang ilmu syariat, berupa ilmu Al-Qur`an, hadits, fiqih dan sastra. Lalu Iblis mendatangi mereka dengan talbis-nya yang lembut, sambil membisikkan kesombongan kepada mereka, karena mereka bisa mendalami berbagai macam ilmu dan bisa mengulurkan manfaat kepada orang lain. Di antara mereka ada yang tidak pernah bosan menggali ilmu dan merasakan kenikmatan dalam penggalian ini, yang tentu saja karena bisikan Iblis. Iblis bertanya kepadanya, Sampai kapan engkau merasa letih melakukan semua ini? Tenangkan badanmu dalam memikul beban ini dan lapangkan hatimu dalam menikmati ilmu. Karena jika engkau melakukan kesalahan, maka ilmu dapat membebaskan dirimu dari hukuman. Lalu Iblis membisikinya tentang kelebihan yang dimiliki para ulama. Jika seseorang terkecoh dan menerima bisikan serta talbis Iblis ini, maka dia akan celaka.
Jika setuju, maka dia dapat berkata, Jawaban atas pernyataanmu dapat ditinjau dari tiga sisi:

l. Memang para ulama diutamakan karena ilmu. Namun andaikan tidak ada amal, maka ilmu itu tidak ada artinya apa-apa. Jika aku tidak mengamalkannya, berarti aku sama dengan orang yang tidak mengerti maksudnya, hingga keadaan diriku tak ubahnya orang yang mengumpulkan makanan dan memberikan makanan itu kepada orang-orang yang kelaparan, tapi dia sendiri tidak makan dan tidak mempergunakan makanan itu untuk menghilangkan rasa laparnya.

2. Dapat menyanggahnya dengan celaan yang ditujukan kepada orang yang tidak mengamalkan ilmu, seperti kisah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang seseorang yang dilemparkan ke dalam neraka, lalu ususnya terburai, seraya berkata, Dulu aku menyuruh kepada yang ma`ruf namun aku justru tidak melaksanakannya, dan aku mencegah dari yang` mungkar, namun justru aku melaksanakannya. (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).

Abud-Darda` Radhiyallahu Anhu berkata, Celaka bagi orang yang tidak berilmu (sekali), dan kecelakaan bagi orang yang berilmu namun tidak beramal (tujuh kali).

3. Menyebutkan hukuman bagi orang-orang yang berilmu, karena tidak mau mengamalkan ilmunya, seperti Iblis dan lain-lainnya. Celaan terhadap orang yang berilmu namun tidak beramal adalah dengan firman Allah,
Seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. (Al-Jumu`ah: 5).

Iblis memperdayai orang-orang yang mendalami ilmu dan juga beramal dari sisi lain. Iblis membaguskan di hadapan mereka sikap sombong karena ilmu, dengki terhadap saingan, riya` dalam mencari kedudukan. Kadang-kadang Iblis menunjukkan kepada mereka, bahwa yang demikian itu termasuk hak yang wajib mereka lakukan. Jika tidak melakukannya, justru mereka melakukan suatu kesalahan.

Jalan keluar bagi siapa yang enggan melihat dosa takabur, dengki dan riya`, bahwa iimu tidak bisa menghalangi akibat dari hal-hal itu, bahkan hukumannya berlipat karena kelipatan hujjah hukuman itu. Siapa yang melihat sirah para ulama salaf yang juga aktif beramal, tentu akan memandang hina dirinya sendiri dan tidak berani takabur. Siapa yang mengetahui Allah, tentu tidak akan berbuat riya`, dan siapa yang memperhatikan takdir Allah yang ditetapkan menurut kehendak-Nya, maka dia tidak akan berani mendengki.

Iblis menyusup ke dalam diri mereka sambil membawa syubhat dengan cara yang pintar, seraya berkata, Yang kalian cari adalah ketinggian kedudukan dan bukan takabur, karena kalian adalah para pembawa syariat. Yang kalian cari adalah kemuliaan agama dan memberantas ahli bid`ah. Jika kalian membicarakan orang-orang yang dengki, akan menimbulkan kemarahan terhadap syariat. Sebab para pendengki itu suka mencela siapa pun yang menghadapi mereka. Jadi apa yang kalian kira sebagai riya`, sama sekali bukan riya`. Sebab siapa pun di antara kalian akan menjadi panutan, sekalipun dia hanya berpura-pura khusyu` dan pura-pura menangis, sebagaimana dokter yang menjadi panutan orang yang sakit.

Talbis Iblis ini baru terungkap, jika ada seseorang di antara mereka yang bersikap sombong kepada yang lain atau menampakkan kedengkian kepadanya, maka ulama itu tidak marah kepadanya seperti kemarahannya jika kesombongan atau kedengkian itu tertuju kepada dirinya, sekalipun mereka semua termasuk dalam jajaran ulama.

Iblis juga memperdayai orang-orang yang menekuni ilmu, sehingga mereka senantiasa berjaga pada malam hari dan tekun pada siang hari dalam menyusun kitab. Iblis membisikkan kepada mereka bahwa maksud perbuatan ini ialah menyebarkan agama. Padahal maksud mereka yang sesungguhnya adalah agar namanya terkenal dan statusnya sebagai penulis menjadi tenar. Talbis Iblis ini tersingkap, tatkala orang-orang memanfaatkan karangannya dan membacanya, sementara karangan orang lain tidak dibaca, maka dia merasa senang, sekalipun memang tujuannya untuk menyebarkan ilmu. Di antara orang salaf ada yang berkata, Apa pun ilmu yang kumiliki, lalu ada yang memanfaatkannya, sekalipun tanpa menisbatkannya kepada diriku, maka aku merasa senang.

Di antaranya ada yang merasa senang karena banyak pengikutnya. Iblis menciptakan talbis, bahwa kesenangan ini karena banyaknya orang yang mencari ilmu. Padahal dia senang karena banyak yang menyebut nama dirinya. Dia merasa ujub karena perkataan dan i1mu mereka yang ditimba darinya. Talbis Iblis ini tersingkap, ketika ada di antara mereka yang memisahkan diri darinya lalu bergabung dengan ulama lain yang lebih tenar darinya, maka dia merasa berat hati. Yang demikian ini bukan merupakan sifat orang-orang yang tulus dalam mengajarkan ilmu. Perumpamaan orang yang tulus dalam mengajar ialah seperti para dokter yang mengobati beberapa pasien karena Allah. Jika sebagian pasien itu ada yang sembuh, maka yang lain merasa senang.

Ada para ulama yang selamat dari talbis Iblis yang nyata. Tapi Iblis tetap mendatangi mereka dengan talbis-nya yang tersembunyi, seraya berkata kepadanya, Aku tidak pernah bertemu seseorang seperti dirimu. Jika ulama itu senang dengan ucapan semacam ini, maka dia telah melakukan kesalahan karena ujub. Jika tidak, berarti dia telah selamat.

As-Sary As-Sagathy berkata, Andaikan seseorang memasuki sebuah kebun yang di dalamnya ada semua pepohonan yang diciptakan Allah, ada semua burung yang diciptakan Allah, lalu makhluk-makhluk itu berkata kepadanya dengan bahasanya masing-masing, Wahai wali Allah`, lalu dia merasa senang mendengarnya, maka dia menjadi tawanan di tangan makhluk-makhluk itu.

Dikutip dari Talbis Iblis karya Ibnul Jauzy, Edisi terjemahan Perangkan Syetan Penerbit Pustaka Al-Kautsar.

[Kontributor : Puji Hartono, 21 Oktober 2005 ]

APAKAH BID’AH MEMPUNYAI TINGKATAN?

By puji

21/02/2006

208 clicks

Printable Version

Syaikh Ali Hasan ditanya:
Apakah bid'ah memiliki beberapa tingkatan? Atau hanya satu tingkatan saja?

Jawaban:
Kita tidak ragu lagi bahwa bid'ah memiliki beberapa tingkatan, yaitu dua tingkatan. Bid'ah yang muharramah, yaitu bid'ah yang tidak sampai menyebabkan pelakunya menjadi kafir. Yang kedua: Bid'ah Mukaffirah (yang bisa membuat pelakunya menjadi kafir). Maka bid'ah itu bisa jadi muharramah dan bisa jadi mukaffirah. Contohnya: ketika kita mengatakan bahwa pengkhususan sebagian imam dengan melakukan qunut pada shalat Subuh dengan membaca: Allahummahdina fiiman hadaita adalah bid'ah. Ini memang bid’ah. Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. Ini adalah bid'ah Muharramah, tetapi apakah sama bid'ah ini dengan bid'ah thawaf di kuburan?! Apakah sama dengan bid'ah orang yang meminta bantuan dan pertolongan kepada selain Allah? Mereka mengatakan: Wahai Rifa'i tolonglah aku! dan Wahai Jailani tolonglah aku ?! Ini adalah bid’ah dan yang tadi juga bid'ah. Tetapi yang awal adalah bid'ah yang muharramah, yang pelakunya akan menjadi fasiq, sedangkan yang kedua bid'ah mukaffarah, yang pelakunya bisa menjadi kafir. Dan kaidah pengkafiran itu adalah: Setelah ditegakkan hujjah kepada pelakunya dan kemudian dia melakukan sikap menentang, sebagaimana yang telah kita terangkan sebelumnya, adapun bid’ah yang membawa pelakunya kepada kekafiran, tidak berarti pelakunya pasti menjadi kafir bila dia melakukannya, kecuali bila telah ditegakkan hujah kepadanya kemudian dia menentang. Wallahu a’lam

[Diambil dari Dialog dengan Syaikh Ali Hasan di Yogyakarta, Buletin Al-Manhaj, edisi 7]

========================================================================

TUJUAN AKIDAH ISLAM (Syaikh Al Utsaimin
Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang, yaitu:

1. Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah kepada Allah satu-satunya. Karena Dia adalah Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan kepada-Nya satu-satunya.

2. Membebaskan akal dan pikiran dari kekacauan yang timbul dari kosongnya hati dari akidah. Karena orang yang hatinya kosong dari akidah ini, adakalanya kosong hatinya dari setiap akidah serta menyembah materi yang dapat diindera saja dan adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan akidah dan khurafat.

3. Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan tidak goncang dalam pikiran. Karena akidah ini akan menghubungkan orang mukmin dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan yang mengatur. Hakim yang Membuat tasyri’. Oleh karena itu hatinya menerima takdir, dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari pengganti yang lain.

4. Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena di antara dasar akidah ini adalah mengimani para rasul yang mengandung mengikuti jalan mereka yang lurus dalam tujuan dan perbuatan.

5. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak menghilangkan kesempatan beramal baik kecuali digunakannya dengan mengharap pahala serta tidak melihat tempat dosa kecuali menjauhinya dengan rasa takut dari siksa. Karena di antara dasar akidah ini adalah mengimani kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan.

Dan masing-masing orang yang memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al An’am 132)

Nabi Muhammad n juga mengimbau untuk tujuan ini dalam sabdanya:

Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap sesuatu yang berguna bagimu serta mohonlah pertolongan dari Allah dan jangan lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, maka janganlah engkau katakan: Seandainya aku kerjakan begini dan begitu. Akan tetapi katakanlah: Itu takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki Dia lakukan. Sesungguhnya mengandai-andai itu membuka perbuatan setan.” (Muslim)

6. Mencintai umat yang kuat yang mengerahkan segala yang mahal maupun yang murah untuk menegakkan agamanya serta memperkuat tiang penyanggahnya tanpa perduli apa yang akan terjadi untuk menempuh jalan itu.

”Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al Hujurat 15)

7. Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memperbaiki individu-individu maupun kelompok-kelompok serta meraih pahala dan kemuliaan.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal baik, baik lelaki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl 97)

Inilah sebagian dari tujuan akidah Islam. Kami mengharap agar Allah merealisasikannya kepada kami dan seluruh umat Islam.

Selasa, 03 Oktober 2006 - 02:31:23, Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.

Kategori : Kajian Utama

BEBERAPA KESALAHAN DI DALAM BULAN RAMADLAN
[Print View] [kirim ke Teman]

Islam, dalam banyak ayat dan hadits, senantiasa mengumandangkan pentingnya ilmu sebagai landasan berucap dan beramal. Maka bisa dibayangkan, amal tanpa ilmu hanya akan berbuah penyimpangan. Kajian berikut berupaya menguraikan beberapa kesalahan berkait amalan di bulan Ramadhan. Kesalahan yang dipaparkan di sini memang cukup ‘fatal’. Jika didiamkan terlebih ditumbuhsuburkan, sangat mungkin akan mencabik-cabik kemurnian Islam, lebih-lebih jika itu kemudian disirami semangat fanatisme golongan.

Penggunaan Hisab Dalam Menentukan Awal Hijriyyah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan bimbingan dalam menentukan awal bulan Hijriyyah dalam hadits-haditsnya, di antaranya:

“Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan Ramadhan, maka beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka (berhenti puasa dengan masuknya syawwal, -pent.) sehingga kalian melihatnya. Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan hadits yang semacam ini cukup banyak, baik dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim maupun yang lain.
Kata-kata فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah) menurut mayoritas ulama bermadzhab Hanbali, ini dimaksudkan untuk membedakan antara kondisi cerah dengan berawan. Sehingga didasarkannya hukum pada penglihatan hilal adalah ketika cuaca cerah, adapun mendung maka memiliki hukum yang lain.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, artinya: “Lihatlah awal bulan dan genapkanlah menjadi 30 (hari).”
Adapun yang menguatkan penafsiran semacam ini adalah riwayat lain yang menegaskan apa yang sesungguhnya dimaksud. Yaitu sabda Nabi yang telah lalu (maka sempurnakan jumlah menjadi 30) dan riwayat yang semakna.

Yang paling utama untuk menafsirkan hadits adalah dengan hadits juga. Bahkan Ad-Daruquthni meriwayatkan (hadits) serta menshahihkannya, juga Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dari hadits Aisyah:
Dahulu Rasulullah sangat menjaga Sya’ban, tidak sebagaimana pada bulan lainnya. Kemudian beliau puasa karena ru`yah bulan Ramadhan. Jika tertutup awan, beliau menghitung (menggenapkan) 30 hari untuk selanjutnya berpuasa.” (Dinukil dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar)
Oleh karenanya, penggunaan hisab bertentangan dengan Sunnah Nabi dan bertolak belakang dengan kemudahan yang diberikan oleh Islam.


“Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al-Baqarah: 61)

“Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ia berkata: ‘Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Dan tidak seorangpun memberat-beratkan dalam agama ini kecuali ia yang akan terkalahkan olehnya. Maka berusahalah untuk benar, mendekatlah, gembiralah dan gunakanlah pagi dan petang serta sedikit dari waktu malam’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabul Iman Bab Ad-Dinu Yusrun)

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sebuah pertanyaan diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah atau Dewan Fatwa dan Riset Ilmiah Saudi Arabia:
Apakah boleh bagi seorang muslim untuk mendasarkan penentuan awal dan akhir puasa pada hisab ilmu falak, ataukah harus dengan ru`yah (melihat) hilal?
Jawab: …Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membebani kita dalam menentukan awal bulan Qomariyah dengan sesuatu yang hanya diketahui segelintir orang, yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Padahal nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah yang ada telah menjelaskan, yaitu menjadikan ru`yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasa kaum muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian juga dalam menetapkan Iedul Adha dan hari Arafah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“…Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Mereka bertanya tentang hilal-hilal. Katakanlah, itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk haji.” (Al-Baqarah: 189)

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian. Jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Namun jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah menjadi 30.”

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tetapnya (awal) puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka (mengakihiri Ramadhan) dengan melihat hilal Syawwal. Sama sekali Nabi tidak mengaitkannya dengan hisab bintang-bintang dan orbitnya (termasuk rembulan, -pent.). Yang demikian ini diamalkan sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, para Khulafa` Ar-Rasyidin, empat imam, dan tiga kurun yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.
Oleh karena itu, menetapkan bulan-bulan Qomariyyah dengan merujuk ilmu bintang dalam memulai awal dan akhir ibadah tanpa ru`yah adalah bid’ah, yang tidak mengandung kebaikan serta tidak ada landasannya dalam syariat….” (Fatwa ini ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan. Lihat Fatawa Ramadhan, 1/61)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Tentang hisab, tidak boleh beramal dengannya dan bersandar padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tanya: Sebagian kaum muslimin di sejumlah negara, sengaja berpuasa tanpa menyandarkan pada ru`yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk (mereka berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal maka jika mereka tertutup olah awan hendaknya menyempurnakan jumlahnya menjadi 30) -Muttafaqun alaihi-
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu adalah demikian, demikian, dan demikian.” –beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan–: “Bulan itu begini, begini, dan begini –serta mengisyaratkan dengan seluruh jemarinya–.”
Beliau maksudkan dengan itu bahwa bulan itu bisa 29 atau 30 (hari).

Dan telah disebutkan pula dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 (hari).”

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya):
“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah. Dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.”

Masih banyak hadits-hadits dalam bab ini. Semuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru`yah, atau menggenapkannya jika tidak memungkinkan ru`yah. Ini sekaligus menjelaskan tidak bolehnya bertumpu pada hisab dalam masalah tersebut.
Ibnu Taimiyyah1 telah menyebutkan ijma’ para ulama tentang larangan bersandar pada hisab dalam menentukan hilal-hilal. Dan inilah yang benar, tidak diragukan lagi. Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)
Pembahasan lebih rinci tentang hisab bisa dilihat kembali dalam Asy-Syariah edisi khusus Ramadhan tahun 2004.

Imsak sebelum Waktunya
Imsak artinya menahan. Yang dimaksud di sini adalah berhenti dari makan dan minum dan segala pembatal saat sahur. Kapankah sebetulnya disyariatkan berhenti, ketika adzan tanda masuknya subuh atau sebelumnya, yakni adzan pertama sebelum masuknya subuh? Karena dalam banyak hadits menunjukkan bahwa subuh memiliki dua adzan, beberapa saat sebelum masuk dan setelahnya.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Masalah ini, di mana banyak orang (meyakini) bahwa makan di malam hari pada saat puasa diharamkan sejak adzan pertama2 (yakni sebelum masuknya waktu subuh), yang adzan ini mereka sebut dengan adzan imsak, tidak ada dasarnya dalam Al-Qur`an, As-Sunnah dan dalam satu madzhabpun dari madzhab para imam yang empat. Mereka semua justru sepakat bahwa adzan untuk imsak (menahan dari pembatal puasa) adalah adzan yang kedua yakni adzan yang dengannya masuk waktu subuh. Dengan adzan inilah diharamkan makan dan minum serta melakukan segala hal yang membatalkan puasa. Adapun adzan pertama yang kemudian disebut adzan imsak, pengistilahan semacam ini bertentangan dengan dalil Al-Qur`an dan Hadits. Adapun Al-Qur`an, maka Rabb kita berfirman –dan kalian telah dengar ayat tersebut berulang-ulang–…

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)

Ini merupakan nash yang tegas di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala membolehkan bagi orang-orang yang berpuasa yang bangun di malam hari untuk melakukan sahur. Artinya, Rabb kita membolehkan untuk makan dan mengakhirkannya hingga ada adzan yang secara syar’i dijadikan pijakan untuk bersiap-siap karena masuk waktu fajar shadiq (yakni masuknya waktu subuh, -pent.). Demikian Rabb kita menerangkan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan makna ayat yang jelas ini dengan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi mengatakan:

Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan di waktu malam.”3

Dalam hadits yang lain selain riwayat Al-Bukhari dan Muslim:
Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan untuk membangunkan yang tidur dan untuk menunaikan sahur bagi yang sahur. Maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum melantunkan adzan 4….” (Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 344-345)

Ibnu Hajar (salah satu ulama besar madzhab Syafi’i) dalam Fathul Bari syarah Shahih Al-Bukhari (4/199) juga mengingkari perbuatan semacam ini. Bahkan beliau menganggapnya termasuk bid’ah yang mungkar.

Oleh karenanya, wahai kaum muslimin, mari kita bersihkan amalan kita, selaraskan dengan ajaran Nabi kita, kapan lagi kita memulainya (jika tidak sekarang)? (Lihat pula Mu’jamul Bida’ hal. 57)
Di sisi lain, adapula yang melakukan sahur di tengah malam. Ini juga tidak sesuai dengan Sunnah Nabi, sekaligus bertentangan dengan maksud dari sahur itu sendiri yaitu untuk membantu orang yang berpuasa dalam menunaikannya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Segeralah berbuka dan akhirkan sahur.” (Shahih, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1773)

Dari Abu ‘Athiyyah ia mengatakan: Aku katakan kepada ‘Aisyah: Ada dua orang di antara kami, salah satunya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, sedangkan yang lain menunda berbuka dan mempercepat sahur. ‘Aisyah mengatakan: “Siapa yang menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur?” Aku menjawab: “Abdullah bin Mas’ud.” ‘Aisyah lalu mengatakan: “Demikianlah dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya.” (HR. At-Tirmidzi, Kitabush Shiyam Bab Ma Ja`a fi Ta’jilil Ifthar, 3/82, no. 702. Beliau menyatakan: “Hadits hasan shahih.”)
At-Tirmidzi mengatakan: Hadits Zaid bin Tsabit (tentang mengakhirkan sahur, -pent.) derajatnya hasan shahih. Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat dengannya. Mereka menyunnahkan untuk mengakhirkan sahur.” (Bab Ma Ja`a fi Ta`khiri Sahur)

Di antara kesalahan yang lain adalah:
Mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan kehati-hatian/ihtiyath (Mu’jamul Bida’, hal. 268)
Membunyikan meriam untuk memberitahukan masuknya waktu shalat, sahur, atau berbuka. Al-Imam Asy-Syathibi menganggapnya bid’ah. (Al-I’tisham, 2/103; Mu’jamul Bida’, hal. 268)
Bersedekah atas nama roh dari orang yang telah meninggal pada bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. (Ahkamul Jana`iz, hal. 257, Mu’jamul Bida’, hal. 269)
Dan masih banyak lagi kesalahan lain, yang Insya Allah akan dibahas pada kesempatan yang lain.
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Lihat pula Majmu’ Fatawa (25/179)
2 Bila di masyarakat kita tandanya adalah dengan selain adzan, seperti sirine, petasan, atau yang lain yang tidak ada dasar syar’inya sama sekali.
3 Yakni sebelum masuk waktu subuh.
4 Karena Ibnu Ummi Maktum adzan setelah masuk waktu subuh.

=======================================================================

Ahad, 09 April 2006 - 09:06:12, Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husen Al-Atsariyyah

Kategori : Mutiara Kata

HUKUM GAMBAR MAKHLUQ BERNYAWA
[Print View] [kirim ke Teman]

Bagian 1
Tanpa disadari, banyak keseharian kita yang dikelilingi hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Salah satunya adalah dipajangnya gambar atau patung makhluk bernyawa di rumah kita. Foto keluarga hingga tokoh atau artis idola telah menjadi sesuatu yang sangat lazim dijumpai di rumah-rumah kaum muslimin. Bagaimana kita menimbang masalah ini dengan kacamata syariat?

Saudariku muslimah ….
Di rumah kita mungkin masih banyak bentuk/ gambar makhluk hidup, baik gambar dua dimensi ataupun tiga dimensi berupa patung, relief, dan semisalnya. Gambar–gambar itu seolah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan kita, karena di mana-mana kita senantiasa menjumpainya. Di dinding rumah ada kalender bergambar fotomodel dengan pose seronok. Di tempat yang sama, ada lukisan foto keluarga. Di atas buffet, ada foto si kecil yang tertawa ceria. Di ruang tamu ada patung pahatan dari Bali.
Sedikit ke ruang tengah ada ukiran Jepara berbentuk burung-burung. Lebih jauh ke ruang keluarga ada lukisan bergambar manusia ataupun hewan. Begitu pula di kamar, di dapur bahkan di teras rumah, atau jauh di halaman ada patung dua ekor singa besar di kanan dan kiri pintu gerbang menyambut kehadiran anggota keluarga ataupun tamu yang hendak masuk rumah, seolah-olah merupakan patung selamat datang atau bahkan diyakini sebagai penjaga rumah dari marabahaya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Belum lagi koleksi album foto keluarga, handai taulan, teman dan sahabat bertumpuk di meja tamu. Belum terhitung koran, majalah1, tabloid yang penuh dengan gambar dan lukisan dari yang sopan sampai yang paling tidak bermoral. Ini baru cerita di rumah kita, di rumah saudara, dan tetangga kita. Belum di tempat-tempat lain seperti di sekolah, di kantor, di toko, di perpustakaan, di pasar, di kampus, dan sebagainya. Benar-benar musibah yang melanda secara merata, wallahu al-musta’an.
Saudariku muslimah…
Kenapa kita katakan tersebarnya gambar tersebut sebagai musibah? Karena di sana terdapat pelanggaran terhadap aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, menyimpang dan berpaling dari hukum yang diturunkan dari langit. Untuk lebih memperjelas permasalahan ini, kami nukilkan secara ringkas (dan bersambung) beberapa pembahasan berikut dalil yang disebutkan Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullahu dalam kitabnya yang sangat berharga Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah yang bisa kita maknakan dalam bahasa kita “Hukum Gambar/ Menggambar Makhluk Yang Memiliki Ruh.”
Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa yang dimaksud gambar bernyawa/ mempunyai ruh di sini adalah gambar manusia dan hewan. Adapun gambar pohon dan benda-benda mati lainnya tidaklah terlarang dan tidak masuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Perintah Menghapus Gambar Makhluk yang Bernyawa
‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu berkata kepada Abul Hayyaj Al-Asadi: “Maukah aku mengutus-mu dengan apa yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutusku? (Beliau mengatakan padaku):

Janganlah engkau membiarkan gambar kecuali engkau hapus dan tidak pula kubur yang ditinggikan kecuali engkau ratakan.”2
Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat ada gambar-gambar di dalam Ka’bah, beliau tidak mau masuk ke dalamnya sampai beliau memerintahkan agar gambar tersebut dihapus. Dan beliau melihat gambar Nabi Ibrahim dan Isma’il 'alaihimassalam di mana di tangan keduanya ada azlam (batang anak panah yang digunakan oleh orang-orang jahiliyyah untuk mengundi guna menentukan perkara/ urusan mereka.

Beliau bersabda:
Semoga Allah memerangi mereka! Demi Allah, keduanya sama sekali tidak pernah mengundi nasib dengan azlam.”3
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk kota Makkah pada hari Fathu Makkah, beliau dapatkan di sekitar Ka’bah ada 360 patung/ berhala, maka mulailah beliau menusuk patung-patung tersebut dengan kayu yang ada di tangan beliau seraya berkata:
“Telah datang al-haq (kebenaran) dan musnahlah kebatilan. Telah datang al-haq dan kebatilan itu tidak akan tampak dan tidak akan kembali.”4

Larangan Membuat Gambar

Jabir radhiallahu 'anhu berkata:
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mengambil gambar (makhluk hidup) dan memasukkannya ke dalam rumah dan melarang untuk membuat yang seperti itu.”5

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Melaknat Pembuat/ Pelukis Gambar Makhluk yang Bernyawa

‘Aun bin Abi Juhaifah mengabarkan dari ayahnya bahwa ayahnya berkata:
Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari harga darah, harga anjing6, dan dari penghasilan budak perempuan (yang disuruh berzina). Beliau melaknat wanita yang membuat tato dan wanita yang minta ditato, demikian juga pemakan riba dan orang yang mengurusi riba. Sebagaimana beliau melaknat tukang gambar.”7

Gambar Bisa Disembah oleh Pengagungnya

‘Aisyah radhiallahu 'anha mengabarkan: “Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang sakit, sebagian istri-istri beliau8 ada yang bercerita tentang sebuah gereja bernama Mariyah yang pernah mereka lihat di negeri Habasyah. Mereka menyebutkan keindahan gereja tersebut dan gambar-gambar yang ada di dalamnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengangkat kepalanya seraya berkata
Mereka itu, bila ada seorang shalih di kalangan mereka yang meninggal dunia, mereka membangun masjid/ rumah ibadah di atas kuburannya. Kemudian mereka membuat gambar-gambar itu di dalam rumah ibadah tersebut. Mereka itulah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah.8

Semua Pembuat/ Pelukis Gambar Makhluk Bernyawa Tempatnya di Neraka

Seseorang pernah datang menemui Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma. Orang itu berkata: “Aku bekerja membuat gambar-gambar ini, aku mencari penghasilan dengannya.” Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “Mendekatlah denganku.” Orang itupun mendekati Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma. Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “Mendekat lagi.” Orang itu lebih mendekat hingga Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dapat meletakkan tangannya di atas kepala orang tersebut, lalu berkata: “Aku akan beritakan kepadamu dengan hadits yang pernah aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku mendengar beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Semua tukang gambar itu di neraka. Allah memberi jiwa/ ruh kepada setiap gambar (makhluk hidup) yang pernah ia gambar (ketika di dunia). Maka gambar-gambar tersebut akan menyiksanya di neraka Jahannam.”
Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata kepada orang tersebut: “Jika kamu memang terpaksa melakukan hal itu (bekerja sebagai tukang gambar) maka buatlah gambar pohon dan benda-benda yang tidak memiliki jiwa/ ruh
.”9

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
Siapa yang membuat sebuah gambar (makhluk hidup) di dunia, ia akan dibebani untuk meniupkan ruh kepada gambar tersebut pada hari kiamat, padahal ia tidak bisa meniupkannya.”10

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menerangkan bahwa pembuat gambar makhluk hidup mendapatkan cercaan yang keras dengan diberi ancaman berupa hukuman yang ia tidak akan sanggup memikulnya, karena mustahil baginya untuk meniupkan ruh pada gambar-gambar yang dibuatnya. Ancaman yang seperti ini lebih mengena untuk mencegah dan menghalangi orang dari berbuat demikian serta menghentikan pelakunya agar tidak terus melakukan perbuatan tersebut. Adapun orang yang membuat gambar makhluk bernyawa karena menghalalkan perbuatan tersebut maka ia akan kekal di dalam azab. (Fathul Bari, 10/484)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Faedah: Asy-Syaikh Abdurrahman Al-’Adni berkata: “Masalah: membeli majalah dan koran yang di dalamnya ada gambar (makhluk hidup). Dalam hal ini ada dua jenis: Pertama, majalah dan koran pornografi, di mana gambar di dalamnya merupakan hal inti (yang diinginkan), yang bertujuan untuk membuat fitnah; Kedua, majalah dan koran yang berisi berita harian biasa dan berita politik. Jenis yang pertama, tidak boleh memperjualbelikannya dan ini merupakan keharaman yang nyata. Adapun jenis kedua, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahumallah mengatakan tidak mengapa membeli majalah dan koran yang seperti ini, dan gambar di sini bukanlah hal yang diinginkan ketika membelinya.” (Lihat Syarhul Buyu’ war Riba min Kitab Ad-Darari hal. 21, ed)
2 HR. Muslim no. 2240, kitab Al-Jana`iz, bab Al-Amr bi Taswiyatil Qabr
3 HR. Al-Bukhari no. 3352, kitab Ahaditsul Anbiya‘, bab Qaulullahi ta’ala: Wattakhadzallahu Ibrahima Khalila
4 Ar-RayahHR. Al-Bukhari no. 4287, kitab Al-Maghazi, bab Aina Rakazan Nabiyyu Yaumal Fathi dan Muslim no. 4601, kitab Al-Jihad was Sair, bab Izalatul Ashnam min Haulil Ka’bah
5 HR. At-Tirmidzi no. 1749, kitab Al-Libas ‘An Rasulillah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bab Ma Ja`a fish Shurah. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Hukmu Tashwir, hal. 17
6 Larangan memperjualbelikan darah dan anjing.
7 HR. Al-Bukhari no. 2238, kitab Al-Buyu’, bab Tsamanul Kalb
8 Yakni Ummu Salamah dan Ummu Habibah radhiallahu 'anhuma yang pernah berhijrah ke Habasyah.
8 HR. Al-Bukhari no. 1341, kitab Al-Jana`iz, bab Bina‘ul Masajid ‘alal Qabr dan Muslim no. 1181, kitab Al-Masajid wa Mawadhi’ush Shalah, bab An-Nahyu ‘an Bina‘il Masajid ‘alal Qabr wat Tikhadzish Shuwar
9 HR. Muslim no. 5506, kitab Al-Libas waz Zinah, bab Tahrimu Tashwiri Shuratil Hayawan …
10 HR. Al-Bukhari no. 5963, kitab Al-Libas, bab Man Shawwara Shurawan Kullifa Yaumal Qiyamah An Yunfakhu fihar Ruh dan Muslim no. 5507, kitab Al-Libas waz Zinah, bab Tahrimu Tashwiri Shuratil Hayawan …

==========================================================================
Bagian 2
Dalam edisi lalu telah disebutkan sejumlah dalil yang menujukkan keharaman gambar makhluk bernyawa yakni manusia dan hewan. Berikut kelanjutannya.

Saudariku Muslimah… semoga Allah memberi taufiq kepada kami dan kepadamu…
Dalam edisi yang lalu kita telah mengetahui beberapa dalil1 yang menunjukkan larangan menggambar makhluk hidup, dalam hal ini gambar manusia dan hewan, baik dua dimensi maupun tiga dimensi. Serta tidak bolehnya menyimpan gambar-gambar tersebut karena syariat justru memerintahkan agar gambar-gambar itu dihapus/ dihilangkan. Dan sebenarnya cukuplah laknat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beserta ancaman neraka untuk menghentikan para pembuat gambar makhluk hidup, pelukis, pemahat dan pematung dari perbuatan mereka. Kalaupun terpaksa tetap pada profesi/ pekerjaannya, mereka harus menghindari membuat gambar/ patung/ pahatan makhluk bernyawa. Ketika seorang pembuat gambar berkata kepada Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma: “Aku bekerja membuat gambar-gambar ini, aku mencari penghasilan dengannya.” Maka Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata kepadanya: “Mendekatlah kepadaku.” Orang itupun mendekati Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas berkata lagi: “Mendekat lagi.” Orang itu lebih mendekat hingga Ibnu ‘Abbas dapat meletakkan tangannya di atas kepala orang tersebut, lalu berkata: “Aku akan beritakan kepadamu dengan hadits yang pernah aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku mendengar beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Semua tukang gambar (makhluk bernyawa) itu di neraka. Allah memberi jiwa/ ruh kepada setiap gambar (makhluk hidup) yang pernah ia gambar (ketika di dunia), maka gambar-gambar tersebut akan menyiksanya di neraka Jahannam.”
Kemudian, setelah menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma menasehatkan: “Jika kamu memang terpaksa melakukan hal itu (bekerja sebagai tukang gambar), maka buatlah gambar pohon dan benda-benda yang tidak memiliki jiwa/ruh.”2
Dalil berikut ini lebih mempertegas lagi haramnya gambar makhluk bernyawa: ‘Aisyah radhiallahu 'anha berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dari safar (bepergian jauh) sementara saat itu aku telah menutupi sahwah3ku dengan qiram (kain tipis berwarna-warni) yang berlukis/ bergambar. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatnya, beliau menyentakkannya hingga terlepas dari tempatnya seraya berkata:
Manusia yang paling keras siksaan yang diterimanya pada hari kiamat nanti adalah mereka yang menandingi (membuat sesuatu yang menyerupai) ciptaan Allah.”

Kata Aisyah: “Maka kami pun memotong-motong qiram tersebut untuk dijadikan satu atau dua bantal.”4
Dalam riwayat berikut disebutkan bentuk gambar itu, seperti yang diberitakan ‘Aisyah radhiallahu 'anha:
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dari safar sementara aku menutupi pintuku dengan durnuk (tabir dari kain tebal berbulu, seperti permadani yang dipasang di dinding, –pent.), yang terdapat gambar kuda-kuda yang memiliki sayap. Maka beliau memerintahkan aku untuk mencabut tabir tersebut, maka akupun melepasnya.”5

Masih hadits 'Aisyah radhiallahu 'anha,ia mengabarkan pernah membeli namruqah6 bergambar makhluk bernyawa. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di depan pintu dan tidak mau masuk ke dalam rumah. "Aisyah pun berkata: “Aku bertaubat kepada Allah, apa dosaku?” Nabi berkata: “Untuk apa namruqah ini?” Aku menjawab: “Untuk engkau duduk di atasnya dan bersandar dengannya.”

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya pembuat gambar-gambar ini akan diazab pada hari kiamat, dikatakan kepada mereka: ‘Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan, dan sungguh para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada gambar’.”7

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu menyebutkan bahwa Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya mengisyaratkan, kedua hadits di atas8 tidaklah saling bertentangan bahkan satu dengan lainnya bisa dikumpulkan. Karena bolehnya memanfaatkan bahan yang bergambar (makhluk bernyawa) untuk diinjak atau diduduki9 tidak berarti boleh duduk di atas gambar. Maka bisa jadi yang dijadikan bantal oleh Aisyah radhiallahu 'anha adalah pada bagian qiram yang tidak ada gambarnya. Atau gambar makhluk hidup pada qiram tersebut telah terpotong kepalanya atau terpotong pada bagian tengah gambar sehingga tidak lagi pun tidak mengingkari apa yang dilakukanberbentuk makhluk hidup, maka Nabi Aisyah radhiallahu 'anha. (Fathul Bari, 10/479)

Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu berkata: “Dalil-dalil ini menunjukkan haramnya seluruh gambar makhluk bernyawa, baik yang memiliki bayangan (tiga dimensi) atau tidak memiliki bayangan (dua dimensi). Hadits qiram menunjukkan haramnya gambar makhluk hidup yang tidak memiliki bayangan. Demikian pula perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menghapus gambar-gambar yang ada di dinding Ka'bah, maka gambar-gambar tersebut dihapus dengan menggunakan kain perca dan air.”
Beliau rahimahullahu juga berkata: “Lebih utama bila rumah dibersihkan dari gambar-gambar yang dihinakan sekalipun (seperti gambar yang ada di keset, yang diinjak-injak oleh kaki-kaki manusia) agar malaikat tidak tercegah/tertahan memerintahkan agar gambar-gambaruntuk masuk ke dalam rumah. Dan juga Nabi yang ada pada namruqah dipotong, dan bisa jadi gambar-gambar yang ada pada hamparan itu telah terpotong gambarnya sehingga bentuknya menjadi seperti pohon.” (Hukmu Tashwir, hal. 31)

Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jibril datang menemuiku, beliau berkata: ‘Sesungguhnya aku semalam mendatangimu, namun tidak ada yang mencegahku untuk masuk ke rumah yang engkau berada di dalamnya melainkan karena di pintu rumah itu ada patung laki-laki, dan di dalam rumah itu ada qiram bergambar yang digunakan sebagai penutup, di samping itu pula di rumah tersebut ada seekor anjing. Maka perintahkanlah kepada seseorang agar kepala patung yang ada di pintu rumah itu dipotong sehingga bentuknya seperti pohon, perintahkan pula agar kain penutup itu dipotong-potong untuk dijadikan dua bantal yang bisa dibuat pijakan, dan juga perintahkan agar anjing itu dikeluarkan’.” Rasulullah pun melaksanakan instruksi Jibril tersebut. (HR. At-Tirmidzi no. 2806, kitab Al-Libas 'an Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bab Ma Ja`a Annal Malaikah la Tadkhulu Baitan fihi Shurah wa la Kalb, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami`ush Shahih, 4/319)

Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “Gambar itu dikatakan hidup bila memiliki kepala. Maka jika kepalanya dipotong tidak lagi teranggap gambar hidup.”
Riwayat mauquf10 ini dibawakan Al-Baihaqi rahimahullahu dalam Sunan-nya (7/270) dan isnadnya shahih sampai Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, kata Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu.11 (Hukmu Tashwir, hal. 55)


Gambar Makhluk Hidup untuk Kepentingan Belajar Mengajar

Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu berkata: “Pendapat yang membolehkan gambar untuk kepentingan pengajaran tidaklah ada dalilnya. Bahkan hadits tentang dilaknatnya tukang gambar yang telah lewat penyebutannya sudah meliputi hal ini. Dan juga bila hal ini dibolehkan akan menumbuhkan sikap meremehkan perbuatan maksiat tashwir (membuat gambar) di jiwa para pelajar. Sehingga mereka akan meniru perbuatan tersebut yang berakibat mereka bersiap-siap menghadapi laknat Allah bila mereka belum baligh dan mereka dilaknat bila sudah baligh. Mereka akan menolong perbuatan maksiat bahkan akan membelanya. Bila demikian, di manakah rasa tanggung jawab (para pendidik)? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.”12

“Tidak ada seorangpun yang dijadikan sebagai pemimpin oleh Allah namun dia tidak memimpin rakyatnya tersebut dengan penuh nasihat (tidak mengemban amanah dengan baik malah berkhianat kepada rakyatnya, –pent.) melainkan sebagai ganjarannya dia tidak akan mendapatkan (mencium) wanginya surga.”13
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sungguh sangat memperhatikan pendidikan anak-anak dengan tarbiyyah diniyyah (pendidikan agama).

Beliau pernah bersabda:
Setiap anak itu dilahirkan di atas fithrah, maka kedua ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”14

Beliau juga bersabda dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkannya dari Rabbnya:

ِّ “(Allah berfirman:) sesungguhnya Aku menciptakan hamba-Ku dalam keadaan hanif15 lalu setan membawa pergi/ mengalihkan mereka (dari kelurusannya).”16

Dengan demikian haram bagi guru/ pendidik dan bagi pemerintah/ penguasa untuk memberi kesempatan dan kemungkinan bagi para pelajar untuk menggambar (makhluk hidup). (Hukmu Tashwir, hal. 34-35)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Sebagaimana kami nyatakan dalam edisi yang lalu, tulisan ini kami susun dengan menukil secara ringkas dari kitab Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah karya Asy-Syaikh Al-Muhaddits negeri Yaman, Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i‘ rahimahullahu, pada beberapa tempat dari pembahasan beliau, yakni tidak secara keseluruhan. Karena maksud kami adalah menyampaikan secara ringkas untuk pembaca yang budiman. Wabillahi at-taufiq.
2 HR. Muslim no. 5506, kitab Al-Libas waz Zinah, bab Tahrimu Tashwiri Shuratil Hayawan …
3 Ada beberapa makna yang disebutkan tentang Sahwah. Namun yang lebih tepat, wallahu a‘lam, sahwah yang dimaukan ‘Aisyah dalam haditsnya adalah rumah kecil yang posisinya melandai ke tanah dan tiangnya tinggi seperti almari kecil tempat menyimpan barang-barang. Di atas pintu rumah kecil inilah ‘Aisyah menggantungkan tirainya. Demikian penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu dalam Fathul Bari (10/475)
4 HR. Al-Bukhari no. 5954, kitab Al-Libas, bab Ma Wuthi’a minat Tashawir dan Muslim no. 5494, kitab Al-Libas waz Zinah, bab Tahrimu Tashwiri Shuratil Hayawan ….
Disebutkan pula dalam Ash-Shahihain menjadikan bantal tersebut sebagai alas duduk beliau di rumah ataubahwa Nabi sebagai sandaran
5 HR. Al-Bukhari no. 5955 dan Muslim no. 5489, dalam kitab dan bab yang sama dengan di atas.
6 Namruqah adalah bantal-bantal yang dijejer berdekatan satu dengan lainnya atau bantal yang digunakan untuk duduk. (Fathul Bari, 10/478)
7 HR. Al-Bukhari no. 5957, kitab Al-Libas, bab Man Karihal Qu‘ud ‘alash Shuwar dan Muslim no. 5499.
8 Yaitu hadits yang menyebutkan bahwa 'Aisyah radhiallahu 'anha memotong-motong qiramnya menjadi satu atau dua bantal dan hadits yang menyebutkan pengingkaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap perbuatan Aisyah radhiallahu 'anha yang membeli namruqah (bantal-bantal) untuk tempat duduk beliau. Hadits pertama menunjukkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mau menggunakan bantal yang dibuat dari potongan-potongan kain bergambar sedangkan hadits kedua menunjukkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sama sekali tidak mau menggunakan bantal-bantal yang dibeli Aisyah radhiallahu 'anha karena ada gambar padanya.
9 Seperti dijadikan bantal duduk atau keset/ lap kaki.
10 Ucapan, perbuatan atau penetapan (taqrir) dari shahabat
11 Adapun hadits yang marfu‘ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) dengan lafadz seperti ini tidak ada yang shahih, bahkan dhaif jiddan (lemah sekali) (Hukmu Tashwir, hal. 54)
12 HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhu
13 HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ma’qil bin Yasar radhiallahu 'anhu
14 HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu
15 Lurus hanya tunduk kepada Allah, tidak cenderung kepada syirik dan maksiat lainnya.
16 HR. Muslim dari ‘Iyadh bin Himar Al-Mujasyi‘i
=============================================================================

Bagian 3
Tema gambar, lukisan, atau patung makhluk bernyawa memang salah satu permasalahan yang membutuhkan pembahasan yang panjang. Edisi kali ini pun masih menyinggung hal tersebut. Ini dilakukan agar permasalahan menjadi lebih jelas dan tidak menumbuhkan keraguan di hati anda, pembaca.

Saudariku, dalam edisi yang lalu kita telah mengetahui larangan menggambar makhluk bernyawa dan menyimpannya. Pembahasan edisi inipun masih menyinggung tentang gambar makhluk bernyawa sehingga diharapkan permasalahan menjadi lebih gamblang lagi.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Teman-teman kami (dari madzhab Syafi’iyyah, –pent.) dan selain mereka berkata: Menggambar makhluk yang bernyawa haram dengan sebenar-benarnya keharaman, termasuk dosa besar, karena diancam dengan ancaman yang keras sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits. Baik orang yang membuat gambar itu bertujuan merendahkannya ataupun selainnya, perbuatannya tetap saja dihukumi haram, apapun keadaannya. Karena perbuatan demikian menandingi ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Baik gambar itu dibuat pada kain/ baju, hamparan/ permadani, dirham atau dinar, uang, bejana, tembok/ dinding, dan selainnya. Adapun menggambar pohon, pelana unta dan selainnya yang tidak mengandung gambar makhluk bernyawa, tidaklah diharamkan. Ini hukum gambar itu sendiri. Adapun mengambil gambar makhluk bernyawa untuk digantung di dinding, pada pakaian yang dikenakan, atau pada sorban dan semisalnya yang tidak terhitung direndahkan (bukan untuk diinjak-injak atau diduduki misalnya, –pent.) maka hukumnya haram. Bila gambar itu ada pada hamparan yang diinjak, pada bantalan dan semisalnya yang direndahkan maka tidaklah haram.”1
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu melanjutkan: “Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara gambar yang memiliki bayangan dengan yang tidak memiliki bayangan (dua atau tiga dimensi, –pent.). Demikianlah kesimpulan madzhab kami dalam masalah ini. Jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka juga berpendapat yang semakna dengan ini. Pendapat ini dipegangi Ats-Tsauri, Malik, Abu Hanifah, dan selain mereka.”
Az-Zuhri rahimahullahu menyatakan bahwa larangan menggambar ini umum, demikian pula penggunaannya, baik gambar itu berupa cap/ stempel/ lukisan pada baju/ kain ataupun bukan stempel. Baik gambar itu di dinding, kain, pada hamparan yang direndahkan (misal: permadani, red.), ataupun yang tidak direndahkan, sebagai pengamalan dzahir hadits, terlebih lagi hadits namruqah yang disebutkan Al-Imam Muslim. Ini pendapat yang kuat, kata Al-Imam An-Nawawi. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 14/307-308)
Dalam masalah gambar yang berupa stempel/ lukisan pada kain, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menguatkan pendapat yang menyatakan jika gambar tersebut utuh dan jelas bentuknya maka haram. Namun jika gambar itu dipotong kepalanya, atau terpisah-pisah bagian tubuhnya maka boleh. (Fathul Bari, 10/480)2

Malaikat Tidak Masuk ke dalam Rumah yang Ada Gambar Makhluk Hidupnya

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar-gambar.”3

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Ulama berkata: Faktor penyebab terhalangnya mereka (para malaikat) untuk masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat gambar adalah karena membuat dan menyimpan gambar merupakan perbuatan maksiat, perbuatan keji, dan menandingi ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta di antara gambar itu ada yang diibadahi selain ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adapun sebab tercegahnya para malaikat itu untuk masuk rumah yang di dalamnya terdapat anjing karena anjing itu banyak memakan benda-benda yang najis. Dan juga di antara anjing itu ada yang dinamakan setan sebagaimana disebutkan dalam hadits.4 Sementara malaikat adalah lawan setan. Di samping itu, anjing memiliki aroma tidak sedap sedangkan malaikat tidak menyukai bau yang busuk, dan ada larangan dalam syariat ini untuk memelihara anjing5. Maka orang yang memelihara anjing di dalam rumahnya diberikan hukuman dengan diharamkannya para malaikat untuk masuk ke dalam rumahnya. Juga terhalang dari mendapatkan shalawat dan istighfar para malaikat, berikut keberkahannya dan penolakannya dari gangguan setan. Malaikat yang tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing atau gambar ini adalah malaikat yang berkeliling menyampaikan rahmah, barakah, dan mendoakan istighfar. Adapun malaikat hafazhah tetap masuk ke dalam semua rumah dan tidak pernah meninggalkan anak Adam dalam segala keadaan. Karena mereka diperintahkan untuk menghitung amalan anak Adam dan mencatatnya. Al-Khaththabi berkata: ‘Para malaikat itu hanyalah tidak masuk ke dalam rumah yang ada anjing atau gambar yang memang diharamkan. Adapun yang tidak diharamkan seperti anjing pemburu, anjing yang ditugasi menjaga sawah ladang dan hewan ternak, atau gambar yang dihinakan/ direndahkan yang ada di hamparan, bantal dan selainnya (yang diinjak/ diduduki), maka tidaklah mencegah masuknya para malaikat.’
Al-Qadhi mengisyaratkan semisal apa yang dikatakan Al-Khaththabi. Namun yang dzahir, ini meliputi seluruh anjing dan seluruh gambar makhluk hidup. Para malaikat tercegah untuk masuk karenanya, disebabkan hadits-hadits yang ada dalam masalah ini mutlak (tidak disebutkan adanya pengecualian atau pengkhususan, –pent.) Dan juga anjing kecil yang pernah ada di dalam rumah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersembunyi di bawah tempat tidur. Ini merupakan udzur/ alasan yang besar tentunya, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahuinya. Namun ternyata tetap mencegah malaikat Jibril 'alaihissalam untuk masuk ke rumah beliau. Seandainya udzur/ alasan adanya gambar dan anjing bisa diterima sehingga tidak mencegah masuknya para malaikat, niscaya malaikat Jibril pun tidak tercegah untuk masuk, wallahu a’lam.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 14/309-310)

Mainan Anak-anak

Dikecualikan dari larangan mengambil gambar ini adalah mainan anak-anak/ boneka yang terbuat dari bulu/ wol dan kain, kata Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu6, dengan dalil berikut ini:
Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiallahu 'anha berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim utusan pada pagi hari ‘Asyura` (10 Muharram) ke kampung-kampung Anshar untuk mengumumkan:

Siapa yang berpagi hari (di hari ini) dalam keadaan berbuka (tidak puasa) maka hendaklah ia sempurnakan sisa harinya (dengan berpuasa) dan siapa yang berpagi hari dalam keadaan puasa maka hendaklah ia terus puasa.”

Ar-Rubayyi’ berkata:
Kami pun puasa pada hari ‘Asyura` tersebut dan melatih anak-anak kami untuk puasa. Kami membuatkan untuk mereka mainan anak-anakan (boneka) dari bulu/ wol. Bila salah seorang dari mereka menangis minta makan, kami memberikan mainan tersebut kepadanya, demikian sampai saatnya berbuka puasa.”7

‘Aisyah radhiallahu 'anha berkisah:
Ia biasa bermain boneka anak perempuan di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata: ‘Teman-teman kecilku biasa datang untuk bermain bersamaku. Namun bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang, mereka sembunyi (karena segan dan malu kepada beliau) dan beliau pun menggiring mereka kepadaku’.”8

Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya bermain boneka/ anak-anakan.” Beliau juga mengatakan: “Boneka/ anak-anakan dikhususkan dari pelarangan yang ada dalam hadits ini, dan juga karena ingin memberikan pendidikan dini kepada wanita dalam mengatur perkara diri mereka, rumah, dan anak-anak mereka (kelak).” (Al-Minhaj, 15/200)
Demikian saudariku, penjelasan yang dapat kami bawakan untukmu sebagai nasehat bagimu berkaitan dengan gambar makhluk bernyawa. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Nampaknya An-Nawawi membolehkan membiarkan gambar tanpa dipotong asalkan tidak dipajang, yakni dihinakan seperti pada karpet dan sejenisnya (ed). Menurut penulis, tentunya setelah gambarnya tidak lagi utuh tapi dipotong-potong. Lihat pembahasan masalah ini dalam edisi yang lalu ketika Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu mendudukkan dua hadits Aisyah radhiallahu 'anha yang seakan bertentangan.
2 Namun bila masih ada kepalanya, maka tetap tidak boleh, karena Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Gambar itu dikatakan hidup bila memiliki kepala...” Lihat edisi 22, halaman 94. (ed)
3 HR. Al-Bukhari no. 5949 kitab Al-Libas, bab At-Tashawir dan Muslim no. 5481, 5482 kitab Al-Libas, bab Tahrim Tashwir Shurah Al-Hayawan…
4 Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Anjing hitam itu setan.” (HR. Muslim no. 1137, kitab Ash-Shalah, bab Qadru Ma Yasturul Mushalli)
5 Kecuali anjing pemburu dan anjing yang dilatih untuk tugas khusus.
6 Dalam kitabnya Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah, hal. 59
7 HR. Al-Bukhari no. 1960 kitab Ash-Shaum, bab Shaumush Shibyan dan Muslim no. 2664 kitab Ash-Shiyam, bab Man Akala fi `Asyura` Falyakuffa Baqiyyata Yaumihi
8 HR. Muslim no. 6237 kitab Fadha`ilush Shahabah, bab Fi Fadhli `Aisyah radhiallahu 'anhu

Jum'at, 04 Agustus 2006 - 07:45:13, Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah

Kategori : Akidah

Bila Ruqyah Menjadi Alternatif Mencari Popularitas, Bolehkah?
[Print View] [kirim ke Teman]

Metode pengobatan ruqyah memang telah mendapat tempat di masyarakat. Sayangnya, hal ini justru kemudian disalahgunakan dan dikomersialkan sejumlah orang yang menampilkan sekaligus mengiklankan dirinya sebagai ahli ruqyah.

Ketika menelusuri sejarah kehidupan manusia, generasi demi generasi berikut segala peristiwa yang terjadi, seseorang akan terbawa ke dalam dua sifat mulia bila dia mendalaminya dengan kacamata Islam. Pertama, munculnya rasa takut ketika mengingat penghancuran hebat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala atas suatu kaum yang mendustakan agama, menentang para rasul, serta ingkar kepada-Nya. Kedua, munculnya harapan ketika menemukan limpahan rahmat dan keberkahan hidup dari Allah Subhanahu wa Ta'ala yang didapatkan oleh suatu kaum yang taat dan menerima segala yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui para rasul.
Setelah itu, rasa takut yang menghinggapinya membawanya kepada satu sikap “siap meninggalkan segala yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta'ala yang akan mendatangkan murka-Nya, betapapun kuat dorongan dari dalam dirinya dan besarnya pembelaan dari luar.” Dan harapan yang tumbuh pada dirinya akan membawanya menuju “semangat untuk mewujudkan ketaatan dengan menapaki langkah pendahulunya yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam melaksanakan titah-titah-Nya, meskipun ia membencinya dan dari luar dirinya mendukungnya.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala kisahkan pengusiran kaum kafir Yahudi dan Nasrani dari negeri mereka. Mereka mau tidak mau harus keluar dari negerinya dan mengakui bahwa benteng-benteng mereka tidak akan bisa mencegah siksaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Setelah itu Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan hukuman kepada mereka dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Allah Subhanahu wa Ta'ala benamkan rasa takut ke dalam dada mereka. Akhirnya rumah mereka musnah oleh tangan mereka sendiri dan tangan orang yang beriman.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menutup pelajaran ini dengan firman-Nya:
“Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang berfikir.” (Al-Hasyr: 2)
Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan pertemuan dua kubu dalam sebuah pertempuran, yakni antara orang kafir dan orang yang beriman. Di mana orang kafir menyaksikan orang yang beriman dua kali lipat jumlahnya.

Selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menolong kaum mukminin setelah itu. Dia menutup pelajaran ini dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berfikir.” (Ali ‘Imran: 13)
Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan pendustaan suatu kaum terhadap para rasul yang diutus kepada mereka, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala menimpakan siksaan kepada mereka dan memberikan pertolongan kepada orang-orang yang beriman.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menutup pelajaran ini dengan firman-Nya:
“Sungguh dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang yang berfikir. Al-Qur`an itu bukanlah perkataan yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Yusuf: 111)
Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan keangkuhan Fir’aun yang telah menobatkan dirinya sebagai tuhan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala setelah dia mendustakan Nabi Musa 'alaihissalam. Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian mengadzabnya di dunia maupun di akhirat. Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala menutup pelajaran ini dengan firman-Nya:



“Sesungguhnya pada perkara itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang (memiliki) rasa takut.” (An-Nazi’at: 26)

“Berjalanlah kalian di muka bumi, lalu lihatlah kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (Ali ‘Imran: 137)
“Katakanlah: ‘Berjalanlah kalian di muka bumi, kemudian saksikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)’.” (Al-An’am: 11)

“Dan saksikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang (melakukan) kerusakan.” (Al-A’raf: 86)

“Katakanlah: ‘Berjalanlah kalian di muka bumi, lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat maksiat’.” (An-Naml: 69)

“Katakanlah: ‘Berjalanlah kalian di muka bumi, lalu lihatlah kesudahan orang-orang sebelum kalian, kebanyakan mereka menyekutukan Allah’.” (Ar-Rum: 42)

Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan: “Katakanlah wahai Muhammad (Shallallahu 'alaihi wa sallam) kepada mereka: ‘Berjalanlah kalian di muka bumi ini. Saksikanlah kesudahan orang-orang yang berbuat maksiat, yaitu orang-orang yang mendustakan para rasul dan segala apa yang mereka bawa, baik yang terkait dengan urusan hari akhir ataupun selainnya. Bagaimana kemurkaan, adzab, dan ancaman Allah Subhanahu wa Ta'ala menimpa mereka. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala selamatkan para rasul dan orang-orang yang mengikutinya dari kalangan kaum mukminin. Semua ini menunjukkan kebenaran apa yang dibawa para rasul tersebut.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/390)

Ruqyah adalah Sebuah Ibadah
Ruqyah merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dikatakan sebagai salah satu bentuk ibadah, karena perbuatan ini dicintai dan diridhai oleh-Nya. Sebagaimana definisi ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu: “Ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala baik berbentuk ucapan atau perbuatan yang nampak ataupun tidak nampak.”
Terlebih lagi, pada amalan ruqyah ini terdapat unsur ta’awun (tolong-menolong) syar’i dalam upaya melepaskan saudara kita dari belenggu yang memberatkan dirinya. Dalil-dalil yang menunjukkan ruqyah sebagai salah satu bentuk ibadah terlalu banyak.

Di antaranya, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Tolong-menolonglah kalian di dalam kebajikan dan ketaqwaan dan jangan kalian tolong-menolong di dalam perbuatan dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 3)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa melepaskan saudaranya dari kesulitan di dunia, niscaya Allah akan melepaskannya dari kesulitan-kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa memberikan kemudahan bagi saudaranya yang mendapatkan kesulitan, niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan di akhirat. Serta barangsiapa menyembunyikan aib saudaranya, maka Allah akan menyembunyikan aibnya di dunia dan akhirat. Pertolongan Allah selalu menyertai seorang hamba, selama hamba itu menolong saudaranya.”1
ِ
“Dari Salim, dari bapaknya (Ibnu ‘Umar), bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Seorang muslim merupakan saudara muslim lainnya. Maka tidak boleh mendzaliminya dan tidak boleh menyerahkannya (kepada musuh). Barangsiapa memenuhi hajat saudaranya, niscaya Allah akan selalu memenuhi hajatnya. Dan barangsiapa mengeluarkan saudaranya dari kesulitan, niscaya Allah akan mengeluarkannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi aib saudaranya, niscaya Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.”2

“Dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha bahwa Nabi meniup dirinya ketika sakit di akhir hayat beliau dengan al-mu’awwidzat. Dan ketika berat atas beliau (untuk melakukannya), (kata ‘Aisyah) sayalah yang meniupkan untuk beliau, lalu saya mengusapnya dengan tangan beliau sendiri karena barakah yang terkandung padanya.”3

“Dari Ummu Salamah radhiallahu 'anha bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat di rumahnya seorang budak wanita dan di wajahnya terdapat warna (kehitaman) maka (beliau berkata): ‘Ruqyahlah dia, sesungguhnya dia terkena penyakit ‘ain (pandangan jahat).”4
Dari dalil-dalil di atas maka jelas bahwa ruqyah itu merupakan sebuah ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Syarat Ibadah
Karena ruqyah itu merupakan sebuah ibadah, sudah barang tentu akan bernilai ibadah di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala jika dibangun di atas aqidah tauhid yang benar, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu 'anhuma mengatakan illa liya’buduuni artinya: “Agar mereka mengakui peribadatan adalah milik-Ku, baik dalam keadaan suka ataupun terpaksa.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/246)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu mengatakan: “(Maknanya adalah) tidaklah Aku menciptakan orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dari kalangan jin dan manusia, melainkan (karena) mereka mentauhidkan-Ku.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu mengatakan: “Ibadah adalah tauhid.” Kemudian dijelaskan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu: “Ibadah itu dibangun di atas tauhid. Dan setiap ibadah yang tidak (didasari) tauhid bukanlah sebuah ibadah. Terlebih lagi, sebagian ulama salaf menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ‘kecuali agar mereka menyembah-Ku’ yaitu kecuali agar mereka mentauhidkan Aku. Dan ini sangat sesuai dengan apa yang disimpulkan pengarang (yakni Asy-Syaikh Muhammad) bahwa ibadah itu adalah tauhid, dan setiap ibadah yang tidak dibangun di atas tauhid adalah (ibadah) batil. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: Aku tidak butuh kepada sekutu. Barangsiapa melakukan sebuah amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku (pada amalan tersebut), Aku akan membiarkannya dengan amalan syiriknya tersebut.” (Al-Qaulul Al-Mufid Syarah Kitab Tauhid, 1/55)

Realisasi tauhid dalam peribadatan adalah “Tidak bertujuan melainkan mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak memberikannya kepada selain-Nya. Yaitu ibadah yang tidak dikotori oleh noda-noda riya`, mengharapkan pujian dari orang lain, atau agar memiliki tempat dalam hati manusia.”

Ada dua syarat ibadah yang harus dipenuhi ketika akan menegakkan sebuah ibadah:
Pertama: Ikhlas semata-mata mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ikhlas artinya mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala semata dan tidak menginginkan selainnya. Keikhlasan ini merupakan implementasi dari syahadat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ.
Hudzaifah Al-Mar’asyi mengatakan: “Ikhlas adalah keseimbangan antara perbuatan lahiriah dan batiniah seorang hamba.”
Abu Qashim Al-Qusyairi menjelaskan: “Ikhlas adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam ketaatan yang hanya bertujuan untuk-Nya. Yakni dengan ketaatan yang dilakukannya itu, dia ingin mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bukan kepada selain-Nya, seperti berbuat karena makhluk, mencari pujian orang, senang mendapatkan pujian, atau segala makna yang tidak untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.”
Abu Muhammad Sahl bin Abdullah rahimahullahu menjelaskan: “Orang-orang berilmu telah melakukan penggalian dalam menafsirkan keikhlasan. Dan mereka tidak menemukan (makna lain) selain: Gerak dan diamnya seseorang, baik ketika sendirian atau bersama orang lain, hanyalah untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, dan tidak dicampuri oleh keinginan hawa nafsu dan dunia.” (Al-Adzkar karya Al-Imam An-Nawawi hal. 5)
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Ikhlas merupakan lawan syirik. Barangsiapa tidak ikhlas, dia adalah seorang musyrik. Namun kesyirikan itu memiliki tingkatan-tingkatan. Keikhlasan di dalam ketauhidan lawannya adalah kesyirikan di dalam uluhiyyah. Dan kesyirikan itu ada yang tersembunyi dan ada yang nyata. Begitu juga keikhlasan.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 366)

Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Orang-orang yang ikhlas adalah: orang-orang yang merealisasikan Iyyaka na’budu waiyyaka Nasta’in, yaitu menjadikan segala amal, ucapan, pemberian, menahan pemberian, kecintaan, kebencian, dan muamalah lahiriah serta batiniah mereka hanya untuk mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka tidak menginginkan balas budi dari manusia. Tidak pula mencari kedudukan di sisi mereka. Tidak mencari pujian dan kedudukan di hati-hati mereka dan tidak pula lari dari cercaan mereka. Dan bahkan mereka (orang-orang yang ikhlas) menganggap manusia ini seperti penghuni kuburan yang tidak memiliki kesanggupan memberikan manfaat dan menolak mudharat, serta tidak bisa menghidupkan, mematikan, dan membangkitkan.” (Madarijus Salikin, hal. 83)
Dalil-dalil yang menunjukkan landasan pertama ini sangatlah banyak. Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka mengikhlaskan agama untuk Allah yaitu agama yang lurus, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)

“Hai sekalian manusia, sesungguhnya amal itu sah dengan niat dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkan. Barangsiapa hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrah kepada dunia yang akan didapatnya, atau wanita yang akan dinikahinya maka dia akan mendapatkannya.”6

“Allah berfirman: ‘Aku tidak butuh kepada sekutu, maka barangsiapa melakukan satu amalan dan dia menyekutukan-Ku padanya (dalam amalan itu) dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya bersama amalan syiriknya’.”7

Beberapa Untaian Hikmah tentang Ikhlas


Ibnu Rajab rahimahullahu mengatakan: Diriwayatkan dari Ibnu Abid Dunya dengan sanad yang terputus dari ‘Umar radhiallahu 'anhu bahwa beliau berkata: “Tidak ada amal bagi orang yang tidak berniat, dan orang yang tidak ikhlas tidak akan mendapatkan ganjaran.”
Beliau (Ibnu Rajab) mengatakan: “Maknanya adalah tidak ada pahala bagi orang yang tidak mengharapkan pahala dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam amalannya.” Dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu, beliau berkata: “Sebuah perkataan tidak akan bermanfaat melainkan bila diamalkan. Dan ucapan dan perbuatan tidak akan bermanfaat melainkan dengan niat. Dan ucapan, amalan dan niat tidak akan bermanfaat melainkan bila sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Yahya bin Abi Katsir rahimahullahu berkata: “Belajarlah kalian tentang niat. Karena niat lebih tinggi kedudukannya daripada amal.”
Zubaid Al-Yami rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya aku sangat senang mendahulukan niat di dalam segala sesuatu, sampaipun dalam permasalahan makan dan minum.”
Beliau rahimahullahu juga berkata: “Berniatlah kamu dalam segala perkara yang kamu inginkan kebaikan padanya, sampaipun kamu hanya keluar ke tempat sampah.”
Dawud Ath-Tha`i rahimahullahu berkata: “Aku melihat semua kebaikan dihimpun dalam kebagusan niat. Dan niat itu cukup sebagai kebaikan, sekalipun kamu tidak mengamalkannya.”
Sufyan At-Tsauri rahimahullahu berkata: “Tidak ada sesuatu yang paling sulit aku obati daripada niat, karena niat tersebut berbolak-balik dalam diriku.”
Yusuf bin Asbath rahimahullahu berkata: “Membersihkan niat dari kerusakan lebih sulit daripada melakukan amalan dengan penuh kesungguhan.” Beliau rahimahullahu berkata juga: “Mengarahkan semuanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih utama dari berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala.”
Mutharrif bin Abdullah rahimahullahu berkata: “Kebagusan hati adalah karena kebagusan amal, dan kebagusan amal adalah karena kebagusan niat.”
Sebagian ulama salaf berkata: “Barangsiapa ingin disempurnakan nilai amalnya maka hendaklah dia memperbaiki niatnya. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengganjar seorang hamba bila niatnya baik, sampaipun permasalahan suapan nasi.”
Ibnul Mubarak rahimahullahu berkata: “Betapa seringnya amalan yang kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa seringnya amalan besar menjadi kecil karena niat.”
Ibnu ‘Ajlan rahimahullahu berkata: “Sebuah amalan tidak akan menjadi baik melainkan dengan tiga perkara: Taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, niat yang baik, dan sesuai dengan tuntunan.”
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menginginkan darimu niat dan keinginanmu.” (Lihat Jami’ Ulum wal Hikam, hal. 18)
Kedua: Ibadah tersebut ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau sesuai dengan sunnah Nabi.
Syarat kedua ini merupakan implementasi dari syahadat مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ.
Kedua syarat ini tidak bisa dipisahkan sebagaimana pula tidak bisa dipisahkan antara persaksian لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan persaksian مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



“Barangsiapa melakukan sebuah ibadah yang tidak ada perintahnya dariku maka amalan tersebut tertolak.”8

Niat yang Jelek adalah Perusak Ibadah
Di antara bentuk gambaran niat yang jelek adalah:
a. Riya`
Riya` yaitu memamerkan sebuah amalan dengan tujuan ingin mendapatkan pujian dan sanjungan, ingin mendapatkan pengagungan atau pengakuan dari manusia.
Riya` termasuk syirik kecil bila sedikit, dan akan menjadi syirik besar bila banyak (lihat Syarah Riyadhus Shalihin, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, 2/1712)

ُ“Allah berfirman: ‘Aku tidak butuh kepada sekutu, maka barangsiapa melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku padanya (dalam amalan tersebut) dengan selain-Ku, Aku akan meninggalkannya bersama amalan syiriknya.”

b. Sum’ah
Sum’ah adalah memperdengarkan amal kebajikan agar mendapatkan pujian, sanjungan, atau kedudukan di hati manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
“Barangsiapa memperdengarkan kebaikannya, Allah akan memperdengarkan keburukannya (di dunia dan akhirat) dan barangsiapa yang memamerkan amalannya, Allah akan memamerkan keburukannya (di dunia dan akhirat).”9

c. Berbuat untuk dunia
Hal ini telah ditegaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu: “Adapun kesyirikan di dalam keinginan dan niat, bagaikan laut yang tidak bertepi. Sedikit orang yang selamat darinya. Barangsiapa yang beramal namun menginginkan selain wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala, meniatkan sesuatu yang bukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan bukan karena meminta ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, sungguh dia telah melakukan kesyirikan di dalam keinginan dan niatan.
Ikhlas adalah seseorang memurnikan ucapan dan perbuatannya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, keinginan serta niatnya. Inilah agama Nabi Ibrahim 'alaihissalam, yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan seluruh hamba dengannya, dan tidak akan diterima dari siapapun selain agama ini. Dan ini merupakan hakikat Islam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya): “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”
Inilah agama Nabi Ibrahim 'alaihissalam. Barangsiapa membencinya, sungguh dia termasuk orang-orang yang paling bodoh.” (Al-Jawabul Kafi hal. 115, lihat ‘Aqidah At-Tauhid hal. 98)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Beramal karena dunia dan dalam rangka mendapatkan harta benda, maka:
1. Jika keinginan seorang hamba seluruhnya demi tujuan ini dan tidak ada keinginan untuk mendapat ridha Allah dan akhirat, maka dia tidak akan mendapatkan bagian apapun di akhirat. Amal semacam ini tidak mungkin muncul dari seorang mukmin. Karena seorang mukmin meskipun lemah imannya, pasti memiliki niat untuk beramal karena Allah dan dalam rangka mendapatkan bagian di akhirat.
2. Jika seseorang beramal karena Allah dan karena dunia, dan kedua tujuan ini keadaannya sama atau mendekati sama, walaupun ia seorang mukmin, maka ia berada dalam keadaan kurang dalam keimanan, tauhid, dan keikhlasan. Begitu pula amalnya kurang, karena kehilangan kesempurnaan ikhlas.
3. Seseorang yang beramal karena Allah semata dan keikhlasannya sempurna, namun ia mengambil semacam gaji dari amalan yang ia kerjakan untuk digunakan membantu pekerjaan dan agamanya -seperti seorang mujahid yang mendapat harta rampasan perang- maka tidak ada efek negatif bagi iman dan tauhidnya jika ia mengambilnya. Karena ia beramal bukan untuk tujuan dunia, namun ia beramal dalam rangka menegakkan agama. Dan ia bertujuan dengan apa yang dia dapatkan itu untuk membantu tegaknya agama.
Jelasnya, “Tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara.” Ruqyah adalah sebuah ibadah, tidak boleh dijadikan jembatan alternatif mencari nama atau popularitas. Wallahu ta’ala a’lam.

1 HR. Al-Imam Muslim no. 2699 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu
2 HR. Al-Imam At-Tirmidzi no. 1346
3 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5735 dan Muslim no. 2192
4 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5739 dan Muslim no. 2197
5 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6953 dan Al-Imam Muslim no. 1097 dan ini lafadz Al-Imam Al-Bukhari dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu
6 HR. Al-Imam Muslim no. 2985 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu
7 HR. Al-Imam Muslim no. 1718 dari shahabat ‘Aisyah radhiallahu 'anha
8 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 2986, 2987 dari Jundub bin Abdullah radhiallahu 'anhu

Senin, 18 Juli 2005 - 05:21:23, Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Kategori : Problema Anda

HUKUM SHALAT DI MASJID NABAWI
[Print View] [kirim ke Teman]

Setelah membaca pembahasan “Problema Anda” tentang larangan shalat di area pekuburan (termasuk masjid yang dibangun di atas kuburan) dan shalat menghadap kuburan, banyak pembaca setia majalah Asy Syariah yang menanyakan hukum shalat di masjid Nabawi di Madinah mengingat kuburan Rasulullah n berada di dalam masjid.


Alhamdulillah wabihi nasta’in. Permasalahan ini telah dikaji oleh beberapa ulama besar diantaranya Syaikhul Islam, Asy-Syaikh Al-Albani, dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullahu.
Kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t :“Jika ada yang mengatakan: kita sedang diliputi problem terkait dengan kuburan Rasulullah n yang ada sekarang, karena berada di tengah masjid Nabawi, bagaimana jawabannya? Kami katakan, jawabannya ditinjau dari beberapa sisi sebagai berikut:
1. Masjid tersebut tidak dibangun di atas kuburan, bahkan dibangun pada masa hidup beliau n
2. Nabi n tidak dikuburkan di dalam masjid sehingga dikatakan bahwa ini adalah penguburan orang-orang shalih di dalam masjid, bahkan beliau dikuburkan di dalam rumahnya.1
3. Perbuatan memasukkan rumah-rumah Rasulullah n termasuk rumah ‘Aisyah x ke dalam masjid (ketika perluasan masjid) bukan dengan kesepakatan para shahabat g,, bahkan hal itu terjadi setelah meninggalnya kebanyakan shahabat dan tidak tersisa dari mereka kecuali sedikit, yaitu sekitar tahun 94 H. Dengan demikian berarti hal itu bukan termasuk di antara perkara-perkara yang dibolehkan oleh para shahabat atau yang disepakati oleh mereka. Bahkan sebagian mereka (yang mendapati kejadian itu) mengingkarinya, dan juga diingkari oleh Sa’id bin Al-Musayyib2 dari kalangan tabi’in.
4. Kuburan tersebut tidak dikategorikan berada dalam masjid meskipun setelah perluasan dan dimasukkan di dalamnya, karena kuburan tersebut berada di dalam kamar tersendiri terpisah dari masjid, jadi masjid Nabawi tidak dibangun di atasnya. Oleh karena itu dibuatkan 3 dinding yang mengelilingi kuburan tersebut dan dindingnya dijadikan menyimpang dari arah kiblat yaitu dengan bentuk segitiga, sudutnya ditempatkan pada sudut utara masjid, dimana seseorang yang shalat tidak akan menghadap ke kuburan tersebut karena posisi dindingnya yang menyimpang (dari arah kiblat). (Al Qaulul Mufid ‘ala Kitabittauhid, 1/398-399).
Dengan demikian jelas bagi kita bahwa masjid Nabawi tidak termasuk dalam kategori masjid yang dibangun di atas kuburan yang dilarang shalat di dalamnya. Begitu pula orang yang shalat di dalamnya tidak akan jatuh dalam kategori shalat menghadap ke kuburan yang dilarang, karena bentuk dinding yang mengelilinginya sebagaimana dijelaskan di atas.
Kalaupun seandainya masih tersisa kejanggalan mengingat bahwa bagaimanapun juga kuburan tersebut telah menjadi bagian dari masjid maka jawabannya sebagaimana kata Asy-Syaikh Al-Albani t pada pasal terakhir dari kitabnya yang berjudul Tahdzirus Sajid min Ittikhadzil Quburi Masajid (hal. 133-137): “Kemudian ketahuilah bahwa hukum yang telah lewat3 mencakup seluruh masjid baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun baru, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada. Maka tidak diperkecualikan dari larangan shalat di masjid yang ada kuburannya kecuali masjid Nabawi yang agung, karena keutamaannya yang khusus yang tidak didapatkan pada masjid-masjid lain yang dibangun di atas kuburan. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah n:

Shalat di masjidku ini lebih utama dari seribu shalat di masjid-masjid yang lain kecuali Masjidil Haram, (karena shalat di Masjidil Haram lebih utama).”4

Begitu pula sabda beliau n:“Antara rumahku dan mimbarku merupakan taman dari taman-taman jannah (surga).”5

Serta keutamaan-keutamaan lainnya. Jika demikian, kalau dikatakan bahwa shalat di masjid Nabawi dibenci (terlarang) maka berarti menyamakan masjid Nabawi dengan masjid-masjid lainnya serta meniadakan/menghapuskan keutamaan-keutamaan yang dimilikinya, dan tentu saja sangat nyata bahwa hal ini tidak boleh.
Makna (hukum) ini kami petik dari perkataan Ibnu Taimiyyah yang telah lewat pada hal. 125-126 ketika menjelaskan sebab dibolehkannya melaksanakan shalat yang memiliki sebab pada waktu-waktu terlarang.
Jadi sebagaimana dibolehkan shalat (yang memiliki sebab) pada waktu-waktu yang terlarang dengan alasan bahwa pelarangan dari shalat tersebut berarti menyia-nyiakannya manakala tidak mungkin untuk meraih keutamaannya dikarenakan waktunya akan berlalu6, maka demikian pula shalat di masjid Nabi n. Kemudian saya mendapati Ibnu Taimiyyah menegaskan hukum ini pada kitabnya yang berjudul Al-Jawab Al-Bahir fi Zuril Maqabir (22/1-2): “Shalat di masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan terlarang secara mutlak7. Lain halnya dengan masjid Nabi n karena shalat di dalamnya bernilai seribu shalat (di masjid-masjid lain) dan masjid ini dibangun di atas ketaqwaan, di mana kehormatannya (kemuliaannya) terpelihara pada masa hidup beliau n dan masa Al-Khulafa`ur Rasyidin, sebelum dimasukkannya kamar (rumah) tempat penguburan beliau n sebagai bagian dari masjid. Dan hanyalah sesunggguhnya (perluasan masjid dengan) memasukkan kamar tersebut sebagai bagian dari masjid terjadi setelah berlalunya masa para shahabat.”

1Yaitu di rumah Aisyah x
2Yang dijuluki oleh sebagian ulama sebagai sayyiduttabi’in (pemimpin tabi’in) t
3 Yaitu larangan shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan.
4 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim serta yang lainnya dari hadits Abu Hurairah z. Juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad dari hadits Ibnu ‘Umar c, dan tambahan yang ada (yaitu yang berada antara 2 tanda kurung) adalah riwayat Ahmad. Kemudian hadits ini diriwayatkan Ahmad dari banyak jalan periwayatan serta memiliki banyak penguat yang semakna dengannya dari beberapa shahabat yang lain. (Hasyiyah (catatan kaki) Tahdzirus Sajid)
5 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, serta yang lainnya dari hadits Abdullah bin Zaid Al-Mazini, dan hadits ini mutawatir sebagaimana kata As-Suyuthi…. (Hasyiyah TahdzirusSajid). Pada hasyiyah kitab tersebut tidak lupa pula Asy-Syaikh Al-Albani t mengingatkan bahwa lafadz (قَبْرِي) sebagai pengganti lafadz (بَيْتِي) dengan makna: “Antara kuburanku dan mimbarku….”, adalah kekeliruan sebagian perawi hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hazm, Al-Qurthubi, Ibnu Taimiyyah, Al-’Asqalani (yaitu Al-Hafidz Ibnu Hajar -pen) dan yang lainnya.
6 Misalnya seseorang berwudhu pada waktu matahari sudah menguning menjelang terbenam, kalau dia dilarang shalat sunnah wudhu sampai matahari terbenam berarti dia akan kehilangan keutamaan karena waktunya akan berlalu.
7 Yaitu tanpa batasan masjid-masjid tertentu, jadi larangannya mencakup seluruh masjid.

============================================================================

Kamis, 05 Oktober 2006 - 12:23:42, Penulis : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

Kategori : Hadits

INSTROPEKSI DIRI DI DALAM BULAN RAMADLAN
[Print View] [kirim ke Teman]

Shahabat yang mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Apabila datang Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.”

Hadits di atas dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya kitab Ash-Shaum, bab Hal Yuqalu Ramadhan au Syahru Ramadhan no. 1898, 1899. Dikeluarkan pula dalam kitab Bad‘ul Khalqi, bab Shifatu Iblis wa Junuduhu no. 3277. Adapun Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya membawakannya dalam kitab Ash-Shaum, dan diberikan judul babnya oleh Al-Imam An-Nawawi, Fadhlu Syahri Ramadhan no. 2492.

Pintu Kebaikan Terbuka, Pintu Kejelekan Tertutup
Kedatangan Ramadhan akan disambut dengan penuh kegembiraan oleh insan beriman yang selalu merindukan kehadirannya dan menghitung-hitung hari kedatangannya. Banyak keutamaan yang dijanjikan untuk diraih dan didapatkan di bulan mulia ini, di antaranya seperti tersebut dalam hadits yang menjadi pembahasan kita dalam rubrik ‘Hadits’ kali ini.

Dan keutamaan yang tersebut dalam hadits di atas didapatkan sejak awal malam Ramadhan yang mubarak sebagaimana tersebut dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:

Apabila datang awal malam dari bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin yang sangat jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup tidak ada satu pintupun yang terbuka, sedangkan pintu-pintu surga dibuka tidak ada satu pintupun yang ditutup. Dan seorang penyeru menyerukan: ‘Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.’ Dan Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka, yang demikian itu terjadi pada setiap malam.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 682 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 1682, dihasankan Asy-Syaikh Albani rahimahullahu dalam Al-Misykat no. 1960)
Pada bulan yang penuh barakah ini, kejahatan di muka bumi lebih sedikit, karena jin-jin yang jahat dibelenggu dan diikat, sehingga mereka tidak bebas untuk menyebarkan kerusakan di tengah manusia sebagaimana hal ini dapat mereka lakukan di luar bulan Ramadhan. Di hari-hari itu kaum muslimin tersibukkan dengan ibadah puasa yang dengannya akan mematahkan syahwat. Juga mereka tersibukkan dengan membaca Al-Qur`an dan ibadah-ibadah lainnya. (Al-Mirqah, Asy-Syaikh Mulla ‘Ali Al-Qari pada ta’liq Al-Misykat 1/783, hadits no. 1961)
Ibadah-ibadah ini akan melatih jiwa, membersihkan dan mensucikannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)

Karena amal shalih banyak dilakukan, demikian pula ucapan-ucapan yang baik berlimpah ruah, ditutuplah pintu-pintu jahannam dan dibuka pintu-pintu surga. (Shifatu Shaumin Nabiyyi n fi Ramadhan, hal. 18-19)

Makna ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits di atas صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ adalah setan itu dibelenggu. Dan yang dimaksudkan dengan setan di sini adalah مَرَدَةُ الْجِنِّ sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Kata مَرَدَةٌ adalah bentuk jamak (lebih dari dua) dari kata الْمَارِدُ yaitu الْعَاتِي الشَّدِيْدُ , maknanya yang sangat angkuh, durhaka, bertindak sewenang-wenang lagi melampaui batas (lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits). Sehingga yang dibelenggu hanyalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat, adapun setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran.

Kita perlu nyatakan hal ini, kata Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullahu, agar jangan sampai engkau mengatakan: “Kami mendapatkan beberapa perselisihan dan fitnah di bulan Ramadhan (lalu bagaimana dikatakan setan-setan itu dibelenggu sementara kejahatan tetap ada? -pent.).” Kita jawab bahwa yang dibelenggu adalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat. Sedangkan setan-setan yang kecil dan setan-setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran tidak dibelenggu. Demikian pula jiwa yang memerintahkan kepada kejelekan, teman-teman duduk yang jelek dan tabiat yang memang senang dengan fitnah dan pertikaian. Semua ini tetap ada di tengah manusia, tidak terbelenggu kecuali jin-jin yang sangat jahat. (Ijabatus Sa`il ‘ala Ahammil Masa`il, hal. 163)

Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullahu berkata dalam Shahih-nya (3/188): “Bab penyebutan keterangan bahwa hanyalah yang diinginkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ hanyalah jin-jin yang jahat, bukan semua setan. Karena nama setan terkadang diberikan kepada sebagian mereka (tidak dimaukan seluruhnya).”
Di bulan yang mubarak ini ada malaikat yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru untuk mengurangi kejelekan sebagaimana dalam lafadz hadits:
Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.”

Hadits-hadits tentang Keutamaan Ramadhan
Selain hadits di atas, banyak lagi hadits lain yang berbicara tentang keutamaan Ramadhan. Di antaranya akan kita sebutkan berikut ini:
1. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
هSiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dalam keadaan iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 1778)
2. Dari ‘Imran bin Murrah Al-Juhani radhiallahu 'anhu, ia berkata: Seseorang datang menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata:
Wahai Rasulullah, apa pendapat anda bila aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah saja dan aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah, aku mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat dan puasa di bulan Ramadhan, maka termasuk dalam golongan manakah aku?” Rasulullah menjawab: “Engkau termasuk golongan shiddiqin dan syuhada.” (HR. Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya, dan lafadz yang disebutkan adalah lafadz Ibnu Hibban. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 989)
3. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Telah datang pada kalian Ramadhan bulan yang diberkahi. Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan atas kalian untuk puasa di bulan ini. Pada bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu langit dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu setan-setan yang sangat jahat. Pada bulan ini Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang diharamkan untuk mendapatkan kebaikan malam itu maka sungguh ia telah diharamkan.” (HR. Ahmad, 2/385, An-Nasa`i no. 2106, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i. Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 985, Al-Misykat no. 1962)
4. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, apabila dijauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 549)
Cukuplah kiranya keutamaan bagi Ramadhan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala memilihnya di antara bulan-bulan yang ada untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala turunkan kitab-Nya yang mulia di bulan berkah tersebut, di malam yang penuh kemuliaan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dengan yang batil.” (Al-Baqarah: 185)ِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur`an itu pada malam Qadar (malam kemuliaan).” (Al-Qadar: 1)

Puasa Semestinya membuahkan Takwa
Hikmah disyariatkannya puasa dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullahu berkata: “Perkara takwa yang dikandung puasa di antaranya:
Orang yang puasa meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala haramkan kepadanya berupa makan, minum, jima’ dan semisalnya, sementara jiwa itu condong kepada perkara yang harus ditinggalkan tersebut. Semua itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengharapkan pahala-Nya. Ini termasuk takwa.
Orang yang puasa melatih jiwanya untuk merasakan pengawasan Allah Subhanahu wa Ta'ala (muraqabatullah), maka ia meninggalkan apa yang diinginkan jiwanya padahal ia mampu melakukannya, karena ia mengetahui pengawasan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadapnya.
Puasa itu menyempitkan jalan setan, karena setan itu berjalan pada anak Adam seperti peredaran/aliran darah. Dan puasa akan melemahkan jalannya sehingga mengecilkan perbuatan maksiat.
Orang yang puasa umumnya memperbanyak amalan ketaatan sementara amalan ketaatan termasuk perangai takwa.
Orang yang kaya jika merasakan tidak enaknya lapar maka mestinya ia akan memberikan kelapangan/memberi derma kepada orang-orang fakir yang tidak berpunya. Ini pun termasuk perangai takwa. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 86)
Dengan demikian sungguh tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa seharusnya momentum Ramadhan dijadikan langkah awal untuk memperbaiki iman dan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, untuk kemudian iman dan takwa itu terus dipupuk dan dirawat di bulan-bulan selanjutnya. Dan jangan dibiarkan terpisah dari jiwa dan raga hingga datang jemputan dari utusan Ar-Rahman (malaikat maut). Khususnya kita –penduduk negeri ini– seharusnya berkaca diri berkaitan dengan segala petaka yang menimpa negeri kita, demikian pula musibah yang datang terus menerus, lagi susul menyusul. Tidaklah semua ini menimpa kita kecuali karena dosa-dosa kita dan jauhnya kita dari iman serta takwa kepada Al-Khaliq.

Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan/ulah manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum: 41)

“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian.” (Asy-Syura: 30)
Musibah yang menimpa negeri ini berupa gempa, tsunami, meletusnya gunung berapi, tanah longsor, semburan lumpur panas, dan sebagainya bukanlah karena kesialan penguasa/pemerintah sebagaimana tuduhan orang-orang dungu atau pura-pura dungu. Namun justru karena dosa-dosa yang ada di negeri ini. Terlepas apakah bencana ini karena rekayasa asing yang ingin menjatuhkan dan menghancurkan negeri ini sebagaimana analisa sebagian orang, atau murni musibah tanpa rekayasa, toh semuanya ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai teguran bagi kita agar kembali kepada-Nya. Bangkit dari lumpur hitam dosa dan maksiat, untuk kemudian bertaubat dan mohon ampun kepada-Nya.
Yang sangat disesalkan, di antara penduduk negeri ini banyak yang tidak sadar dari maksiat mereka dengan musibah yang menimpa. Mereka malah melakukan praktik-praktik kesyirikan, membuat sesajen penolak bala yang dipersembahkan kepada roh-roh penguasa laut, penguasa gunung, penguasa darat, dan sebagainya. Na’udzubillah min dzalik!!!
Sehubungan dengan momentum Ramadhan sebagai bulan untuk menambah iman dan takwa, serta terkait dengan banyaknya musibah yang menimpa negeri ini, bagus sekali untuk kita nukilkan nasihat dari Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkenaan dengan musibah yang menimpa anak Adam, khususnya gempa bumi1. Mudah-mudahan nasehat ini bisa menjadi renungan bagi anak negeri ini.
Beliau rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Memiliki hikmah Maha Mengetahui terhadap apa yang Dia putuskan dan tetapkan, sebagaimana Dia Maha Memiliki Hikmah lagi Maha Mengetahui dalam apa yang Dia syariatkan dan perintahkan. Dia menciptakan apa yang diinginkan-Nya berupa tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dia tetapkan hal itu untuk menakut-nakuti hamba-Nya dan mengingatkan mereka tentang hak-Nya dan memperingatkan mereka dari kesyirikan, penyelisihan terhadap perintah-Nya dan melakukan larangan-Nya.”
Selanjutnya beliau menyatakan: “Tidaklah diragukan bahwa gempa yang terjadi pada hari-hari ini di banyak tempat/negeri merupakan sejumlah tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta'ala hendak menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Seluruh musibah gempa yang terjadi dan perkara lainnya yang membuat kemudharatan para hamba dan menyebabkan gangguan bagi mereka, adalah disebabkan kesyirikan dan maksiat.”
“Tidaklah satu kebaikan menimpamu melainkan itu dari Allah dan tidaklah satu kejelekan menimpamu melainkan karena ulah dirimu sendiri.” (An-Nisa`: 79)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata: “Yang wajib dilakukan oleh seluruh muslimin adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, istiqamah di atas agamanya dan berhati-hati dari seluruh perkara yang dilarang berupa syirik dan maksiat. Sehingga mereka memperoleh pengampunan, kelapangan, keselamatan di dunia dan di akhirat dari seluruh kejelekan, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menolak dari mereka seluruh musibah, lalu menganugerahkan kepada mereka setiap kebaikan. Sebagaimana Ia berfirman:

Seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa niscaya Kami bukakan bagi mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka malah mendustakan maka Kami pun menyiksa mereka disebabkan apa yang dulunya mereka upayakan.” (Al-A’raf: 96)
Kemudian Syaikh menukilkan ucapan Al-’Allamah Ibnul Qayyim rahimahullahu: “Di sebagian waktu Allah Subhanahu wa Ta'ala mengizinkan bumi untuk bernapas panjang. Ketika itu terjadilah gempa/goncangan yang besar, sehingga menimbulkan ketakutan pada hamba-hamba-Nya, lalu mereka kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mencabut diri dari maksiat, tunduk patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menyesali diri, sebagaimana ucapan sebagian salaf ketika terjadi gempa bumi: ‘Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian.’ Ketika terjadi gempa di kota Madinah, ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu berkhutbah dan memberi nasehat kepada penduduk Madinah dan beliau berkata: ‘Kalau gempa ini terjadi lagi, aku tidak akan tinggal bersama kalian di Madinah ini.’

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menasehatkan: “Ketika terjadi gempa bumi dan tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala lainnya, gerhana, angin kencang dan banjir, yang wajib dilakukan adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tunduk menghinakan diri kepada-Nya dan memohon maaf/kelapangan-Nya serta memperbanyak mengingat-Nya dan istighfar pada-Nya. Sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika terjadi gerhana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Apabila kalian melihat gerhana maka berlindunglah kalian dengan zikir/mengingat Allah, berdoa kepada-Nya dan istighfar.”
Disenangi pula untuk memberikan kasih sayang kepada fakir miskin dan bersedekah kepada mereka dengan dalil sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

Orang-orang yang menyayangi (memiliki sifat rahmah) akan dirahmati oleh Ar-Rahman. Sayangilah orang yang ada di bumi niscaya Yang di langit akan merahmati kalian.”2


Siapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi/dirahmati.”3

Diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu bahwa beliau mengirim surat kepada gubernur-gubernurnya ketika terjadi gempa agar mereka bersedekah.
Termasuk sebab kelapangan dan keselamatan dari semua kejelekan adalah agar pemerintah bersegera mengambil tangan rakyatnya dan mengharuskan mereka untuk berpegang dengan kebenaran dan menjalankan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala pada mereka serta amar ma’ruf nahi mungkar. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
Kaum mukminin dan mukminat sebagian mereka adalah wali/kekasih bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan dirahmati Allah.” (At-Taubah: 71)

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:“Siapa yang melepaskan seorang mukmin dari satu bencana/kesulitan dunia niscaya Allah akan melepaskannya dari satu bencana di hari kiamat. Siapa yang memberi kemudahan bagi orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutup kejelekan/cacat seorang muslim, Allah pun akan menutup cacatnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.”4
Demikian nasehat dari Asy-Syaikh Ibnu Baz –semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan melapangkan beliau di kuburnya, amin–. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati penduduk negeri ini dan menghilangkan musibah dari mereka serta memberi taufik kepada mereka agar bertaubat dan kembali kepada agama-Nya yang benar. Semoga penduduk negeri ini mengambil pelajaran yang berharga di bulan mubarak ini, bulan Ramadhan nan penuh keberkahan, menambah iman dan takwa mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala hingga mereka menjadi , orang-orang yang dibebaskan dari api neraka. Allahumma amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Dinukil secara ringkas dari kitab Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 9/148-152.
2 HR. At-Tirmidzi no. 1924, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 922
3 HR. Al-Bukhari no. 7376
4 HR. Muslim no. 6793

BOLEHKAH BUANG AIR KECIL [KENCING] BERDIRI

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam melarang buang air kecil sambil berdiri sebagaimana diriwayatkan oleh sayyidah Aisyah. Tetapi kemudian beliau buang air kecil sambil berdiri, bagaimana mengkompromikannya ?"

Jawaban.
Riwayat bahwa beliau melarang kencing sambil berdiri tidak shahih. Baik riwayat Aisyah ataupun yang lain.

Disebutkan dalam sunan Ibnu Majah dari hadits Umar, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :

"Artinya : Janganlah engkau kencing berdiri".

Hadits ini lemah sekali. Adapun hadits Aisyah, yang disebut-sebut dalam pertanyaan tadi sama sekali tidak berisi larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri. Hadits tersebut hanya menyatakan bahwa Aisyah belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri.

Kata Aisyah Radhiyallahu 'anha.

"Artinya : Barangsiapa yang mengatakan pada kalian bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah buang air kecil sambil berdiri maka janganlah kalian membenarkannya (mempercayainya)".

Apa yang dikatakan oleh Aisyah tentu saja berdasarkan atas apa yang beliau ketahui saja.

Disebutkan dalam shahihain dari hadits Hudzaifah bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati tempat sampah suatu kaum, kemudian buang air kecil sambil berdiri.

Dalam kasus-kasus seperti ini ulama fiqih berkata : "Jika bertentangan dua nash ; yang satu menetapkan dan yang lain menafikan, maka yang menetapkan didahulukan daripada yang menafikan, karena ia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh pihak yang menafikan.

Jadi bagaimana hukum kencing sambil berdiri ?

Tidak ada aturan dalam syari'at tentang mana yang lebih utama kencing sambil berdiri atau duduk, yang harus diperhatikan oleh orang yang buang hajat hanyalah bagaimana caranya agar dia tidak terkena cipratan kencingnya. Jadi tidak ada ketentuan syar'i, apakah berdiri atau duduk. Yang penting adalah seperti apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sabdakan.

"Maksudnya : Lakukanlah tata cara yang bisa menghindarkan kalian dari terkena cipratan kencing".

Dan kita belum mengetahui adakah shahabat yang meriwayatkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri (selain hadits Hudzaifah tadi, -pent-). Tapi ini bukan berarti bahwa beliau tidak pernah buang air kecil (sambil berdiri, -pent-) kecuali pada kejadian tersebut.

Sebab tidak lazim ada seorang shahabat mengikuti beliau ketika beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam buang air kecil. Kami berpegang dengan hadits Hudzaifah bahwa beliau pernah buang air kecil sambil berdiri akan tetapi kami tidak menafikan bahwa beliaupun mungkin pernah buang air kecil dengan cara lain.

[Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]


BOLEHKAH BUANG AIR KECIL SAMBIL BERDIRI?

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bolehkah seseorang buang air kecil sambil berdiri ? Perlu diketahui bahwa tidak ada bagian dari tubuh atau pakaian yang terkena najis tersebut ?

Jawaban
Boleh saja buang air kecil sambil berdiri, terutama sekali bila memang diperlukan, selama tempatnya tertetutup dan tidak ada orang yang dapat melihat auratnya, dan tidak ada bagian tubuhnya yang terciprati air seninya. Dasarnya adalah riwayat dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm pernah menuju sebuah tempat sampah milik sekelompok orang, lalu beliau buang air kecil sambil berdiri. Hadits ini disepakati keshahihannya. Akan tetapi yang afdhal tetap buang air kecil dengan duduk. Karena itulah yang lebih sering dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, selain juga lebih dapat menutupi aurat dan lebih jarang terkena cipratan air seni.

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal edisi Indonesia Fatawa bin Baaz I, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerjemah Abu Umar Abdullah, Penerbit At-Tibyan – Solo]


HUKUM TEMPAT KENCING YANG BERGANTUNG


Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Di tempat kami bekerja ada tempat kencing yang bergantung. Sebagian teman menggunakannya dengan memakai celana panjang dan kencing sambil berdiri yang tidak menjamin bahwa air urine tidak mengenai celana panjang. Pada suatu hari saya memberi nasehat kepadanya, ia menjawab “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melarang hal tersebut”. Saya mohon nasehat dan petunjuk.

Jawaban
Boleh bagi seseorang kencing sambil berdiri, apabila bisa terjaga dari percikan air kencing ke badan dan pakaiannya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri si suatu saat [1]. Terutama apabila hal tersebut sangat dibutuhkan karena sempitnya pakaiannya atau karena ada penyakit di tubuhnya, namun hukumnya makruh kalau tidak ada kebutuhan.

[Kitab Ad-Da’wah 8, Alu Fauzan 3/46]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Ath-Thaharah 224 dan Muslim dalam Ath-Thaharah 273

BAGAIMANA SEMESTINYA ANDA BERGAUL DENGAN TETANGGA YANG BUKAN MUSLIM, SUNNI DAN TAAT

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi

Jika tetanggamu seorang muslim, sunni dan taat, maka wajib bagimu memenuhi seluruh hak-haknya yang telah (kita) lewati penjelasannya.

Adapun [1] jika tetangga tersebut suka berbuat dosa besar, adakalanya dia berbuat secara sembunyi-sembunyi dan menutup pintunya, maka berpalinglah dan jangan pedulikan. Bila mampu menasehati dan memperingatkannya secara rahasia-rahasia, maka ini lebih baik lagi.

Tetapi jika dia terang-terangan dengan perbuatan fasiknya, seperti penarik bea (tukang pungut liar, -ed) atau pelaku riba, maka jauhilah ia dengan cara yang baik.

Begitu pula jika dia sering meninggalkan shalat, maka perintahkanlah dia dengan cara yang baik dan cegahlah dia dari perbuatan mugkar berulang-ulang. Kalau tidak mau menerima, maka jauhilah ia karena Allah. Barangkali dengan cara dijauhi, dia akan kembali dan dapat mengambil manfaat. Tetapi tanpa memutus pembicaraan, salam dan hadiahmu terhadapnya.

Dan jika engkau melihat dia melampui batas dan membangkang serta jauh dari kebaikan, maka berpalinglah darinya dan berusahalah untuk berpindah dari sampingnya [2] bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung dari tetangga yang jelek di daerah tempat tinggal.

Kalau tetangganya seorang dayyuts (suka membiarkan keluarganya melakukan maksiat, ed) atau sedikit rasa cemburunya, atau istrinya tidak berada di atas jalan yang lurus, maka berpindahlah daripadanya. Atau bersungguh-sungguhlah agar mereka tidak mengganggu istrimu. Karena dalam perkara tersebut ada kerusakan yang besar. Dan khawatirlah kamu atas jiwamu yang perlu dikasihani. Jangan kamu masuki rumahnya dan putuskan hubungan kasih sayang sebisa mungkin...

Kalau kamu tidak mau menerima nasehat dariku, barangkali pada dirimu ada hawa nafsu dan rasa tamak. Serta engkau telah terkalahkan oleh nafsumu, anakmu, pembantumu atau saudara perempuannmu.

Dan jika kamu berkeinginan untuk memaksa mereka pindah dari sampingmu, maka lakukan dengan lembut, dengan bujukan dan dengan ancaman.

Kalau tetanggamu seorang Rafidhah atau pelaku kebid'ahan yang besar, jika kamu mampu untuk mendidik dan menunjukinya, maka lakukan semaksimal mungkin.

Jika tidak mampu, maka menghindarlah darinya, janganlah kamu berkasih-sayang dan bersahabat dengannya, serta janganlah kamu menjadi teman dan mitra baginya.

Dan kalau tetanggamu seorang Yahudi atau Nasharani baik di rumah, di pasar atau di kebun, maka bertetanggalah dengan baik [3] dan janganlah kamu mengganggunya.

Adapun orang yang kebiasaannya memenuhi undangan mereka, berteman dengan mereka dan bersikap toleransi terhadap mereka [4], maka sesungguhnya imannya sudah tipis. Karena Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari pada-Nya" [Al-Mujadilah : 22]

Kalau dia disamping sebagai tetangga juga sebagai kerabatmu, atau berhubungan rahim denganmu, maka haknya lebih kuat lagi.

Demikian pula jika salah seorang dari orang tuamu seorang dzimmi (kafir tapi tidak memerangi Islam), maka sesungguhnya bagi kedua orang tua dan hubungan rahim mempunyai hak yang berada di atas hak-hak tetangga. Maka berilah setiap orang yang mempunyai hak sesuai dengan proporsinya.

Begitu pula menjawab salam. Janganlah kamu mendahului salah seorang dari mereka [5] dengan mengucapkan salam. Tetapi jika salah seorang dari mereka mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah dengan 'Wa 'alaykum' (Dan untuk kamu juga) [6].

Adapun ucapan :"Selamat pagi" dan "Selamat sore", maka ini tidak mengapa. Asalkan di dalam menjawab tidak berlebihan dan melampui batas.

Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : ... maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang mukmin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir" [Al-Maidah : 54]

Maka seorang mukmin harus bersikap tawadhu' terhadap sesama kaum mukminin dan merendahkan diri kepada mereka. Keras kepada orang-orang kafir dan tidak mengaku-aku dirinya sesat kepada mereka, demi mengagungkan kehormatan Islam dan memuliakan agama, tanpa menyakiti mereka. Serta tidak mencintai mereka sebagaimana cintanya kepada seorang muslim.

[Disalin dari buku Etika Bertetangga karya Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, alih bahasa Arif Mufid MF, bab Bagaimana (semestinya) anda bergaul dengan tetangga yang bukan Muslim, sunni dan Taat, hal. 37 - 41, terbitan Yayasan Al-Madinah - Surakarta]
_________
Foot Note.
[1]. Dari sini dinukil secara ringkas dari buku Haqqu al-Jaar (46-49), karya Al-Imam Adz-Dzahabi.
[2]. Berlindung (kepada Allah) Dari Tetangga Yang Jelek.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a.

"Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari tetangga jelek di daerah tempat tinggal. Karena seseungguhnya tetangga orang-orang Badui selalu berpindah-pindah".

[Hadits Shahih, telah saya takhrij dalam ta'liq saya terhadap At-Tuhfah An-Nadhiyyah bi Syarh Al-Lamiyyah Al-Wardiyyah (bait : 57) karya Al-Ghazali, dan masih dicetak]

[3]. Dan diperbolehkan menjengungknya tatkala sakit. Adapun tatkala mati maka tida boleh berbela sungkawa. berdasarkan hadits Ali radhiyallahu anhu. tatkala bapaknya -Abu Thalib- meninggal dunia, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda kepadanya : "Artinya : Pergi, dan timbunlah ia". Maka Ali tidak berbela sungakawa. (Diriwayatkan oleh Ahmad (807) dan (759), Abu Dawud (3214) dan Nasa'i (1/110) dari dua jalan dari Ali dengan sanad yang shahih. Lihat Talkhis al-Habir (2/114).
[4]. Seperti mendatangi hari-hari raya mereka dengan mengucapkan selamat hari raya kepada mereka. Hal ini tidak diperbolehkan. Karena dalam perbuatan tersebut tersirat pengakuan atas perubahan-perubahan yang terjadi pada agama mereka. Dan tidak samar lagi bahwa hari-hari raya mereka adalah bagian dari agama mereka.
[5]. Yaitu orang Yahudi dan Nashrani
[6]. Lihat Silsilah al-Hadits ash-Shahihah (2/324-330)

Ahad, 08 Oktober 2006 - 04:38:07, Penulis : Fatwa Al-’Allamah Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah

Kategori : Kajian Khusus

MENYIKAPI KRISIS LIBANON: KAUM MUSLIMIN WAJIB KEMBALI KEPADA AGAMANYA
[Print View] [kirim ke Teman]

Pada masa ini telah banyak kejadian mengerikan yang menimpa kaum muslimin, disebabkan serangan dari musuh-musuh Allah dari segala arah. Perang di Afghanistan, perang di Irak, perang di Palestina, perang di Libanon. Namun yang kita dengar dan yang kita baca dari para penulis berita, semua hujatan ditumpahkan kepada musuh-musuh Allah tersebut. Yakni dengan menyatakan kekejian perbuatan mereka dan mengecam apa yang mereka perbuat.
Tentu hal ini adalah perkara yang tidak diragukan lagi. Namun apakah musuh yang kafir tersebut akan menahan diri dari perbuatannya dengan berbagai kecaman tersebut? Orang-orang kafir, sejak dulu kala selalu menghendaki agar Islam dihapuskan dari permukaan (bumi). Sebagaimana firman Allah:

Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.” (Al-Baqarah: 217)

Namun permasalahannya, apa yang telah disiapkan oleh kaum muslimin untuk menghadapi mereka dan mencegah sikap brutal mereka? Sesungguhnya yang wajib atas mereka (di antaranya):

1. Melihat kenyataan kaum muslimin dalam pengamalan agamanya. Sesungguhnya apa yang menimpa kaum muslimin hanyalah karena mereka melalaikan agamanya. Dalam sebuah atsar disebutkan: “Jika orang yang mengenal-Ku berbuat maksiat kepada-Ku, maka Aku akan menjadikan orang yang tidak mengenal-Ku untuk menguasainya.”
Apa yang telah menimpa Bani Israil di saat mereka meninggalkan agama mereka dan membuat kerusakan di muka bumi? Allah menjadikan orang-orang kafir Majusi menguasai mereka sehingga merekapun memporak-porandakan isi kampung mereka, sebagaimana yang Allah sebutkan di awal surat Al-Isra`. Dan Allah mengancam mereka apabila tetap dalam keadaan demikian, Allah akan kembalikan kesengsaraan tersebut kepada mereka.
Maka kita harus mengoreksi kondisi kita, lantas mengoreksi apakah ada kekeliruan dalam menjalankan agama kita? Sebab ketetapan dari Allah (Sunnatullah) tidaklah berubah. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Ar-Ra’d: 11)

2. Hendaklah kita melakukan persiapan untuk menghadapi musuh kita, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu mampu dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (Al-Anfal: 60)
Yaitu dengan cara pembentukan pasukan dan persenjataan yang layak dan kekuatan yang dapat menaklukkan mereka.

3. Menyatukan kalimat kaum muslimin di atas aqidah, tauhid dan menegakkan hukum syariat, serta komitmen terhadap Islam dalam setiap perkara kita, baik dalam perkara muamalah, akhlak, berhukum dengan Kitabullah (Al-Qur‘an), melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar disertai mengajak kepada jalan Allah dengan ilmu dan penjelasan serta ikhlas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Dan firman-Nya:
Janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)
Tidaklah mungkin terjadi persatuan bila berbeda dalam hal aqidah dan berbeda pula dalam maksud dan tujuan. Sampai aqidahnya benar dan tujuan disatukan, yaitu untuk menolong kebenaran dan untuk meninggikan kalimat Allah. Alangkah baiknya jika para khatib, para pemberi nasehat mengkonsentrasikan khutbah dan nasehat mereka dalam perkara-perkara ini. Di samping juga mengecam perbuatan musuh yang melampaui batas, menjelaskan tujuan-tujuan busuk mereka.
Sesungguhnya musuh Allah tersebut tidaklah memaksudkan untuk melemahkan kaum muslimin dan merampas kekayaan mereka saja. Namun maksud utama mereka adalah merusak aqidah kaum muslimin dan memalingkannya dari agama mereka, sampai mereka berhasil mengikis habis hingga ke akar-akarnya. Ini yang ingin aku peringatkan berkenaan tentang menyikapi krisis yang menimpa ini.
Allah senantiasa mengatakan kebenaran dan membimbing ke jalan yang lurus. Shalawat serta salam Allah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabatnya.
(Ditranskrip oleh Al-Akh Ahmad Diwani dalam situs Sahab. URL sumber situs http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=337224, diterjemahkan oleh Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi. Asy-Syariah mengambilnya dari website salafy.or.id)

Ahad, 08 Oktober 2006 - 04:39:56, Penulis : Fatwa Al-‘Allamah Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali

Kategori : Kajian Khusus

RAFIDLAH LEBIH BERBAHAYA DARI PADA YAHUDI
[Print View] [kirim ke Teman]

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali ditanya: “Apa pendapat Anda wahai Syaikh yang mulia, tentang berbagai keadaan genting (krisis) di Lebanon, Irak, Palestina? Jazakumullah khairan (semoga Allah membalas dengan kebaikan).”

Beliau menjawab:
“Demi Allah, kami berpandangan bahwa amalan jihad tetap tegak sampai hari kiamat dan merupakan perkara yang wajib dilakukan umat ini. Namun umat (Islam) kini telah melalaikan banyak perkara agama, di antaranya adalah jihad itu sendiri, sehingga Allah memberikan kekuatan kepada musuh-musuh untuk menguasai mereka.
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah1 dan kalian mengambil ekor-ekor sapi serta kalian senang dengan bercocok tanam dan kalian meninggalkan jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala –bukan di atas jalan kaum Rafidhah (Syiah), jalannya orang-orang yang berbuat bid’ah dan khurafat– maka Allah akan mencampakkan kehinaan pada diri kalian. Dan Dia (Allah) tidak akan mencabut kehinaan itu sampai kalian kembali kepada agama kalian.”
Maka langkah yang paling awal menuju kemuliaan, keluar dari kehinaan dan kerendahan adalah kembali kepada agama Allah. Ini langkah pertama, bukannya kembali kepada agama kaum Rafidhah yang ekstrim, yang mengkafirkan para shahabat, lalu mengangkat bendera jihad!
Mereka tidak kembali kepada agama, namun justru memerangi agama dan orang-orang yang komitmen dengannya! Bagaimana mungkin ini akan mendapatkan pertolongan!? Mungkinkah ini dikatakan sebagai jihad di jalan Allah?!
Terkadang seseorang terbunuh dalam berjihad, namun dia masuk neraka karena dia tidak melakukannya dengan niat untuk menegakkan kalimat Allah Tabaraka wa Ta’ala.
“Barangsiapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka itulah fi sabilillah.”
“Ada orang yang berperang karena modal keberanian semata, ada orang yang berperang karena semangat saja, ada yang berperang karena untuk mendapatkan pujian di manusia, yang manakah di jalan Allah? Maka beliau menjawab: ‘Barangsiapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka itulah fi sabilillah (di jalan Allah)’.”
Karenanya, sebelum melakukan segala sesuatu, kaum muslimin wajib membenahi berbagai keadaan mereka dan kembali kepada agama yang telah dibawa oleh Muhammad Shallallau ‘alaihi wa sallam. Serta kembali di atas petunjuk orang-orang yang telah bersungguh-sungguh dalam menyebarkan agama ini, yaitu para shahabat yang mulia, yang menyebarkan agama, berupa amalan-amalan yang shalih dan syi’ar-syi’ar Islam yang benar. Inilah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berjihad yaitu untuk meninggikan kalimat-Nya.
Sekarang saya bertanya kepada kalian: “Bendera yang ada di Lebanon, yaitu bendera yang diangkat oleh Hizbullah, apakah bendera itu berhak dikatakan bahwa itu merupakan bendera di jalan Allah?! Apakah dikatakan bahwa itu jihad di jalan Allah?! Sementara mereka (Hizbullah termasuk beragama Syi’ah Rafidhah, red) mengkafirkan para shahabat Muhammad n, mempermainkan Al-Qur’an dan mengubahnya, dengan perubahan yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi sekalipun!?
Kalian belum pernah membaca tentang kaum Rafidhah? Bagi siapa yang membaca tentangnya, dia akan mendapati bahwa mereka lebih parah dalam melakukan perubahan pada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dibandingkan kaum Yahudi dan Nashara. Demi Allah, kami ingin berjihad, namun dengan jihad yang benar. Maka wajib bagi umat ini untuk kembali kepada agamanya, kemudian setelah itu melakukan persiapan:

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu.” (Al-Anfal: 60)

Sekarang ini, kelompok Hizbullah berperang semenjak tiga pekan yang lalu, tidak ada yang terbunuh dari mereka melainkan hanya delapan orang. Sementara yang rakyat Libanon yang terbunuh hampir mencapai seribu orang! Dan yang terusir dari mereka berjumlah ribuan! Fasilitas umum mereka dihancurkan! Apakah ini yang dikatakan jihad yang sesuai dengan kehendak Allah?!

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjihad di Badr, di Uhud, di Khandaq dan di tempat lainnya, tidak satupun anak kecil yang terbunuh! Dan tidak satupun wanita yang terbunuh! Namun mereka ini (Hizbullah, red) berada dalam barisan para wanita dan anak-anak kecil, datanglah berbagai serangan yang diarahkan (oleh Yahudi kafir, red) kepada mereka yang patut dikasihani. Inikah jihad?!

Sekarang ini Yahudi telah menguasai daerah yang luas dan besar, ada duapuluh kampung di Lebanon. Apakah ini jihad? Apakah ini yang dimaksudkan? Apakah kita berjihad agar wanita dan anak-anak kaum muslimin dibunuh, yayasan-yayasan mereka dihancurkan?! Ini yang dikatakan hasil jihad itu?!
Inilah jihad ‘akrobatik’. Inilah adalah jihad model Rafidhah! Maka wajib bagi kaum muslimin untuk berfikir dan kembali kepada agama mereka, sebelum melakukan segala sesuatu. Setelah itu mereka berjihad dengan tujuan meninggikan kalimat Allah.

Sesungguhnya kita lebih mengimani tentang syariat jihad dibanding mereka ini yang merupakan para pendusta yang hanya pintar mengaku saja! Kami mengimaninya akan tetapi kami mengatakan kepada kaum muslimin: ‘Kembalilah kepada agama ini. Bekali diri kalian untuk persiapan jihad dan mendapat pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab kalian tidak mungkin mendapatkan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala jika tidak berperang dengan tujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan tidak berada di atas agama yang benar.’
Apa yang terjadi di Irak? Berapa banyak kaum muslimin telah dibunuh oleh kaum Rafidhah!? Lebih dari seratus ribu jiwa atau lebih yang mereka sembelih dari kalangan para wanita, anak-anak, mereka usir, merusak rumah-rumah, masjid-masjid dan menginjak-injak mushaf-mushaf Al-Qur`an! Dan berbagai kelakuan lainnya yang –demi Allah– tidak dilakukan oleh orang-orang Yahudi! Dan tatkala mereka melakukan berbagai tindakan kekejian ini semua, mereka lalu membuka front (di Libanon). Mereka menertawakan Ahlus Sunnah dan bergembira atas apa yang menimpa Ahlus Sunnah.
Apakah kalian menangisi Ahlus Sunnah dari penduduk Irak, dalam keadaan mereka disembelih, diusir, ratusan masjid-masjid mereka dirusak?! Mungkin mencapai seratus ribu jiwa atau lebih yang terbunuh dari mereka!
Apakah mereka (kaum Rafidhah) menangisi kematian kalian?! Apakah mereka mengangkat suara untuk kalian?! Sama sekali tidak, sama sekali tidak!
Maka tatkala orang Rafidhah –yang beraliran kebatinan ini– datang, banyak yang berpandangan bahwa dia mengangkat bendera jihad dan yang akan memimpin umat menuju kemuliaan dan pertolongan. Ini merupakan keberuntungan besar, di antara keberuntungan kaum Rafidhah! Sekarang ini umat Islam bersorak dan bertepuk tangan untuk mereka!!! Dan inilah yang diinginkan oleh kaum Rafidhah. Dia (pimpinan Hizbullah) ini sekarang, di mana panglima ini berada?!
(Ketahuilah), dia ada di tempat persembunyian. Dia dan kelompoknya ada di tempat persembunyiannya! Sementara kehancuran dan kebinasaan menimpa rakyat jelata Libanon! Penyembelihan (terhadap kaum muslimin Ahlus Sunnah) saja berlanjut di Irak! Darah kaum muslimin di Irak sangatlah murah, tidak sepantasnya disebut-sebut (dianggap berharga) menurut mereka!
Bahkan darah seluruh kaum muslimin dan harta mereka adalah halal menurut kaum Rafidhah, sebab mereka menganggapnya kafir! Inilah hukum yang mereka terapkan!
Lalu di mana kita meletakkan akal kita? Sekarang ini kebanyakan yang membimbing kaum muslimin adalah orang-orang yang jahil dan bodoh! Tokoh-tokoh yang jahil sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam! Orang jahil (bodoh) yang berpenampilan sebagai alim (pandai) dan tidak mengetahui hakekat Islam! Tidak mengetahui kekufuran dan perbuatan zindiq yang dimiliki kaum Rafidhah.
Telitilah kitab tafsir –dari kitab-kitab tafsir yang dimiliki Rafidhah– mulai dari surah Al-Fatihah, tentang perubahan yang mereka lakukan, yang orang Yahudi pun merasa malu darinya!
“Jalan yang lurus”, maknanya ‘Ali radhiallahu ‘anhu!
“Bukan jalan orang-orang yang dimurkai”, maknanya adalah jalan Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman radhiallahu ‘anhum!
“Alif Laam Mim. Itulah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”, makna orang-orang yang bertakwa adalah pengikut ‘Ali radhiallahu ‘anhu (maksudnya kaum Rafidhah)!
Dunia, akhirat, surga, semuanya milik ‘Ali radhiallahu ‘anhu dan para pengikutnya (maksudnya Rafidhah)!
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu”, mereka mengatakan: “Yang dimaksud nyamuk adalah Ali radhiallahu ‘anhu, sedangkan yang lebih rendah adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Yaitu ‘Ali radhiallahu ‘anhu kadang-kadang mereka anggap seperti nyamuk. Ini termasuk perbuatan zindiq dan cercaan mereka terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kadang-kadang mereka menganggap Ali radhiallahu ‘anhu sebagai binatang melata, yang melata di muka bumi. Dan dia sebagai bintang, sebagai matahari, dia adalah langit, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai buah Tin dan ‘Ali radhiallahu ‘anhu sebagai buah Zaitun, para imam (mereka) sebagai bukit Sinai. Ayat-ayat Al-Qur`an dan tanda-tanda kekuasaan alam seluruhnya yang dimaksud adalah para imam mereka!
Ayat-ayat kemunafikan, kekufuran, siksaan, ayat celaan dan ancaman, semuanya diterapkan kepada para shahabat. Abu Bakr radhiallahu ‘anhu disiksa dengan siksaan yang paling keras, seperti Iblis. Dan ‘Umar adalah setan, di tempat manapun disebutkan dalam Al-Qur`an.
Ayat-ayat tentang Hari Kebangkitan dan Hari Pembalasan, menurut mereka yang dimaksud adalah keluarnya sang penegak hukum (Imam Mahdi, pen)!
Berbagai macam penyelewengan yang tak terhitung banyaknya dalam Kitabullah! Dan berbagai kedustaan terhadap ‘Ali radhiallahu ‘anhu dan Ahlul Bait yang tak terhitung banyaknya!
Semua yang menjelaskan tanda kekuasaan maksudnya adalah Ahlul Bait. Tidaklah engkau membaca satu ayat pun dalam Al-Qur`an, baik ayat kauniyyah maupun ayat syar’iyyah, melainkan mereka selewengkan. Ayat-ayat tentang Tauhid mereka ubah menuju kepada kesesatan mereka!
Allah berfirman: “Janganlah kalian menjadikan dua sesembahan.” Ayat ini (sebenarnya) mengajak kepada Tauhid dan memberi peringatan dari kesyirikan. (Namun) mereka mengatakan: “Janganlah kalian mengangkat dua Imam!”
Ayat Tauhid mereka tidak jelaskan, bahkan menghindar darinya! Kalaupun mereka jelaskan, mereka mengubahnya. Mereka tidak menyisakan sesuatu dari ayat tersebut melainkan mereka mengubahnya!
Mereka adalah musuh-musuh Islam, cukuplah bagi mereka sejarah hitam mereka yang selalu bersama Yahudi dan Nashara. Merekalah yang membawa pasukan Tartar dan menyembelih puluhan ribu, bahkan mungkin sejuta atau bahkan lebih (kaum muslimin)! Merekalah yang meruntuhkan khilafah ‘Abbasiyyah! Dalam perang di Afghanistan, sebagai negara tetangga mereka, (kaum Syiah Rafidhah Iran) tidak ikut serta bersama kaum muslimin sedikitpun!!! Tidak di dalam Afghanistan dan tidak pula di luarnya. Amerika datang ke Afghanistan untuk menjatuhkan kekuasaan Taliban, maka mereka menjadi tameng terkuat bersama Amerika dalam memerangi kaum muslimin. Merekalah yang turut mendatangkan Amerika dan sekutunya ke Irak.
Mereka menambah kekuatan bersamanya untuk menyembelih kaum muslimin. Inikah Islam yang kita berjihad untuknya?
Kaum Rafidhah ini lebih berbahaya dari Yahudi dan Nashara. Dan apa yang menimpa kaum muslimin melalui tangan Rafidhah lebih berbahaya dari apa yang menimpa kaum muslimin melalui tangan Yahudi dan Nashara. Adapun mereka yang (tertipu), mereka disesatkan ataukah mereka orang-orang yang tidak mengetahui?!
Apakah ini pertolongan Allah? Apa yang telah dilakukan terhadap Ahlus Sunnah di Irak?! Apakah pernah engkau membimbing dengan satu ucapan untuk menasehati keluarga dan kaummu tentang kaum Rafidhah Bathiniyyah untuk menyeru agar mereka menahan diri (dari menyiksa) kaum muslimin?!
Demi Allah, saya yakin bahwa mereka tidaklah melakukan ini melainkan untuk mempermainkan kaum muslimin dan menertawakan mereka. Allah Maha Mengetahui apa tujuan mereka di belakang semua ini!
Jangan kalian membenarkan perselisihan mereka dengan Amerika! Ini semua dusta. Berapa banyak pembicaraan seputar pembuatan sel (instalasi) nuklir yang ada di Iran? Apakah tujuan mereka menyimpan bahan nuklir tersebut? Apakah untuk memerangi kaum Yahudi? Mereka pendusta!
Iran selalu menggembar-gemborkan hal ini semenjak 70 tahun yang lalu, sementara kaum muslimin memerangi Yahudi dalam berbagai peperangan. Sudah berapa banyak mereka (kaum muslimin) mengikuti peperangan, menyumbangkan harta, berperan serta, sementara Iran justru menghilang (tidak turun serta)!
Sekarang mereka bersorak dan menghendaki kaum muslimin memasuki pertempuran sedangkan mereka menghilang. Belum berhenti satu peperangan hingga dibuka kembali peperangan yang baru.
Perencanaan pembuatan sel (instalasi) nuklir tersebut tidaklah dipersiapkan melainkan untuk negara-negara Teluk! Kaum muslimin harus memahami hal ini. Perhatikanlah perkara-perkara ini! Apakah dengan seperti ini lalu aku menganggapnya sebagai jihad di jalan Allah? Sama sekali tidak! (Alasannya):
Pertama: Aqidah mereka jelas, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebagiannya.
Kedua: Jihad merekapun jelas, di mana mereka bersembunyi di gua-gua, menyusup di rumah-rumah dan gedung-gedung! Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui, mungkin saja mereka mengutus Yahudi untuk menyerang tempat tersebut! Saya tidak menganggap mustahil hal tersebut! Sadarlah kalian terhadap makar dan tipu daya kaum Rafidhah.
Demi Allah mereka menertawakan Ahlus Sunnah. Mereka memiliki orang-orang –di negeri Arab dan negeri-negeri Islam– yang bekerja untuk mereka guna menjembatani tersebarnya keyakinan Rafidhah di seluruh dunia Islam.
Sekarang dakwah mereka tersebar di dunia Islam. Di bagian Asia Timur mereka memiliki ma’had, sekolah, dan para da’i di negara-negara Afrika. Telah berlalu waktu di mana mereka tidak pernah bermimpi untuk mendapatkan ini semua. Hingga datangnya sebagian kelompok yang berkhianat, lalu membukakan jalan bagi mereka dan memberi kesempatan kepada mereka untuk menyebarkannya di dunia Islam.
Sekarang merekapun menertawakan kaum muslimin. Tangan mereka masih berlumuran darah kaum Muslimin di Irak. Bersamaan dengan itu, mereka ingin agar kita membantu mereka?!
Sementara musibah menimpa rakyat Lebanon dan rakyat Palestina. Lalu apa kerugian yang dialami kaum Rafidhah dalam semua peperangan ini?! (Tidak ada!! -pen)
Baik di Palestina, di Afghanistan dan selainnya, semenjak 70 tahun yang lalu hingga sekarang? Apa yang telah diperbuat oleh para pendusta ini?!”

(Fatwa ini dikutip dari ceramah Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali yang berjudul “Penghalang-penghalang dalam menuntut ilmu”, pada hari Jum’at dalam acara Daurah Al-Imam Abdul Aziz bin Baaz rahimahullahu di Tha`if, pada tanggal 10-7-1427 H, bertepatan dengan tanggal 4-8-2006 M di Masjid Raja Fahd rahimahullahu. Ditranskrip oleh Al-Akh Al-Fadhil Sulthan Al-Juhani, diterjemahkan oleh Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi) Sumber http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=337298. Dikutip dari http://www.darussalaf.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=310)

1 Salah satu praktek perdagangan yang dilakukan dengan cara riba

Ahad, 08 Oktober 2006 - 04:41:56, Penulis : Fatwa Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan, Ketua Majelis Qadha` Al-A’la (

Kategori : Kajian Khusus

TIDAK BOLEH MENYEBUT YAHUDI DENGAN ISRAEL
[Print View] [kirim ke Teman]

Syaikh, kami memliki beberapa pertanyaan. Kami minta izin kepada Anda untuk menyebarkannya.

Pertama, ada pertanyaan yang berbunyi:
“Kami mendengar di sebagian media adanya celaan kepada negeri kita ini (Saudi) dan pemerintahnya, khususnya di akhir-akhir ini. Hal ini terjadi setelah (kejadian) Israil menyerang Libanon. Beberapa komentar sangat kelewatan hingga mereka menjadikan negara Saudi, Israel dan Amerika adalah satu kelompok. Semuanya kafir dan saling berwala’ (berloyalitas). Apa komentar anda, sebab kami mengetahui bagaimana pemerintah kami mencintai Islam dan kaum Muslimin? (Pemerintah kami) juga mendakwahkan Islam yang benar lagi murni, bahkan di antara mereka (pemerintah) dan para ulama saling memberi nasihat dan musyawarah dalam agama.”

Beliau menjawab:
“Alangkah ngerinya apa yang keluar dari mulut mereka. Yang mereka ucapkan tidak lain adalah dusta. Tidak diragukan lagi bahwa kerajaan Saudi Arabia adalah yang menjadi target untuk disakiti oleh Amerika…
Bukankah mereka telah menyerang lembaga-lembaga amal dan bersemangat untuk menghentikan dan membekukan bantuan (kaum muslimin untuk muslimin). (Amerika) berlagak berbuat baik kepada kerajaan ini di harian-harian mereka yang terkenal. Semoga Allah merendahkan mereka dan menghancurkan berita-berita mereka.
Mereka (Amerika) ingin melecehkan ulama-ulama besar… Mereka menyatakan bahwa para ulama itu mendanai para teroris. Di antaranya sedekah yang diberikan kepada kaum muslimin yang lemah, yang diberikan oleh yayasan sosial.
(Maka) yang mengatakan bahwa Saudi bersama Yahudi dan Amerika, tidak lain hal itu diucapkan oleh orang yang di hatinya ada kedengkian terhadap aqidah ini dan para pemikulnya serta pembelanya. Kedengkian-kedengkian itu hanya akan menjerumuskan para pemiliknya kepada berbagai kehinaan dan kejelekan.
Tidak diragukan lagi, di dunia Islam tidak ada negara yang bisa memberikan bantuan melalui badan-badan dan lembaga-lembaga amal seperti yang dilakukan oleh negara ini. Baik secara pemerintahan atau pribadi.
Saya tidak suka kalau disebut “Israil (yang membantai -pent)”, sebab Israil adalah nama lain dari Nabi Allah, Ya’qub ‘alaihissalam.
Adapun mereka (yang membantai), adalah famili para babi dan monyet… (Yahudi).
Tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah Yahudi, tapi mereka bukan Israil. Tapi mereka menggunakan nama itu.
Kemudian nama ini juga tercela bagi umat ini, yakni untuk menyebut dirinya dengan negara Islam atau dakwah Islam atau menjadikan tandanya adalah Islam.
Negara Yahudi menamakan dirinya dengan Israil, yakni menurut dasar keyahudian.
Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang yang berakal di dunia ini, baik Nashrani di Barat maupun orang kafir di Timur, pasti tahu bahwa Amerika sangat gigih untuk melecehkan dunia Islam. Akan tetapi –tentu saja– Saudi-lah target utama mereka.
Alhamdulillah, karena kita berpegang teguh kepada agama kita yang benar dan kita menggigitnya –dengan gigi geraham kita– secara jujur serta mengikhlaskan amal kita untuk Allah, maka Allah menolong hamba-hamba-Nya yang beriman. Dan tidak ada penyebab terlambat datangnya pertolongan Allah melainkan karena para hamba menyia-nyiakan agama mereka.
Kita mohon kepada Allah agar menampakkan (hukuman) –dengan segera tanpa ditunda– terhadap Amerika yang akan membahagiakan kaum mukminin… Silahkan.”
Penanya: “Jazakallahu khairan, Syaikh.”

Ada yang bertanya:
Yang kami hormati Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan, semoga Allah menjagamu dan menuntunmu. Tidak diragukan lagi bahwa Anda juga mengetahui kenyataan pahit yang dialami kaum muslimin di dunia Islam yang mana terjadi berbagai fitnah dan peperangan. Khususnya peperangan yang terjadi antara Yahudi dan kelompok Hizbullah yang merupakan kelompok Syi’ah di Libanon. Apa sikap seorang muslim terhadap peperangan ini? Sebab kita mendengar adanya ajakan untuk berjihad bersama mereka dan mendoakan kemenangan untuk mereka ketika qunut. Kaum muslimin menjadi bingung dalam hal ini. Apa pengarahan dari Anda?”

Beliau menjawab:
“Tidak diragukan lagi bahwa kelompok yang menamakan dirinya dengan Hizbullah (kelompok Allah -pent) adalah Hizbur Rafidhah (kelompok Rafidhah/Syi’ah). Dan Rafidhah telah diketahui (kesesatannya -pent) dan telah diketahui (sesatnya) manhaj (metode) mereka. Mereka hakekatnya menganggap mayoritas Ahlus Sunnah… (bahwa) semua Ahlus Sunnah adalah orang kafir. Ini adalah hal yang tidak samar bagi orang yang menelaah buku-buku mereka.

Kita berlindung kepada Allah agar jangan sampai kita menolong, membela, dan membantu mereka yang itu akan membuat mereka semakin kuat. Mereka bagian dari Iran. Tidak ragu lagi (benarnya -pent) ucapan pemimpin Mesir: “Sesungguhnya Syi’ah yang ada di negara ini dengan yang di Iran sama saja. Sebab, kecenderungan dan loyalitas mereka kepada Iran.”

Namun, bila masyarakat tertimpa musibah hendaknya segera memperbaikinya menurut cara yang sesuai (syariat) dan bisa memperbaiki musibah itu.

Adapun apa yang menimpa Libanon secara umum, kalau tidak bisa dikatakan semua, dalangnya adalah kelompok ini. Mereka yang menamakan dirinya dengan kelompok Allah (Hizbullah), sebenarnya mereka adalah Hizbusy Syaithan (kelompok/partai Setan)! Sekian.”

(Fatwa ini adalah kutipan fatwa suara Asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan ketika menjawab dua pertanyaan saat Daurah Al-Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu. Lantas situs Ar-Radd mentranskripnya dan menyebarkannya di situsnya serta dikutip di Sahab.net. URL sumber http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=337317. Fatwa ini diterjemahkan oleh Abu Mu’awiyah M. Ali bin Ismail Al-Medani. Asy-Syariah mengambilnya dari website salafy.or.id)

Hukum Bercampurnya kaum Wanita Dengan Kaum Laki-Laki

Tanya :
Apakah hukum bercampurnya kaum laki-laki dan kaum wanita, dalam diskusi dan tukar pikiran dalam masalah agama ?

Jawab :
Bercampurnya kaum laki-laki dengan kaum perempuan adalah sebagian dari hal-hal yang sangat berbahaya, dan dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Ibrahim telah mengeluarkan suatu fatwa yang bunyinya sebagai berikut :

Pertama : bercampurnya kaum perempuan dengan muhrimnya dari kaum laki-laki ( orang-orang yang tidak boleh ia nikahkan selama-lamanya, seperti ayah, saudara seibu, atau seibu-sebapak dll. pent ) adalah hal yang tidak ada perselisihan dalam kebolehannya.

Kedua : bercampurnya kaum perempuan dengan kaum laki-laki asing ( kaum laki-laki yang boleh dia menikah dengannya. Pent. ) untuk maksud yang diharamkan syari'at adalah tidak ada perbedaan dalam keharamannya.

Ketiga : bercampurnya kaum wanita dengan kaum laki-laki di tempat-tempat menuntut ilmu, toko-toko, kantor-kantor, rumah sakit, tempat-tempat pesta dan lain sebagainya, maka penanya menyangka pertama kali bahwa hal yang sedemikian itu tidak akan menimbulkan fitnah dari dua jenis manusia itu, oleh karena itu untuk menjelaskan hakekat permasalahan ini, kami akan menjawab pertanyaan di atas secara global dan terperinci :

Adapun secara global, maka Allah telah menciptakan kaum lelaki atas kekuatan dan kecondongannya kepada kaum wanita, dan menciptakan kaum wanita berdasarkan kecondongannya kepada kaum laki-laki bersamaan dengan kelemahan dan kelembutannya, maka jika terjadi ikhthilath ( bercampur antara kaum laki-laki dan kaum wanita ) maka akan timbul sesuatu yang akan mengarahkan kepada akibat yang buruk, karena diri manusia selalu memerintahkan kepada hal yang buruk dan hawa nafsu dapat membuat orang buta dan tidak mau mendengar, sedang setan selalu memerintahkan kepada hal yang keji dan mungkar. Adapun jawaban secara rinci adalah sebagai berikut :

Syari'at Islam menghukumi sesuatu pekerjaan berdasarkan tujuan dan sarananya, dan sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu, sama hukumnya dengan hukum tujuan tersebut. Kaum wanita adalah tempat pemenuhan kebutuhan kaum laki-laki, dan

Syari' telah menutup segala pintu yang mencapaikan kepada ketergantungan setiap kaum laki-laki dan kaum wanita dengan lainnya, hal yang sedemikian itu dapat dilihat dengan jelas dari dalil-dalil yang kami sebutkan dibawah ini :

Allah berfirman : ( Dan wanita ( Zulaikha ) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata : " marilah ke sini." Yusuf berkata : " aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan beruntung. Q.S.12 : 23. Dalil dari ayat ini adalah : bahwa ketika terjadi percampuran antara istri pembesar Mesir dan Nabi Yusuf shallallahu 'alaihi wasallam tampak dari wanita itu apa yang terpendam dalam hatinya dan meminta kepada Yusuf shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengikuti hasratnya itu, namun rahmat Allah mendahuluinya lalu Allah memeliharanya dari ajakan wanita tersebut, sebagaimana Allah berfirman : ( Maka Tuhannya memperkenankan do'a Yusuf, dan Dia mengindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.) Q.S.12 : 34.

Dan demikian juga, jika terjadi percampuran antara kaum laki-laki dan kaum wanita, maka setiap dari dua jenis manusia ini akan memilih pasangan yang dimauinya dan mengeluarkan segala upaya untuk mencapai hal itu. Allah memerintahkan kaum laki-laki dan kaum wanita untuk menahan pandangannya, sebagaimana Allah firmankan : ( katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman agar menahan pandangan mereka ) Q.S.24: 30-31.

Pengertian ayat di atas bahwa Allah memerintahkan kaum mu'minin dan mu'minat untuk menahan pandangan mereka dan perintah wajib dilaksanakan, kemudian Allah menerangkan bahwa hal yang sedemikian itu lebih suci dan bersih untuk hamba-hambanya, dan Syari' tidak memaafkan kecuali pandangan yang tiba-tiba, Hakim meriwayatkan dalam Mustadraknya dari Ali radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya : hai Ali, jangan kamu ikuti penglihatan dengan penglihatan, bagi kamu penglihatan yang pertama dan penglihatan yang kedua bukan bagi kamu. ( maksudnya, penglihatan yang pertama yang tiba-tiba, tidak disengaja, maka yang sedemikian itu tidak dosa, dan penglihatan yang selanjutnya adalah berdosa. Pent. )

Hakim berkata : hadits ini shahih sesuai dengan syarat-syarat hadits muslim tapi dia tidak meriwayatkannya, dan hal ini disepakati oleh Dzahabi dalam kitab Talkhishnya, dan ada beberapa hadits yang semakna dengan hadits ini. Dan Allah memerintahkan menahan penglihatan karena melihat hal yang diharamkan adalah zina, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : kedua mata zinanya adalah penglihatan, perbuatan zina kedua telinga adalah mendengarkan, zina lisan adalah perkataan, zina tangan adalah tidakan dan zina kaki adalah melangkah. HR.Muttafatwa 'alaih dan lafadz ini dikeluarkan oleh Muslim.

Penglihatan termasuk zina karena dengan penglihatan itu seseorang dapat menikmati kecantikan wanita dan meninggalkan bekas di hati yang melihatnya, setelah itu dia berusaha untuk melakukan perbuatan keji dengannya, oleh karena itu jika Syari' melarang melihat karena penglihatan itu dapat menyeret kepada kerusakan, dan penglihatan itu pasti terjadi pada saat bercampur ( ikhthilath ), maka bercampur itu ( ikhthilath ) dilarang karena dia merupakan sarana yang menjerumuskan kepada hal-hal yang tidak terpuji, yaitu menikmati wanita dengan penglihatan dan berusaha untuk berbuat yang lebih jelek dari penglihatan itu sendiri. Dalil-dalil yang telah disebut terdahulu tentang bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, dan wajib menutupinya dari pandangan orang lain, karena membuka aurat itu atau sebagiannya akan menarik penglihatan kaum laki-laki, dan melihat kepadanya membuat hati tergantung dengannya, kemudian dia akan melakukan usaha-usaha untuk mencapai hasratnya itu, begitu juga dengan ikhthilath. ( ikhthilath akan menimbulkan hal yang sama. Pent. )

Allah berfirman : ( dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. )Q.S.24 : 31. Pengertian ayat ini bahwa Allah melarang kaum wanita memukulkan kaki mereka supaya tidak menjadi sebab didengarnya suara perhiasan itu oleh kaum laki-laki yang dapat membangkitkan syahwat kaum laki-laki kepada mereka, begitu juga ikhthilath dilarang karena dapat menimbulkan kerusakan. ( perbuatan zina. Pent. ) Allah berfirman : ( Dia mengetahui pandangan mata yang berkhianat, dan apa yang disembunyikan oleh hati ) Q.S. 40 : 19.

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu menafsirkan ayat ini yaitu laki-laki yang masuk ke suatu rumah dan diantara mereka ada wanita yang cantik dan wanita itu lewat di hadapannya, jika penghuni rumah itu sedang lalai ( tidak memperhatikan laki-laki itu ) maka laki-laki itu melirik atau memandang wanita itu, dan jika mereka mengetahuinya ia buru-buru menahan pandangannya, dan jika penghuni rumah itu sedang lalai ( tidak memperhatikan laki-laki itu ) maka laki-laki itu melirik atau memandang wanita itu, dan jika mereka mengetahuinya ia buru-buru menahan pandangannya, dan Allah mengetahui apa yang ada di hati laki-laki tersebut, dan sungguh dia itu ingin jika dapat melihat kemaluan wanita itu dan mampu untuk mengusainya niscaya dia akan berzina dengannya. Ayat di atas mengandung pengertian bahwa mata yang suka mencuri pandang kepada hal yang tidak boleh dipandang oleh mata tersebut dari badan wanita, Allah menyipati mata tersebut dengan menyatakan bahwa mata itu adalah berkhianat, dan tentunya ikhthilath itu akan menyebabkan lebih besar dari pandangan itu sendiri. Bahwa Allah memerintahkan kaum wanita agar menetap di rumah mereka, Allah berfirman Q.S.33 : 33.

Pengertian ayat di atas bahwa Allah memerintahkan para istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang suci, disucikan dan baik untuk selalu tetap di rumah-rumah mereka, dan perintah ini umum ( untuk seluruh umat. Pent.) kecuali ada dalil yang menunjukkan akan kekhususannya ( khusus untuk para istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan tidak ada dalil kekhususan itu. Pent ), oleh karena itu jika mereka diperintahkan untuk selalu berada di rumah kecuali ada kebutuhan yang memaksa mereka keluar rumah, maka bagaimana bisa dibenarkan pendapat yang membolehkan ikhthilath sebagaimana pertanyaan di atas ? padahal pada zaman sekarang ini banyak perempuan yang melampaui batas, menanggalkan pakaian kemaluan, terang-terangan menampakkan perhiasan dan muka mereka di hadapan kaum laki-laki asing ( bukan muhrimnya. Pent ) dan membuka aurat , dan sedikit sekali kesadaran beragama dari mereka yang bertanggungjawab mendidik kaum wanita ( suami, orangtua dll pent. ). Adapun dalil dari hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka kami hanya akan menyebutkan sepuluh saja(*) :

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ummu Humaid Istri Abu Humaid As-Sa'idi radhiyallahu 'anha, bahwa dia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah ! sungguh aku suka shalat berjama'ah bersamamu, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata : sungguh aku mengetahui bahwa kamu suka shalat bersamaku, ( ketahuilah ) shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalat di masjid dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalatmu di masjidku ( masjid nabawi ), lalu perawi itu berkata : maka dia ( wanita itu ) memerintahkan maka dibangunlah sebuah tempat shalat di yang paling ujung dari rumahnya dan paling gelap. Dan dia shalat di tempat itu sampai meninggal. Dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : sungguh shalat wanita yang paling dicintai Allah adalah shalatnya di tempat yang paling gelap dari bagian rumahnya. Dan banyak hadits hadits lain yang semakna dengan dua hadits di atas yang menunjukkan bahwa shalat kaum wanita di rumahnya lebih utama dari shalat di masjid.

Pengertian hadits di atas : bahwa jika disyari'atkan bagi wanita shalat di rumah dan itu adalah yang lebih utama bahkan dari shalat di masjid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka bercampur di zaman sekarang harus dilarang dan hal itu lebih pantas lagi. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : sebaik-baik barisan kaum laki-laki adalah yang pertama, dan seburuk-buruknya adalah yang paling akhir, dan sebaik-baik barisan kaum wanita adalah yang paling akhir dan seburuk-buruknya adalah yang pertama. Tirmidzi berkata : hadits shahih.

Pengertian hadits di atas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kaum wanita jika datang ke masjid agar mereka terpisah dari kaum laki-laki kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menerangkan bahwa barisan pertama dari barisan kaum wanita adalah seburuk-buruk barisan dan barisan terakhir adalah sebaik baik barisan, yang sedemikian itu semata-mata karena jauhnya barisan terakhir dari kaum laki-laki, sehingga terhindar dari bercampur dengan mereka, melihat mereka dan keterkaitan hati ketika melihat gerak-gerik mereka dan mendengar perkataan mereka dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mencaci barisan yang pertama dari kaum wanita karena hal-hal di atas akan terjadi, dan menerangkan bahwa barisan terakhir dari kaum laki-laki jika shalat bersama kaum wanita adalah barisan yang paling buruk, karena mereka tidak mendapatkan keutamaan barisan pertama, dan karena dekatnya mereka dengan barisan kaum wanita yang mengganggu konsetrasi dan mungkin dapat merusak ibadah mereka, dan mengganggu niat dan kekhusyu'an mereka, oleh karena itu jika Syari' mengingatkan akan terjadinya hal-hal yang sedemikian pada tempat-tempat ibadah, padalah tidak terjadi ikhthilath hanya saling berdekatan saja, maka bagaimana dengan ikhthilath itu sendiri.?

Muslim meriwayatkan dari Zainab istri Abdillah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada kami : jika seseorang di antara kalian menghadiri masjid, maka janganlah ia memakai wangi-wangian.

Dan Abu Daud dan Ahmad dan Syafi'I meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : janganlah kalian menghalangi kaum wanita dari masjid-masjid Allah, tapi mereka hendaknya kelauar tanpa memakai sedikitpun wangi-wangian. Ibnu Daqiqil 'Iid berkata : dalam hadits ini ada larangan memakai wangi-wangian bagi wanita yang hendak keluar pergi ke Masjid karena memakai wangi-wangian akan menggerakkan nafsu syahwat kaum laki-laki dan mungkin juga syahwat kaum wanita itu sendiri, dan Daqiqil 'Iid berkata : semakna dengan wangi-wangian adalah pakaian yang indah, perhiasan dan penampilan yang menawan.

Ibnu Hajar berkata : demikian juga dengan ikhthilath dengan kaum laki-laki. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : tidaklah aku meninggalkan setelahku suatu fitnah yang lebih bahaya bagi kaum laki-laki dari fitnah kaum wanita. HR. Bukhari dan Muslim. Pengertian hadits di atas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menerangkan bahwa kaum wanita adalah fitnah yang paling bahaya bagi kaum laki-laki, bagaimana jika berkumpul kaum wanita yang menimbulkan fitnah dengan kaum laki-laki yang bisa difitnah ? oleh karena itu, ikhthilath tidak boleh. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Dunia manis dan indah, dan Allah telah menjadikan kamu penguasa di dalamnya dan Dia akan melihat bagaimana kamu bekerja, maka takutlah akan fitnah dunia dan fitnah wanita, karena fitnah yang pertama terjadi di bani Isra'il adalah pada kaum wanita. HR.Muslim. Pengertian hadits di atas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk hati-hati dengan fitnah kaum wanita dan perintah itu wajib dilaksanakan, bagaimana kita dapat melaksanakan perintah itu jika terjadi ikhthilath ? hal ini tidak mungkin oleh karena itu haram hukumnya ikhthilath. Bagi mereka yang merenungkan dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa pendapat yang mengatakan bahwa bercampur ( ikhthilath ) tidak akan menimbulkan fitnah itu hanyalah dengan pemahaman beberapa orang, kalau tidak demikian ( hanya pemahaman beberapa orang ), sungguh ikhthilath itu memang benar-benar dapat menimbulkan fitnah, oleh karena itu

Syari' melarangnya untuk mengubur kerusakan dari akarnya. Tidak termasuk yang dilarang, sesuatu ( ikhthilath ) yang sangat terpaksa, yang terjadi pada urusan ibadah seperti yang terjadi di sekitar Ka'bah dan Masjid Madinah, dan kami memohon kepada Allah agar membimbing orang-orang yang sesat dari kaum muslimin, dan menambah hidayat bagi mereka yang telah mendapatkan petunjuk, dan memberikan taufiq kepada pemimpin-pemimpin mereka untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran, sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Dekat lagi Maha mengabulkan.

Yang dimaksud dengan Syari' adalah pembuat syari'at yaitu Allah Ta'ala atau Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. (*) Penerjemah hanya menerjemahkan 5 hadits yang ada dalam fatwa. Lajnah Daimah, buku Fatawa Jami'ah,Jld. III. Hlm. 1089.

Mengalami Mimpi Yang Menakutkan, Apa Yang Harus Diperbuat?
Kamis, 22 Desember 05

Pertanyaan:

Saya seorang gadis berusia 18 tahun, alhamdulillah, saya bisa bersikap istiqamah dan konsisten dalam menjalankan agama. Sering-kali saya bermimpi melihat hal-hal yang menakutkan, selang beberapa hari berikutnya mimpi itu benar-benar menjadi kenyataan, seperti terangnya fajar subuh. Berbagai musibah pun menimpa keluarga saya. Biasanya, setelah saya memimpikan hal-hal tersebut, saya men-ceritakannya kepada keluarga, mereka pun memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpi tersebut. Saya mohon fatwa tentang perkara ini dengan harapan bisa menghindarkan diri saya dari musibah-musibah tersebut.

Jawaban:

Disyari'atkan bagi orang yang bermimpi sesuatu yang tidak disukainya untuk meludah ke sebelah kirinya tiga kali saat ia ter-jaga dari tidurnya, lalu memohon perlindungan kepada Allah dari gangguan setan dan dari keburukan mimpinya itu, sebanyak tiga kali, lalu merubah posisi tidurnya ke bagian lainnya. Dengan be-gitu mimpi tersebut tidak akan membahayakannya. Kemudian dari itu, hendaknya tidak menceritakannya kepada orang lain, karena Nabi a memerintahkan orang yang memimpikan sesuatu yang tidak disukainya agar melakukan hal-hal tersebut. Adapun bila ia memimpikan sesuatu yang menyenangkannya, hendaklah ia memuji Allah atas mimpi tersebut dan tidak menceritakannya kecuali kepada orang yang akan senang mendengarnya. Demikian, sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah SAW (HR. Al-Bukhari dalam Bad’ul Khalqi [3292]; Muslim dalam ar-Ru'ya [2261]).

Hukum Memakai Rantai Pada Hidung
Selasa, 08 Februari 05

Bagaimana hukum memakai anting atau rantai pada hidung sebagai hiasan?

Jawaban:
Diperbolehkan bagi wanita memakai perhiasan menurut adat kebiasaan di dalam memakainya, meskipun hal itu dipakai hingga melubangi sebagian anggota tubuhnya, misalnya memakai anting pada telinga. Karena itu, memakai rantai pada hidung juga diperbolehkan, sebagaimana halnya diperbolehkan melubangi hidung onta dan mengikatnya dengan rantai sebagai tempat me-ngikatkan tali kendali, dan hal itu tidak dipandang sebagai penyiksaan.

Dikutip dari fatwa Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, al-Yamamah, 902

Hukum Membelah Rambut secara acak-acakan
Selasa, 08 Februari 05

Dewasa ini sebagian wanita menyisir rambut kepalanya dengan model baru yaitu memiringkannya ke samping dengan cara acak dan tidak dibelah lurus sebagaimana biasanya. Sebagian ulama berpendapat bahwa perbuatan itu diharamkan karena merupakan perbuatan orang-orang Jahiliyah, apakah pendapat itu benar? Kiranya Syaikh berkenan memberikan fatwa kepada kami.

Jawaban:

Model menyisir rambut yang selayaknya diikuti oleh kaum wanita muslimah ialah membelah rambut dari tengah-tengah muka dan kepala, dan rambutnya dibelah dua ke samping kanan serta ke samping kiri, selanjutnya mengepangnya hingga bersambung ke bagian atas kepalanya, sebagaimana dituturkan oleh Ummu Athiyah Radhiallaahu anha ketika memandikan jenazah puteri Nabi Shalallaahu alaihi wasalam sebelum dikafani, seraya berkata,
"Kami mengepang rambut kepala jenazah puteri Nabi Shalallaahu alaihi wasalam menjadi tiga bagian, kemudian kami meletak-kannya ke belakang." Menurut penuturan Aisyah i bahwa Nabi a biasa menyisir rambut kepalanya diluruskan dengan tengkuk, dan beliau merasa senang adanya keseragaman di kalangan para sahabat dalam melakukan sesuatu yang tidak ada perintah di dalamnya. Aisyah Radhiallaahu anha berkata, "Setelah itu, Nabi Shalallaahu alaihi wasalam menyisir rambut kepalanya dengan cara membelahnya."
Adapun model membelahnya dengan cara acak-acakan menurut hemat saya hukumnya tidak boleh, karena hal tersebut menyerupai perbuatan kaum wanita yang kafir atau perbuatan orang-orang Jahiliyah tempo dulu atau orang-orang Jahiliyah masa sekarang yang meniru gaya wanita-wanita barat, sehingga di antara mereka banyak yang berubah penampilannya, sehingga ketika datang model yang baru, niscaya mereka dengan segera meninggalkan model lama. Menurut hemat saya, perbuatan tersebut digolongkan taqlid buta (mengikuti tanpa mengetahui dalil). Adapun sikap mengikuti yang mengetahui dalil dalam masalah menyisir rambut adalah membelahnya serta mengepang-nya sebagaimana yang dilakukan oleh para wanita mukminat di jaman dulu yaitu merapikan rambutnya, memperhatikan keber-sihan sisirnya, mengepangnya dan lain-lain. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam dan kepada keluarganya serta para sahabatnya.

Disampaikan dan didiktekan oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin

Seputar Penderita AIDS
Sabtu, 03 April 04

Tanya :

Sekarang ini penyakit virus AIDS menyebar dimana-mana yang menimbulkan banyak reaksi sosial dan berbagai pertanyaan seputar masalah ini. Misalnya, haruskah mengkarantinakan penderita virus AIDS dan apa hukumnya orang yang sengaja menyebarkan (menularkan) virus berbahaya ini kepada orang lain? Apakah penderita virus AIDS dianggap sebagai penderita penyakit mematikan? Sebab hal ini sangat berkaitan erat dengan hukum talak dan penggunaan hartanya.

Jawab :

Pertama: tentang hukum mengkarantinakan penderita AIDS:

Beberapa keterangan medis menegaskan bahwa penularan penyakit AIDS atau penyakit menurunnya kekebalan tubuh tidak terjadi melalui percampuran, persentuhan, udara, serangga, makan atau minum bersama penderita, mandi bersama di kolam atau duduk bersama di bangku, satu tempat makan atau bentuk-bentuk percampuran lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi penularan penyakit ini secara khusus adalah melalui salah satu cara berikut:

• Berhubungan seks dengan penderita bagaimanapun bentuknya.
• Transfusi darah yang tercemar virus AIDS atau cara-cara tranfusi lainnya.
• Penggunaan jarum yang tidak steril, terutama di kalangan pengguna obat terlarang, demikian pula dapat menular melalui pisau cukur.
• Penularan melalui ibu yang terkena virus AIDS kepada bayinya ketika hamil ataupun saat melahirkan.

Berdasarkan keterangan di atas maka tidaklah menjadi keharusan mengkarantinakan penderita AIDS dari teman-temannya jika tidak dikhawatirkan akan menular. Perlakuan terhadap penderita harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan medis yang dapat dipercaya.


Kedua: Hukum orang yang menularkan virus AIDS secara sengaja.

Menularkan virus AIDS secara sengaja kepada orang yang sehat bagaimanapun bentuknya adalah perbuatan haram. Perbuatan itu termasuk dosa besar. Pelakunya berhak mendapat sanksi hukum di dunia. Berat ringannya sanksi hukum ini sesuai dengan besar kecilnya bahaya yang timbul akibat perbuatannya terhadap masyarakat. Jika maksud menularkannya untuk menebarkan virus berbahaya ini di tengah masyarakat, maka perbuatan tersebut termasuk tindak perusakan di atas muka bumi. Berhak ditindak dengan salah satu sanksi yang disebutkan dalam ayat yang berbunyi:

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, (QS. 5:33)

Namun jika tujuannya untuk memindahkan penyakit ini kepada orang tertentu, kemudian benar-benar menular hanya saja tidak sampai merenggut nyawa orang tersebut maka pelakunya diberi hukum ta'zir (sanksi keras) yang sesuai dengan kejahatannya. Dan jika ternyata si korban mati, maka perlu dipertimbangkan hukuman mati bagi pelakunya. Adapun jika maksudnya hanyalah menularkannya kepada seseorang tertentu namun ternyata tidak menular maka pelakunya berhak mendapat hukum ta'zir.


Ketiga: Bilakah penyakit AIDS digolongkan sebagai penyakit yang mematikan.

Yaitu apabila virusnya telah menjalar ke seluruh tubuh dan si penderita tidak dapat lagi melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dan tinggal menunggu Sakaratul Maut.

( Fatwa Syaikh Shalih Al Munajid )

Hukum Menyemir Bulu Alis Atau Mencukurnya
Selasa, 08 Februari 05

Dewasa ini sebagian wanita muslimah yang memiliki bulu alis yang tebal serta dipenuhi dengan rambut halus, menyemir sebagian bulu alisnya dengan warna blonde (warna merah keku-ning-kuningan) untuk menyamarkannya serta membiarkan seba-gian lagi berwarna alami. Setelah itu di antara mereka ada yang mencukur bulu yang sudah disemirnya dengan pisau cukur supaya tidak terlihat oleh orang yang memandangnya dari dekat serta dimaksudkan untuk memperindah bulu alisnya. Bagaima-nakah hukum menyemir sebagian bulu alis dengan warna blonde? Juga bagaimana hukum mencukur sebagian bulu alis yang disemir? Kiranya Syaikh berkenan memberikan fatwa kepada kami.

Jawaban:
Menurut hemat saya, bahwa menyemir dan merubah warna bulu alis tidak diperbolehkan, karena Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah melaknat wanita yang mencukur dan dicukurkan bulu alisnya dan wanita yang merubah ciptaan Allah sebagaimana tertera dalam hadits. Sama saja apakah cara menghilangkan bulu alis tersebut dilakukan dengan mencukurnya dengan gunting atau mengeriknya dengan pisau cukur atau mencabutnya. Karena bulu alis itu ditumbuhkan oleh Allah untuk sesuatu hikmah yang besar yaitu melindungi kedua mata dari debu atau kotoran yang jatuh dari daerah sekitar mata dan dari kepala. Selain itu keberadaannya menjadi hiasan serta memperindah mata. Karena itu, bulu alis telah ada semenjak bayi dilahirkan, dan kapan saja bulu alis itu dicukur atau dihilangkan, maka ia akan tumbuh kembali seperti semula.
Allah Subhannahu wa Ta'ala memberikan hikmah yang bermacam-macam dengan keberadaannya, sehingga di antara bulu alis itu ada yang tebal dan ada yang tipis, ada yang panjang dan ada yang pendek. Bahkan terkadang dijadikan sebagai pengenal serta pembeda di antara orang-orang, karena pengenalan setiap orang itu berda-sarkan sesuatu yang khusus, dan bulu alis dapat menjadi tanda pengenal dari seseorang, sehingga tidak boleh menyemirnya, karena itu berarti merubah ciptaan Allah Subhannahu wa Ta'ala dan juga tidak boleh mencukurnya karena hal itu merupakan perbuatan yang dilarang. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam dan keluarganya serta para sahabatnya.

Disampaikan dan didiktekan oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin

HADITS-HADITS PALSU TENTANG KEUTAMAAN SHALAT DAN PUASA DI BULAN RAJAB

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2

Apabila kita memperhatikan hari-hari, pekan-pekan, bulan-bulan, sepanjang tahun serta malam dan siangnya, niscaya kita akan mendapatkan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mengistimewakan sebagian dari sebagian lainnya dengan keistimewaan dan keutamaan tertentu. Ada bulan yang dipandang lebih utama dari bulan lainnya, misalnya bulan Ramadhan dengan kewajiban puasa pada siangnya dan sunnah menambah ibadah pada malamnya. Di antara bulan-bulan itu ada pula yang dipilih sebagai bulan haram atau bulan yang dihormati, dan diharamkan berperang pada bulan-bulan itu.

Allah juga mengkhususkan hari Jum’at dalam sepekan untuk berkumpul shalat Jum’at dan mendengarkan khutbah yang berisi peringatan dan nasehat.

Ibnul Qayyim menerangkan dalam kitabnya, Zaadul Ma’aad,[1] bahwa Jum’at mempunyai lebih dari tiga puluh keutamaan, kendatipun demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengkhususkan ibadah pada malam Jum’at atau puasa pada hari Jum’at, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at untuk beribadah dari malam-malam yang lain dan jangan pula kalian mengkhususkan puasa pada hari Jum’at dari hari-hari yang lainnya, kecuali bila bertepatan (hari Jum’at itu) dengan puasa yang biasa kalian berpuasa padanya.” [HR. Muslim (no. 1144 (148)) dan Ibnu Hibban (no. 3603), lihat Silsilatul Ahaadits ash-Shahihah (no. 980)]

Allah Yang Mahabijaksana telah mengutamakan sebagian waktu malam dan siang dengan menjanjikan terkabulnya do’a dan terpenuhinya permintaan. Demikian Allah mengutamakan tiga generasi pertama sesudah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka dianggap sebagai generasi terbaik apabila dibandingkan dengan generasi berikutnya sampai hari Kiamat. Ada beberapa tempat dan masjid yang diutamakan oleh Allah dibandingkan tempat dan masjid lainnya. Semua hal tersebut kita ketahui berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan contoh yang benar.

Adapun tentang bulan Rajab, keutamaannya dalam masalah shalat dan puasa padanya dibanding dengan bulan-bulan yang lainnya, semua haditsnya sangat lemah dan palsu. Oleh karena itu tidak boleh seorang Muslim mengutamakan dan melakukan ibadah yang khusus pada bulan Rajab.

Di bawah ini akan saya berikan contoh hadits-hadits palsu tentang keutamaan shalat dan puasa di bulan Rajab.

HADITS PERTAMA
“Artinya : Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku”

Keterangan: HADITS INI “ MAUDHU’

Kata Syaikh ash-Shaghani (wafat th. 650 H): “Hadits ini maudhu’.” [Lihat Maudhu’atush Shaghani (I/61, no. 129)]

Hadits tersebut mempunyai matan yang panjang, lanjutan hadits itu ada lafazh:

“Artinya : Janganlah kalian lalai dari (beribadah) pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab, karena malam itu Malaikat menamakannya Raghaaib...”

Keterangan: HADITS INI MAUDHU’

Kata Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H): “Hadits ini diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Mandah dari Ibnu Jahdham, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Muhammad bin Sa’id al-Bashry, telah menceritakan kepada kami Khalaf bin ‘Abdullah as-Shan’any, dari Humaid Ath-Thawil dari Anas, secara marfu’. [Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if (no. 168-169)]

Kata Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H): “Hadits ini palsu dan yang tertuduh memalsukannya adalah Ibnu Jahdham, mereka menuduh sebagai pendusta. Aku telah mendengar Syaikhku Abdul Wahhab al-Hafizh berkata: “Rawi-rawi hadits tersebut adalah rawi-rawi yang majhul (tidak dikenal), aku sudah periksa semua kitab, tetapi aku tidak dapati biografi hidup mereka.” [Al-Maudhu’at (II/125), oleh Ibnul Jauzy]

Imam adz-Dzahaby berkata: “ ’Ali bin ‘Abdullah bin Jahdham az-Zahudi, Abul Hasan Syaikhush Shuufiyyah pengarang kitab Bahjatul Asraar dituduh memalsukan hadits.”

Kata para ulama lainnya: “Dia dituduh membuat hadits palsu tentang shalat ar-Raghaa'ib.” [Periksa: Mizaanul I’tidal (III/142-143, no. 5879)]

HADITS KEDUA
“Artinya : Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan lainnya seperti keutamaan al-Qur'an atas semua perkataan, keutamaan bulan Sya’ban seperti keutamaanku atas para Nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan seperti keutamaan Allah atas semua hamba.”

Keterangan: HADITS INI MAUDHU’

Kata al Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany: “Hadits ini palsu.” [Lihat al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’ (no. 206, hal. 128), oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky (wafat th. 1014 H)]

HADITS KETIGA:
“Artinya : Barangsiapa shalat Maghrib di malam pertama bulan Rajab, kemudian shalat sesudahnya dua puluh raka’at, setiap raka’at membaca al-Fatihah dan al-Ikhlash serta salam sepuluh kali. Kalian tahu ganjarannya? Sesungguhnya Jibril mengajarkan kepadaku demikian.” Kami berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, dan berkata: ‘Allah akan pelihara dirinya, hartanya, keluarga dan anaknya serta diselamatkan dari adzab Qubur dan ia akan melewati as-Shirath seperti kilat tanpa dihisab, dan tidak disiksa.’”

Keterangan: HADITS MAUDHU’

Kata Ibnul Jauzi: “Hadits ini palsu dan kebanyakan rawi-rawinya adalah majhul (tidak dikenal biografinya).” [Lihat al-Maudhu’at Ibnul Jauzy (II/123), al-Fawaa'idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh as-Syaukany (no. 144) dan Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at (II/89), oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani (wafat th. 963 H).]

HADITS KEEMPAT
“Artinya : Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab dan shalat empat raka’at, di raka’at pertama baca ‘ayat Kursiy’ seratus kali dan di raka’at kedua baca ‘surat al-Ikhlas’ seratus kali, maka dia tidak mati hingga melihat tempatnya di Surga atau diperlihatkan kepadanya (sebelum ia mati)”

Keterangan: HADITS INI MAUDHU’

Kata Ibnul Jauzy: “Hadits ini palsu, dan rawi-rawinya majhul serta seorang perawi yang bernama ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah perawi matruk menurut para Ahli Hadits.” [Al-Maudhu’at (II/123-124).]

Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah rawi yang lemah. [Lihat Taqriibut Tahdziib (I/663 no. 4518)]

HADITS KELIMA
“Artinya : Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab (ganjarannya) sama dengan berpuasa satu bulan.”

Keterangan: HADITS INI SANGAT LEMAH

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh dari Abu Dzarr secara marfu’.

Dalam sanad hadits ini ada perawi yang bernama al-Furaat bin as-Saa'ib, dia adalah seorang rawi yang matruk. [Lihat al-Fawaa-id al-Majmu’ah (no. 290)]
Kata Imam an-Nasa'i: “Furaat bin as-Saa'ib Matrukul hadits.” Dan kata Imam al-Bukhari dalam Tarikhul Kabir: “Para Ahli Hadits meninggalkannya, karena dia seorang rawi munkarul hadits, serta dia termasuk rawi yang matruk kata Imam ad-Daraquthni.” [Lihat adh-Dhu’afa wa Matrukin oleh Imam an-Nasa'i (no. 512), al-Jarh wat Ta’dil (VII/80), Mizaanul I’tidal (III/341) dan Lisaanul Mizaan (IV/430).]

HADITS KEENAM
“Artinya : Sesungguhnya di Surga ada sungai yang dinamakan ‘Rajab’ airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, barangsiapa yang puasa satu hari pada bulan Rajab maka Allah akan memberikan minum kepadanya dari air sungai itu.”

Keterangan: HADITS INI BATHIL

Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Dailamy (I/2/281) dan al-Ashbahany di dalam kitab at-Targhib (I-II/224) dari jalan Mansyur bin Yazid al-Asadiy telah menceritakan kepada kami Musa bin ‘Imran, ia berkata: “Aku mendengar Anas bin Malik berkata, ...”

Imam adz-Dzahaby berkata: “Mansyur bin Yazid al-Asadiy meriwayatkan darinya, Muhammad al-Mughirah tentang keutamaan bulan Rajab. Mansyur bin Yazid adalah rawi yang tidak dikenal dan khabar (hadits) ini adalah bathil.” [Lihat Mizaanul I’tidal (IV/ 189)]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Musa bin ‘Imraan adalah majhul dan aku tidak mengenalnya.” [Lihat Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 1898)]


HADITS KETUJUH.
“Artinya : Barangsiapa berpuasa tiga hari pada bulan Rajab, dituliskan baginya (ganjaran) puasa satu bulan, barangsiapa berpuasa tujuh hari pada bulan Rajab, maka Allah tutupkan baginya tujuh buah pintu api Neraka, barangsiapa yang berpuasa delapan hari pada bulan Rajab, maka Allah membukakan baginya delapan buah pintu dari pintu-pintu Surga. Dan barang siapa puasa nishfu (setengah bulan) Rajab, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah.”

Keterangan: HADITS INI PALSU

Hadits ini termaktub dalam kitab al-Fawaa'idul Majmu’ah fil Ahaadits al-Maudhu’ah (no. 288). Setelah membawakan hadits ini asy-Syaukani berkata: “Suyuthi membawakan hadits ini dalam kitabnya, al-Laaliy al-Mashnu’ah, ia berkata: ‘Hadits ini diriwayatkan dari jalan Amr bin al-Azhar dari Abaan dari Anas secara marfu’.’”

Dalam sanad hadits tersebut ada dua perawi yang sangat lemah:

[1]. ‘Amr bin al-Azhar al-‘Ataky.
Imam an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits.” Sedangkan kata Imam al-Bukhari: “Dia dituduh sebagai pendusta.” Kata Imam Ahmad: “Dia sering memalsukan hadits.” [Periksa, adh-Dhu’afa wal Matrukin (no. 478) oleh Imam an-Nasa-i, Mizaanul I’tidal (III/245-246), al-Jarh wat Ta’dil (VI/221) dan Lisaanul Mizaan (IV/353)]

[2]. Abaan bin Abi ‘Ayyasy, seorang Tabi’in shaghiir.
Imam Ahmad dan an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya).” Kata Yahya bin Ma’in: “Dia matruk.” Dan beliau pernah berkata: “Dia rawi yang lemah.” [Periksa: Adh Dhu’afa wal Matrukin (no. 21), Mizaanul I’tidal (I/10), al-Jarh wat Ta’dil (II/295), Taqriibut Tahdzib (I/51, no. 142)]

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Syaikh dari jalan Ibnu ‘Ulwan dari Abaan. Kata Imam as-Suyuthi: “Ibnu ‘Ulwan adalah pemalsu hadits.” [Lihat al-Fawaaidul Majmu’ah (hal. 102, no. 288).

Sebenarnya masih banyak lagi hadits-hadits tentang keutamaan Rajab, shalat Raghaa'ib dan puasa Rajab, akan tetapi karena semuanya sangat lemah dan palsu, penulis mencukupkan tujuh hadits saja.

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Zaadul Ma’aad (I/375) cet. Muassasah ar-Risalah.

HADITS-HADITS PALSU TENTANG KEUTAMAAN SHALAT DAN PUASA DI BULAN RAJAB (2)

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Terkahir dari Dua Tulisan 2/2

PENJELASAN PARA ULAMA TENTANG MASALAH RAJAB

[1]. Imam Ibnul Jauzy menerangkan bahwa hadits-hadits tentang Rajab, Raghaa'ib adalah palsu dan rawi-rawi majhul. [Lihat al-Maudhu’at (II/123-126)]

[2]. Kata Imam an-Nawawy:
“Shalat Raghaa-ib ini adalah satu bid’ah yang tercela, munkar dan jelek.” [Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 140)]

Kemudian Syaikh Muhammad Abdus Salam Khilidhir, penulis kitab as-Sunan wal Mubtada’at berkata: “Ketahuilah setiap hadits yang menerangkan shalat di awal Rajab, pertengahan atau di akhir Rajab, semuanya tidak bisa diterima dan tidak boleh diamalkan.” [ Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 141)]

[3]. Kata Syaikh Muhammad Darwiisy al-Huut: “Tidak satupun hadits yang sah tentang bulan Rajab sebagaimana kata Imam Ibnu Rajab.” [Lihat Asnal Mathaalib (hal. 157)]

[4]. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H): “Adapun shalat Raghaa'ib, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahkan termasuk bid’ah.... Atsar yang menyatakan (tentang shalat itu) dusta dan palsu menurut kesepakatan para ulama dan tidak pernah sama sekali disebutkan (dikerjakan) oleh seorang ulama Salaf dan para Imam...”

Selanjutnya beliau berkata lagi: “Shalat Raghaa'ib adalah BID’AH menurut kesepakatan para Imam, tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyu-ruh melaksanakan shalat itu, tidak pula disunnahkan oleh para khalifah sesudah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula seorang Imam pun yang menyunnahkan shalat ini, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Imam ats-Tsaury, Imam al-Auzaiy, Imam Laits dan selain mereka.

Hadits-hadits yang diriwayatkan tentang itu adalah dusta menurut Ijma’ para Ahli Hadits. Demikian juga shalat malam pertama bulan Rajab, malam Isra’, Alfiah nishfu Sya’ban, shalat Ahad, Senin dan shalat hari-hari tertentu dalam satu pekan, meskipun disebutkan oleh sebagian penulis, tapi tidak diragukan lagi oleh orang yang mengerti hadits-hadits tentang hal tersebut, semuanya adalah hadits palsu dan tidak ada seorang Imam pun (yang terkemuka) menyunnahkan shalat ini... Wallahu a’lam.” [Lihat Majmu’ Fataawa (XXIII/132, 134)]

[5]. Kata Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:
“Semua hadits tentang shalat Raghaa'ib pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab adalah dusta yang diada-adakan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan semua hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada beberapa malamnya semuanya adalah dusta (palsu) yang diada-adakan.” [Lihat al-Manaarul Muniif fish Shahiih wadh Dha’iif (hal. 95-97, no. 167-172) oleh Ibnul Qayyim, tahqiq: ‘Abdul Fattah Abu Ghaddah]

[6]. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan dalam kitabnya, Tabyiinul ‘Ajab bima Warada fii Fadhli Rajab:
“Tidak ada riwayat yang sah yang menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab dan tidak pula tentang puasa khusus di bulan Rajab, serta tidak ada pula hadits yang shahih yang dapat dipegang sebagai hujjah tentang shalat malam khusus di bulan Rajab.”

[7]. Imam al-‘Iraqy yang mengoreksi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Ihya’ ‘Uluumuddin, menerangkan bahwa hadits tentang puasa dan shalat Raghaa'ib adalah hadits maudhu’ (palsu). [Lihat Ihya’ ‘Uluumuddin (I/202)]

[8]. Imam asy-Syaukani menukil perkataan ‘Ali bin Ibra-him al-‘Aththaar, ia berkata dalam risalahnya: “Sesungguhnya riwayat tentang keutamaan puasa Rajab, semuanya adalah palsu dan lemah, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” [Lihat al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaaditsil Maudhu’ah (hal. 381)]

[9]. Syaikh Abdus Salam, penulis kitab as-Sunan wal Mubtada’at menyatakan: “Bahwa membaca kisah tentang Isra’ dan Mi’raj dan merayakannya pada malam tang-gal dua puluh tujuh Rajab adalah BID’AH. Berdzikir dan mengadakan peribadahan tertentu untuk merayakan Isra’ dan Mi’raj adalah BID’AH, do’a-do’a yang khusus dibaca pada bulan Rajab dan Sya’ban semuanya tidak ada sumber (asal pengambilannya) dan BID’AH, sekiranya yang demikian itu perbuatan baik, niscaya para Salafush Shalih sudah melaksanakannya.” [Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 143)]

[10]. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz, ketua Dewan Buhuts ‘Ilmiyyah, Fatwa, Da’wah dan Irsyad, Saudi Arabia, beliau berkata dalam kitabnya, at-Tahdzir minal Bida’ (hal. 8): “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tidak pernah mengadakan upacara Isra’ dan Mi’raj dan tidak pula mengkhususkan suatu ibadah apapun pada malam tersebut. Jika peringatan malam tersebut disyar’iatkan, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat, baik melalui ucapan maupun perbuatan. Jika pernah dilakukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti diketahui dan masyhur, dan ten-tunya akan disampaikan oleh para Shahabat kepada kita...

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak memberi nasihat kepada manusia, beliau telah menyampaikan risalah kerasulannya sebaik-baik penyampaian dan telah menjalankan amanah Allah dengan sempurna.

Oleh karena itu, jika upacara peringatan malam Isra’ dan Mi’raj dan merayakan itu dari agama Allah, ten-tunya tidak akan dilupakan dan disembunyikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi karena hal itu tidak ada, maka jelaslah bahwa upacara tersebut bukan dari ajaran Islam sama sekali. Allah telah menyempurnakan agama-Nya bagi ummat ini, mencukupkan nikmat-Nya dan Allah mengingkari siapa saja yang berani mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, karena cara tersebut tidak dibenarkan oleh Allah:

“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu.” [Al-Maa-idah: 3]

KHATIMAH

Orang yang mempunyai bashirah dan mau mendengarkan nasehat yang baik, dia akan berusaha meninggalkan segala bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya : Tiap-tiap bid’ah itu sesat dan tiap-tiap kesesatan di Neraka.”
[HSR. An-Nasa'i (III/189) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Sunan an-Nasa'i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51)]

Para ulama, ustadz, kyai yang masih membawakan hadits-hadits yang lemah dan palsu, maka mereka digo-longkan sebagai pendusta.

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Dari Samurah bin Jundub dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang-siapa yang menceritakan satu hadits dariku, padahal dia tahu bahwa hadits itu dusta, maka dia termasuk salah seorang dari dua pendusta.” [HSR. Ahmad (V/20), Muslim (I/7) dan Ibnu Majah (no. 39)]

MARAJI’
[1]. Shahih al-Bukhari.
[2]. Shahih Muslim.
[3]. Sunan an-Nasaa-i.
[4]. Sunan Ibni Majah.
[5]. Musnad Imam Ahmad.
[6]. Shahih Ibni Hibban.
[7]. Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th. 1412 H.
[8]. Maudhu’atush Shaghani.
[9]. Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
[10]. Al-Maudhu’at, oleh Imam Ibnul Jauzy, cet. Daarul Fikr, th. 1403 H.
[11]. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr.
[12]. Al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’, oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky.
[13]. Al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh asy-Syaukany, tahqiq: Syaikh ‘Abdurrahman al-Ma’allimy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1407 H.
[14]. Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at, oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani.
[15]. Taqriibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqa-lany, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[16]. Adh-Dhu’afa wa Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i.
[17]. At-Taghib wat Tarhib, oleh Imam al-Mundziri.
[18]. Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[19]. Al-Laali al-Mashnu’ah, oleh al-Hafizh as-Suyuthy.
[20]. Adh-Dhu’afa wal Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i.
[21]. Al-Jarhu wat Ta’dil, oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razy.
[22]. As-Sunan wal Mubtada’at, oleh Muhammad Abdus Salam Khilidhir.
[23]. Asnal Mathaalib fii Ahaadits Mukhtalifatil Maraatib, oleh Muhammad Darwisy al-Huut.
[24]. Majmu’ Fataawa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[25]. Al-Manaarul Muniif fis Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
[26]. Tabyiinul ‘Ajab bimaa Warada fiii Fadhli Rajab, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
[27]. Ihya’ ‘Uluumuddin, oleh Imam al-Ghazzaly.
[28]. At-Tahdziir minal Bida’, oleh Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz.
[29]. Misykaatul Mashaabih, oleh Imam at-Tibrizy, takhrij: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]

BEBERAPA HAL YANG MELALAIKAN

HUKUM NASYID ATAU LAGU-LAGU YANG BERNAFASKAN ISLAM

Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta.

Pertanyaan
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Sesungguhnya kami mengetahui tentang haramnya nyanyian atau lagu dalam bentuknya yang ada pada saat ini karena di dalamnya terkandung perkataan-perkataan yang tercela atau perkataan-perkataan lain yang sama sekali tidak mengandung manfaat yang diharapkan, sedangkan kami adalah pemuda muslim yang hatinya diterangi oleh Allah dengan cahaya kebenaran sehingga kami harus mengganti kebiasaan itu. Maka kami memilih untuk mendengarkan lagu-lagu bernafaskan Islam yang di dalamnya terkandung semangat yang menggelora, simpati dan lain sebagainya yang dapat menambah semangat dan rasa simpati kami. Nasyid atau lagu-lagu bernafaskan Islam adalah rangkaian bait-bait syair yang disenandungkan oleh para pendakwah Islam (semoga Allah memberi kekuatan kepada mereka) yang diekspresikan dalam bentuk nada seperti syair 'Saudaraku' karya Sayyid Quthub -rahimahullah-. Apa hukum lagu-lagu bernafaskan Islam yang di dalamnya murni terkandung perkataan yang membangkitkan semangat dan rasa simpati, yang diucapkan oleh para pendakwah pada masa sekarang atau pada pada masa-masa lampau, di mana lagu-lagu tersebut menggambarkan tentang Islam dan mengajak para pendengarnya kepada keislaman.

Apakah boleh mendengarkan nasyid atau lagu-lagu bernafaskan Islam tersebut jika lagu itu diiringi dengan suara rebana (gendang)? Sepanjang pengetahuan saya yang terbatas ini, saya mendengar bahwa Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam-membolehkan kaum muslimin untuk memukul genderang pada malam pesta pernikahan sedangkan genderang merupakan alat musik yang tidak ada bedanya dengan alat musik lain? Mohon penjelasannya dan semoga Allah memberi petunjuk.

Jawaban
Lembaga Fatwa menjelaskan sebagai berikut: Anda benar mengatakan bahwa lagu-lagu yang bentuknya seperti sekarang ini hukumnya adalah haram karena berisi kata-kata yang tercela dan tidak ada kebaikan di dalamnya, bahkan cenderung mengagungkan nafsu dan daya tarik seksual, yang mengundang pendengarnya untuk berbuat tidak baik. Semoga Allah menunjukkan kita kepada jalan yang diridlaiNya. Anda boleh mengganti kebiasaan anda mendengarkan lagu-lagu semacam itu dengan nasyid atau lagu-lagu yang bernafaskan Islam karena di dalamnya terdapat hikmah, peringatan dan teladan (ibrah) yang mengobarkan semangat serta ghirah dalam beragama, membangkitkan rasa simpati, penjauhan diri dari segala macam bentuk keburukan. Seruannya dapat membangkitkan jiwa sang pelantun maupun pendengarnya agar berlaku taat kepada Allah -Subhanahu Wa Ta'ala-, merubah kemaksiatan dan pelanggaran terhadap ketentuanNya menjadi perlindungan dengan syari’at serta berjihad di jalanNya.

Tetapi tidak boleh menjadikan nasyid itu sebagai suatu yang wajib untuk dirinya dan sebagai kebiasaan, cukup dilakukan pada saat-saat tertentu ketika hhal itu dibutuhkan seperti pada saat pesta pernikahan, selamatan sebelum melakukan perjalanan di jalan Allah (berjihad), atau acara-acara seperti itu. Nasyid ini boleh juga dilantunkan guna membangkitkan semangat untuk melakukan perbuatan yang baik ketika jiwa sedang tidak bergairah dan hilang semangat. Juga pada saat jiwa terdorong untuk berbuat buruk, maka nasyid atau lagu-lagu Islami tersebut boleh dilantunkan untuk mencegah dan menghindar dari keburukan.

Namun lebih baik seseorang menghindari hal-hal yang membawanya kepada keburukan dengan membaca Al-Qur'an, mengingat Allah dan mengamalkan hadits-hadits Nabi, karena sesungguhnya hal itu lebih bersih dan lebih suci bagi jiwa serta lebih menguatkan dan menenangkan hati, sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya." [Az-Zumar: 23]

Dalam ayat lain Allah berfirman.

"Artinya : Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik." [Ar-Ra'd: 28-29]

Sudah menjadi kebiasaan para sahabat untuk menjadikah Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai penolong mereka dengan cara menghafal, mempelajari serta mengamalkannya. Selain itu mereka juga memiliki nasyid-nasyid dan nyanyian yang mereka lantunkan seperti saat mereka menggali parit Khandaq, membangun masjid-masjid dan saat mereka menuju medan pertempuran (jihad) atau pada kesempatan lain di mana lagu itu dibutuhkan tanpa menjadikannya sebagai syiar atau semboyan, tetapi hanya dijadikan sebagai pendorong dan pengobar semangat juang mereka.

Sedangkan genderang dan alat-alat musik lainnya tidak boleh dipergunakan untuk mengiringi nasyid-nasyid tersebut karena Nabi -Shollallaahu'alaihi wa sallam- dan para sahabatnya tidak melakukan hal itu. Semoga Allah menunjukkan kita kepada jalan yang lurus. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.

[Fatawa Islamiyah, al-Lajnah ad-Da'imah, 4/532-534]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq]

HUKUM NASYID-NASYID ISLAMI
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Banyak beredar di kalangan pemuda muslim kaset-kaset nasyid yang mereka sebut “an-nasyid Islamiyyah”. Bagaimana sebenarnya permasalahan ini ?

Jawaban
Jika an-nasyid ini tidak disertai alat-alat musik, maka saya katakan “pada dasarnya tidak mengapa”, dengan syarat nasyid tersebut terlepas dari segala bentuk pelanggaran syari’at, seperti meminta pertolongan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, bertawassul kepada makhluk, demikian pula tidak boleh dijadikan kebiasaan (dalam mendengarkannya,-pent), karena akan memalingkan generasi muslim dari membaca, mempelajari, dan merenungi Kitab Allah Azza wa Jalla yang sangat dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih, di antaranya beliau bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang tidak membaca Al-Qur’an dengan membaguskan suaranya, maka dia bukan dari golongan kami” [Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 5023 dan Muslim no. 232-234]

“Artinya : Bacalah Al-Qur’an dan baguskanlah suaramu dengannya sebelum datang beberapa kaum yang tergesa-gesa mendapat balasan (upah bacaan), dan tidak sabar menanti untuk mendapatkan (pahalanya di akhirat kelak), maka bacalah Al-Qur’an dengan membaguskan suara(mu) dengannya”.

Lagipula, barangsiapa yang mengamati perihal para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, dia tidak akan mendapatkan adanya annasyid-annasyid dalam kehidupan mereka, karena mereka adalah generasi yang sungguh-sungguh dan bukan generasi hiburan.

[Al-Ashaalah, 17 hal. 70-71]

[Disalin ulang dari buku Biografi Syaikh Al-Albani Rahimahullah Mujaddid dan Ahli Hadits Abad Ini. Penyusun Mubarak bin Mahfudh Bamuallim Lc, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]

WAJIB WASPADA DARI NASYID-NASYID DAN MELARANG JUAL BELI SERTA PEREDARANNYA

Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Sesuatu yang sepantasnya diperhatikan ialah, adanya kaset-kaset berisi nasyid-nasyid paduan suara yang beredar dikalangan para pemuda aktivis Islam yang mereka namakan nasyid Islam, padahal itu termasuk nyanyian. Dan kadangkala nasyid tersebut mengandung suara yang menggoda, dijual di pameran-pameran bersama kaset-kaset rekaman Al-Qur’an dan ceramah-ceramah agama.

Penamanaan nasyid ini dengan nasyid Islami adalah penamaan yang salah, karena Islam tidak mensyariatkan nasyid bagi kita. Tetapi mensyariatkan kepada kita dzikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an, dan belajar ilmu yang bermanfaat. Adapun nasyid itu termasuk agama (tata-cara) orang sufi ahli bid’ah, yakni orang-orang yang menjadikan hal yang sia-sia dan permainan sebagai agamanya. Padahal menjadikan nasyid bagian dari agama adalah tasyabbuh dengan orang-orang Nashara yang menjadikan nyanyian bersama, serta senandung sebagai bagian (ibadah) agama mereka.

Maka dari itu wajib (bagi kaum muslimin) agar waspada dari nasyid-nasyid ini, serta melarang peredaran serta penjualannya disamping kandungan isinya yang jelek, yakni mengobarkan fitnah berupa semangat yang terburu nafsu (kurang perhitungan), dan menaburkan benih perselisihan diantara kaum muslimin. Orang yang menyebar luaskan nasyid ini kadang berdalih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diperdengarkan disisi beliau syair-syair, dan beliau menikmatinya serta menetapkan (kebolehan)nya.

Maka jawabnya : Bahwa syair-syair yang diperdengarkan disisi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah dilantunkan dengan paduan suara semacam nyanyian-nyanyian, dan tidak pula dinamakan nasyid-nasyid Islami, namun ia hanyalah syair-syair Arab yang mencakup hukum-hukum dan tamtsil (permisalan), penunjukan sifat keperwiraan dan kedermawanan.

Para sahabat melantunkannya secara sendirian lantaran makna yang dikandungnya. Mereka melantunkan sebagan syair ketika bekerja melelahkan, seperti membangun (masjid), berjalan di waktu malam saat safar (jihad). Maka perbuatan mereka ini menunjukkan atas kebolehan macam lantunan (syair) ini, dalam keadaan khusus (seperti) ini. Bukannya dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu pendidikan dan dakwah ! Sebagaimana hal ini merupakan kenyataan di zaman sekarang, yang mana para santri ditalqin (dilatih menghafal) nasyid-nasyid ini, lalu dikatakan sebagai nasyid-nasyid Islam. Ini merupakan perbuatan bid’ah dalam agama. Sedang ia merupakan agama kaum sufi ahli bid’ah. Mereka adalah orang-orang yang dikenali menjadikan nasyid-nasyid sebagai bagian agama.

Maka wajib memperhatikan makar-makar ini. Karena pada awalnya kejelekan itu bermula sedikit lalu berkembang lambat laun menjadi banyak, ketika tidak segera diberantas pada saat kemuculannya.

[Al-Khuthabul Minbariyah, Syaih Shalih Al-Fauzan]

TIDAK ADA YANG NAMANYA NASYID-NASYID ISLAMI DALAM KITAB-KITAB SALAF

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Wahai syaikh, banyak dibicarakan tentang nasyid Islami. Ada yang berfatwa membolehkannya. Ada juga yang mengatakan bahwa ia sebagai pengganti kaset nyanyian. Bagaimana menurut pandangan anda ?

Jawaban
Penamaan ini tidak benar. Ia adalah nama yang baru. Tidak ada penamaan nasyid-nasyid Islami dalam kitab para ulama salaf, serta ahlul ilmi yang pendapat mereka diperhitungkan. Dan sudah menjadi maklum bahwa kaum sufilah yang menjadikan nasyid-nasyid itu sebagai agama mereka dan inilah yang mereka sebut ‘sama’ (nyanyian).

Pada masa kita ini, ketika banyak muncul kelompok dan golongan, maka masing-masing kelompok memiliki nasyid yang mendorong semangat yang kadang mereka namakan nasyid-nasyid Islami. Penamaan ini adalah tidak benar. Dan tidak boleh mengambil nasyid-nasyid ini serta mengedarkannya dikalangan manusia. Wa billahit Taufiq.

[Majalah Ad-Dakwah Vol 1632, Tanggal 7-11-1416H]

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 6 Tahun IV, hal.35-36. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik, Jatim]

NASYID-NASYID ISLAMI ADALAH TERMASUK KEKHUSUSAN ORANG-ORANG SUFI
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Apa hukum nasyid-nasyid Islami ?

Jawaban
Yang aku lihat nasyid-nasyid yang disebut nasyid-nasyid agama, dahulunya adalah termasuk kekhususan thariqah-thariqah kaum sufi. Dan kebanyakan para pemuda mukmin mengingkarinya lantaran sikap ghuluw kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beristhighatsah kepada beliau, bukan kepada Allah. Kemudian muncul nasyid-nasyid baru dalam masalah i’tiqad sebagai perkembangan dari nasyid-nasyid jaman dulu tersebut. Di dalamnya ada yang lurus maka tidaklah mengapa, karena jauh dari perihal kesyirikan dan paganisme (sebagaimana) yang terdapat di dalam nasyid-nasyid lama. Namun perlu diperhatikan bahwa bagi setiap muslim wajib menetapi jalan yang telah ditempuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setiap orang yang meneliti kitabullah dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang telah ditempuh oleh salafush shalih, maka secara mutlak tidak akan mendapati apa yang mereka namakan nasyid agamis, meski nasyid ini telah diluruskan dari (penyimpangan) nasyid-nasyid lama yang mengandung sikap ghuluw dalam memuji Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka cukup bagi kita untuk mengambil dalil dalam mengingkari nasyid-nasyid ini yang mulai merebak di kalangan para pemuda dengan klaim bahwasanya tidak ada penyelisihan terhadap syar’i, cukuplah bagi kita dalam sisi penunjukan dalil atas hal itu dengan dua perkara berikut.

Pertama : Bahwa nasyid-nasyid ini bukan termasuk jalan kaum Salafush Shalih.

Kedua : Dan ia pada kenyataannya berdasarkan apa yang aku rasakan dan saksikan, ternyata bahaya juga. Hal itu karena kita mulai melihat para pemuda muslim terlena dengan nasyid-nasyid agamis ini dan bernyanyi dengannya sebagaimana dikatakan pada masa lalu hajiirah “adat kebiasaannya” seterusnya dan selamanya. Lalu hal itu memalingkan mereka dari perhatiannya untuk membaca Al-Qur’an dan berdzikir kepada Allah, serta bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan hadits-hadits shahih yang menjelaskannya. Oleh karena itulah barangkali dari sebab ini dan penyimpangan yang lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Baguskanlah suaramu dengan Al-Qur’an, dan jagalah ia (tetaplah membacanya). Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, sungguh Al-Qur’an itu lebih mudah hilang (lupa/lepas dengan cepat) dari dalam dada manusia ketimbang onta (yang diikat) dari tambatannya” [1]

[Diringkas dari kitab Al-Bayaan Al-Mufiid An Hukmit Tamtsiil Wal Anaasyiid, Abdullah Al-Sulaimani, Pengantar Syaikh Shalih Al-Fauzan]

NASYID ISLAMI ADALAH NASYID BID’AH
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah kaum laki-laki melantunkan nasyid-nasyid bersama-sama ? Apakah boleh nasyid diiringi dengna pukulan rebana ? Dan apakah nasyid diperbolehkan pada selain hari raya dan pesta kegembiraan ?

Jawaban
Nasyid Islami adalah nasyid bid’ah, serupa dengan apa yang dibuat-buat oleh orang-orang sufi. Oleh karena itu selayaknya (kita) berpaling dari nasyid itu dan menggantinya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kecuali dalam saat-saat peperangan agar memberikan motivasi keberanian dan berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla maka hal ini adalah baik. Dan jika berkumpul dengan (tabuhan) rebana, maka hal itu lebih jauh lagi dari kebenaran.
[Fatawa Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, dihimpun oleh Asyraf Abdul Maqshud, hal. 134]

NASYID-NASYID ISLAMI DATANG DARI JALAN IKHWANUL MUSLIMIN
Syaikh Shalih Alu Syaikh

Pertanyaan.
Syaikh Shalih Alu Syaikh ditanya : Pada masa kini banyak terdapat sarana-sarana dakwah ke jalan Allah. Sebagiannya membuat aku bingung seperti patung dan nasyid. Apakah yang semacam ini diperbolehkan ataukah tidak ?

Jawaban
Nasyid-nasyid yang saya ketahui dari pembicaraan ulama kita yang kalam mereka dijadikan fatwa, bahwa mereka tidak membolehkannya, karena nasyid datang lewat jalan ikhwanul muslimin, sedang ikhwanul muslimin menjadikan bagian tarbiyah mereka adalah nasyid.

Nasyid pada waktu dahulu biasa dikerjakan oleh thriqah-thariqah sufiyah seperti satu macam dari kesan/pengaruh bagi orang yang menginginkannya.

Nasyid-nasyid di negeri ini (Arab Saudi), dan didendangkan dalam berbagai kegiatan. Ahlul Ilmi berfatwa terhadap apa yang nampak dari kenyataan ini, bahwa ia tidak boleh.

Imam Ahmad mengatakan tentang taghbir yang dibuat-buat oleh kaum sufi yang serupa dengan nasyid yanga da pada zaman sekarang, “Itu adalah perkara baru dan bid’ah; yang dikehendaki darinya ialah memalingkan orang-orang dari Al-Qur’an”. Dahulu mereka menamakannya nyanyian yang terpuji (puji-pujian) padahal sebenarnya ia bukanlah nyanyian terpuji tapi tercela..!

[Diambil secara ringkas dari fatwa yang panjang dalam kaset yang berjudul : Fatwa Ulama tentang apa yang dinamakan nasyid islami, terbitan rekaman Minhajus Sunnah Riyadh]

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 6 Tahun IV, hal.35-36. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik, Jatim]
_________
Foote Note.
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari 5032, Muslim 1314, 1315 dan selainnya, dengan lafadz : Dari sejelek-jelek ucapan seseorang adalah “ Saya lupa ayat ini dan itu” tetapi (yang benar ialah) ia telah dilupakan. Ingat-ingatlah Al-Qur’an, karena ia lebih mudah pergi (hilang) dan menjauh dari dalam dada manusia, daripada hewan ternak (yang diikat pada tiangnya).

Dan dalam riwayat lain.
“Tetaplah kamu membaca Al-Qur’an ini, demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditanganNya, sungguh Al-Qur’an itu lebih mudah hilang (dari ingatan seseorang) dari pada onta yang terikat ditambatannya” [Muslim No. 1317, Ahmad No. 16679, 16721, dan selainnya]

HUKUM MENDENGARKAN MUSIK DAN LAGU SERTA MENGIKUTI SINETRON
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum mendengarkan musik dan lagu ? Apa hukum menyaksikan sinetron yang di dalamnya terdapat para wanita pesolek ?

Jawaban
Mendengarkan musik dan nyanyian haram dan tidak disangsikan keharamannya. Telah diriwayatkan oleh para sahabat dan salaf shalih bahwa lagu bisa menumbuhkan sifat kemunafikan di dalam hati. Lagu termasuk perkataan yang tidak berguna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” [Luqman : 6]

Ibnu Mas’ud dalam menafsirkan ayat ini berkata : “Demi Allah yang tiada tuhan selainNya, yang dimaksudkan adalah lagu”.

Penafsiran seorang sahabat merupakan hujjah dan penafsirannya berada di tingkat tiga dalam tafsir, karena pada dasarnya tafsir itu ada tiga. Penafsiran Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, Penafsiran Al-Qur’an dengan hadits dan ketiga Penafsiran Al-Qur’an dengan penjelasan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa penafsiran sahabat mempunyai hukum rafa’ (dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Namun yang benar adalah bahwa penafsiran sahabat tidak mempunyai hukum rafa’, tetapi memang merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.

Mendengarkan musik dan lagu akan menjerumuskan kepada suatu yang diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya.

“Artinya : Akan ada suatu kaum dari umatku menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”

Maksudnya, menghalalkan zina, khamr, sutera padahal ia adalah lelaki yang tidak boleh menggunakan sutera, dan menghalalkan alat-alat musik. [Hadits Riwayat Bukhari dari hadits Abu Malik Al-Asy’ari atau Abu Amir Al-Asy’ari]
Berdasarkan hal ini saya menyampaikan nasehat kepada para saudaraku sesama muslim agar menghindari mendengarkan musik dan janganlah sampai tertipu oleh beberapa pendapat yang menyatakan halalnya lagu dan alat-alat musik, karena dalil-dalil yang menyebutkan tentang haramnya musik sangat jelas dan pasti. Sedangkan menyaksikan sinetron yang ada wanitanya adalah haram karena bisa menyebabkan fitnah dan terpikat kepada perempuan. Rata-rata setiap sinetron membahayakan, meski tidak ada wanitanya atau wanita tidak melihat kepada pria, karena pada umumnya sinetron adalah membahayakan masyarakat, baik dari sisi prilakunya dan akhlaknya.

Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjaga kaum muslimin dari keburukannya dan agar memperbaiki pemerintah kaum muslimin, karena kebaikan mereka akan memperbaiki kaum muslimin. Wallahu a’lam.

[Fatawal Mar’ah 1/106]


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan Penerbitan Darul Haq. Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin]

======================================================================

PERMAINAN KARTU BRIDGE
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Kami seringkali bermain bridge bersama rekan-rekan, dimana pemenangnya mendapat 200 riyal dari masing-masing pemain. Apakah hal itu dilaramkan dan termasuk dalam perjudian ?

Jawaban.
Permainan seperti itu adalah permainan yang diharamkan dan termasuk dalam jenis perjudian, sedangkan perjudian adalah sesuatu yang diharamkan agama sebagaimana firman Allah.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” [Al-maidah : 90-91]

Maka setiap muslim wajib menjauhi permainan seperti itu yang termasuk dalam jenis perjudian, agar mereka mendapat kemenangan, kebaikan dan keselamatan dari berbagai macam keburukan yang ditimbulkan oleh permainan judi sebagaimana disebutkan dalam kedua ayat di atas.

[Kitab Ad-Dakwah Al-Fatawa, hal. 237,238 Syaikh Ibn Baz]
=======================================================================
HUKUM BERMAIN KARTU TANPA TARUHAN
Al-Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta.

Pertanyaan
Al-Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta ditanya : Bila permainan kartu tidak membuat lalai dari shalat dan tanpa memberi sejumlah uang (bertaruh) apakah itu termasuk hal yang diharamkan ?

Jawaban
Tidak boleh bermain kartu meskipun tanpa bertaruh karena pada hakikatnya permainan tersebut membuat kita lalai untuk mengingat Allah dan melalaikan shalat, walaupun sebagian orang menduga atau menganggap bahwa permainan itu tidak menghalangi dzikir dan shalat. Selain itu, permainan tersebut merupakan sarana untuk berjudi yang merupakan sesuatu yang patut diajuhi, sebagaimana firman Allah.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [Al-Maidah : 90]

Semoga Allah memberi petunjuk. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.

[Fatawa Al-Islamiyah, Al-Lajnah Ad-Da’imah 4/435]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq]

HUKUM PERMAINAN KARTU DAN CATUR
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum permainan kartu dan catur ?

Jawaban.
Para ulama telah menggariskan bahwa kedua permainan tersebut hukumnya haram. Ini disebabkan permainan tersebut dapat membuat kita lalai dan menghalangi kita untuk mengingat Allah, dan dimungkinkan permainan itu dapat menimbulkan permusuhan di kalangan pemain. Selain itu, permainan tersebut mengandung unsur perjudian. Sebagaimana diketahui bahwa hal itu dilarang untuk dilakukan oleh orang-orang yang ikut andil dalam suatu perlombaan kecuali yang telah digariskan oleh syari’at, yaitu ada tiga : Lomba memanah, Pacuan Unta dan Kuda.

Orang yang mengetahui bentuk permainan catur maupun kartu akan memahami bahwa kedua permainan tersebut mebutuhkan waktu yang lama sehingga dapat menyebabkan para pemainnya menghabiskan waktu mereka pada sesuatu yang tidak bermanfaat selain memalingkan mereka dari ketaatan kepada Allah.

Sebagian orang berkata, “Sesungguhnya permainan kartu dan catur membuka akal pikiran dan menumbuhkan kecerdasan”. Tapi kenyataannya sangat bertentangan dengan apa yang mereka katakan, bahkan permainan itu dapat melemahkan akal dan membuat pemikiran menjadi terbatas hanya pada bidang itu saja, sedangkan bila pikiran itu digunakan pada bidang lain, tidak akan ada pengaruhnya sama sekali. Maka dari itu, karena sifatnya yang melemahkan dan membatasi pikiran, maka orang-orang yang berakal wajib untuk menjauhi kedua permainan tersebut

[Fatawa Islamiyah, Ibnu Utsaimin, 4/437]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq]

HUKUM MENGENAKAN PAKAIAN YANG BERGAMBAR
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apa hukum mengenakan pakaian yang bergambar ?

Jawaban
Seseorang dilarang untuk mengenakan pakaian yang bergambar hewan atau manusia, dan juga dilarang untuk mengenakan sorban serta jubah atau yang menyerupai itu yang didalamnya terdapat gambar hewan atau manusia atau makhluk bernyawa lainnya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan hal itu dengan sabdanya.

“Artinya : Malaikat enggan memasuki rumah yang didalamnya terdapat lukisan” [Hadits Riwayat Al-Bukhari, bab Bad’ul Khalq 3226, Muslim bab Al-Libas 2106]

Maka dari itu hendaklah seseorang tidak menyimpan atau memiliki gambar berupa foto-foto yang oleh sebaigian orang dianggap sebagai album kenangan, maka wajib baginya untuk menanggalkan foto-foto tersebut, baik yang ditempel di dinding, ataupun yang disimpan dalam labum dan lain sebagainya. Karena keberadaan benda-benda tersebut menyebabkan malaikat haram (enggan) memasuki rumah mereka. Hadits yang menunjukkan hal itu adalah hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Wallahu a’lam

[Ibn Utsaimin, Al-Majmu ‘Ats-Tsamin, hal 199]


MENYIMPAN FOTO SEBAGAI KENANGAN

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum menyimpan gambar atau foto sebagai kenangan ?

Jawaban.
Menyimpan gambar atau foto untuk dijadikan sebagai kenangan adalah haram, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa malaikat enggan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar. Hal ini menunjukkan bahwa menyimpan gambar atau foto di dalam rumah hukumnya adalah haram. Semoga Allah memberi kita pertolongan.

[Ibn Utsaimin, Al-Majmu ‘Ats-Tsamin, hal 200]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq]

Makna Hadits, “Umur Umatku Antara 60 Dan 70...
Rabu, 29 Juni 05

TANYA

Terkait dengan hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, Umur umatku adalah antara 60 tahun hingga 70 tahun; siapa yang dimaksud dengan “umatku” tersebut? Apakah ia mencakup juga muslim dan kafir pada zaman ini? Kenapa harus angka 60 dan 70? Kenapa orang-orang Eropa berumur lebih panjang? Semoga Allah membalas kebaikan buat anda.

JAWAB

Alhamdulillah, segala puji hanya untuk-Nya semata, wa ba’du:
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Umur umatku adalah antara 60 hingga 70 tahun. Sedikit dari mereka yang melebihi itu” ini adalah hadits yang shahih, dikeluarkan oleh Imam at-Turmudzy (3550), Ibn Majah (4236), Ibn Hibban (II:96), al-Hakim (II:427). Sanadnya dinilai Hasan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di dalam kitabnya Fathul Baary (XI:244) dan dinilai shahih oleh al-Hakim berdasarkan persyaratan Muslim. Penilaian ini disetujui Imam adz-Dzahaby. Hadits ini juga memiliki Syahid (riwayat pendukung) dari hadits Anas seperti itu juga, hanya saja di situ sabda beliau SAW berbunyi, “Sedikit dari mereka yang mencapai usia 80 tahun.” Dikeluarkan oleh Abu Ya’la (V:283) dan dinilai Shahih oleh Syaikh al-Albany di dalam kitabnya as-Silsilah as-Shahihah (757).

Dan yang dimaksud dengan “umat” dalam hadits itu adalah umat dakwah sehingga juga mencakup Muslim dan kafir.

Sedangkan yang dimaksud dengan “60 dan 70” ; bisa jadi maksud puluhan (penggenapan) adalah dalam rangka pecahan antara puluhan itu. Artinya, dapat dikatakan kepada orang yang umurnya 65 tahun bahwa umurnya 60 tahun-an atau bahwa 70 tahun itu sebagai batas terakhir (maksimal).

Terkait dengan orang-orang Eropa, umur rata-rata mereka tidak melampaui 80 tahun-an. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan badan urusan anak-anak (Yunishef) di PBB, umur rata-rata di beberapa negara maju antara 70 hingga 76 tahun (Wadl’ul Athfaal Fii al-‘Alaam, hal.88). Ini merupakan realisasi dari pemaknaan pertama yang ditunjukkan hadits Anas di atas. Kalau pun rata-rata usia itu melebihi usia tersebut (80 tahun) –sebagimana yang diisiratkan sebagian studi mengingat adanya perkembangan yang bagus dalam tingkat pelayanan kesehatan-, maka ini sama sekali tidak bertentangan dengan hadits di atas sebab mereka yang berusia lebih dari itu adalah kelompok minoritas di mana bangsa-bangsa lain tidak mencapai seperti itu dari generasi sekarang ini padahal sudah sekian abad berlalu.
Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua untuk mengikuti petunjuk-Nya. Washallallahu ‘ala Muhammad Wa Alihi Wa Sallam. (SUMBER: Fatwa Syaikh Hani bin ‘Abdullah al-Jubair, Qadi pengadilan Mekkah al-Mukarramah seperti dinukil dari situs "al-Islam al-Yawm")

SHAHIHKAH DO’A MENYAMBUT BULAN RAJAB?

TANYA:
Bagaimana kualitas hadits, “Bila memasuki bulan Rajab, Nabi SAW mengucapkan, ‘Alloohumma Baarik Lana Fii Rojabin Wa Sya’baana, Wa Ballighna Ramadhaana.’” Di dalam riwayat lain, ‘Wa Baarik Lana Fii Ramadhaana.’?

JAWAB:
Teks hadits: “Bila memasuki bulan Rajab, Nabi SAW mengucapkan, ‘Allaahumma Baarik Lana Fii Rajabin Wa Sya’baana, Wa Ballighna Ramadhaana (Ya Allah, berilah keberkahan pada kami di dalam bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan).’”

Dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad di dalam kitab Zawaa’id al-Musnad (2346), al-Bazzar di dalam Musnadnya –sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyf al-Astaar- (616), Ibn as-Sunny di dalam ‘Amal al-Yawm Wa al-Lailah (658) ath-Thabarany di dalam (al-Mu’jam) al-Awsath (3939) dan kitab ad-Du’a’ (911), Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah (VI:269), al-Baihaqy di dalam Syu’ab (al-Iman) (3534), kitab Fadhaa’il al-Awqaat (14), al-Khathib al-Baghdady di dalam al-Muwadhdhih (II:473), Ibn ‘Asaakir di dalam Tarikh-nya (XL:57); dari jalur Za’idah bin Abu ar-Raqqad, dari Ziyad an-Numairy, dari Anas.

KUALITAS SANAD INI LEMAH:

Imam al-Bukhary dan an-Nasa’iy berkata, “Hadits yang diriwayatkannya (Za’idah) Munkar.”
Abu Daud berkata, “Aku tidak mengetahui khabarnya.”
Abu Hatim berkata, “Ia meriwayatkan dari Ziyad an-Numairy, dari Anas hadits-hadits Marfu’ tetapi Munkar. Kami tidak tahu apakah ia berasal dari dirinya atau dari Ziyad.”
Adz-Dzahaby berkata, “Ia seorang periwayat yang lemah.”
Al-Hafizh Ibn Hajar berkata, “Hadits yang diriwayatkannya Munkar.” [Lihat juga: at-Taarikh al-Kabiir (III:433), al-Jarh (III:613), al-Majruuhiin (I:308), Miizaan al-I’tidaal (II:65), at-Tahdzib (III:305), at-Taqriib (I:256)]

Sedangkan mengenai Ziyad bin ‘Abdullah an-Numairy:
Ibn Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya dan dilemahkan oleh Abu Daud.”
Abu Hatim berkata, “Haditsnya ditulis namun tidak dijadikan hujjah.”
Ibn Hibban menyinggungnya di dalam kitabnya ats-Tsiqaat, ia berkata, “Sering salah.” Kemudian ia memuatnya di dalam kitabnya ‘al-Majruuhiin’ seraya berkata, “Hadits yang diriwayatkannya munkar. Ia meriwayatkan dari Anas sesuatu yang tidak serupa dengan hadits yang diriwayatkan para periwayat Tsiqaat (terpercaya). Tidak boleh berhujjah dengannya.”
Adz-Dzahaby berkata, “Ia seorang periwayat yang lemah.” [lihat: Taariikh Ibn Ma’in (II:179), al-Jarh (III:536), al-Kaamil (III:1044), Miizaan al-I’tidaal (II:65) dan at-Tahdzib (III:378)]

Za’idah bin Abi ar-Raqqad sendirian meriwayatkan hadits ini dari Ziyad an-Numairy.
Ath-Thabarany di dalam (al-Mu’jam) al-Awsath berkata, “Hadits ini tidak diriwayatkan dari Rasulullah kecuali hanya melalui sanad ini saja. Za’idah bin Abi ar-Raqqad sendirian meriwayatkannya.”
Al-Baihaqy berkata, “an-Numairy meriwayatkan sendirian hadits ini, lalu Za’idah bin Abi ar-Raqqad meriwayatkan darinya pula.”
Al-Bukhari berkata, “Za’idah bin Abi ar-Raqqad dari Ziyad an-Numairy, haditsnya munkar.”

Tidak hanya satu ulama tetapi banyak ulama yang menyiratkan kelemahan sanad ini, di antara mereka adalah: an-Nawawy di dalam kitab al-Adzkaar (547), Ibnu Rajab di dalam Latha’if al-Ma’arif (hal.143), al-Haitsamy di dalam Majma’ az-Zawaa’id (II:165), adz-Dzahaby di dalam Miizaan al-I’tidaal (II:65), Ibnu Hajar di dalam Tabyiin al-‘Ujab (38).

Terkait dengan takhrij hadits ini, perlu diingat bahwa tidak ada satu hadits SHAHIH pun mengenai keutamaan bulan Rajab, puasa atau pun qiyamullail (shalat tahajjud) yang dikhususkan pada malamnya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Tabyiin al-‘Ujab Bi Maa Warada Fii Syahr Rajab (hal.23), “Tidak ada satu hadits shahih pun yang layak dijadikan hujjah mengenai keutamaan bulan Rajab, puasa pada hari tertentu darinya atau pun shalat tahajjud pada malam yang dikhususkan padanya. Sebelum saya, Imam Abu Isma’il al-Hirawy al-Hafizh telah terlebih dahulu menegaskan secara pasti akan hal itu. Kami telah meriwayatkan darinya dengan sanad yang shahih, demikian juga dari ulama selainnya.”

Al-Hafizh Ibn Rajab di dalam Lathaa’if al-Ma’aarif (hal.140) berkata, “Mengenai shalat, tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang adanya shalat khusus di bulan Rajab. Hadits-hadits yang diriwayatkan mengenai keutamaan shalat ‘Ragha’ib’ pada awal malam Jum’at bulan Rajab hanyalah dusta dan batil, tidak shahih sama sekali. Shalat ini adalah bid’ah menurut jumhur ulama. Di antara para ulama muta’akhkhirin dari kalangan ‘al-Huffazh’ yang menyinggung hal itu adalah Abu Isma’il al-Anshary, Abu Bakar as-Sam’any, Abu al-Fadhl bin Nashir, Abu al-Faraj bin al-Jawzy dan ulama selain mereka. Lantas kenapa para ulama terdahulu (al-Mutaqaddimin) tidak menyinggungnya? Hal ini karena shalat tersebut dbuat-buat pasca generasi mereka. Pertama kali shalat itu dikenal adalah pasca tahun 400-an Hijriah. Karena itulah, ia tidak dikenal pada masa ulama terdahulu dan tidak pernah diperbincangkan oleh mereka. Ada pun mengenai puasa, juga tidak ada hadits yang shahih tentang pengkhususannya dilakukan di bulan Rajab yang berasal dari Nabi SAW, demikian pula dari para shahabatnya… Ada diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab terjadi kejadian-kejadian besar, namun tetap tidak ada satu pun hadits yang shahih mengenainya. Di antaranya, diriwayatkan bahwa Nabi SAW dilahirkan pada awal malamnya (malam bulan Rajab), ia diangkat jadi nabi pada tanggal 27 Rajab; dalam riwayat lain disebutkan, tanggal 25 Rajab. Semua itu tidak ada yang shahih. Pun, ada diriwayatkan dengan sanad yang tidak shahih dari al-Qasim bin Muhammad bahwa perjalanan Isra’ Nabi SAW terjadi pada tanggal 27 Rajab namun hal ini ditolak oleh Ibrahim al-Harby dan ulama selainnya.”

(SUMBER: Situs Islam berbahasa Arab, dari fatwa Syaikh Dr Muhammad bin ‘Abdullah al-Qannaash, staf pengajar pada universitas al-Qashim, Riyadh, Saudi Arabia, 03/07/1426 H)

Apa Makna -Fi Sabilillah- Di Dalam al-Quran ?
Jumat, 10 Juni 05

TANYA:
Assalamu 'alaikum… Saya mendengar bahwa bila kalimat 'Fi Sabilillah' disebut di dalam al-Qur'an, maka yang dimaksud adalah berperang Fi Sabilillah (di jalan Allah). Kalimat ini tidak disebut selain makna ini kecuali dalam satu letak saja. Apakah ini benar? Di mana letak satu ayat tersebut?

JAWAB:

Bismillahirrahmanirrahim
Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarokaatuh
Pendapat ini tidak benar, bahkan di dalam al-Qur'an al-Karim terdapat lebih dari satu ayat di mana makna Fi Sabilillah di situ adalah infak untuk mendapatkan keridhaan Allah secara umum. Di antaranya, firman-Nya dalam surat al-Baqarah, ayat 261:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui."

Dan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 262: "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."

Jadi, Sabilillah itu ada dua macam:
Pertama, makna umum: yaitu infak untuk mendapatkan keridhaan Allah dan berbuat ta'at kepada-Nya secara umum
Ke-dua, makna khusus: yaitu infak untuk jihad di jalan Allah.
Wallahu a'lam.

(SUMBER: Fatwa Syaikh. DR Muhammad bin Surayyi' as-Surayyi', staf pengajar Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa'ud)

HUKUM MEREKAM FORUM PERKULIAHAN [CERAMAH] DENGAN MENGGUNAKAN VIDEO KASET

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum merekam forum perkuliahan (ceramah) atau forum lainnya dengan menggunakan video kaset, dengan maksud agar dapat ditayangkan di tempat lain sehingga manfaatnya dapat dirasakan pula oleh orang lain ?

Jawaban
Merekam peristiwa seperti forum perkuliahan atau ceramah lebih dianjurkan menggunakan kaset biasa ketimbang memvisualisasikannya dalam bentuk gambar (seperti video atau vcd). Tetapi kadang-kadang dibutuhkan pula visualisasi gambar agar menjadi jelas siapa yang berbicara. Maka fungsi gambar disini adalah untuk mempertegas dan memperjelas tentang siapa yang berbicara, dan kadang-kadang visualisasi gambar juga dibutuhkan untuk keperluan lainnya.

Saya menahan diri untuk tidak berkomentar dalam masalah ini karena adanya penjelasan hukum atau hadits berkenaan dengan gambar segala sesuatu yang bernyawa, juga karena adanya ancaman yang keras bagi para pelakunya. Meskipun saudara-saudaraku dari kalangan ilmuwan menganggap bahwa hal itu diperbolehkan demi kemaslahatan bersama, tetapi saya pribadi menahan diri dari permasalahan yang demikian mengingat seriusnya masalah tersebut, dan mengingat hadits-hadits yang tertera dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) yang kedudukannya sangat kuat, dan banyak lagi hadits yang menerangkan bahwa orang yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah para pembuat gambar (pelukis), juga hadits-hadits yang melaknat para pembuat gambar dan hadits-hadits lainnya. Semoga Allah memberi petunjuk.
[Majalah Al-Buhuts, edisi 42 hal. 161, Syaikh Ibn Baz]


MEMBUAT GAMBAR DENGAN TANGAN DAN KAMERA
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Dengan segala hormat saya memohon penjelasan anda tentang hukum menggambar, baik dengan menggunakan tangan (melukis) atau dengan alat pembuat gambar (kamera), apa hukum menggantung gambar diatas dinding, dan apa hukum memiliki gambar hanya sekedar dijadikan sebagai kenangan?

Jawaban
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, shalawat dan salam disampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabatnya.

Melukis dengan tangan adalah perbuatan yang diharamkan, bahkan melukis termasuk salah satu dosa besar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pembuat gambar (pelukis), sedangkan laknat tidak akan ditunjukan kecuali terhadap suatu dosa besar, baik yang digambar untuk tujuan mengungkapkan keindahan, atau yang digambar sebagai alat peraga bagi para pelajar, atau untuk hal-hal lainnya, maka hal itu adalah haram.

Tetapi bila seseorang menggambar bagian dari tubuh, seperti tangan saja, atau kepala saja, maka hal itu diperbolehkan. Adapun mengambil gambar dengan menggunakan alat fotografi, maka hal itu diperbolehkan karena tidak termasuk pada perbuatan melukis. Yang menjadi pertanyaan adalah : Apa maksud dari pengambilan gambar tersebut ? Jika pengambilan gambar (pemotretan) itu dimaksudkan agar dimiliki oleh seseorang meskipun hanya dijadikan sebagai kenangan, maka pengambilan gambar tersebut hukumnya menjadi haram, hal itu dikarenakan segala macam sarana tergantung dari tujuan untuk apa sarana tersebut dipergunakan, sedangkan memiliki gambar hukumnya adalah haram. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa malaikat enggan memasuki rumah yang ada gambar didalamnya, dimana hal itu menunjukkan kepada haramnya memiliki dan meletakkan gambar di dalam rumah.

Adapun menggantungkan gambar atau foto diatas dinding adalah haram hukumnya sehingga tidak diperbolehkan untuk menggantungnya meskipun sekedar untuk kenangan, karena malaikat enggan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar.

[Fatwa-Fatwa Syaikh Ibn Utsaimin yang beliau tanda tangani]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerjemah Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq]

HUKUM BERBURUK SANGKA DAN MENCARI-CARI KESALAHAN
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-car kesalahan orang lain” [Al-Hujurat : 12]

Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan berprasangka, karena sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus ialah mencari-cari kesalahan-kesalahan atau kejelekan-kejelekan orang lain, yang biasanya merupakan efek dari prasangka yang buruk.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah seduta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadits no. 6064 dan Muslim hadits no. 2563]

Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”

Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.

Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata : “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.

Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.

Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah kamu pernah ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selemat dari kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?” Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu” [Lihat Kitab Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir (XIII/121)]

Komentar saya : “Alangkah baiknya jawaban dari Iyas bin Mu’awiyah yang terkenal cerdas itu. Dan jawaban di atas salah satu contoh dari kecerdasan beliau”.

Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam kitab Raudhah Al-‘Uqala (hal.131), ”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.

Beliau juga berkata pad hal.133, “Tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana sebaliknya prasangka yang baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal akan berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka. Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita”.


[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr hal 17-21, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]

MENJAGA LISAN AGAR SELALU BERBICARA BAIK
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]

Allah berfirman :
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar” [Al-Ahzab : 70-71]

Dalam ayat lain disebutkan.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]

Allah juga berfirman.
“Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadirs” [Qaf : 16-18]

Begitu juga firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [Al-Ahzab : 58]

Dala kitab Shahih Muslim hadits no. 2589 disebutkan.

“Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah ?” Para sahabat menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui. “Beliau berkata, “Ghibah ialah engkau menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka” Ada yang menyahut, “Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya”

Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban” [Al-Israa : 36]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka qila wa qala (berkata tanpa berdasar), banyak bertanya (yang tidak berfaedah) serta menyia-nyiakan harta” [1]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Setiap anak Adam telah mendapatkan bagian zina yang tidak akan bisa dielakkannya. Zina pada mata adalah melihat. Zina pada telinga adalah mendengar. Zina lidah adalah berucap kata. Zina tangan adalah meraba. Zina kaki adalah melangkah. (Dalam hal ini), hati yang mempunyai keinginan angan-angan, dan kemaluanlah yang membuktikan semua itu atau mengurungkannya” [2]

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no.10 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya”

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim no.64 dengan lafaz.

“Artinya : Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”.

Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir hadits no. 65 dengan lafaz seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadits tersebut. Beliau berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang apa yang telah lalu, yang sedang terjadi sekarang dan juga yang akan terjadi saat mendatang. Berbeda dengan tangan. Pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh tulisan”.

Oleh karena itu, dalam sebuah sya’ir disebutkan :

Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tangannku kan abadi
Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal
Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6474 dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah bersabda.
“Artinya : Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga”

Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua janggutnya adalah mulut, sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan.


[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr, hal 22-41, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]
_________
Foote Note.
[1] Diriwayatkan oleh Muslim hadits no. 1715. Hadits tentang tiga perkara yang dibenci ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Mughirah hadits no.2408 dan diriwayatkan juga oleh Muslim.
[2] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6612 dan Muslim hadits no.2657. Lafaz di atas adalah yang terdapat dalam riwayat Muslim

MENINGGALKAN PEKERJAAN YANG DIDALAMNYA TERDAPAT MAKSIAT

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebagian manusia tidak setuju keputusan sebagian orang yang meninggalkan pekerjaan yang di dalamnya terdapat perbuatan maksiat dan yang diharamkan, dan menuduh mereka tergesa-gesa, membinasakan diri sendiri, dan tidak mendapatkan pekerjaan, apakah rizki memang ditangan mereka ?

Jawaban
Semua rizki berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bisa saja tindakannya meninggalkan maksiat menjadi penyebab datangnya rizki, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanyaâ€
 Ath-Thalaq : 2-3]

Rizki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan bisa didapatkan karena kemaksiatan kecuali atas dasar istidraj (memperdaya/memberikan tempo). Apabila anda melihat seseorang yang diberikan Allah rizki yang melimpah kepadanya, sedangkan dia tetap melakukan maksiat, maka ini adalah istidraj dari Allah kepadanya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam KitabNya.

“Artinya : Dan begitulah adzab Rabbmu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzabNya itu adalah sangat pedih lagi kerasâ€
 [Hud : 102]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tempo kepada orang yang zhalim, hingga apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan adzabNya, Dia tidak akan melepaskannya. Lalu beliau membaca ayat ini.

“Artinya : Dan begitulah adzab Rabbmu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzabNya itu adalah sangat pedih lagi kerasâ€
 [Hud : 102]

Adapun ucapan orang yang mengatakan bahwa ini adalah tindakan tergesa-gesa dan membinasakan diri sendiri, sebenarnya hal ini tidak bisa kita katakan tergesa-gesa atau tidak tergesa-gesa hingga kita melihat kondisi orang yang lari dari pekerjaan, apakah dia bisa tetap bekerja disertai sifat sabar atau tidak bisa sabar, sehingga terpaksa keluar dari pekerjaannya. Apabila ia bisa sabar dan mengharapkan pahala terhadap gangguan yang didapatnya, apalagi dalam perkara-perkara penting seperti seorang tentara misalnya, maka dia wajib untuk tetap bersabar. Dan jika itu tidak mungkin lalu dipaksa keluar, maka dosa atas orang yang mengeluarkannya.

[Fatawa Mu’ashirah, hal. 61 Syaikh Ibn Baz]

[
Disalin dari bukuAl-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerbit Darul Haq]

========================================================================

MENJAGA LISAN AGAR SELALU BERBICARA BAIK

Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan [3/3]

Diriwayatkan bahwa Yahya bin Abi Katsir pernah berkata, “Seseorang yang baik perkataannya dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya, dan orang yang jelek perkataannya pun dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2581 dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda.

“Artinya : Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut ? Para sahabat pun menjawab, ‘Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda. ‘Beliau menimpali, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, akan tetapi, ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang panjang dalam kitab Shahihnya no. 2564 dari Abu Hurairah, yang akhirnya berbunyi;.

“Artinya : Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai menghina saudaranya sesama muslim. Seorang muslim wajib manjaga darah, harta dan kehormatan orang muslim lainnya”

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya hadits no. 1739 ; begitu juga Muslim [4] dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pernah berkhutbah pada hara nahar (Idul Adha). Dalam khutbah tersebut beliau bertanya kepada manusia yang hadir waktu itu, “Hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Hari yang haram”. Beliau bertanya lagi, “Negeri apakah ini?” Mereka menjawab, “Negeri Haram”. Beliau bertanya lagi, “Bulan apakah ini ?” Mereka menjawab, “Bulan yang haram”. Selanjutnya beliau bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram bagi masing-masing kalian (merampasnya) sebagaimana haramnya ; hari, bulan dan negeri ini. Beliau mengulangi ucapan tersebut beberapa kali, lalu berkata, “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu)? Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu) ?”

Ibnu Abbas mengomentari perkataan Nabi di atas, “Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya ini adalah wasiat beliau untuk umatnya. Beliau berpesan kepada kita, ‘Oleh karena itu, hendaklah yang hadir memberitahukan kepada yang tidak hadir. Janganlah kalian kembali kepada kekafiran sepeninggalku nanti, yaitu kalian saling memenggal leher”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2674 dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang menyeru kepada kebaikan maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”

Al-Hafidz Al-Mundziri dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib (I/65) mengomentari hadits.

“Artinya : Apabila seorang manusia wafat, maka terputuslah jalan amal kecuali dari tiga perkara …dst”

Beliau berkata, “Orang yang mebukukan ilmu-ilmu yang bermanfaat akan mendapatkan pahala dari perbuatannya sendiri dan pahala dari orang yang membaca, menulis dan mengamalkannya, berdaasrkan hadits ini dan hadits yang semisalnya. Begitu pula, orang-orang yang menulis hal-hal yang membuahkan dosa, maka dia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya sendiri dan dosa dari orang-orang yang membaca, menulis atau mengamalkannya, berdasarkan hadits.

“Artinya : Barangsiapa yang merintis perbuatan yang baik atau buruk, maka ….”

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6505 dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Allah berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka kuizinkan ia untuk diperangi”


[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr hal 22-41, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]
_________
Foote Note
[4] Tetapi lafaz yang tersebut terdapat dalam riwayat Bukhari

NIKMAT MAMPU BERBICARA DAN MENJELASKAN
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Sesungguhnya kenikmatan yang Allah berikan kepada hamba-hambanya tak terhitung dan terhingga banyaknya. Dan termasuk salah satu nikmat agung yang diberikan oleh Allah kepada kita adalah nikmat mampu berbicara. Dengan kemapuan tersebut seseorang bisa mengutarakan keinginannya, mampu menyampaikan perkataan yang benar dan mampu beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Orang yang tidak diberi nikmat mampu berbicara, jelas dia tidak akan mampu melakukan hal di atas. Dia hanya bisa mengutarakan sesuatu dan memahamkan orang dengan isyarat atau dengan cara menulis, jika dia mampu menulis. Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan Allah membuat (pula) perumpamaan dua orang lelaki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban bagi penanggungnya, kemana saja dia suruh oleh penanggungnya itu dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan yang berada di atas jalan yang lurus?â€
 [An-Nahl : 76]

Tentang tafsir ayat ini, ada yang mengatakan bahwasanya Allah memberikan permisalan perbandingan antara diriNya dengan berhala yang disembah. Adapula yang mengatakan bahwa Allah memberi permisalan antara orang kafir dan orang yang beriman. Imam Qurthubi menjelaskan dalam kitab Tafsirnya (IV/149), “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa penjelasan-penjelasan tersebut semuanya baik, karena telah mencakupâ€
.

Permisalan di atas secara jelas menerangkan kekurangan seorang budak bisu yang tidak mampu memberikan manfaat kepada orang lain. Pemiliknya pun tidak mampu mengambil manfaat kapan dia membutuhkannya. Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya apa yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkanâ€
 [Adz-Dzariyat : 23]

Allah bersumpah dengan diriNya akan pastinya kedatangan hari kebangkitan dan pembalasan amal manusia, sebagaimana pastinya ucapan yang menjadi perwujudan dari orang yang berbicara. Pada ayat tersebut Allah memaparkan sebagian karuniaNya yang berupa ucapan,

Allah Ta’ala juga berfirman.

“Artinya : Dia menciptakan manusia, dan mengajarinya berbicaraâ€
 [Ar-Rahman : 2-3]

Al-Hasan Al-Bashri menafsirkan bahwa al-bayan (penjelasan) adalah berbicara. Jadi, Allah menyebutkan nikmat berbicara ini, karena dengan berbicara manusia bisa mengutarakan apa yang diinginkannya.

Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Bukannkah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir?â€
 [Al-Balad : 8-9]

Dalam kitab Tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan, “Firman Allah : (Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata), maksudnya dengan kedua mata tersebut dia mampu melihat. Dan lidah, yaitu dengan lidahnya dia mampu berbicara ; mampu mengungkapkan apa yang tersimpan dalam hatinya. Dan kedua bibirnya, yaitu dengan bibirnya dia dapat mengucapkan sebuah perkataan, atau memakan makanan ; juga sebagai penghias wajah dan mulutnyaâ€
.

Akan tetapi, kita tahu bahwa nikmat berbicara ini akan menjadi kenikmatan yang hakiki apabila digunakan untuk membicarakan hal-hal yang baik. Apabila digunakan untuk perkara yang jelek, maka hal itu justru akan menjadi musibah bagi pemiliknya. Dalam keadaan seperti itu, maka orang yang tidak diberi nikmat berbicara lebih baik keadaannya dibandingkan dengan orang yang menggunakan nikmat ini dalam perkara yang jelek.


[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr, hal 17-21, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]

FENOMENA TAHDZIR, CELA-MENCELA SESAMA AHLUSSUNNAH DAN SOLUSINYA
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]

Pada masa sekarang ini, ada sebagian ahlussunnah yang sibuk menyerang ahlussunnah lainnya dengan berbagai celaan dan tahdzir. Hal tersebut tentu mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan sikap saling tidak akur.
Padahal mereka saling cinta mencintai dan saling berkasih sayang, serta bersatu padu dalam barisan yang kokoh untuk menghadapi para ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang menyelisihi ahlussunnah.

Adanya Fenomena Diatas Disebabkan Dua Hal:

Pertama.
Ada sebagian ahlussunnah pada masa sekarang ini yang menyibukkan diri mencari-cari kesalahan ahlussunnah lainnya dan mendiskusikan kesalahan tersebut, baik yang terdapat di dalam tulisan maupun kaset-kaset. Kemudian dengan bekal kesalahan-kesalahan tersebut mereka melakukan tahdzir terhadap ahlussunnah yang menurut mereka melakukan kesalahan.

Salah satu sebab mereka melakukan tahdzir adalah karena ada Ahlussunnah lain yang bekerjasama dengan salah satu yayasan yang bergerak dalam bidang keagamaan untuk mengadakan ceramah-ceramah atau seminar-seminar keagamaan. Padahal Syaikh abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah memberikan ceramah kepada pengurus yayasan keagamaan tersebut melalui telepon. Dan kerjasama Ahlussunnah lain dengan yayasan tersebut sebenarnya sudah dinyatakan boleh oleh dua ulama besar itu dengan fatwa.

Oleh karena itu, hendaknya mereka introspeksi terhadap diri mereka terlebih dahulu sebelum menyalahkan dan mencela pendapat orang lain; apalagi tindakan ahlussunnah lain tadi bersumber dari fatwa ulama besar. Anjuran introspeksi diri seperti ini pernah disampaikan oleh sebagian Sahabat Rasulullah setelah dilangsungkannya perjanjian Hudaibiyah. Sebagian sahabat ada yang berkata, “Wahai Manusia, hendaklah kalian mau introspeksi diri agar tidak menggunakan akal kalian dalam masalah agama.”

Amat disayangkan, padahal mereka yang dicela itu telah banyak membantu masyarakat, baik melalui pelajaran-pelajaran yang disampaikan, karya-karya tulis, maupun khotbah-khotbahnya. Mereka di-tahdzir hanya dikarenakan tidak membicarakan tentang si Fulan atau jamaah tertentu. Sayang sekali memang, fenomena cela mencela dan tahdzir ini telah merembet ke negeri Arab. Ada di antara mereka yang terkena musibah ini yang memiliki keilmuan yang luas dan memiliki usaha yang keras dalam menampakkan, menyebarkan dan menyeru kepada Sunnah. Tidak diragukan lagi bahwa tahdzir terhadap mereka telah menghalangi jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang hendak mengambil manfaat dari mereka, baik dari sisi ilmu maupun ahlak.

Kedua.
Ada sebagian Ahlussunnah yang apabila melihat kesalahan Ahlussunnah lain, maka mereka menulis bantahannya, lalu pihak yang dibantah membalas bantahan tersebut dengan bantahan yang serupa. Pada akhirnya kedua belah pihak sibuk membaca tulisan-tulisan pihak lawan atau mendengarkan kaset-kaset, yang lama maupun yang baru, dalam rangka mencari kesalahan dan kejelekkan lawannya, padahal boleh jadi kesalahan-kesalahan tadi hanya disebabkan karena terpeleset lidah. Semua itu mereka kerjakan secara perorangan atau secara berkelompok. Kemudian tiap-tiap pihak berusaha untuk memperbanyak pendukung yang membelanya dan merendahkan pihak lawannya. Kemudian para pendukung di tiap pihak berusaha keras membela pendapat pihak yang didukungnya dan mencela pendapat pihak lawannya. Merekapun memaksa setiap orang yang mereka temui untuk mempunyai sikap yang jelas terhadap orang-orang yang berada di pihak lawan.

Apabila orang tersebut tidak mau menunjukkan sikapnya secara jelas, maka dia pun dianggap masuk sebagai kelompok ahli bid’ah seperti kelompok lawannya. Sikap tersebut biasanya diikuti dengan sikap tidak akur satu pihak dengan pihak lainnya. Tindakan kedua belah pihak serupa dengan itu merupakan pangkal muncul dan tersebarnya konflik pada skala yang lebih luas. Dan keadaan bertambah parah, karena pendukung masing-masing kelompok menyebarkan celaan-celaan tersebut di jaringan internet, sehingga para pemuda ahlussunnah di berbagai negeri, bahkan lintas benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan di website masing-masing pihak. Berita yang disebarkan oleh masing-masing pihak hanyalah berita-berita qila wa qala saja, tidak jelas sumbernya, dan tidak mendatangkan kebaikan sedikit pun, bahkan hanya akan membawa kerusakan dan perpecahan. Sikap yang dilakukan para pendukung masing-masing pihak seperti orang yang bolak balik di papan pengumuman untuk mengetahui berita terbaru yang ditempel. Mereka juga tidak ubahnya seperti supporter olahraga yang saling menyemangati kelompoknya. Permusuhan, kekacauan dan perselisihan sesama mereka merupakan akibat dari dihasilkan sikap-sikap seperti itu.


[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, hal 69 - 85, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]

FENOMENA TAHDZIR, CELA-MENCELA SESAMA AHLUSSUNNAH DAN SOLUSINYA
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]

Solusi Permasalahan Ini
Ada Beberapa Solusi Yang Bisa Diketengahkan Dalam Permaslahan Ini.

Pertama.
Berkaitan dengan cela mencela dan tahdzir perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:

[1] Orang-orang yang sibuk mencela ulama dan para penuntut ilmu hendaknya takut kepada Allah subhanahu wa Ta’ala dengan tindakkannya tersebut. Mereka hendaknya lebih menyibukkan diri memperhatikan kejelekkan dirinya sendiri agar bisa terbebas dari kejelekan orang lain. Mereka hendaknya berusaha menjaga kekalnya kebaikan yang dia miliki. Janganlah mereka mengurangi amal kebaikan mereka walaupun sedikit, yaitu dengan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang dia cela. Hal itu karena mereka lebih membutuhkan kebaikan tersebut dibanding yang lain pada hari dimana harta dan anak-anak takkan berguna kecuali orang yang datang kepada Allah Ta’ala dengan hati yang selamat. [Maksudnya pada hari kiamat, -pen]

[2] Hendaknya mereka berhenti melakukan cela-mencela dan tahdzir, lalu menyibukkan diri memperdalam ilmu yang bermanfaat; bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu agar bisa manfaat dari ilmu tersebut dan menyampaikannya kepada orang lain yang membutuhkannya. Hendaknya mereka menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan, baik dengan belajar mengajar, berdakwah atau menulis. Semua itu jelas lebih membawa kebaikan. Jika mereka melakukan tindakan-tindakan yang baik seperti itu, tentu mereka dikatakan sebagai orang-orang yang membangun. Jadi, janganlah mereka sibuk mencela sesama ahlussunnah, baik yang ulama maupun penuntut ilmu, karena hal itu akan menutup jalan bagi orang-orang yang mendapatkan manfaat keilmuan dari mereka. Perbuatan-perbuatan seperti itu adalah temasuk perbuatan-perbuatan yang merusak. Orang-orang yang sibuk dengan tindakan cela-mencela seperti itu, setelah mereka meninggal tidak meninggalkan bekas ilmu yang bermanfaat, dan manusia tidak merasa kehilangan para ulama yang ilmunya bermanfaat bagi mereka, bahkan sebaliknya, dengan kematian mereka manusia merasa selamat dari keburukan.

[3] Para penuntut ilmu dari kalangan ahlussunnah hendaknya menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan seperti membaca buku-buku yang bermanfaat, mendengarkan kaset-kaset ceramah para ulama ahlussunnah seperti Syaikh bin Baz, Syaikh Ibnu Utsiamin, daripada sibuk menelepon fulan atau si Fulan bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang Fulan atau Fulan?” atau “Bagaimana komentarmu tentang pernyataan Fulan terhadap si Fulan dan tanggapan si Fulan terhadap si Fulan?”

[4] Berkaitan dengan pertanyaan tentang orang-orang yang sibuk dalam bidang keilmuan, mereka boleh dimintai fatwa atau tidak, selayaknya hal tersebut ditanyakan kepada pimpinan Lembaga Fatwa di Riyadh. Dan siapa yang mengetahui keadaan mereka, hendaknya mau melayangkan surat kepada pimpinan Lembaga Fatwa yang berisi penjelasan tentang keadaan mereka untuk dijadikan bahan pertimbangan. Hal itu dimaksudkan agar sumber penilaian cacat seseorang dan tahdzir, apabila memang harus dikeluarkan, maka yang mengeluarkan adalah lembaga yang berkompeten dalam masalah fatwa dan berwenang menjelaskan tentang siapa-siapa yang dapat diambil ilmunya dan dimintai fatwa. Tidak diragukan lagi bahwa lembaga yang dijadikan sebagai rujukan fatwa dalam berbagai permasalahan, juga selayaknya dijadikan sebagai sumber rujukan untuk mengetahui siapa yang boleh dimintai fatwa dan diambil ilmunya. Hendaknya janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai tempat rujukan dalam perkara yang sangat penting ini, karena sesungguhnya termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi dirinya.

Kedua.
Berkaitan dengan cara membantah orang yang melakukan kekeliruan pendapat perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:

[1] Hendaknya bantahan tersebut dilakukan dengan penuh keramahan dan kelemah-lembutan disertai keinginan yang kuat untuk menyelamatkan orang yang salah tersebut dari kesalahannya, apabila kesalahannya jelas terlihat. Selayaknya seseorang yang hendak membantah pendapat orang lain merujuk bagaimana cara Syaikh bin Baz tatkala melakukan bantahan, untuk kemudian diterapkannya.

[2] Apabila kesalahan orang yang dibantah tadi masih samar, mungkin benar atau mungkin juga salah, maka selayaknya masalah tersebut dikembalikan kepada pimpinan Lembaga Fatwa untuk diberi keputusan hukumnya. Adapun apabila kesalahannya jelas, maka wajib bagi orang yang dibantah tersebut untuk meninggalkannya. Kerena kembali kepada kebenaran adalah lebih baik dari pada tetap tenggelam dalam kebatilan.

[3] Apabila seseorang telah membantah orang lain, maka berarti dia telah menunaikan kewajiban dirinya, maka hendaknya dia tidak menyibukkan diri mengikuti gerak-gerik orang yang dibantah. Sebaliknya, dia selayaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun orang lain. Begitulah sikap yang dicontohkan oleh Syaikh bin Baz.

[4] Seorang penuntut ilmu tidak diperbolehkan mengajak orang lain serta memaksanya untuk memilih si Fulan (yang dibantah) atau ikut dia (yang membantah); apabila sepakat dengannya maka dia selamat; namun apabila tidak sepakat maka di bid’ahkan dan diboikotnya.

Tidak boleh seorang pun menisbatkan fenomena tabdi’ (pembid’ahan) dan hajr (pemboikotan) yang kacau seperti ini sebagai manhaj Ahlussunnah. Dan siapapun tidak diperbolehkan menggelari orang yang tidak menempuh jalan yang ngawur ini sebagai orang yang tidak bermanhaj salaf. Boikot (hajr) yang dilakukan dalam manhaj Ahlussunnah adalah boikot yang memberikan manfaat bagi orang yang diboikot, seperti boikot seorang bapak pada anaknya, Syaikh kepada muridnya, dan boikot dari pihak yang memiliki kedudukan dan derajat yang lebih tinggi kepada orang-orang yang menjadi bawahannya. Boikot-boikot seperti itu akan memberikan manfaat bagi orang yang diboikot. Namun apabila boikot itu bersumber dari dari seorang penuntut ilmu kepada penuntut ilmu yang lain, lebih-lebih pada perkara yang tidak selayaknya seseorang diboikot, maka boikot seperti itu tidak manfaat sedikit pun bagi orang yang diboikot, tetapi malah akan menimbulkan permusuhan, saling membelakangi dan saling menghalangi.


[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, hal 69-85, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]

======================================================================

FENOMENA TAHDZIR, CELA-MENCELA SESAMA AHLUSSUNNAH DAN SOLUSINYA
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Bagian Ketiga dari Tiga Tulisan [3/3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Majmu’ Fatawa (III/413-414) ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah. Beliau berkata, “Pendapat yang benar adalah pendapat yang dikemukakan oleh para imam, yaitu bahwa Yazid bin Mu’awiyah tidak perlu dicintai secara khusus, namun juga tidak boleh dilaknat. Meskipun dia seorang yang fasiq atau zalim, mudah-mudahan Allah mengampuni orang yang fasiq dan zalim, terlebih lagi dia telah melakukan kebaikan yang besar.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah bersabda.

“Pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin akan diampuni dosa-dosanya.”

Dan pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin dipimpin oleh Yazid bin Mu’awiyah, dan Abu Ayyub Al-Anshari ikut dalam pasukan tersebut. Oleh karena itu, selayaknya kita bersikap adil dalam permasalahan tersebut. Kita tidak boleh mencela Yazid bin Mu’awiyah dan memata-matai seseorang dalam bersikap terhadapnya, karena sikap seperti itu adalah bid’ah yang bertentangan dengan manhaj Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Dalam kitab yang sama (III/415), beliau juga berkata, “Sikap seperti itu juga akan memecah belah umat Islam. Disamping itu, sikap itu tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (XX/164), “Tidak boleh seorang pun menjadikan orang lain sebagai figur yang harus diikuti dan sebagai standar dalam berteman atau bermusuhan selain Rasulullah. Tidak diperkenankan pula seseorang menjadikan sebuah perkataan pun sebagai barometer untuk berteman dan bermusuhan selain perkataan Allah dan Rasul-Nya serta ijma’ kaum muslimin. Cara-cara seperti ini adalah termasuk perbuatan ahli bid’ah. Para ahli bid’ah biasa menjadikan figur atau sebuah perkataan sebagai tolak ukur. Mereka berteman ataupun bermusuhan dengan dasar perkataan atau figure tersebut. Akhirnya hanya memecah-belah umat Islam.

Para pendidik tidak boleh mengkotak-kotakkan umat Islam, dan melakukan perbuatan yang hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bahkan yang seharusnya dilakukan adalah saling menolong atas dasar kebaikan dan takwa, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala.

“Dan Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. Al-Maidah: 2]

Al-Hafizh Ibnu Rajab ketika menjelaskan hadist: Beliau berkata, “Termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tak berguna baginya.”

Dalam kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al ‘Hikam (I/288), beliau berkata, “Hadist ini merupakan landasan penting dalam masalah adab. Imam Abu Amru bin Ash Shalah menceritakan bahwa Abu Muhammad bin abu Zaid, salah seorang imam Madzhab Malik pada zamannya, pernah berkata: “Adanya berbagai macam adab kebaikan bercabang dari empat hadist, yaitu hadist Rasulullah:

“Barangsiapa yang beriman dengan Allah Ta’ala dan hari akhirat hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau (kalau tidak bisa) lebih baik diam.”
Lalu hadits:

“Salah satu ciri baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.”

Lalu hadist Rasulullah yang mengandung wasiatnya yang singkat:

“Jangan marah,”

Kemudian yang terakhir hadist:

“Seorang mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.”

Saya Berkata :
Betapa perlunya para penuntut ilmu dengan adab-adab diatas, karena adab-adab tersebut jelas akan mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Para penuntut ilmu juga perlu menjauhi sikap dan kata-kata yang kasar yang hanya akan membuahkan permusuhan, perpecahan, saling membenci dan mencerai-beraikan persatuan.

Menjadi kewajiban bagi setiap penuntut ilmu untuk menasehati dirinya sendiri agar berhenti mengikuti tulisan-tulisan di internet yang memuat komentar kedua belah pihak dalam masalah ini. Hendaknya mereka memanfaatkan dan memperhatikan website yang lebih bermanfaat seperti website milik Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang berisi telaah pembahasan-pembahasan ilmiah keagamaan dan fatwa-fatwa beliau yang sampai sekarang telah mencapai dua puluh satu jilid. Website lain yang lebih bermanfaat untuk mereka lihat adalah website Fatwa Lajnah Daimah yang sampai kini telah mencapai dua puluh jilid; begitu pula website Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang berisi telaah kitab-kitab dan fatwa-fatwanya yang banyak dan luas.


[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, hal 69-85, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]

=========================================================================

BERKASIH SAYANG DAN LEMAH LEMBUT
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Allah menjelaskan bahwa Nabi-Nya, Muhammad, sebagai orang yang memiliki akhlak yang agung. Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sungguh, kamu mempunyai akhlak yang agung” [Al-Qalam : 4]

Allah juga menjelaskan bahwa beliau adalah orang yang ramah dan lemah lembut. Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dengan sebab rahmat Allah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauh dari sekelilingmu” [Ali Imran : 159]

Allah juga menjelaskan bahwa beliau adalah orang yang penyayang dan memiliki rasa belas kasih terhadap orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, yang berat memikirkan penderitaanmu, sangat menginginkan kamu (beriman dan selamat), amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min” [At-Taubah : 128]

Rasulullah memerintahkan dan menganjurkan kita agar senantiasa berlaku lemah lembut. Beliau bersabda.
“Artinya : Mudahkanlah dan jangan kalian persulit, berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat orang lari”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734 dari Anas bin Malik. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim no. 1732 dari Abu Musa dengan lafaz.

“Artinya : Berilah kabar gembira dan jangan kalian membuat orang lari. Mudahkanlah dan janganlah kalian persulit”.

Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no.220 meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah berkata kepada para sahabatnya pada kisah tentang seorang Arab Badui yang kencing di masjid.

“Artinya : Biarkanlah dia ! Tuangkanlah saja setimba atau seember air. Sesungguhnya kalian diutus untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit”

Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah hadits no.6927 bahwa Rasulullah bersabda.
“Artinya : Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu Mahalembut dan mencintai kelembutan di dalam semua urusan”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim no. 2593 dengan lafaz.
“Artinya : Wahai Aisyah, sesunguhnya Allah itu Mahalembut dan mencintai kelembutan. Allah memberi kepada kelembutan hal-hal yang tidak diberikan kepada kekerasan dan sifat-sifat lainnya”

Muslim meriwayatkan hadits dalam kitab Shahihnya no.2594 dari Aisyah, Nabi bersabda.
“Artinya : Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan nampak jelek”
Muslim juga meriwayatkan hadits no. 2592 dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang tidak memiliki sifat lembut, maka tidak akan mendapatkan kebaikan”.

Allah pernah memerintahkan dua orang nabiNya yang mulia yaitu Musa dan Harun untuk mendakwahi Fir’aun dengan lembut. Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia telah berbuat melampui batas. Berbicaralah kepadanya dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan ia mau ingat atau takut” [Thaha : 43-44]

Allah juga menjelaskan bahwa para sahabat yang mulia senantiasa saling bekasih sayang. Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah. Orang-orang yang selalu bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” [Al-Fath : 29]


[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr hal 17-21, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]

Sabtu, 24 Maret 2006 - 20:15:55, Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Baabduh

Kategori : Kajian Utama

SEJARAH NAJD DAN HUBUNGANNYA DENGAN DAULAH ‘UTSMANIYAH
[Print View] [kirim ke Teman]

Berawal dari dakwah yang dikembangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, negeri Najd dan sekitarnya berkembang menjadi negeri tauhid yang diliputi ketentraman, setelah keterpurukan agama dan keterbelakangan sosial menggayuti negeri ini. Namun hal ini justru dianggap sebagai ancaman besar bagi Daulah Utsmaniyah yang banyak dipengaruhi aqidah Sufi.

Pengetahuan tentang sejarah Najd dan negeri-negeri di sekitarnya sangatlah penting untuk diketahui setiap muslim dalam rangka mengenal hakekat sebenarnya dari dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, di mana fakta dan sejarah tentang dakwah beliau telah banyak diputarbalikan oleh ahlul batil hingga kini, baik dari kalangan Syi’ah Rafidhah, Tashawwuf, ataupun kaum hizbiyyin dari kalangan neo Khawarij, baik dari kelompok Hizbut Tahrir ataupun yang lainnya.
Perlu diketahui bahwa Negeri Najd sejak sebelum munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, bahkan sejak jauh hari sebelum kelahiran beliau, benar-benar dalam keadaan yang menyedihkan dan sangat bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini ditinjau dari dua sisi, baik dari sisi kehidupan keagamaan masyarakat Najd secara umum pada masa itu, ataupun dari sisi kehidupan sosial politik serta keamanan negeri tersebut dan sekitarnya.
Najd adalah bagian dari kawasan Jazirah Arabia yang terletak antara Hijaz dan Iraq1.

Sejarah Kehidupan Keagamaan Najd
Pada masa itu, kaum muslimin di negeri Najd dan Al-Ahsa` serta negeri-negeri yang lainnya, sejak sebelum kelahiran Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, telah tenggelam dalam kehidupan yang penuh kesyirikan, bid’ah, dan khurafat, serta kemaksiatan. Mereka telah mencampakkan bimbingan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta para shahabat radhiallahu 'anhum. Berbagai macam bentuk ibadah kepada selain Allah mereka lakukan, ber-istighatsah dan meminta tolong serta perlindungan kepada makhluk-makhluk, baik wali, jin, batu, pohon, dan yang lainnya.
Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di salah satu daerah Najd yang terkenal dengan nama Balidah. Ada sebuah sebuah pohon kurma pejantan, yang terkenal dengan nama Al-Fida’. Pohon itu dikenal karena kejantanannya, sehingga manusia berdatangan ke tempat tersebut untuk meminta berbagai macam permohonan kepadanya.
Orang-orang yang mengalami kesempitan rizki, musibah, atau penyakit, berdatangan untuk memohon jalan keluar dari musibah-musibah yang mereka alami. Begitu juga seorang wanita yang ingin segera mendapatkan jodoh, memohon dengan mengatakan: “Wahai pohon pejantan yang ampuh, berilah aku seorang suami…dst.”2

Tak luput pula di daerah Ad-Dir’iyyah, tempat cikal bakal kemunculan dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ad-Dir’iyyah telah dipenuhi dengan berbagai macam kesyirikan. Di antaranya adalah adanya sebuah makam di salah satu gua pada sebuah gunung di negeri tersebut yang kebanyakan orang meyakininya sebagai makam seorang wanita cantik yang terkenal dengan julukan Bintul Amir. Konon, dia adalah seorang wanita yang bertakwa dan banyak beribadah.
Suatu hari, ia keluar rumah dan sampai di gunung tersebut. Ternyata di sana ada segerombolan pria jahat yang hendak menodai kehormatannya. Melihat kondisi ini, wanita tersebut berdoa kepada Allah, memohon perlindungan dari bahaya. Belum selesai dari doanya, ternyata salah satu sisi dari gunung tersebut terbelah, kemudian wanita itu segera memasukinya hingga dia pun mengakhiri hidupnya di goa tersebut. Setelah itu, beredar keyakinan bahwa wanita itu adalah salah seorang wali Allah. Maka berdatanganlah manusia ke tempat itu meminta barakah, rizki, dan jalan keluar atas segala penyakit maupun musibah yang menimpa mereka.3
Kemudian, beberapa negeri di luar Najd, seperti Mesir, Iraq, India, dan Yaman, dan juga sebagian besar daerah di wilayah kekuasaan Dinasti ‘Utsmani telah dipenuhi berbagai macam praktek kesyirikan, bid’ah, khurafat, dan kemaksiatan.
Di Mesir, pada waktu itu umat Islam melakukan doa dan istighatsah serta penyembelihan hewan-hewan sebagai sesaji untuk kuburan Al-Badawi dan Ar-Rifa’i. Di Iraq, kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi kuburan Abdul Qadir Al-Jailani. Di Makkah dan Ath-Tha`if pun tak luput dari praktek-praktek kesyirikan, di mana mereka beramai-ramai mendatangi kuburan Ibnu ‘Abbas. Demikian pula negeri Yaman dengan kuburan Ibnu ‘Alwan-nya.4

Sejarah Kehidupan Politik dan Keamanan Najd
Kehidupan sosial politik dan keamanan di Negeri Najd sejak sebelum kelahiran Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu adalah sebuah kehidupan yang sangat mengerikan.
Hukum yang berlaku adalah hukum kekabilahan. Masing-masing daerah terpisah dari daerah yang lainnya dan tercerai berai di bawah kekuasaan para pemimpin kabilah, yang mayoritas mereka terkungkung kejahilan dan hawa nafsu. Penguasa negeri yang memiliki kekuatan berambisi untuk mencaplok negeri lainnya yang cenderung lebih lemah.
Di setiap negeri terjadi peperangan, pembunuhan, serta kedzaliman. Perasaan takut dan mencekam meliputi negeri Najd. Kaum wanita pun menjadi tawanan yang ternodai dan diperjualbelikan harga dirinya. Para perampok di jalan-jalan menjadi momok besar bagi para pedagang yang hendak lewat.
Salah satu pembesar kabilah yang terkenal dengan kekejamannya adalah penguasa kota Ar-Riyadh yang dikenal dengan Dahham bin Dawwas. Seorang pendusta yang dzalim, yang dikenal dengan kemunafikannya, menghalalkan berbagai macam perkara yang diharamkan. Dia adalah seorang pelayan di istana penguasa Riyadh, yang kemudian dengan segala tipu dayanya berhasil menduduki kursi kekuasaan.
Disebutkan di antara kekejamannya adalah ketika suatu hari dia marah terhadap seorang wanita, maka mulut wanita tersebut dijahit. Dan pada hari lain, dia menyiksa seorang lelaki yang tak bersalah dengan bentuk siksaan yang tidak pernah tercatat dalam sejarah. Dia potong paha lelaki tersebut dan diperintahkannya untuk memakan potongan daging pahanya sendiri. Kondisi yang mengerikan ini, tak ada satu pihak pun yang mampu menghentikannya.
Hingga Allah lahirkan seorang ulama besar yang menyeru kepada tauhid dan Sunnah, serta mengajak umat untuk menegakkan syariat Islam di bumi Najd khususnya dan negeri-negeri muslimin secara umum. Dialah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali At-Tamimi An-Najdi rahimahullahu.
Yang tidak kalah pentingnya dengan pembahasan di atas adalah pengenalan kondisi Daulah ‘Utsmaniyyah pada masa itu kaitannya dengan keberlangsungan dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu di daerah Najd. Pembahasan ini meliputi:

Hubungan Najd dengan Daulah ‘Utsmaniyyah

Banyak pihak menyatakan kawasan Najd pada masa itu adalah bagian dari teritorial kekuasaan Dinasti ‘Utsmani. Sehingga dari sinilah muncul anggapan bahwa gerakan dakwah di Najd yang dipimpin Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dengan dukungan penuh dari Penguasa Ad-Dir’iyyah, yaitu Al-Amir Muhammad bin Su’ud dan keluarganya, sebagai bentuk pemberontakan atau gerakan separatis yang memberontak terhadap Dinasti ‘Utsmani. Tuduhan miring ini muncul disebabkan beberapa faktor, antara lain:
1. Adanya pihak-pihak yang benci dan sakit hati terhadap dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang mendorong mereka untuk memutarbalikkan fakta serta menyebarkan isu-isu dusta tentang dakwah beliau sebagaimana akan kami jelaskan dalam kajian Musuh-musuh Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
2. Jauhnya umat dari para ulama Ahlus Sunnah dan referensi-referensi Islam yang bisa dipertanggungjawabkan.
Untuk menjawab beberapa tuduhan miring di atas, maka perlu kami jelaskan tentang eksistensi Najd dan hubungannya dengan Dinasti ‘Utsmani.
Sejarah mencatat bahwa Najd secara umum pada waktu itu atau daerah Ad-Dir’iyyah secara khusus, yaitu negeri tempat munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, tidak termasuk wilayah kekuasaan Khilafah ‘Utsmaniyyah. Bukti dari hal ini adalah apa yang dipaparkan Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah Al-‘Ubud, Rektor Al-Jami’ah Al-Islamiyyah (Universitas Islam) Madinah, dalam disertasi doktoral yang beliau susun dengan judul ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab As-Salafiyyah wa atsaruha fi Al-‘Alam Al-Islamy (Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyah serta pengaruhnya dalam dunia Islam), beliau berkata (I/40-41):
“Belahan bumi Najd secara umum tidak menyaksikan adanya pengaruh apapun dari Daulah ‘Utsmaniyyah terhadapnya. Demikian juga kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah tidak sampai menyentuh bumi Najd.” (lihat Tarikh Al-Biladil 'Arabiyyah As-Su’udiyyah, Dr. Munir Al-‘Ajlani).
Tidak seorangpun penguasa ‘Utsmaniyyah yang datang ke sana. Tidak pula perlindungan keamanan Turki menyentuh daerah-daerah Najd sejak jauh hari sebelum munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullahu. Di antara bukti yang menunjukkan hakekat sejarah tersebut adalah: Penelitian pembagian daerah-daerah kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah, dari sebuah cacatan resmi Turki yang berjudul: Qawanin Ali ‘Utsman Durr Madhamin Daftar Diwan (Undang-undang Dinasti ‘Utsmani yang dikandung oleh catatan sipil negeri tersebut) karya Yamin ‘Ali Afnadi, seorang penanggung jawab resmi catatan sipil Al-Khaqani pada tahun 1018 H, bertepatan dengan tahun 1690 M. Catatan tersebut disebarkan Sathi’ Al-Hashri melalui buku Negara-negara Arab dan Daulah ‘Utsmaniyyah.
Melalui catatan resmi tersebut, diketahui dengan jelas bahwasanya sejak awal abad ke-11 H, Daulah ‘Utsmaniyyah terbagi menjadi 32 propinsi, 14 di antaranya adalah propinsi-propinsi Arab. Dan daerah Najd tidak termasuk dalam 14 bagian tersebut, kecuali hanya wilayah Al-Ahsa`, itupun jika kita menganggap Al-Ahsa` merupakan bagian dari Najd. (lihat kitab Al-Biladul 'Arabiyyah wa Ad-Daulah Al-‘Utsmaniyyah, karya Sathi’ Al-Hashri hal. 230-240; dan Intisyaru Da’wati Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Kharija Al-Jazirah Al-'Arabiyyah, karya Muhammad Kamal Jam’ah, hal. 13)
Sehingga atas dasar penjelasan di atas, sangat tidak benar jika pergerakan dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu merupakan gerakan pemberontakan terhadap penguasa yang sah pada waktu itu. Karena Najd berada di luar daerah teritorial Daulah ‘Utsmaniyyah.
Namun yang ada adalah upaya pembenahan dan penataan kembali daerah Najd dan negeri-negeri yang di bawah naungannya, yang sebelumnya telah dipenuhi berbagai macam keterpurukan, baik dalam bidang keagamaan yang mayoritas umat dan negeri-negeri di Najd telah melakukan praktek-praktek kesyirikan, bid’ah dan khurafat, maupun dalam bidang sosial politik dan keamanan yang dipenuhi dengan pembunuhan, penindasan, dan saling menyerang satu terhadap yang lainnya.
Dengan pergerakan dakwah tauhid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, Najd berubah menjadi sebuah kekuatan besar yang mengkhawatirkan musuh-musuh tauhid, baik dari kalangan penjajah ataupun dari kalangan ahlul batil, baik tashawwuf ataupun kaum Syi’ah Rafidhah.

Kondisi Politik dan Keamanan Daulah ‘Utsmaniyyah di Masa itu
Banyak pihak menangisi dan meratapi keruntuhan Daulah ‘Utsmaniyyah. Namun sangat disayangkan, tangisan dan ratapan tersebut tidak disertai dengan sikap yang adil dan ilmiah untuk menjadikannya sebagai pelajaran dan upaya instrospeksi diri, mengapa dan apa sebab-sebab keruntuhan Daulah ‘Utsmaniyyah. Yang ada justru sikap mengkambinghitamkan pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini yang menjadi sasarannya adalah dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Dakwah ini dinyatakan sebagai salah satu biang keladi runtuhnya Daulah ‘Utsmaniyyah.
Padahal kalau mereka mau jujur dan mempelajari dengan seksama bahwa Daulah ‘Utsmaniyyah telah hilang kekuatan dan wibawanya sejak jauh hari sebelum kelahiran Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.
Disebutkan Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah Al-‘Ubud dalam disertasi doktoralnya yang berjudul ‘Aqidatu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alam Al-Islami (Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Serta Pengaruhnya Dalam Dunia Islam): “Bahwa Daulah ‘Utsmaniyyah secara menyeluruh sejak awal abad ke-12 H -yaitu sejak jauh hari sebelum munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab- telah lemah, bahkan secara de facto (kenyataan) dinyatakan fi hukmiz zawal (dihukumi/ dianggap tidak ada).
Banyak penguasanya yang telah tunduk bertekuk lutut di hadapan beberapa negara kafir pada waktu itu, baik negara-negara Eropa Barat maupun Eropa Timur. Hal itu ditandai dengan adanya penanda-tanganan Perjanjian Damai Karlpetes di wilayah Tenggara Zagreb (ibukota Croatia sekarang, red.) dekat Sungai Danube pada tahun 1110 H, bertepatan dengan 1699 M5 dengan Pemerintahan Rusia. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mushthafa II. Hal itu merupakan bukti resmi kelemahan mereka untuk melindungi negaranya dari kekuatan negara-negara Nashara yang memusuhi Islam dan kaum muslimin.
Akibat kelemahan tersebut, negara-negara Eropa (Barat) berambisi untuk melemahkan Daulah ‘Utsmaniyyah secara menyeluruh.Barat menggelari penguasa Dinasti ‘Utsmani pada waktu itu sebagai penguasa yang sedang sakit. Kemudian Barat sepakat untuk mulai membagi-bagi ‘warisan’ dari penguasa Dinasti ‘Utsmani ini kepada negara-negara kafir yang bersekutu dengan mereka pada waktu itu. Namun terjadi perselisihan di antara mereka tentang rincian hak masing-masing negara sekutu dari ‘warisan’ tersebut. Perselisihan yang terjadi antara mereka itu menyebabkan tertundanya makar peruntuhan total Daulah ‘Utsmaniyyah dalam beberapa waktu lamanya.

Secara kenyataan, Penguasa Dinasti ‘Utsmaniyyah tidak lagi memiliki kekuasaan dan wewenang apapun dalam pemerintahan. Kekuasaan dan wewenang pada waktu itu justru ada pada beberapa menterinya yang kebanyakan mereka adalah unsur-unsur asing dari Eropa dan dari kalangan Yahudi yang menampakkan keislaman, dan terdiri pula dari orang-orang yang silau dan kagum terhadap kafir Nashara.6 Akibat dari ini semua, muncul sejumlah pemberontakan, kerusuhan, atau pembunuhan. Bahkan sebagian menteri dan penguasa di daerah melakukan gerakan revolusi dengan membentuk pemerintahan-pemerintahan kecil.7

Muhammad Kamal Jam’ah berkata dalam kitabnya Al-Intisyar: “Di kala itu, istana negara dan para menteri serta orang-orang penting negara telah dipenuhi dengan wanita-wanita tawanan perang, yang ternyata wanita-wanita asing tersebut berfungsi sebagai mata-mata dalam gerakan spionase yang dilancarkan negara-negara kafir terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah.”

Keadaan Daulah ‘Utsmaniyyah sebagaimana tersebut di atas semakin diperlemah dengan adanya perselisihan-perselisihan yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri dan adanya gerakan-gerakan separatis dari daerah-daerah kekuasaannya yang ingin melepaskan diri dari Daulah (lihat At-Tarikh…, Al-‘Ajlani, hal. 47) sehingga pada akhirnya Daulah ‘Utsmaniyyah terpaksa meninggalkan kekuasaannya di negeri Yaman disebabkan adanya revolusi para pimpinan Shan’a melawan mereka. Hingga kemudian terpaksa pula mereka hengkang dari Al-Ahsa` disebabkan revolusi perlawanan dari pimpinan Bani Khalid, Barak bin Gharir serta para pengikutnya pada tahun 1080 H. (lihat ‘Unwanul Majd fi Tarikh Najd, karya Ibnu Bisyr) –sekian keterangan Asy-Syaikh Shalih Al-‘Ubud

Kondisi Aqidah dan Keagamaan Daulah ‘Utsmaniyyah
Daulah ‘Utsmaniyyah ternyata adalah daulah yang banyak dipengaruhi aqidah tashawwuf, mendukung penuh gerakan Sufi dengan berbagai macam tarekat-tarekatnya, yang sangat bertentangan dengan Islam dan tauhid. Dalam pemerintahan Daulah ‘Utsmaniyyah telah masuk berbagai macam bentuk adat, termasuk sebagian adat peribadatan Nashara, seperti cara kehidupan kependetaan yang dikenal dengan Ar-Rahbaniyyah, melantunkan dzikir-dzikir dengan lantunan nada diiringi tari-tarian, disertai pula teriakan-teriakan dan tepuk tangan. Berbagai macam bentuk peringatan maulid, dan berbagai macam aliran bid’ah yang lainnya.
Bahkan telah masuk pula adat istiadat Hindu, Persia, dan Yunani dengan berbagai macam dakwah aqidah yang menyesatkan. Seperti aqidah Al-Hulul dan Al-Ittihad serta Wihdatul Wujud (aqidah yang meyakini bahwa Allah ada di mana-mana dan telah menyatu dengan dzat makhluk-makhluk-Nya, atau sering dikenal di negeri Indonesia ini dengan manunggaling kawula gusti). Aqidah ini merupakan aqidah sesat dan menyesatkan yang dimotori tokoh-tokoh sesat tashawwuf semacam Al-Hallaj dan yang lainnya.

Pemerintahan Daulah ‘Utsmaniyyah beranggapan bahwa gerakan tashawwuf merupakan inti agama Islam. Sehingga para penguasanya benar-benar menghormati dan merendahkan dirinya di hadapan tokoh-tokoh tashawwuf serta berlebihan dalam mengagungkan mereka.
Di negeri tersebut dan daerah-daerah kekuasaannya, dipenuhi dengan kubur-kubur yang diagungkan dan dikeramatkan dengan didirikan kubah-kubah di atasnya. Hal itu dilindungi secara resmi oleh Daulah ‘Utsmaniyyah, sehingga banyak umat yang berdatangan ke kubur-kubur dalam rangka mengagungkannya. Demikian juga menyembelih qurban dan bernadzar untuk selain Allah telah tersebar luas dan merata di Daulah ‘Utsmaniyyah. Doa dan istighatsah kepada kubur merupakan suatu keadaan yang menyelimuti negeri tersebut.8
Gambaran dan kondisi Daulah ‘Utsmaniyyah yang bobrok dan bejat aqidahnya seperti di atas, telah ada jauh sebelum dilahirkannya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Semua itu berakibat semakin lemahnya Daulah ‘Utsmaniyyah, tercerai berainya persatuan mereka, sehingga mereka benar-benar lemah di hadapan musuh-musuhnya. Hilang wibawa mereka sehingga dengan penuh kerendahan dan kehinaan mereka harus menandatangani perjanjian damai dengan negara-negara kafir, yang menunjukkan betapa lemahnya Daulah ‘Utsmaniyyah. Ini semua merupakan bukti nyata bahwa Daulah ‘Utsmaniyyah tidak menjunjung tinggi tauhid dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena itu, Allah tidak memberikan pertolongan-Nya kepada mereka. Telah hilang dari mereka janji Allah dalam firman-Nya:“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (Muhammad: 7)
Mereka tercerai berai karena mereka telah meninggalkan prinsip dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maha Benar Allah yang telah berkata di dalam kitab-Nya:“Dan inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan jangan kalian ikuti as-subul (bid’ah dan syahwat), karena (jalan-jalan itu) menyebabkan kalian tercerai berai dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah perintahkan kepada kalian, agar kalian bertakwa.” (Al-An’am: 153)
Dengan tercerai-berainya ini, karena meninggalkan tauhid dan Sunnah, yang kemudian diikuti ambisi masing-masing pihak dalam bentuk berbagai pemberontakan, akhirnya berujung pada hilangnya kekuatan dan kewibawaan mereka di hadapan musuh-musuh-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:“Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian.” (Al Anfal: 46)
Dan benar pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah menyatakan:“Dan dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi pihak-pihak yang menyelisihi perintahku.” (HR. Ahmad)9
Jika boleh disimpulkan, bahwa keruntuhan Daulah ‘Utsmaniyyah disebabkan dua faktor utama:
1. Faktor kelemahan politik dan keamanan Daulah ‘Utsmaniyyah yang ditandai dengan:
a. Kekalahan dalam perang menghadapi kekuatan kafir Eropa sehingga terpaksa harus menandatangani perjanjian damai, sejak jauh hari sebelum lahirnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.
b. Banyaknya gerakan separatis di daerah yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah.
c. Keadaan parlemen dan kementerian negara yang telah banyak disusupi oleh kaki tangan asing dalam rangka meruntuhkan kekuatan negara dari dalam.
2. Faktor aqidah dan kehidupan keagamaan pemerintah Daulah ‘Utsmaniyyah maupun rakyatnya, yang telah banyak diwarnai kesyirikan, bid’ah, khurafat, serta kemaksiatan.
Dengan adanya faktor-faktor tersebut di atas, hilanglah kesempatan mereka untuk meraih janji Allah yang disebutkan dalam firman-Nya“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menggantikan kondisi mereka setelah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada memper-sekutukan sesuatu apapun dengan-Ku….” (An-Nur: 55)
Wallahu a’lam.

1 Sebagaimana dalam Al-Mu’jamul Wasith, penerbit Al-Maktabatul Islamiyyah
2 Lihat kitab Muhammad bin Abdul Wahhab, karya Ahmad Abdul Ghafur ‘Aththar, hal. 20; dan kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Asy-Syaikh Mas’ud An-Nadwi, hal. 36.
3 Ibid, hal. 21.
4 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi. Karya Asy-Syaikh Mas’ud An-Nadwi; hal 32.
5 Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu lahir 1115 H, 5 tahun setelah perjanjian damai tersebut ditandatangani. Sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan bentuk persekongkolan untuk meruntuhkan Daulah ‘Utsmaniyah. Maka sangat tidak benar apa yang dituduhkan beberapa penulis dari kelompok Hizbut Tahrir dalam bukunya Kaifa Hudimatil Khilafah (edisi Indonesia: Persekongkolan Meruntuhkan Khilafah)
6 Lihat kitab Fikrah Al-Qaumiyyah Al-’Arabiyyah ‘ala Dhau`i Al-Islam, Dr. Shalih bin Abdullah Al-‘Ubud, hal. 35-56; Intisyaru Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Kharija Al-Jazirah Al-'Arabiyyah, M. Kamal Jam’ah, hal. 11-12.
7 Lihat kitab Hadhirul ‘Alam Al-Islamiy, Watsrub Al-Imriky dengan footnote dari Asy-Syaikh As-Salam, 1/259.
8 Lihat Al-Intisyar, hal. 11-14.
9 HR. Ahmad II/50, 92 dari Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Al-Irwa` no. 1269

Sabtu, 24 Maret 2006 - 20:17:23, Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Baabduh

Kategori : Kajian Utama

MUSUH-MUSUH TAUHID

Sebagaimana dialami Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dakwah yang mengajak kepada tauhid niscaya akan menghadapi musuh-musuh yang tiada henti-hentinya untuk memadamkan cahaya tauhid di muka bumi ini. Daulah Utsmani, yang merupakan representasi kelompok Sufi, yang juga diagungkan banyak kelompok pergerakan Islam, adalah salah satunya. Bagaimana kisah selengkapnya, simak kajian berikut!

Telah menjadi sunnatullah, Allah telah menetapkan adanya musuh-musuh yang senantiasa menghalangi dakwah menuju tauhid dan upaya-upaya untuk menegakkan syariat Islam. Mereka bisa datang dari kaum kafir ataupun dari kalangan kaum munafiqin yang memakai baju Islam yang merasa terusik kepentingannya dan khawatir terbongkar kedok dan syubhat-syubhatnya. Hal ini sebagaimana Allah tegaskan di dalam firman-Nya:
Dan demikianlah, kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lainnya perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)

Dan demikianlah, kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh dari kalangan orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Rabb mu menjadi Pemberi Petunjuk dan Penolong.” (Al-Furqan: 31)
Begitu pula dakwah yang dilakukan para ulama pewaris nabi, yang selalu berdakwah untuk memurnikan tauhid serta menegakkan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara mereka adalah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu yang telah berupaya memurnikan tauhid umat serta mengajak mereka untuk menegakkan syariat Islam. Namun musuh-musuh dakwah beliau tidak rela terhadap apa yang beliau lakukan.

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu menyimpulkan musuh yang menghalangi dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dalam tiga jenis:

1. Para ulama suu` yang memandang Al-Haq sebagai suatu kebatilan dan memandang kebatilan sebagai Al-Haq, dan berkeyakinan bahwa pembangunan (kubah-kubah) di atas kubur serta mendirikan masjid di atas kubur-kubur tersebut, kemudian berdoa, ber-istighatsah kepadanya serta amalan yang serupa dengan itu, adalah bagian dari agama dan petunjuk (yang benar, pent). Dan mereka berkeyakinan bahwa barangsiapa mengingkari hal itu berarti dia telah membenci orang-orang shalih, serta membenci para wali.
Jenis yang pertama ini adalah musuh yang harus diperangi.

2. Jenis yang kedua adalah orang-orang yang dikenal sebagai ulama, namun mereka tidak mengerti tentang hakekat Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu yang sebenarnya. Mereka tidak mengetahui pula tentang kebenaran dakwah beliau bahkan cenderung bertaqlid kepada yang lain, serta membenarkan setiap isu negatif yang dihembuskan ahli khurafat dan para penyesat.
Sehingga mereka menyangka berada di atas kebenaran atas isu-isu negatif yang dituduhkan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, bahwasanya beliau membenci para wali dan para nabi, serta memusuhi mereka dan mengingkari kekeramatannya. Sehingga mereka memusuhi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan mencela dakwahnya serta membuat orang antipati terhadap beliau.

3. Orang-orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya. Mereka memusuhi beliau agar kekuatan para pengikut dakwah Islamiyyah tersebut tidak sampai menyentuh mereka, yang akan menurunkan mereka dari posisinya serta menguasai negeri-negeri mereka.-sekian dari Asy-Syaikh Ibnu Baz.1

Faktanya, musuh-musuh dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu banyak diperankan oleh:
1. Kaum kafir Eropa
Inggris, Prancis, dan lainnya, yang tengah berkuasa dan menjajah negeri-negeri Islam pada waktu itu. Mereka menganggap bahwa dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu yang bertujuan memurnikan tauhid dan menegakkan syariat, merupakan suatu kekuatan besar yang dapat mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri jajahannya.
Karena dakwah beliau ini telah berhasil menyatukan umat dalam naungan aqidah tauhid di sejumlah negeri. Selain di daerah Najd, ternyata dakwah beliau telah berhasil menyentuh muslimin di negeri lainnya seperti di Afrika Utara yang mayoritasnya adalah negeri-negeri jajahan Inggris dan Prancis, India sebagai jajahan Inggris, dan tak luput pula Indonesia sebagai jajahan Belanda.
Hal ini membuat para penjajah kafir itu geram dan mengkhawatirkan bangkitnya muslimin di negeri jajahannya. Sehingga mereka pun berupaya untuk menjauhkan kaum muslimin dan membuat mereka antipati terhadap dakwah tauhid yang dilancarkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab2.
Hal ini mereka lakukan dengan cara:
a. Menebarkan isu-isu negatif dan dusta tentang dakwah tauhid di tengah-tengah muslimin melalui para misionaris mereka, baik secara lisan maupun tulisan.
b. Memprovokasi dan mempengaruhi pemerintahan Dinasti ‘Utsmani untuk membenci dan memerangi dakwah tauhid, dan dikesankan kepada mereka bahwa dakwah mulia tersebut sebagai ancaman besar bagi eksistensi Daulah ‘Utsmaniyyah3.
c. Pemberian bantuan pasukan dari pemerintahan penjajah Inggris maupun Prancis kepada Dinasti ‘Utsmani dalam upayanya menyerang dakwah tauhid.4
Di antara bukti yang menunjukkan provokasi mereka terhadap Dinasti ‘Utsmani untuk memusuhi dan menyerang dakwah tauhid adalah adanya penyerangan tentara Dinasti ‘Utsmani terhadap kota Ad-Dir’iyyah sebagai pusat dakwah tauhid di bawah pimpinan Ibrahim Basya pada tahun 1816 M atas perintah ayahnya Muhammad Ali Basya, Gubernur Mesir ketika itu, yang bersekongkol dengan penjajah Prancis.
Karena keberhasilannya atas penyerangan ke negeri Ad-Dir’iyyah itu, Pemerintah Inggris mengirimkan utusannya, yaitu Kapten George Forster Sadleer, untuk menyampaikan ucapan selamat secara khusus dari Pemerintahan Inggris atas keberhasilan Dinasti ‘Utsmani menghancurkan Ad-Dir’iyyah5.

2. Daulah ‘Utsmaniyyah
Yang tak kalah gencar pula adalah permusuhan pemerintahan Dinasti ‘Utsmani yang telah terprovokasi kaum kafir penjajah. Keadaan ini diperburuk oleh para mufti pemerintahan Dinasti ‘Utsmani yang notabene beraqidah tashawwuf. Siang dan malam mereka memprovokasi pemerintah untuk memerangi dakwah tauhid di Najd, baik di masa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu masih hidup, ataupun permusuhan mereka terhadap dakwah tauhid sepeninggal beliau.
Tercatat dalam sejarah, beberapa kali ada upaya penyerangan yang dilakukan Dinasti ‘Utsmani terhadap Negeri Najd dan kota-kota yang ada di dalamnya yang terkenal sebagai pusat dakwah tauhid.
Di antaranya apa yang terjadi di masa Sultan Mahmud II, ketika memerintahkan Muhammad ‘Ali Basya untuk menyerang kekuatan dakwah tauhid di Najd. Tentara Muhammad ‘Ali Basya dipimpin oleh anaknya Ibrahim Basya dalam sebuah pasukan besar dengan bantuan militer dari negara-negara kafir Eropa. Pada akhir tahun 1232 H, mereka menyerang kota ‘Unaizah dan Al-Khubra` serta berhasil menguasai Kota Buraidah. Sebelumnya, pada bulan Muharram 1232 H, tepatnya tanggal 23 Oktober 1818 M, mereka berhasil menduduki daerah Syaqra’ dalam sebuah pertempuran sengit dengan strategi tempur penuh kelicikan yang diatur oleh seorang ahli perang Prancis bernama Vaissiere.
Bahkan dalam pasukan Dinasti ‘Utsmani yang menyerang Najd pada waktu itu didapati 4 orang dokter ahli berkebangsaan Itali. Nama-nama mereka adalah Socio, Todeschini, Gentill, Scots. Nama terakhir ini adalah dokter pribadi Ibrahim Basya. Demikian juga didapati perwira-perwira tinggi Eropa yang bergabung dalam pasukan Dinasti ‘Utsmani dalam penyerangan tersebut.6
Hal ini menunjukkan bahwa Dinasti ‘Utsmani telah bersekongkol dengan negara-negara kafir Eropa di dalam memerangi dakwah tauhid, yang tentunya hal ini mengundang amarah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjadi sebab terbesar hancurnya Daulah ‘Utsmaniyyah.
Belum lagi kondisi tentara dan pasukan tempur Dinasti ‘Utsmani yang benar-benar telah jauh dari bimbingan Islam. Hal ini sebagaimana disebutkan sejarawan berkebangsaan Mesir yang sangat terkenal, yaitu Abdurrahman Al-Jabrati. Ketika menyampaikan kisah tentang kondisi pasukan Dinasti ‘Utsmani dan membandingkannya dengan pasukan tauhid di Najd, yang beliau nukil dari penjelasan salah seorang perwira tinggi militer Mesir yang menceritakan tentang kondisi pertempuran yang terjadi pada tahun 1227 H yang dipimpin Ahmad Thusun, putra Muhammad ‘Ali Basya, beliau menyatakan:
“…dan beberapa perwira tinggi mereka (tentara Mesir, pent.) yang menyeru kepada kebaikan dan sikap wara’ telah menyampaikan kepadaku bahwa mana mungkin kita akan memperoleh kemenangan, sementara mayoritas tentara kita tidak berpegang dengan agama ini. Bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak beragama dengan agama apapun dan tidak bermadzhab dengan sebuah madzhab pun. Dan berkrat-krat minuman keras telah menemani kita. Di tengah-tengah kita tidak pernah terdengar suara adzan, tidak pula ditegakkan shalat wajib. Bahkan syi’ar-syi’ar agama Islam tidak terbetik di benak mereka.
Sementara mereka (tentara Najd, pent), jika telah masuk waktu shalat, para muadzin mengumandangkan adzan dan pasukan pun segera menata barisan shaf di belakang imam yang satu dengan penuh kekhusyu’an dan kerendahan diri. Jika telah masuk waktu shalat, sementara peperangan sedang berkecamuk, para muadzin pun segera mengumandangkan adzan. Lalu seluruh pasukan melakukan shalat khauf, dengan cara sekelompok pasukan maju terus bertempur sementara sekelompok yang lainnya bergerak mundur untuk melakukan shalat.
Sedangkan tentara kita terheran-heran melihat pemandangan tersebut. Karena memang mereka sama sekali belum pernah mendengar hal yang seperti itu, apalagi melihatnya.” –sekian
Kalau kisah tersebut disampaikan salah seorang perwira tinggi militer Mesir, maka Abdurrahman Al-Jabrati sendiri juga menceritakan tentang pertempuran yang terjadi pada tahun 1233 H yang dipimpin Ibrahim Basya dalam menghancurkan Ad-Dir’iyyah, yang tidak jauh berbeda dari kisah yang disampaikan sang perwira tinggi tersebut di atas. Lihat penjelasan tersebut dalam kitab Al-Jabrati, IV/140.8
Dinasti ‘Utsmani melengkapi kekejaman dan permusuhannya terhadap dakwah tauhid dengan menawan Al-Amir Abdullah bin Su’ud, sebagai salah satu penerus dan pembela dakwah tauhid yang telah menginfakkan jiwa dan hartanya dalam menegakkan kalimat tauhid serta syariat Islam. Beliau dikirim ke Mesir dan selanjutnya dikirim ke Istambul lalu dihukum pancung di sana setelah sebelumnya diarak di jalan-jalan Istanbul, dijadikan sebagai lelucon dan olok-olok selama tiga hari. Peristiwa ini terjadi pada 18 Shafar 1234 H/ 17 Desember 1818 M.9

3. Permusuhan kaum sufiyyah
Musuh berikutnya yang dengan gencar memusuhi dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah orang-orang dari aliran tashawwuf/Sufi yang merasa kehilangan pamor di hadapan para pengikutnya. Dengan dakwah tauhid, banyak syubhat dan kerancuan kaum Sufi yang terbongkar dan terbantah dengan hujjah-hujjah yang terang dan jelas, yang disampaikan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, murid-murid, serta para pendukungnya.
Berbagai macam bid’ah dan amalan-amalan yang menyelisihi sunnah Rasul serta amalan-amalan yang tercampur dengan berbagai praktek kesyirikan yang selama ini mereka tebarkan di daerah Najd ataupun Hijaz (Makkah dan Madinah), mulai tersingkir dan dijauhi umat. Demikian juga praktek amalan ibadah haji yang selama ini telah mereka penuhi dengan bid’ah dan amalan yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta berbagai upaya untuk memakan harta umat dengan cara batil, juga terhalangi dengan adanya dakwah tauhid tersebut.
Ini semua membuat mereka geram dan marah terhadap dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dan murid-muridnya. Itu semua mendorong mereka untuk berupaya menjauhkan umat dari dakwah beliau. Mereka sebarkan berbagai macam kedustaan tentang beliau dan dakwah tauhid yang disampaikannya.
Kaum Sufi bersama orang-orang kesultanan Turki dan Mesir serta kaum kafir Eropa menciptakan sebuah julukan terhadap dakwah beliau dengan Gerakan Dakwah Al-Wahhabiyyah serta melukiskannya sebagai madzhab baru di luar Islam. Nama Al-Wahhabiyyah adalah sebuah nama yang dinisbahkan kepada ayah Asy-Syaikh Muhammad yang bernama Abdul Wahhab.
Padahal jika mereka mau jujur, semestinya mereka menjulukinya dengan Muhammadiyyun, yaitu nisbah kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu secara langsung. Namun hal itu sengaja mereka lakukan dalam rangka memberikan kesan lebih negatif terhadap dakwah beliau. Karena jika memakai julukan Muhammadiyyun akan terkesan di banyak kalangan bahwa ini adalah sebuah madzhab yang baik.
Bahkan mereka tak segan-segan mengucapkan kata-kata kotor untuk memuluskan tujuannya, yang sebenarnya kita sendiri malu untuk mendengar dan menukilkan kalimat tersebut. Namun dengan sangat terpaksa kami nukilkan salah satu contoh kata-kata kotor dan menjijikkan yang diucapkan tokoh-tokoh Sufi.
Di antaranya adalah yang diucapkan salah satu tokoh mereka yang dikenal dengan nama Muhammad bin Fairuz Al-Hanbali (meninggal 1216 H) dalam rekomendasinya terhadap kitab Ash-Shawa’iq war Ru’ud, sebuah kitab yang penuh dengan tuduhan dan kedustaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, karya seorang tokoh Sufi yang bernama Abdullah bin Dawud Az-Zubairi (meninggal 1225 H). Dalam rekomendasinya itu, Ibnu Fairuz berkata:
“…Bahkan mungkin saja Asy-Syaikh (yakni ayah Asy-Syaikh Muhammad yang bernama Abdul Wahhab, pent.) pernah lalai untuk menggauli ibunya (yakni ibu Muhammad bin Abdul Wahhab, pent.) sehingga dia didahului oleh setan untuk menggauli isterinya. Jadi pada hakekatnya setanlah ayah dari anak yang durhaka ini.”10
Sebuah ucapan kotor yang penuh kekejian dan kedustaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu bahkan terhadap ayah dan ibunya.
Mereka juga menuduh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dengan berbagai tuduhan dusta, di antaranya:
Tuduhan bahwasanya beliau mengklaim An-Nubuwwah (yakni mengaku sebagai nabi), sebagaimana disebutkan dalam kitab Mishbahul Anam karya Ahmad Abdullah Al-Haddad Ba’alawi (hal. 5-6). Dan dinyatakan pula oleh Ahmad Zaini Dahlan (meninggal 1304 H) dalam sebuah makalah kecilnya yang berjudul Ad-Durar As-Saniyyah fir Raddi ‘alal Wahhabiyyah (hal. 46): “…yang nampak dari kondisi Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwasanya dia adalah seorang yang mengklaim An-Nubuwwah. Hanya saja dia tidak mampu untuk menampakkan klaimnya tersebut secara terang-terangan.”
Pernyataan semacam ini dia tegaskan juga dalam kitabnya yang lain yang berjudul Khulashatul Kalam, hal. 228-261.

Buku-buku Ahmad Zaini Dahlan ini, adalah buku-buku yang sarat dengan kedustaan dan tuduhan-tuduhan batil terhadap dakwah dan pribadi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Buku-buku itu, dalam kurun 60 tahun terakhir ini, sering menjadi referensi kaum Sufi di berbagai belahan bumi, termasuk di Indonesia, dalam menebarkan kedustaan terhadap dakwah tauhid yang mulia itu. Bahkan sebagian buku-buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Lebih parah lagi, buku-buku karya kaum Sufi ini dimanfaatkan kaum kafir dan para orientalis sebagai referensi bagi mereka dalam menebarkan kedustaan terhadap dakwah mulia tersebut dan menjauhkan umat Islam darinya
. Di antara mereka adalah seorang orientalis berkebangsaan Denmark bernama Caresten Nie Bury dalam bukunya (Travel Through Arabia and Other Countries In The East) namun dia tidak berhasil memasuki Najd. Sehingga ketika menulis tentang sejarah Najd, dia banyak menukil dan menyandarkan karyanya pada berita-berita yang beredar di Jazirah Arabia yang telah dipenuhi banyak kedustaan oleh para tokoh Sufi di sana11.
Begitu juga salah seorang tokoh kafir yang lainnya menulis sebuah buku yang berjudul (Memorandum, by T.E. Ravenshaw)12. Buku ini pun dipenuhi berbagai macam kedustaan dan tuduhan-tuduhan batil terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.
Kemudian diikuti pula oleh seorang orientalis lainnya yang bernama William W. Hunter dalam bukunya Al-Muslimun fil Hind (The Indian Musalmans, dicetak pada tahun 1871 M, kemudian dicetak kedua kalinya pada tahun 1945 M) yang telah banyak menukil dari seniornya, yaitu T.E. Ravenshaw.13
Beliau juga dituduh sebagai penganut inkarul hadits (aliran yang mengingkari hadits); sebagaimana dituduhkan Ahmad Abdullah Al-Haddad Ba‘alawi di dalam kitabnya Mishbahul Anam. Tentunya tuduhan tersebut sangatlah aneh. Karena Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu selalu berhujjah dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana dalam banyak karya beliau, yang telah banyak diketahui oleh umat Islam. Namun begitulah kaum Sufi, tidak malu dan segan untuk berdusta untuk menjauhkan umat dari dakwah tauhid.
Tuduhan kepada Al-Amir Su’ud bin Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud -salah satu pembela dan pembawa bendera dakwah tauhid yang menghabiskan waktu, tenaga, pikiran, dan segala yang dimilikinya dalam membela dakwah yang mulia tersebut - bahwasanya beliau telah menghancurkan kubah yang dibangun di atas kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal itu sama sekali tidak pernah terjadi.
Memang benar beliau dan para pendukungnya telah menghancurkan beberapa kubah yang berada di Najd dan sekitarnya, namun sedikitpun mereka belum pernah menyentuh bangunan kubah di atas kubur Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Walaupun mereka semua yakin bahwa bangunan kubah tersebut tidak diridhai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bertentangan dengan syariat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu 'anhu, bahwasanya beliau berkata:



“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dilaburnya sebuah makam, dan diduduki, serta dibangun di atasnya.” (HR. Muslim 970)
Hal ini dipertegas pula dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu, ketika beliau mengutus Abul Hayyaj, “Maukah engkau aku utus dengan sebuah misi yang dengan misi tersebut pula aku diutus oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?” Yaitu:


“Jangan kau biarkan satu gambarpun kecuali kau musnahkan, dan jangan kau biarkan ada satu kuburan pun yang menonjol kecuali kau ratakan.” (HR. Muslim no. 969)

Namun demikianlah musuh-musuh dakwah tauhid memutarbalikkan fakta, sehingga beberapa sejarawan orientalis senang dengan disebutkannya beberapa kisah dusta tersebut. Hal ini sebagaimana didapati dalam beberapa buku sejarah karya mereka, di antaranya tulisan yang berjudul Hadhir Al-‘Alam Al-Islami (The New World of Islam) karya L. Stoddard (1/64), Dictionary of Islam “Wahhabiyah” karya Thomas P. Hughes (hal. 660), Mustaqbal Al-Islam (Future of Islam) karya Lady Anne Blunt (hal. 45). Dan masih banyak sejarawan orientalis lainnya yang memanfaatkan kedustaan serta tuduhan batil kaum Sufi terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk semakin mencemarkan dakwah tauhid yang beliau dakwahkan.14
Dan masih banyak tuduhan-tuduhan dusta yang lainnya.

Namun kami simpulkan kedustaan-kedustaan tersebut dengan menukilkan sebuah surat yang ditulis oleh putra beliau yang bernama Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, yang ditujukan kepada penduduk Makkah pada tahun 1218 H / 1803 M. Beliau berkata:
“…Adapun sekian perkara dusta atas nama kami dalam rangka untuk menutupi al-haq, di antaranya tuduhan bahwa kami menafsirkan Al-Qur`an dengan logika kami serta mengambil hadits-hadits yang sesuai dengan pemahaman kami… Dan bahwasanya kami merendahkan kedudukan Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pernyataan kami bahwasanya Nabi telah menjadi debu di kuburnya dan tongkat salah seorang kami lebih bermanfaat dari beliau, dan bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memiliki syafaat, serta berziarah kepadanya tidak disunnahkan…, dan bahwasanya kami adalah beraliran mujassimah15, serta mengkafirkan manusia secara mutlak (tanpa batas, pent)… Maka ketahuilah bahwa seluruh kisah khurafat tersebut di atas dan yang semisalnya… Jawaban kami terhadap setiap permasalahan tersebut di atas adalah dengan ucapan:Maha Suci Engkau (Wahai Rabb kami) sesungguhnya ini adalah kedustaan yang sangat besar.” (An-Nur: 16)
—sekian dari kitab Al-Hadiyyatus Sunniyyah, hal. 46 16

4. Syi’ah Rafidhah
Tak kalah dahsyat dari permusuhan kaum Sufi terhadap dakwah tauhid, adalah permusuhan kaum Syi’ah Rafidhah, yang juga merasa terusik dengan adanya dakwah tauhid. Aqidah mereka yang sesat dan penuh dengan kekufuran, yang mereka tebarkan di tengah-tengah umat dengan penuh pembodohan dan penipuan, terbongkar dengan tersebarnya dakwah tauhid tersebut. Umat menjadi mengerti bahwa aqidah Syi’ah Rafidhah yang meyakini bahwa:
‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu adalah seorang imam yang ma’shum, dan seluruh shahabat yang menyelisihinya adalah kafir.
Para imam Syi’ah Rafidhah yang 12 mengetahui perkara-perkara ghaib, bahkan punya andil di dalam mengatur alam semesta.
Keyakinan mereka dengan aqidah Ar-Raj’ah, yaitu keyakinan bahwasanya ‘Ali bin Abi Thalib dan imam-imam mereka yang 12 akan kembali hidup di akhir zaman
dan lain-lain,
adalah aqidah sesat yang bisa mengantarkan seseorang kepada kekufuran.
Ini semua membuat mereka marah dan memusuhi dakwah tauhid hingga hari ini. Belum lagi kemarahan mereka karena pasukan tauhid telah menghancurkan bangunan kubah di atas kuburan Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib di Karbala. Itu semua mendorong mereka untuk memusuhi dakwah tauhid tersebut dan menebarkan kedustaan-kedustaan tentangnya.
Tak cukup sampai di situ. Mereka bahkan melampiaskan kebencian dan permusuhannya itu dalam bentuk tindakan fisik. Di antaranya adalah pembunuhan atas Al-Amir Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud pada tanggal 18 Rajab 1218 H/4 November 1803 M, yang dilakukan seorang Syi’ah Rafidhah berkebangsaan Iran. Beliau dibunuh oleh penjahat ini ketika beliau sedang menunaikan shalat Ashar. Tepatnya ketika beliau bersujud, tiba-tiba datanglah orang Syi’ah tersebut dengan membawa sebilah belati kemudian menghunjamkannya ke tubuh Al-Amir Abdul Aziz rahimahullahu.
Permusuhan ini terus berlanjut hingga masa kini. Baik dalam bentuk permusuhan fikri ataupun fisik. Sebagai contoh adalah sejumlah upaya penyerangan yang dilakukan kaum Syi’ah Rafidhah pengikut Khumaini (Khomeini, red.) di Kota Makkah, pada musim haji tepatnya pada hari Jum’at 6 Dzulhijjah 1407 H. Didahului penyebaran selebaran-selebaran yang berisi kedustaan dan provokasi, sebuah penyerangan sporadis dan penuh kezhaliman itu menelan 402 korban jiwa dari jamaah haji dan pihak keamanan Negeri Tauhid.
Tak cukup sampai di sana, pada tahun 1409 H, kembali para pengikut Khumaini dari kalangan Syi’ah Rafidhah yang kejam dan tidak berperikemanusiaan itu melakukan peledakan bom di Masjidil Haram, yang juga menelan korban jiwa serta korban luka dari para jamaah haji, tamu-tamu Allah.17

5. Hizbiyyun dan pergerakan-pergerakan Islam
Zaman berganti zaman, generasi pun telah berganti. Namun permusuhan terhadap dakwah tauhid tak kunjung usai, dan memang akan terus berlanjut. Dalam beberapa dekade terakhir ini, kaum hizbiyyun menampilkan diri sebagai musuh dakwah tauhid dan sunnah yang ditegakkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dan para penerusnya. Di antara kaum hizbiyyun itu pada masa ini adalah:

Al-Ikhwanul Muslimun (IM)
Gerakan yang didirikan di atas upaya merangkul berbagai macam kelompok dan pemikiran bid’ah —sebagaimana telah dijelaskan dalam majalah Asy Syari’ah edisi 20, Sejarah Hitam IM— telah mempraktekkan berbagai macam bentuk permusuhan terhadap dakwah tauhid dan sunnah serta negara tauhid Saudi Arabia. Baik melalui statemen dan karya-karya tulis para tokohnya, maupun dalam bentuk tindakan fisik nyata di lapangan.

Di antara penulis dan tokoh besar IM adalah Muhammad Al-Ghazali, yang melarikan diri dari ancaman Anwar Sadat - Presiden Mesir kala itu - dan tinggal di negeri Saudi Arabia.
Dengan segala fasilitas yang dia terima dari negeri tauhid ini, dia justru menikam dari belakang dan membalas kebaikan itu dengan caci maki terhadap para ulama tauhid dan sunnah, penerus dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Hal ini sebagaimana didapati dalam beberapa karyanya yang penuh dengan kesesatan. Di antaranya adalah apa yang dia tulis dalam kitabnya Kaifa Nata’amalu ma’al Qur`an dan kitab As-Sunnah baina Ahlil Fiqhi wa Ahlil Hadits.

Namun Alhamdulillah, para ulama tauhid telah membantah dan menghancurkan syubhat-syubhatnya. Di antaranya adalah bantahan yang ditulis Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan Asy-Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhahumallah.
Kemudian permusuhan Muhammad Al-Ghazali terhadap dakwah tauhid dan sunnah ini diikuti pula oleh tokoh dan pemikir besar IM lainnya, yaitu Yusuf Al-Qaradhawi. Dia adalah murid dari Muhammad Al-Ghazali sekaligus temannya. Namun cara Al-Qaradhawi di dalam menunjukkan permusuhannya lebih halus dan terselubung dibandingkan gurunya. Hal ini nampak sekali dalam karya-karyanya, seperti kitab Kaifa Yata’amalu Ma’as Sunnah dan Awwaliyatul Harakatil Islamiyyah, serta beberapa kitabnya yang lain.18
Kemudian pada generasi berikutnya IM melahirkan tokoh-tokoh semacam Muhammad Surur bin Naif Zainal ‘Abidin, yang nampak lebih arogan dalam memusuhi negeri tauhid dan dakwah tauhid itu sendiri. Begitu besar kebencian dan permusuhannya, sehingga dia merasa sesak nafasnya dan sempit dadanya untuk tinggal bersama kaum muslimin di negeri tauhid. Dia justru memilih tinggal bersama kaum kafir di Inggris dengan merendahkan dirinya di bawah perlindungan hukum-hukum kufur di negeri kafir yang sangat memusuhi Islam itu. Sementara itu, dia mengkafirkan pemerintah-pemerintah muslimin dengan alasan mereka tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah.

Dengan penuh kebencian dan tanpa malu, dia keluarkan sejumlah pernyataan pedas dan dusta tentang ulama-ulama tauhid dan sunnah di negeri tauhid Saudi Arabia khususnya. Lihat sebagian pernyataan-pernyataannya yang pernah dimuat dalam majalah Asy Syari’ah Vol. I/No. 12/1425 H/2005. Lihat pula kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 51-57; Al-Irhab karya Asy-Syaikh Zaid Al-Madkhali, hal. 67-77.

Kelompok ini pun tak segan-segan melakukan tindakan fisik untuk mewujudkan permusuhannya terhadap dakwah Tauhid dan para da’inya, sebagaimana telah terjadi di beberapa tempat. Di antaranya adalah yang terjadi di negeri Yaman berupa penembakan brutal dan sporadis terhadap sejumlah Ahlus Sunnah di sebuah masjid, yang menyebabkan sebagian mereka terbunuh.

Bahkan salah satu tokoh IM di negeri Yaman mengancam Ahlus Sunnah dengan pernyataannya: “Jika seandainya kami memiliki kekuatan, niscaya kami akan memerangi Wahhabiyyin sebelum kami memerangi kaum komunis.” Hal ini sebagaimana dikisahkan Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullahu dalam beberapa kali ceramah beliau.

Lebih dari itu semua, apa yang telah terjadi di Afghanistan dengan terbunuhnya seorang mujahid Ahlus Sunnah, yaitu Asy-Syaikh Jamilurrahman rahimahullahu. Pembunuhnya adalah salah seorang dari kelompok IM yang dikenal dengan Abu ‘Abdillah Ar-Rumi. Dia datang ke Afghanistan membawa kebencian yang sangat besar terhadap Ahlus Sunnah dan menjulukinya dengan Wahhabiyyah. Pembunuhan sadis ini terjadi pada hari Jum’at 20 Shafar 1412 H/ 30 Agustus 1991 M sebelum Asy-Syaikh Jamilurrahman berangkat menuju shalat Jum’at. Pembunuh kejam itu mendatangi beliau sebagai tamu yang hendak memeluknya. Tanpa disangka ternyata orang ini melepaskan tembakan ke arah Asy-Syaikh dan tepat mengenai wajah dan kepala beliau!
Inilah sekelumit contoh permusuhan dan kebencian tokoh-tokoh besar IM terhadap para ulama tauhid dan sunnah serta negeri tauhid Saudi Arabia.

Hizbut Tahrir
Kelompok Hizbut Tahrir (HT) adalah sebuah kelompok sempalan yang didirikan Taqiyyuddin An-Nabhani di negeri Yordania pada tahun 1372 H/1953 M. Selengkapnya bisa pembaca dapati pada majalah Asy Syari’ah Vol. II/No. 16/1426 H/2005.
Namun yang hendak kita tampilkan di sini adalah bentuk kebencian dan permusuhan HT terhadap Daulah Tauhid dan para ulamanya.
Permusuhan itu diwujudkan dalam statemen-statemen mereka dan karya-karya tulisnya. Di antaranya adalah apa yang disebutkan dalam buku berbahasa Inggris How The Khilafah Destroyed (Kaifa Hudimat Al-Khilafah) karya Abdul Qadim Zallum yang diterbitkan Khilafah Publication London England. Buku ini adalah salah satu buku refensi utama dalam perjalanan HT.
Dalam buku ini, penulisnya telah menuduh Daulah Tauhid sebagai suatu bentuk konspirasi Barat dalam meruntuhkan Khilafah ‘Utsmaniyyah, dengan mengkambinghitamkan Al-Amir Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud rahimahullahu dan menyatakan beliau sebagai agen Inggris. Padahal justru beliau adalah seorang yang telah menyerahkan waktu, tenaga, pikiran, dan hidupnya untuk membela dan menegakkan tauhid sebagaimana telah kami sebutkan di atas.

Tuduhan HT ini sama sekali tidak disertai dengan bukti dan fakta ilmiah. Tapi yang ada hanya sebatas analisa dan klaim semata. Sebaliknya telah kami paparkan di atas dengan bukti-bukti ilmiah bahwa ternyata Dinasti ‘Utsmanilah yang sebenarnya bersekongkol dan diperdaya oleh negara-negara kafir Eropa dalam memerangi dakwah tauhid dan sunnah.
Kemudian mereka juga menuduh gerakan Dakwah Tauhid sebagai gerakan pemberontakan terhadap Dinasti ‘Utsmani. Tuduhan ini pun adalah tuduhan yang batil dan dusta, sebagaimana telah kami bahas di atas.

Masih dalam buku tersebut di atas, penulis HT ini menuduh bahwa Al-Amir Su’ud bin Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud telah menghancurkan bangunan kubah di atas makam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta mempereteli batu perhiasan dan ornamen-ornamennya yang sangat berharga. Namun itu semua adalah dusta. Bahkan dengan itu, penulis HT ini telah mengikuti jejak para orientalis Eropa belaka, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Tak kalah serunya adalah salah satu tokoh HT yang bernama Muhammad Al-Mis’ari ikut meramaikan permusuhan kelompok ini terhadap dakwah dan negara tauhid dalam beberapa statemennya.
Di antaranya adalah pernyataan dia yang dimuat oleh surat kabar Asy-Syarqul Ausath edisi 6270, terbit pada hari Jum’at 8 Ramadhan 1416 H:
“Sesungguhnya kondisi saat ini di negeri Saudi Arabia yang tidak mengizinkan bagi kaum Masehi (Nashara, pent.) dan Yahudi untuk mempraktekkan syi’ar-syi’ar ibadah secara terang-terangan akan berubah dengan tampilnya Komisi ini19 di medan hukum. Bahwasanya pemberian hak kepada kaum minoritas adalah wajib, dalam bentuk hak untuk melaksanakan syi’ar-syi’ar agama mereka di gereja-gereja mereka, serta hak untuk mendapatkan pengakuan resmi atas pelaksanaan akad pernikahan sesuai dengan aturan agama mereka secara khusus serta hak-hak lainnya, sebagai bentuk penyempurnaan terhadap kebebasan kehidupan keagamaan dan kehidupan pribadi mereka secara sempurna. Baik mereka itu dari kaum Yahudi, Masehi, ataupun kaum Hindu!!”
Kemudian dia berkata: “Sesungguhnya pembangunan gereja-gereja adalah perkara yang mubah dalam syariat Islam.”20

Dia pun dengan lancang mencaci maki Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab —sang Mujaddid yang berdakwah untuk memurnikan tauhid umat ini dan menjauhkan mereka dari kesyirikan dan bid’ah— dengan statemennya yang dia ucapkan dalam sebuah selebaran resmi yang dikeluarkan CDLR dari London pada hari Kamis 22 Syawwal 1415 H / 23 Maret 1995 M:
“Kedua: Saya tidak akan membahas tentang aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Namun saya hanyalah menyebutkan tentang sebuah realita, yaitu bahwasanya dia (Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pent) adalah seorang yang berpemikiran nyleneh dan bukanlah seorang yang alim. Dia adalah seorang yang diliputi dengan berbagai masalah dan cara bersikap nyleneh yang memang sesuai dengan ke-nyleneh-an kaum di Najd pada masa itu…”

Nampak sekali kebencian tokoh besar HT yang satu ini terhadap dakwah tauhid sekaligus menunjukkan kebodohannya tentang tauhid itu sendiri. Namun yang sangat aneh dari orang ini, ketika dia mencaci maki Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pada saat yang sama dia memuji tokoh besar Syi’ah Rafidhah, Al-Khumaini, dengan pernyataannya:
“Sesungguhnya dia (Al-Khumaini, pent) adalah seorang pemimpin bersejarah yang agung dan jenius…”
Dalam selebaran yang sama pula, dengan penuh arogansi dia mencaci maki salah satu imam dakwah ini, yaitu Al-Imam Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu dengan pernyataannya:
“Pertama: Saya tidak menuduh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dengan kekufuran. Namun saya menyatakan dengan satu kata bahwa mayoritas ulama dan masyayikh berpandangan bahwasanya dia (Ibnu Baz) setelah (mengeluarkan) fatwanya tentang bolehnya upaya perjanjian damai dengan Israil telah sampai ke sebuah tahapan yang mendekati kepada kekufuran. Saya hanya menukilkan pendapat para ulama dan masyayikh tersebut. Adapun pendapat saya pribadi adalah beliau (Asy-Syaikh Ibnu Baz, pent) telah sampai pada derajat pikun, bodoh, dan kelemahan yang sangat rendah.”21

Bantahan tuntas atas ucapan keji ini para pembaca bisa mendapatinya dalam buku kami Mereka Adalah Teroris (Bantahan Aku Melawan Teroris) hal. 325-326 footnote no. 215. Begitu pula tentang jawaban hukum perdamaian dengan kaum kafir, lihat hal. 203-219 (cet. II/Edisi Revisi)
Subhanallah… Betapa kejinya ucapan tersebut! Seseorang yang berdakwah untuk memurnikan tauhid umat serta menjauhkan dari kesyirikan dibenci, dicaci maki, dan dituduh dengan tuduhan-tuduhan dusta. Sementara seorang Syi’ah Rafidhah, semacam Khumaini, yang menyeru kepada kesesatan dan kekufuran disanjung dan dipuji. Inikah sebuah Hizb dan tokohnya yang konon menginginkan tegaknya khilafah??!

Sayang sekali Al-Mis’ari yang telah mengumumkan kebenciannya terhadap daulah tauhid serta ulamanya dan merasa gerah hidup di tengah-tengah muslimin, justru rela dan merasa tentram tinggal di negeri kufur dengan perlindungan hukum dari mereka.

Al-Qa’idah (Al-Qaeda, red.)
Jaringan Al-Qa’idah, yang merupakan jaringan khawarij terbesar masa kini, juga tak kalah besar kebencian dan permusuhannya terhadap daulah tauhid dan sunnah serta para ulamanya. Kebencian tersebut tidak hanya dituangkan dalam bentuk statemen-statemen para tokohnya, bahkan juga dalam bentuk serangan fisik dan teror.

Usamah bin Laden mencaci maki salah seorang imam besar Ahlus Sunnah pada masa ini, yaitu Al-Imam Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu, di antaranya dalam suratnya yang ditujukan kepada Al-Imam Ibnu Baz tanggal 27/7/1415 H yang dikeluarkan Hai`ah An-Nashihah (Lembaga Nasehat) di negeri London, Usamah berkata:
“Dan kami mengingatkan engkau —wahai syaikh yang mulia— atas beberapa fatwa dan sikap-sikap yang mungkin Anda tidak mempedulikannya, padahal fatwa-fatwa tersebut telah menjerumuskan umat ini ke dalam jurang kesesatan (yang dalamnya) sejauh (perjalanan) 70 (tujuh puluh) tahun.”

Dengan tegas dan lugas, Usamah bin Laden menghukumi daulah tauhid Saudi Arabia sebagai negara kafir. Hal ini sebagaimana dimuat dalam koran Ar-Ra`yul ‘Am Al-Kuwaity edisi 11-11-2001 M, dalam sebuah wawancara dengan Usamah bin Laden, ia menjawab:
“Hanya Afghanistan sajalah Daulah Islamiyyah itu. Adapun Pakistan dia memakai undang-undang Inggris. Dan saya tidak menganggap Saudi itu sebagai Negara Islam….”
Usamah juga memvonis kafir Putra Mahkota Abdullah bin Abdul ‘Aziz –waktu itu dan kini sebagai Raja Negara Saudi Arabia—, yaitu dalam ucapannya yang terakhir untuk rakyat Iraq pada bulan Dzulhijjah 1423 H:
“…... Maka para penguasa tersebut telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan sekaligus MEREKA TELAH KELUAR DARI AGAMA (ISLAM) INI dan berarti mereka juga telah mengkhianati umat.”

Dengan bangga Usamah menyanjung para teroris yang melakukan aksi peledakan di negeri tauhid tersebut:
“Aku (Usamah) memandang dengan penuh pemuliaan dan penghormatan kepada para pemuda yang mulia, yang telah menghilangkan kehinaan dari umat ini, baik mereka yang telah meledakkan (bom) di kota Riyadh, atau peledakan di kota Khubar, ataupun peledakan-peledakan di Afrika Timur dan yang semisalnya.”

Dalam dua peledakan ini, terkhusus di Kota Khubar, memakan 18 korban jiwa yang mayoritasnya adalah muslimin, serta 350 lebih luka-luka dan sebagiannya lagi menderita cacat seumur hidup. Tidak cukup itu, bahkan Usamah “membumbui” kebenciannya terhadap daulah tauhid dengan kedustaan. Di antara kedustaannya adalah pernyataan dia bahwa kaum Salibis telah menduduki Masjidil Haram.
Wallahu a’lam.

1 Lihat kitab Al-Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab wa Da’watuhu wa Siratuhu, karya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 23; lihat pula kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’d Asy-Syuwai’ir, cet. III hal. 91.
2 Lihat kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’d Asy-Syuwai’ir, hal. 63-67 (cet III/1419 H).
3 Ibid, hal. 77-78.
4 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 139.
5 Lihat kitab Imam wa Amir wa Dakwah likulli Al-‘Ushur karya Ahmad bin Abdul ‘Aziz Al-Hushain, penerbit Daruth Tharafain cet. I th. 1993, hal. 191, dan penulis mengisyaratkan pada kitab Jaulah fi Biladil ‘Arab hal. 104-111
6 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 139
7 Shalat Khauf yaitu shalat fardhu yang ditegakkan ketika sedang berkecamuk perang, dengan beberapa tata cara tertentu yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sangat berbeda dengan tata cara pelaksanaan shalat fardhu di luar waktu pertempuran.
8 Dinukil dari kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 152-153.
9 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 141.
10 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An Nadwi, hal. 199.
9 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 141.
10 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An Nadwi, hal. 199.
12 Ibid, hal. 236.
13 Ibid, hal. 237.
14 Ibid, hal. 214
15 Yaitu sebuah aliran yang menetapkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki jasmani seperti layaknya makhluk. Ini adalah aliran sesat yang keluar dari prinsip manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.
16 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 213
17 Revolusi Iran Khumaini telah banyak mempengaruhi pemikiran para aktivis dan pergerakan Islam di mancanegara untuk melakukan tindakan-tindakan teror dan pembunuhan-pembunuhan serta menebarkan pemikiran bernuansa terorisme pada kaum muda Islam. Bahkan secara terbuka kelompok Al-Ikhwanul Muslimun menyatakan dukungannya terhadap Revolusi Iran ini.
18 Lihat kitab Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam, hal. 175-203. Untuk mengetahui lebih banyak tentang kesesatan aqidah dan pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi, lihat buku Membongkar Kedok Yusuf Al-Qaradhawi cet. Pustaka Salafiyah, Depok
19 Komisi yang dimaksud adalah Lajnah Ad-Difa’ ‘anil Huquqisy Syar’iyyah (Komisi Pembelaan Hak-hak Syari’ah) [C.D.L.R] yang berpusat di London, di mana Muhammad Al-Mis’ari ini sebagai Juru Bicara Resminya. Komisi ini banyak mengeluarkan statemen dan tindakan-tindakan yang berisi provokasi untuk membenci dan melawan pemerintah Saudi Arabia. Selengkapnya tentang Komisi ini dan fatwa para ulama sunnah tentangnya bisa dibaca pada buku Mereka Adalah Teroris hal. 370-374 (edisi revisi).
20 Lihat kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 38-39 (cet. II) Percetakan Darus Salaf.

21 Lihat kitab Al-Quthbiyyah hiyal fitnah Fa’rifuha Abu Ibrahim bin Sulthan, hal. 115.

DI TENGAH IFTIRAQUL UMMAH (PERPECAHAN UMMAT)

Posted by admin

22/10/2005

1480 clicks

Printable Version

Mengapa umat Islam berpecah? Bukankah Islam agama yang haq? Bagaimana kita menyikapi perpecahan ummat? Apa yang harus kita lakukan? Berikut ulasannya

“Beruntunglah orang-orang asing yang mereka memperbaiki apa-apa yang telah dirusak oleh manusia sesudahku dari sunnahku.” (HR At-Tirmidzi)

Iftiraqul ummah adalah takdir Allah
Iftiraqul ummah (perpecahan umat) adalah sebuah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala yang pasti terjadi. Sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa hadits yang mutawatir:
“Terpecah umat Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan, dan terpecah umat Nashrani menjadi tujuh puluh dua golongan, dan akan terpecah umat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (1)

Bukti kebenaran akan hadits ini, telah mulai tampak ketika munculnya pemahaman sesat akidah Saba’iyah (akidah Khawarij dan Syi’ah). Inilah hal pertama yang didengar kaum muslimin, dan didengar pula oleh para shahabat tentang akidah iftiraq dan benih-benih firqah di kalangan muslimin yang ditiupkan oleh para pemeluknya. Dan benih-benih iftiraq ini terus tumbuh dan berkembang hingga munculnya firqah-firqah Qadariyah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Dan sungguh, hal yang demikian ini terus menerus terjadi hingga masa sekarang. Hal ini semakin tampak nyata dengan lahirnya harakah-harakah dengan membawa fikrah masing-masing.

Mensikapi iftiraqul ummah
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mentakdirkan terjadinya iftiraqul ummah telah memberikan bimbingan agar umat tidak tenggelam dalam fitnah ini. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “ … Barangsiapa di antara kalian berumur panjang, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka tetaplah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. …”(2)

Maka sikap kita yang pertama adalah tetap bepegangan pada sunnah Rasulullah saw dan para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk.

Maka dalam memahami dien ini kita harus senantiasa meruju’ kepada apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw dengan pemahaman para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in. Walaupun pemahaman itu berbeda dan ditentang oleh kebanyakan manusia, maka tetaplah berpegangan kepadanya. Sungguh Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa Islam ini pada awal kedatangannya adalah asing dan pada suatu saat nanti akan kembali dianggap asing (diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya: (145) dari Abu Hurairah), sebuah keadaan dimana orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah seakan menggenggam bara api, barangsiapa beramal pada hari-hari semacam ini maka pahalanya seperti pahala amalan 50 orang shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits yang masyhur:
Akan suatu pada manusia suatu jaman, orang yang sabar (istiqamah) di atas agamanya pada jaman ini seperti memegang bara api.”(3)

Sesungguhnya di belakang kalian ada suatu hari, kesabaran di dalamnya seperti memegang bara api, orang yang beramal pada hari-hari semacam ini pahalanya seperti 50 orang yang beramal seperti amalnya kalian.”(4)

Berkata Ath-Thibi tentang hadits ini: “Maknanya sebagaimana tidak mampunya seorang pemegang bara api untuk sabar karena menghanguskan tangannya seperti itu pula keadaan seorang yang beragama, pada hari itu, tidak mampu untuk tetap di atas agamanya karena banyaknya pelaku maksiat dan pelaku maksiat, tersebarnya kafasikan dan lemahnya iman.”

Berkata pula Al Qari: “Yang jelas bahwa makna hadits adalah sebagaimana tidak mungkin bagi seseorang untuk memegang bara api kecuali dengan kesabaran yang besar dan menanggung banyak kesusahan. Demikian pula di jaman itu tidak akan tergambar dalam benak seseorang untuk menjaga agamanya dan cahaya imannya kecuali dengan kesabaran yang besar.”

Akan tetapi, walaupun demikian keadaannya, Allah yang Maha Berkuasa atas segala-galanya tidak akan membiarkan umat ini musnah dari muka bumi. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang terang-terangan di atas kebenaran, tidak mencelakakan mereka orang yang mencemoohnya sampai datang urusan Allah dan mereka dalam keadaan demikian”(5)

2. Hal kedua yang harus kita lakukan ketika fitnah ini terjadi adalah tinggalkan semua golongan (firqah) yang ada, sebagaimana diriwayatkan dari Hudzaifah:
“Bahwasanya ketika manusia bertanya kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan, karena khawatir akan menimpa diriku, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya kami dahulu dalam keadaan jahiliyah dan kejelekan, maka Allah datangkan kepada kami kebaikan, maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau menjawab, “Ya”. Maka aku berkata, “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau menjawab, “Ya, tapi padanya ada dakhan (kotoran)”. Aku berkata, “Apa dakhannya?”. Beliau menjawab, “Kaum yang mengerjakan sunnah bukan dengan sunnahku, dan memberi petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau kenali mereka tapi engkau ingkari”. Maka aku berkata, “Apakah setelah kebaikan tersebut akan muncul kejelekan lagi?” Beliau menjawab, “Ya, adanya dai-dai yang berada di atas pintu jahannam, barangsiapa yang memenuhi panggilannya akan dilemparkan ke neraka jahannam”. Aku berkata, “Wahai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam terangkan ciri-ciri mereka”. Beliau berkata, “Mereka adalah suatu kaum yang kulitnya sama dengan kulit kita, bahasanya juga sama dengan bahasa kita”. Aku berkata, “Apa yang engkau perintahkan jika aku mengalami jaman seperti itu?” Beliau berkata, “Berpeganglah dengan jama/ah muslimin dan imam mereka”. Aku bertanya, “Bagaimana jika tidak ada jama’ah dan imam?Beliau menjawab, “Tinggalkan semua firqah, meskipun kamu harus menggigit akar pohon hingga kamu mati dan kamu dalam keadaan seperti itu .”(6)

3.Hal ketiga adalah senantiasa menyeru manusia kepada al haqq, saling bertawashaw bil haqq wa tawashaw bish-shabr (saling menasihati dengan kebenaran dan saling menasihati dengan kesabaran). Inilah kewajiban yang tetap ada pada diri kaum muslimin kepada sesama mereka sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla: Dan saling nasihat-menasihatilah engkau dengan kebenaran dan dengan kesabaran.’ (QS Al ‘Ashr: 4)

Dalam mensikapi perbedaan pemahaman yang ada, maka kewajiban ini tetap wajib diamalkan. Bukan seperti pendapat sebagian orang, “Kita bekerjasama terhadap apa-apa yang kita sepakati dan kita saling tasamuh (toleransi) terhadap perbedaan yang ada.” Perkataan ini benar jika perbedaan yang ada adalah hal-hal yang memang merupakan ikhtilaf tanawu’ yang bisa ditolerir, sedangkan untuk perkara yang telah menjadi ijma’ aimmah ahlus sunnah wal jama’ah dan kaum muslimin, maka tidak ada lagi kata tasamuh. Mereka harus diberi peringatan, ditegakkan hujjah kepada mereka (iqamatul hujjah) dan jika tetap tidak mau mengikuti pemahaman yang lurus, maka mereka wajib diberi sangsi dan umat harus ditahdzir akan kesesatan yang ada pada mereka serta bahayanya bergaul dengan mereka. Sebagaimana Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu telah memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat.

Sedangkan jika perbedaan pemahaman yang ada seputar masalah fiqih atau pun hal-hal yang lain sifatnya ijtihadiyah, maka wajib di antara muslimin untuk mempertemukan perbedaan itu dan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari yang lebih dekat kepada al-haqq. Jika upaya ini tetap tidak bisa mempersatukan pemahaman yang ada, maka hendaknya masing-masing memahami menurut keyakinan masing-masing tanpa saling cela, saling caci, dan tetap saling menghormati. Sebagaimana yang telah banyak dipraktekkan pada shahabat.

Sebagai contoh: ketika dalam penyerangan Bani Quraidhah. Sewaktu hendak berangkat Nabi shalallaahu’alaihi wa sallam berpesan agar para shahabat tidak shalat kecuali setelah tiba di tujuan. Tapi ternyata sebelum sampai di perkampungan Bani Quraidhah waktu shalat Ashar sudah tiba. Maka sebagian shahabat mengerjakan shalat di tengah perjalanan, dengan alasan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh mengakhirkan shalat. Yang lain memegangi ucapan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, yakni tidak mengerjakan shalat hingga tiba di tujuan, walau sudah habis waktunya. Ketika yang demikian sampai kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam maka beliau tidak mencela satu pun dari keduanya.(7)

Demikian pula ketika Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Ubay bin Ka’ab tentang sahkah shalat dengan memakai satu baju? Maka ketika mendengar perdebatan mereka Umaa keluar dengan marah dan berkata: “Dua orang dari Rasulullah saw telah berselisih, yaitu di antara orang-orang yang memperhatikan Rasul dan mengambil dari Rasul. Ubay benar dan Ibnu Mas’ud tidak lalai. Akan tetapi aku tidak mau mendengar ada orang yang berselisih tentang hal itu setelah ini, kecuali aku mengerjakannya begini dan begitu.”(8)

4.Hal keempat yang mesti kita lakukan di tengah iftiraqul ummah ini adalah tetap berupaya untuk menjaga persatuan di antara kaum muslimin. Walaupun iftiraqul ummah adalah sebuah kepastian dan bagaimana pun usaha kita untuk mencegahnya maka iftiraqul ummah ini tetap akan terjadi, akan tetapi hal ini tidaklah menafikan kewajiban kita untuk tetap berpegang teguh kepada tali Allah dan menjaga persatuan di kalangan umat Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan: “Dan berpegang teguhlah kalian kepada tali Allah seluruhnya, dan hangan berpecah belah.” (QS Ali Imran: 103)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud dengan tali Allah adalah janji Allah. Dikatakan pula bahwa tali Allah ialah Al Qur’an. Sedangkan lafazh walaa tafarraquu (jangan berpecah belah) menunjukkan perintah untup berjama’ah dan melarang perpecahan.(9)

Dan perintah bersatu di sini bukanlah persatuan telompok (firqah) tertentu yang kemudian saling membanggakan kelompoknya masing-masing. Dan menganggap yang di luar kelompoknya berarti bukan saudaranya dan lantas disikapi dengan sikap seperti orang kafir. Akan tetapi adalah kesatuan kaum muslimin yang berlandaskan aqidah dan manhaj ahlus sunnah wal jama’ah. Wallaahu a’lam bish shawab.

Penjelasan tentang haditsul iftiraq

Terkait masalah haditsul iftiraq, dimana umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan yang mereka semua berada di dalam neraka, kecuali satu yang selamat yakni Al Jama’ah. Maka jumhur ulama mengatakan, bahwa masuknya mereka ke dalam neraka ini tidaklah kekal, akan tetapi hanya sementara. Jadi, bid’ah-bid’ah yang ada pada diri mereka tidaklah menyebabkan mereka keluar dari Islam, bid’ah itu tidak sampai menjatuhkan mereka dalam kekufuran (bid’ah mukaffirah) akan tetapi hanya sampai pada tingkatan fusuq (bid’ah muharramah). Maka mereka tetaplah muslimin, sehingga tetap ada kewajiban untuk berwala’ terhadap mereka dan ada pula kewajiban bara’ terhadap meruka sesuai dengan tingkad penyimpangan yang ada pada mereka.

Panitia Tetap Al Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta yang terdiri dari: Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Bbz, Syaikh Abdurrazaq Al Afify, Syaikh Abdullah bin Ghadyan, dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud memfatwakan mengenai harakah-harakah yang ada saat ini, “… secara umum, setiap jama’ah mempunyai kesalahan dan kebenaran. Anda boleh bergaul dengan jama’ah manapun selagi di sana ada kebenaran dan menghindari jama’ah yang banyak kesalahannya. Tetapi tetap harus saling memberi nasihat, saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.”(10)

Maka para ulama menasihatkan kepada para ahlul ‘ilm untuk turut bersama mereka dan meluruskan mereka dari penyimpangan-penyimpangan yang ada. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz rahimahullaah, “…Jika manusia memiliki ilmu dan pemahaman keluar bersama mereka untuk menyampaikan ilmu dan pengingkaran dan nasihat kepada kebaikan serta mengajari mereka sampai mereka itu meninggalkan madzhab bathilnya dan meyakini madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah maka diperbolehkan.”

Dan sungguh, hanya Allahlah yang Maha Mengetahui siapajah di antara harakah-harakah yang ada yang paling dekat kepada kebenaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al Kahfi: 503-104)

Dan demi Allah, tidak ada jaminan bagi siapa pun bahwa dialah yang berada pada kebenaran. Kewajiban kita adalah berupaya semaksimal mungkin agar selalu berada dalam shiraathal mustaqiim.

Sebuah manhaj (metodologi) dalam memahani dien
Dalam meniti jalan ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi bimbingan:
“… yaitu mereka yang mendengarkan perkataan yang baik, dan mengikuti yang terbaik diantaranya.” (QS Az Zumar:18)

Maka mencari ilmu dari ahlul ilmi dari mana pun adalah sebuah kebaikan, karena hikmah itu adalah milik muslim yang hilang, maka ambillah ia dari mana pun engkau mendapatkannyu. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan: “… Terimalah kebenaran itu apamila engkau mendengarkannya, karena atas kebenaran itu ada cahaya.” (11)

Tolok ukur kita dalam menilai kebenaran, yang pertama adalah ada tidaknya dalil tentangnya karena Rasulullah saw mengatakan: “Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan ibu tertolak.” (HR Mutafaqun ‘alaih)


Kemudian yang kedua, sesuaikah dengan pemahaman para salafush-shalih yang Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengazakan tentang mereka: “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi orang-orang sesudahnya, dan kemudian orang-oyang yang sesudahnya.” (HR Arba’ah)

Allah Tabaraka Wa Ta’ala pun mengatakan tentang pemahaman para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in dengan firman-Nya: “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan.” (QS Al Baqarah: 137)

Seandainya apa yang kita pahami sesuai dengan pemahaman mereka maka itulah al-haqq, maka siapa pun yang berada di atas pemahaman ini maka merekalah yang disebut al-firqatun najiyah, merekalah fs-sawaadul a’zham, dan itulah al-jama’ah, sebagaimana dikatakan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Setiap yang mengikuti sunnahku dan para shahabatku.” ; “Kalian wajib berpegana teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaui rasyidin” (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu: “Al Jama’ah itu ialah setiap yang sesuai dengan al-haqq walau engkau seorang diri.” Dalam riwayat yang lain dikatakan: “Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah walaupun engkau sendirian.”

Ibnu Khallal rahimahullaah mengatakan: “Al Jama’ah ialah Jama’atul Muslimin, yaitu para shahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan sampai Hari Akhir. Mengikuti mereka adalah hidayah dan menyelisihi mereka adalah sesat.”

Maka barangsiapa yang mengatakan bahwa yang demikian (yakni mengambil ‘ilmu dari beberapa harakah yang ada) maka dia seperti pemulung, sungguh, dia adalah orang yang ‘sangat mengenal’ diennya sehingga dia berani menyamakan dien-nya sebagai sampah dan betapa dia sangat memuliakan harakahnya, yakni dengan menyamakannya dengan keranjang sampah yang para pemulung dapat mengambil sampah daripadanya. Allahu Ta’ala A’lamu Bish-shawab.

Semoga Allah senantiasa membimbing umat ini agar selalu bersatu di atas bendera sunnah, dan berdiri di atas landasan aqidah ash-shahihah, serta menyeru mqnusia dengan manhaj sunnah dan di atas jalan nubuwwah. Ushikum wa nafsi bitaqwallaah. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.

Foot note:
1
.Hadits ini masyhur, diriwayatkan oleh sejumlah banyak shahabat, dikeluarkan oleh imam-imam yang adil, yang hafal hadits seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim, Ibnu Hibban, Abu Ya’la al Muushili, Ibnu Abi Ashim, Ibnu Bathah, al-Ajiri, ad-Darimi dan al-Lalikai. Juga dishahihkan oleh sejumlah besar ahli ilmu, seperti At-Tirmidzi, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, As-Suyuti, dan Asy-Syatibi.
2. HR Nasa’I dan Tirmidzi: HASAN SHAHIH. Lihat Kitab Firqah Najiyah oleh Syaikh Jamil Zainu.
3. Dikeluarkan oleh At Tirmidzi: (2260) dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah Al Kubra: (195) dari Anas radhiyallaahu ‘anhu..
4. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah: (XIV/344) dan dalam tafsir: (III/110) dengan lafazh yang panjang.
5. Dikeluarkan oleh Muslim dengan lafazh ini: (1920) dan Abu Dawud: (4252) dengan tambahan: “Tidak akan memadharatkan mereka orang-orang yang menyelisihinya.”, dan tambahan yang panjang di awalnya. Dikeluarkan pula oleh At Tirmidzi: (2229) secara ringkas dan dia fenshahihkannya, dan dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Al Muqaddimah: (10) dengan lafazx yang panjang dan dikeluarkan oleh Imam Ahmad: (V/276) dengan lafazh yang panjang dan dalam (V/247) secara ringkas, dll.
6. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, 3606, Muslim dalam Shahih-nya (1847), Imam Ahmad dengan panjang (V/386), 403 dan secara ringkas (V/391,396), dengan ringkas dengan lafazh-lafazh yang berbeda-beda (V/494), Abu Dawud As-Sijistani (3244), dengan lafazh berbeda (4246) dan An-Nasa’I dalam Al Kubra (V/17,18).
7. Lihat: Al Jami’ush Shahih Bukhari-Muslim.
8. Ibnu ‘Abdi ‘l-Bar di dalam Jami’u Bayani ‘l ‘Ilmi, 2/83-84
9. Lihat: Tafsir Ibnu Katsir Juz 1.
10. Lihat: Al jama’ah Menurut Ulama Salaf dan Khalaf oleh DR Abdur-Rahman bin Khalifah Asy-Syayaji. Terdapat dalam kaset Ta’qieb Samahatul ‘Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz ‘ala Nadwah (ad-Du’at), lihat kitab An-Nashrul ‘Aaiz hal 173 oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullaah.
11. Syaikh Al-‘Allamah Ay-Mujaddid Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan tentang hadits ini: “Shahih, sanadnya mauquf (yakni ucapan Mu’adz).” Terdapat dalam Shahih Abi Dawud, jilid 3, hal 872, hadits ke 3855.

Al faqiru ilallaah,
Abu Syifa ( Zaenal A. Syukur )
d.a.
Zaenal A. S.
1. Fakultas Teknik Jurusan Teknfk Sipil (Angkatan ’98) UNS Jl Ir Sutami No 36 A Kentingan Surakarta 97126
2. Ma’had Abu Bakar Ash-Shiddiq ‘Aliy Universitas Muhammadiyah Surakarta
3. Kleco Rt 02/I Kadipiro Surakarta 57136
4. E-mail: zaenal_as@eramuslim.com

“Ikhwah fillaah, segala koreksi atas kesalahan penulisan dan penyimpangan pemahaman yang ada mohon disampaikan kepada penulis. Jazaakumullaahu khairan katsiiran.”



[1] Dari Asma' binti Abi Bakar, menceritakan : Artinya: ....Lalu Nabi SAW memuji Allah dan menyanjungnya, kemudian beliau berkata : Am-ma ba'du..... (shahih riwayat : Bukhari I/29, 221 dan lain-lain).Kemudian Imam Muslim di kitab shahihnya (juz 3 halaman 12) meriwayatkan juga dari jalan Ibnu Abbas yang lafadznya sebagai berikut:
Artinya : "Dari Ibnu Abbas :.........Lalu Rasulullah SAW mengucapkan : IN-NAL HAMDA LILLAHI...... (arti bagi lafadz ini telah ada di riwayat Ibnu Mas'ud).

[2] Dari Jabir bin Abdullah, ia menceritakan. Artinya: Adalah Rasulullah SAW berkhotbah kepada manusia, beliau memuji Allah dan menyanjung atas-Nya yang memang Dia (Allah) pemilik (puji-pujian dan sanjungan) dan beliau mengucapkan : Barangsiapa yang Allah pimpin dia, maka tidak ada satupun yang menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan (Allah), maka tidak ada satupun yang akan bisa menunjukinya,... Kemudian beliau mengucapkan : Am-ma ba'du, maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan itu ialah Kitabullah (Al-Qur'an) dan sebaik-baik pimpinan itu ialah pimpinan Muhammad, dan sejelek-jelek urusan ialah yang diada-adakan (di dalam perkara ibadah), dan tiap-tiap bid'ah itu sesat, dan tiap-tiap kesesatan itu tempatnya di neraka, (dalam satu riwayat disebutkan : Beliau mengucapkan di dalam khotbahnya sesudah bertasyahhud : Sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitabullah.......). (shahih riwayat : Muslim 2/11, Ahmad dan Nasa'i).

Menurut pandangan saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat), lafadz khotbatul hajat itu, boleh kita baca dengan tiga cara :

  1. Kita baca lafadz Ibnu Mas'ud sekaligus membaca ayat-ayatnya sebagaimana tersebut diatas.
  2. Kita baca lafadz Ibnu Mas'ud, dengan tidak membaca ayat-ayatnya, saya katakan demikian, karena di riwayat Ibnu Abbas Nabi SAW tidak membaca ayat-ayat Qur'an, seperti yang tersebut di riwayat Ibnu Mas'ud. Jadi kita cukup membaca riwayat Ibnu Mas'ud hanya sampai di kalimat : Was-asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa Rasuuluhu.
  3. Kita baca riwayat Ibnu Abbas sebagaimana tersebut di atas, dan boleh juga kita baca sekaligus ayat-ayat Qur'an yang tersebut di riwayat Ibnu Mas'ud dan boleh juga tidak.

Ketiga cara ini boleh kita baca salah satunya mana yang kita suka, dan sunnah ditambah dengan hadits INNA KHAIRAL HADITS ..........dst.

Kemudian sebagai penutup risalah ini, saya tuliskan bacaan yang sunnah bila dibaca di akhir/penutup majlis, baik oleh yang memberikan ceramah/pengajar maupun oleh para hadirin. Artinya : "Dari Abi Barzah, ia berkata : Rasulullah SAW mengucapkan diakhir urusannya apabila hendak berdiri (sudah selesai) dari satu majlis : SUBHANAKALLAHUMMA WABI HAMDIKA, ASYAHDU ALLAA ILAAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA-ATUBU ILAIKA" (artinya : Maha Suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu, aku mengakui bahwa tidak ada Tuhan (yang boleh disembah) melainkan Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertobat kepada-Mu).
Lalu seseorang bertanya : Ya Rasulullah ! sesungguhnya Engkau tadi mengucapkan satu perkataan yang belum pernah Engkau ucapkan sebelumnya.
Beliau menjawab : "(bacaan) itu sebagai kaffarat (penebus kesalahan/dosa yang terjadi di dalam majlis (tadi)". (Hadits shahih riwayat Abu Dawud No. 4859)

Hadits ini juga diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah dan Tirmidzi berkata : Hasan-shahih ! Kemudian Imam Hakim meriwayatkan juga dari Aisyah dan ia berkata : Shahihul isnad !. (Baca kitab : Al-Adzkar halaman 204-205 oleh Imam Nawawi).

Khuthbah Hajah yang diajarkan Nabi, sebagaimana tersebut di atas selengkapnya telah disusun oleh Syaikh Muhaddits Muhammad Nashiruddin al Al Ba-ni dalam satu risalah berjudul “ Khuthbah Hajah”.Lihat pula keterangan Al Ustadz Abdul Hakim Abdat dalam Khuthbah Hajah (www.salafyoon.net)

Tidak ada komentar: